Kamis, 25 April 2013

Mementaskan Arok Dedes: Awas Kena Tulah!


Sebuah pementasan komedi aksi berjudul Tulah Cinta Kuasa digelar di bawah Beringin Soekarno Universitas Sanata Dharma. Penonton cukup membeli tiket seharga lima ribu rupiah, duduk nyaman di bawah tribun dan menonton pertunjukan. Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, katamu. Bukan intrik dan rebutan cinta, katamu lagi. Bagitukah yang ingin dikatakan Pram lewat novel Arok Dedes? Rasanya memang berat menerjemahkan cerita Arok Dedes dalam drama dua babak seperti yang dipentaskan Teater Maraton malam Minggu kemarin. Saya sampai tidak tega memberi rating dengan angka seperti halnya dalam tulisan sebelumnya.

Suara gamelan membuka pertunjukan. Musik dari gamelan menjadi salah satu kekuatan yang mampu mengangkat pertunjukan malam itu. Tata cahayanya juga lumayan membantu menutupi sisi keaktoran yang bisa dibilang masih kuwalahan dalam menampilkan karakter-karakter dalam naskah. Wangi dupa menyebar di antara satu dua titik hujan, mengingatkan pada kamar Si Mbok dan sesajinya.

Pementasan di alam terbuka sebenarnya cukup mengandung resiko. Hanya ada dua kemungkinan. Teater tersebut akan gagal ketika alam menelannya atau justru alam memberikan cukup energi bagi pertunjukan. Kemungkinan kedua lah yang terjadi pada Tulah Cinta Kuasa. Kesan magis dari pohon beringin tua, suasana malam sedikit gerimis dan lamat-lamat harum dupa adalah energi tak tergantikan yang menolong jalannya pementasan.

Kalau teater itu disebut sebagai komedi aksi maka sudah semestinya apabila penonton mengharpkan dua unsur tersebut ditampilkan dengan kuat. Tapi yang terjadi adalah tampilan yang sama-sama tanggung antara komedi dan aksi. Bukan menjadi soal sebuah narasi akan diterjemahkan seperti apa, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana penerjemahan tersebut dapat sampai kepada penonton sehingga nyaman pula ditonton.

Komedi yang ditampilkan sebagian mengandalkan bahasa-bahasa alay yang diselip-selipkan dalam naskah. Pementasan ini memang mampu membuat penonton tertawa, bukan karena lucu yang sebenar-benarnya lucu tetapi karena para aktor yang wagu. Penonton tertawa ketika nama Lohgawe diubah menjadi ‘loe guweh’, tertawa lagi ketika Tunggul Ametung dan Ken Dedes berjalan ke belakang pohon hendak main kuda-kudaan di hari hujan. Satu aktor memang cukup berhasil membuat tawa yang konyol, si pengawal tompel itu.

Tulah Cinta Kuasa sepertinya sedikit bermaksud memberikan sentilan atau sindiran sosial untuk para penguasa. Ah, tapi jatuhnya kok begitu mengecewakan. Bayangkan ketika pemeran Arok sampai tiga kali mengucapkan dialog soal penguasa yang mempercepat proses pemiskinan rakyat kecil. Sangat menggelikan. Seandainya benar-benar bermaksud menyisipkan kritik sosial, penulis naskah atau sutradara seharusnya bisa mengemasnya secara lebih baik. Kita butuh sindiran yang cerdas tapi tidak vulgar. Selain tentu wajib membaca novel Pram, sebelum menulis naskah dan mementaskannya, segenap tim Teater Maraton hendaknya perlu nonton film-filmnya Woody Allen terlebih dahulu. Lho, gak ada hubungannya. 

Entah kenapa saya merasa sedikit tidak rela apabila cerita Arok Dedes diterjemahkan begitu rupa. Semoga saja kelatahan bahasa yang diselipkan dalam naskah dimaksudkan untuk menyindir kerusakan bahasa yang terjadi, atau hanya sekadar bahan guyonan, bukan untuk ikut-ikutan latah menggunakannya. Kalau kita tengok lagi novel Pram, Arok Dedes mengandung banyak sekali karakter-karakter biografis yang kuat. Dalam pementasan ini, kekuatan tersebut sayangnya tidak diberikan oleh naskah maupun keaktoran, melainkan justru kostum pemain yang sedikit membantu membentuk karakter.

Di samping komedi tanggung, aksi dalam pementasan kemarin sepertinya hanya dilabeli dengan adegan laga yang juga sangat tanggung. Sementara para pemain maupun sutradara seakan lupa fungsi gerak dalam teater itu sendiri. Di sini para pemain tidak mampu menghidupkan tubuh mereka sendiri. Tubuh-tubuh itu mati ketika setiap gerak dan gestur yang keluar tidak disertai dengan aliran dari dalam yang mampu menghidupkanya. Aktor yang baik adalah mereka yang sadar terhadap setiap gerak: gerak mental, gerak jiwa dan menggunakannya untuk menyihir, mempengaruhi penonton. Kesadaran aktor terhadap dunia emosinya sendiri akan membawanya pada sebuah titik dimana penonton mampu manangkap kesan. Jalan keaktoran bukan susuatu yang mudah untuk ditempuh. Para aktor Teater Maraton masih perlu belajar banyak untuk bisa berakting dengan baik.

Dari pengalaman menonton teater, saya sempat mencatat bahwa sebagian pertunjukan teater terlihat kesulitan untuk mengeluarkan aktor dari panggung. Selalu ada keterputusan yang janggal di bagian ini. Aktor yang mati tiba-tiba bangkit ketika lampu dipadamkan, lalu berjalan bergegas meninggalkan panggung. Hal ini  terjadi beberapa kali dalam Tulah Cinta Kuasa. Untuk itu perlu dipikirkan strategi mengeluarkan aktor dari panggung dengan mulus. Berbeda halnya dengan naskah yang memang mengharuskan aktor untuk berada di panggung dari awal hingga akhir dengan pertimbangan dan taruhan pada konsep yang dibangun dalam pementasan itu sendiri.

Bagi kelompok teater yang baru beberapa kali melakukan pementasan, kualitas aktor akan sangat terlihat keteteran. Pementasan malam itu bisa mati tanpa dukungan musik, pencahayaan dan pemilihan dekor alamnya. Di balik panggung, proses latihan seperti apakah yang telah mereka lakukan? Berapa banyak aktor yang saat ini benar-benar mengerti caranya berteriak, menggunakan kerongkongan dan perut mereka. Kadang-kadang saya menjumpai aktor yang lupa bahwa mereka punya tubuh di atas pentas, tidak sekadar menghafal naskah dan bicara. Teater itu tidak hanya mementaskan sebuah naskah tapi bagaimana setiap aktor menubuhkannya.

Kita bisa bayangkan bahwa setiap kampus di Jogja pasti punya lebih dari satu kelompok teater. Setiap pertunjukan mereka selalu punya penonton dan itulah yang membuat teater tetap hidup. Teater-teater muda yang bermunculan ini tentu butuh banyak belajar dari kelompok-kelompok teater pendahulu yang sudah besar. Hanya dengan begitulah mereka bisa berkembang sekaligus mengatasi gap antargenerasi. Proses berteater semoga tidak hanya latihan fisik untuk pementasan tetapi juga membaca. Tampaknya pula, setiap teater butuh pencatat kesan. Fungsi penonton tidak hanya membayar tiket dan melihat pertunjukan tetapi juga memberikan sedikit celaan kalau pementasan tidak memuaskan.

Lupakan soal teater. Karena setelahnya, suguhan orkes dangdut membuat para pemain dan penonton melebur dalam cengkok merdu dan goyang syahdu biduan, melarut dalam gerimis menjelang hujan. Segera pulang sebelum bertambah malam. Salam.

Kamar Kost, 22 April 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar