Adegan pertama, nukilan fragmen drama yang diadaptasi dari
novel Dostoevsky, The Brothers Karamazov
memberi arahan sederhana bahwa Jesus of
Montreal (1989) akan melibatkan teater di dalamnya. Denys Arcand dalam
filmnya kali ini menjalin narasi-narasi yang saling berpotongan dengan
menggabungkan dua bentuk media berbeda yaitu teater dan sinema. Berbeda dengan
bagaimana Peter Brook menfilmkan Marat
Sade, yang mencoba memindahkan teater dan panggungnya dalam sinema, Denys
Arcand menyuguhkan keduanya sekaligus. Penonton dapat menyaksikan film
sekaligus teater lewat alur cerita yang ditawarkan Arcand.
Dalam The Last Metro
(1980), Truffaut memang menempatkan teater sebagai salah satu subjek penting
dalam filmnya. Meski demikian, film itu bukan tentang teater melainkan kisah
cinta, orang-orang di dalamnya serta konteks cerita yang menjadi aspek penting untuk
ditonjolkan. Apa yang berbeda dengan Jesus
of Montreal? Percobaan Arcand dengan “menanam” teater yang “tidak biasa” terbukti
mampu menjadikan sistem dalam filmnya menghasilkan kesan tersendiri
dibandingkan berbagai eksperimentasi perkawinan antara teater dan sinema
sebelumnya.
Mementaskan tragedi itu berbahaya. Tokoh utama dalam film
ini, Daniel Coulombe, menerima tawaran seorang pastur untuk menerjemahkan ulang
kisah penderitaan Jesus dan tragedi penyalibannya dalam konsep yang lebih “modern”.
Daniel kemudian merekrut beberapa aktor, menulis ulang naskah, dan
menjadikannya sebuah pertunjukan teater yang pada akhirnya justru ditentang
oleh gereja. Saya tidak akan menuliskan beragam tafsir kisah Jesus di sini. Hal
yang lebih menarik bagi saya adalah bagaimana film ini mampu bekerja dalan dua
level medium berbeda yaitu sebagai sinema dan sebagai teater.
Jesus of Montreal
memuat pergantian antara model naratif dan dramatik berbentuk fiksi ganda:
cerita film dan cerita teater di dalamnya. Keduanya berjalan bersamaan secara
paralel dalam wujudnya sebagai teks. Jesus
of Montreal dapat dikatakan menjadi sebuah film tentang teater dan orang-orang di dalamnya. Setiap
aktor menerima perannya, menikmatinya, bahkan mempengaruhi kehidupan nyata
mereka. Banyak ironi yang ditampilkan di sini, kisah Jesus yang kadang mirip
dengan kehidupan Daniel sendiri. Suatu kali ia membubarkan sebuah audisi iklan yang
memaksa aktrisnya telanjang. Seorang aktris yang justru menemukan dirinya lewat
perannya dalam teater, bukan sebagai model sebagaimana hidupnya sehari-hari.
Iblis muncul dalam media, televisi dan iklan, datang lewat tawaran seorang
pengacara yang berjanji akan membuat Daniel terkenal dengan menjual terbitan tentang diri dan karya-karyanya.
Kesuksesan pertunjukannya memang banyak dipuji orang tetapi teater itu harus dihentikan karena tak lagi mendapat izin dari gereja. Akhir hidup Daniel tragis. Ia sekarat setelah pementasan
terakhirnya dibubarkan aparat secara paksa atas alasan keamanan. Kekacauan antara aparat dan penonton yang tak rela pertunjukan dibubarkan berujung pada kecelakaan yang menimpa Daniel. Kepalanya
tertimpa salib dan harus dilarikan ke sebuah rumah sakit yang digambarkan
begitu sibuk dan menyedihkan. Daniel tersadar lalu berjalan menuju sebuah
stasiun kereta bawah tanah. Peran Lothaire Bluteau, baik sebagai Daniel maupun sebagai Jesus menjadi fokus yang mampu menyerap perhatian saya
sepanjang film. Dalam adegan menjelang kematiannya, Daniel berperan sangat
dramatis. Setelah muntah melihat aktor utama dalam teater The Brothers Karamazov di awal film dengan wajah terpampang pada
papan iklan cologne, ia menghampiri
orang-orang secara acak dan mengabarkan pesan-pesan aneh. Akhir film tak kalah
dramatis. Daniel mati tetapi orang lain bisa hidup karena jantung darinya dan
seorang nenek bisa kembali melihat karena mata yang didonorkannya.
Mari kita kembali pada bentuk teater yang ditawarkan dalam
film ini. Konsep teater yang berhasil diciptakan oleh Daniel bagi saya menarik.
Fragmen pertunjukan yang ditampilkan telah melampaui model panggung yang
statis, menemukan bentuk relasi yang berbeda antara aktor dan penonton. Film
ini bahkan memperlihatkan wilayah belakang panggung yang tak mungkin bisa
disaksikan oleh penonton teater pada umumnya. Para aktor berlarian berganti
kostum dan kembali dengan peran berbeda. Efek-efek yang ditampilkan dalam
teater banyak disempurnakan oleh peran kamera seperti ketika Daniel berjalan di atas
air, juga pada saat dipaku di atas salib. Daniel membawa konsep teaternya
dengan melibatkan penonton sedekat mungkin dengan aktor dan panggung. Para
aktor berdialog dengan penontonya, membawa mereka seperti tour dari satu set penggung ke set panggung berikutnya (performance in motion). Latar teater
yang digunakan pun beragam. Mulai dari alam terbuka, terowongan kereta sampai
ruangan bawah tanah.
Peran sinema telah membuka banyak ruang baru dalam pertunjukan teater. Lewat shot pendek atau close-up pada aktor ketika bermain, ruang antara penonton teater dalam film maupun kita sebagai penonton film menjadi begitu dinamis. Ketika pertunjukan teater berlangsung, perangkat kamera
beralih ke dalam pikiran penonton, seolah-olah kita diajak untuk benar-benar
melihat pertunjukan teater tanpa perangkat kamera. Penonton dapat menyaksikan
perpindahan adegan, antara narasi teater dengan narasi film dengan mulus.
Peradeganan dalam film ini mengkonstruksi jarak, relasi antara penonton dengan
panggung dan penonton dengan layar lewat persinggungan dua bentuk media dalam level fiksinya masing-masing, bergantian antara teater dan film.
Jesus of Montreal
memasuki wilayah kompleksitasnya dari segi bentuk, narasi dan benturan-benturan
yang ingin dihadirkan, soal teater dan posisi seni yang diambilnya, soal
tragedi dan komedi dalam hidup sehari-hari, soal yang nyata dan absurd dalam
mayarakat kita, media, dan sebagainya. Saya rasa film ini bisa dinikmati siapa
saja, tidak hanya mereka yang mengerti soal teater tentunya. Film ini
menyuguhkan keramaian dimana kita bisa membuka kembali kitab suci, mengulang
membaca Dostoevsky, menghujat televisi dan iklan-iklannya, semakin mencintai
teater, semakin banyak nonton film, dan segala remah-remah lain yang bisa kita
jumpai di film ini.
Kamar Kost, 28 Mei 2013