Jumat, 17 Mei 2013

Adegan Film Random dalam Komposisi yang Tidak Dimengerti


Mana mungkin saya mengenal Schubert dan Ravel kecuali hanya pernah sepintas lalu mendengar nama mereka. Dua hari lalu, empat orang Prancis membawakan komposisi mereka di IFI Jogja. Musik seperti itu tidak sepenuhnya bisa saya nikmati dengan perut keroncongan. Seperti biasa sepanjang mereka memainkan musik, pikiran saya memutar gambar dan cerita-cerita.

Menonton pertunjukan musik klasik hanya bisa membuat saya menahan nafas. Sementara mbak-mbak di belakang malah mengobrol sendiri. Penonton musik kali ini memang layak mendapat perhatian. Dari sekian banyak orang yang memenuhi ruangan, kira-kira berapakah yang bisa mengenali komposisi yang sedang dimainkan? Rasanya memang menggelikan ketika semua penonton bertepuk tangan sebelum salah satu komposisi selesai dimainkan. Tentu ini bisa dimaklumi. Saya sendiri termasuk orang yang datang tanpa tahu musik seperti apakah yang akan saya dengarkan.

Tulisan ini sungguh bukan tentang apapun. Sekadar mengurai ruwet yang sudah benar-benar kusut. Di depan ada peta, wilayah baru yang akan dijelajahi menghantui dengan ketersesatan, ketidakcermatan, keberanian malu-malu, ketidakmampuan membaca setiap lekuk belokan, tanjakan dan turunan, lembah dan pegunungan, jalan datar dan terjal. Selalu begitu. Pada akhirnya peta hanya berada di tangan dan saya pun tidak pernah kemana-kemana. Bahkan di tempat dimana saya tidak kemana-mana inipun bisa menyesatkan. Iya, memang saya bukan anak yang baik.

Musik klasik entah kenapa bisa membawa saya membayangkan adegan-adegan film kartun. Cerita dua ekor kunang-kunang bernama Lemomo dan Lemimi muncul perlahan. Masih dengan iringan komposisi meliuk-liuk, lembut dan keras, dua binatang kecil itu murung di pojokan tangga karena datang terlambat dan tak dapat kursi. Di musim semi yang indah, mereka terbang merendah di tengah jalan-jalan kota. Di sudut jalan, mereka masuk ke sebuah gedung teater. Pada masa itu Edith Piaf masih sering manggung. Bertemulah dua binatang kecil itu dengan Marion. Perempuan cantik sekaligus bintang teater itu adalah istri Lucas Steiner, sutradara teater terkenal yang harus bersembunyi di basement rumah karena nama belakangnya itu membuat ia sangat bermasalah. Bisnis teaternya harus bertahan di tengah perang. Teater, hidup manusia, perang, setelah perang, entah apa lagi.

Suatu hari Lemimi membayangkan sedang membaca buku terjemahan Asrul Sani berjudul Persiapan Seorang Aktor karya Stanislavski. Tidak ada yang benar-benar ia pahami. Bahkan peta di tangannya belum terbuka. Bagaimana dengan Asrul yang sudah menjelajah demikian luas, sastra, teater dan film.

Maaf kalau tulisan kali ini benar-benar tidak ramah pembaca. Saya hanya ingin tumpah di sini. Sebentar saja. Sedikit saja.

Ketika menonton proses penyutradaaran dan cuplikan pertunjukan teater dalam film The Last Metro yang disutradarai Truffaut, rasanya ada yang berbeda. Berakting tidak berlebihan tapi tetap dramatis itu tampaknya belum banyak bisa saya temukan sepanjang karir kepenontonan teater saya di Jogja sejak 2006. Ketika menerjemahkan buku itu, Asrul tentu sadar betul bahwa tugasnya tidak hanya menerjemahkan tetapi juga memikirkan kecocokan sebuah sistem atau metode berakting dengan konteks teater di Indonesia. Tidak ada resep yang menjamin seorang aktor bisa bermain dengan baik, semua teknik, metode, hanya menjadi bagian dari jalan menumbuhkan kreativitas.

Lemomo hinggap di salah satu fragmen gambar film Ivan The Terrible yang sedang di bahas Barthes dalam esainya tentang Makna Ketiga itu. Gambar penobatan Ivan ketika kepalanya disiram dengan dua baskom berisi koin emas itu memang mengesankan. Saya sendiri tidak begitu menikmati ketika menonton film itu, kecuali hanya terpukau dengan ekspresi orang-orangnya. Orang bisa belajar banyak bagaimana bentuk-bentuk efek yang ditimbulkan oleh penggunaan cahaya dan bayangan. Menontonnya seperti hanya memenuhi kewajiban, fardhu ain bagi anak film untuk menonton Esenstein. Barthes memeras adegan dalam film melalui fragmen gambar. Waktu filmis harus dihentikan untuk mendekati makna. Ketika gambar kembali diletakkan dalam peradeganan, dengan waktu yang dipercepat atau diperlambat, makna itu bisa saja hilang, katanya.

Ternyata Kino Eye itu film anak-anak ya. Saya jatuh cinta sama film itu. Lemomo sudah nonton? Oh, dia sedang sibuk baca komik rupaya. Komik berwarna yang ada pohon berdaun pink.

Pagi ini diajak ngopi. Sedang malas benar. Semua jadi tak semenyenangkan sebagaimana mestinya. Penyebabnya jelas dan tentu tak bisa dituliskan di sini. Sampai dimana perjalanan komposisi tadi? Sudah hampir sampai pada komposisi keempat. Eksperimentasi film dokumenter mungkin dapat mengurangi rasa bosan. Film dokumenter itu tidak melulu harus berisi wawancara. Banyak hal yang diletakkan di dalamnya. Eh ya, ini tentang Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan, sebuah dokumenter yang bisa dibilang kaya. Begitu banyak sudut yang ingin direkam: sosok Misbach, tentang film, arsip, sinematek, dan banyak hal lain. Begitu banyaknya gambar dan pesan memaksa saya untuk merekonstruksi sendiri pecahan-pecahan gambar dan ide yang berserakan sepanjang film. Banyak yang ingin disampaikan sebenarnya bukan berarti mengabaikan kedalaman. Bentuk ini baik dipakai sebagai pengantar bagi mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang Miscbah, sejarah film Indonesia, carut marut kearsipan film kita, dan sebagainya.

Lemimi tersesat tapi harus bersyukur karena masih dianggap anak oleh ibunya. Sampailah ia di sebuah padang tandus. Ibunya sedang menangis di sana. Sepertinya komposisi Schubert yang sedang dimainkan itu. Lemimi terkejut. Seekor kadal menjulurkan lidah hendak memakannya. Potongan bagian dari Celebration of the Lizard benar-benar mengagetkan, membuyarkan lamunan Lemimi tentang ibunya.
Wake Up!
You can’t remember where it was
Had this dream stopped?

Lemomo kemana ya? Ah, kasihan sekali. Dia kecemplung gelas kopi.

Senso (1954) dan L’innocente (1976) memang sangat berbeda dengan La Terra Trema (1948). Jelas saja, yang terakhir itu sering disebut neorealis sedangkan dua yang pertama bukan. Tiga film itu sama-sama disutradarai oleh Visconti. Bukannya saya membenci melodrama. Kadang saya pun bisa menikmatinya. Biasanya saya akan mengidentifikasikan diri dengan peran utama perempuannya. Demikian juga ketika saya memperlakukan dua film yang saya sebut pertama di atas. Saya membenci perempuan-perempuan dalam film itu. Narasi generik cinta dan perselingkuhan yang tak berujung bahagia, perempuan-perempuan lemah dan menderita. Tetapi narasi generik itu berhasil ditempatkan dengan baik. Orang bisa menertawakan kehidupan para bangsawan yang tidak pernah risau soal uang tapi justru gila karena kisah cinta taik kucing. Film-film itu mirip opera atau teater lengkap dengan set dan kostum megah. Fantasi dalam kastil-kastil kitsch dibangun lewat sosok-sosok tokohnya. Narasi itu juga diletakkan dalam konteks yang menarik. Dalam Senso, di balik kisah epik drama perselingkuhan itu, Visconti menggambarkan bulan-bulan terakhir okupasi Austria di Italia.

Sudahi saja ya, kapan-kapan saya meracau lagi. Lemomo masih kecemplung kopi. Lemimi tersesat di padang tandus. Mereka tidak bertemu. Yang satu masuk ke adegan film ini, satunya lagi nyasar ke adegan film itu. Tidak pernah lagi bertemu.

Pertunjukan musik selesai. Penonton bertepuk tangan, bertepuk tangan tak habis-habis. Lampu ruangan menyala kekuningan.

Kamar Kost, 17 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar