Mana mungkin saya mengenal Schubert dan Ravel kecuali hanya
pernah sepintas lalu mendengar nama mereka. Dua hari lalu, empat orang Prancis membawakan komposisi mereka di IFI Jogja. Musik seperti itu tidak
sepenuhnya bisa saya nikmati dengan perut keroncongan. Seperti biasa sepanjang
mereka memainkan musik, pikiran saya memutar gambar dan cerita-cerita.
Menonton pertunjukan musik klasik hanya bisa membuat saya
menahan nafas. Sementara mbak-mbak di belakang malah mengobrol sendiri.
Penonton musik kali ini memang layak mendapat perhatian. Dari sekian banyak
orang yang memenuhi ruangan, kira-kira berapakah yang bisa mengenali komposisi
yang sedang dimainkan? Rasanya memang menggelikan ketika semua penonton
bertepuk tangan sebelum salah satu komposisi selesai dimainkan. Tentu ini bisa
dimaklumi. Saya sendiri termasuk orang yang datang tanpa tahu musik seperti
apakah yang akan saya dengarkan.
Tulisan ini sungguh bukan tentang apapun. Sekadar mengurai
ruwet yang sudah benar-benar kusut. Di depan ada peta, wilayah baru yang akan
dijelajahi menghantui dengan ketersesatan, ketidakcermatan, keberanian
malu-malu, ketidakmampuan membaca setiap lekuk belokan, tanjakan dan turunan,
lembah dan pegunungan, jalan datar dan terjal. Selalu begitu. Pada akhirnya
peta hanya berada di tangan dan saya pun tidak pernah kemana-kemana. Bahkan di
tempat dimana saya tidak kemana-mana inipun bisa menyesatkan. Iya, memang saya
bukan anak yang baik.
Musik klasik entah kenapa bisa membawa saya membayangkan adegan-adegan
film kartun. Cerita dua ekor kunang-kunang bernama Lemomo dan Lemimi muncul perlahan. Masih dengan iringan komposisi meliuk-liuk, lembut dan keras, dua
binatang kecil itu murung di pojokan tangga karena datang terlambat dan tak
dapat kursi. Di musim semi yang indah, mereka terbang merendah di tengah
jalan-jalan kota. Di sudut jalan, mereka masuk ke sebuah gedung teater. Pada
masa itu Edith Piaf masih sering manggung. Bertemulah dua binatang kecil itu
dengan Marion. Perempuan cantik sekaligus bintang teater itu adalah istri Lucas
Steiner, sutradara teater terkenal yang harus bersembunyi di basement rumah karena nama belakangnya itu membuat ia sangat bermasalah. Bisnis teaternya harus bertahan di tengah perang.
Teater, hidup manusia, perang, setelah perang, entah apa lagi.
Suatu hari Lemimi membayangkan sedang membaca buku
terjemahan Asrul Sani berjudul Persiapan
Seorang Aktor karya Stanislavski. Tidak ada yang benar-benar ia pahami.
Bahkan peta di tangannya belum terbuka. Bagaimana dengan Asrul yang sudah
menjelajah demikian luas, sastra, teater dan film.
Maaf kalau tulisan kali ini benar-benar tidak ramah pembaca.
Saya hanya ingin tumpah di sini. Sebentar saja. Sedikit saja.
Ketika menonton proses penyutradaaran dan cuplikan pertunjukan
teater dalam film The Last Metro yang
disutradarai Truffaut, rasanya ada yang berbeda. Berakting tidak berlebihan
tapi tetap dramatis itu tampaknya belum banyak bisa saya temukan sepanjang
karir kepenontonan teater saya di Jogja sejak 2006. Ketika menerjemahkan buku
itu, Asrul tentu sadar betul bahwa tugasnya tidak hanya menerjemahkan tetapi
juga memikirkan kecocokan sebuah sistem atau metode berakting dengan konteks
teater di Indonesia. Tidak ada resep yang menjamin seorang aktor bisa bermain
dengan baik, semua teknik, metode, hanya menjadi bagian dari jalan
menumbuhkan kreativitas.
Lemomo hinggap di salah satu fragmen gambar film Ivan The Terrible yang sedang di bahas
Barthes dalam esainya tentang Makna Ketiga itu. Gambar penobatan Ivan ketika
kepalanya disiram dengan dua baskom berisi koin emas itu memang mengesankan. Saya
sendiri tidak begitu menikmati ketika menonton film itu, kecuali hanya terpukau dengan ekspresi
orang-orangnya. Orang bisa belajar banyak bagaimana bentuk-bentuk efek yang
ditimbulkan oleh penggunaan cahaya dan bayangan. Menontonnya seperti hanya
memenuhi kewajiban, fardhu ain bagi anak film untuk menonton Esenstein. Barthes
memeras adegan dalam film melalui fragmen gambar. Waktu filmis harus dihentikan
untuk mendekati makna. Ketika gambar kembali diletakkan dalam peradeganan,
dengan waktu yang dipercepat atau diperlambat, makna itu bisa saja hilang,
katanya.
Ternyata Kino Eye itu film anak-anak ya. Saya jatuh cinta
sama film itu. Lemomo sudah nonton? Oh, dia sedang sibuk baca komik rupaya.
Komik berwarna yang ada pohon berdaun pink.
Pagi ini diajak ngopi. Sedang malas benar. Semua jadi tak
semenyenangkan sebagaimana mestinya. Penyebabnya jelas dan tentu tak bisa
dituliskan di sini. Sampai dimana perjalanan komposisi tadi? Sudah hampir sampai
pada komposisi keempat. Eksperimentasi film dokumenter mungkin dapat mengurangi
rasa bosan. Film dokumenter itu tidak melulu harus berisi wawancara. Banyak hal
yang diletakkan di dalamnya. Eh ya, ini tentang Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan, sebuah dokumenter yang
bisa dibilang kaya. Begitu banyak sudut yang ingin direkam: sosok Misbach,
tentang film, arsip, sinematek, dan banyak hal lain. Begitu banyaknya gambar
dan pesan memaksa saya untuk merekonstruksi sendiri pecahan-pecahan gambar dan
ide yang berserakan sepanjang film. Banyak yang ingin disampaikan sebenarnya
bukan berarti mengabaikan kedalaman. Bentuk ini baik dipakai sebagai pengantar
bagi mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang Miscbah, sejarah film Indonesia, carut marut kearsipan film kita, dan sebagainya.
Lemimi tersesat tapi harus bersyukur karena masih dianggap
anak oleh ibunya. Sampailah ia di sebuah padang tandus. Ibunya sedang menangis
di sana. Sepertinya komposisi Schubert yang sedang dimainkan itu. Lemimi
terkejut. Seekor kadal menjulurkan lidah hendak memakannya. Potongan bagian
dari Celebration of the Lizard
benar-benar mengagetkan, membuyarkan lamunan Lemimi tentang ibunya.
Wake Up!
You can’t remember
where it was
Had this dream
stopped?
Lemomo kemana ya? Ah, kasihan sekali. Dia kecemplung gelas
kopi.
Senso (1954) dan L’innocente (1976) memang sangat berbeda
dengan La Terra Trema (1948). Jelas saja, yang terakhir itu sering disebut
neorealis sedangkan dua yang pertama bukan. Tiga film itu sama-sama disutradarai
oleh Visconti. Bukannya saya membenci melodrama. Kadang saya pun bisa
menikmatinya. Biasanya saya akan mengidentifikasikan diri dengan peran utama perempuannya.
Demikian juga ketika saya memperlakukan dua film yang saya sebut pertama di
atas. Saya membenci perempuan-perempuan dalam film itu. Narasi generik cinta
dan perselingkuhan yang tak berujung bahagia, perempuan-perempuan lemah dan
menderita. Tetapi narasi generik itu berhasil ditempatkan dengan baik. Orang
bisa menertawakan kehidupan para bangsawan yang tidak pernah risau soal uang
tapi justru gila karena kisah cinta taik kucing. Film-film itu mirip opera atau
teater lengkap dengan set dan kostum megah. Fantasi dalam kastil-kastil kitsch
dibangun lewat sosok-sosok tokohnya. Narasi itu juga diletakkan dalam konteks
yang menarik. Dalam Senso, di balik kisah epik drama perselingkuhan itu, Visconti
menggambarkan bulan-bulan terakhir okupasi Austria di Italia.
Sudahi saja ya, kapan-kapan saya meracau lagi. Lemomo masih
kecemplung kopi. Lemimi tersesat di padang tandus. Mereka tidak bertemu. Yang satu
masuk ke adegan film ini, satunya lagi nyasar ke adegan film itu. Tidak pernah
lagi bertemu.
Pertunjukan musik selesai. Penonton bertepuk tangan,
bertepuk tangan tak habis-habis. Lampu ruangan menyala kekuningan.
Kamar Kost, 17 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar