Pada
sebuah Kamis sehabis maghrib, kehabisan tiket konser Melbi itu memang
menyakitkan. Sementara untuk membeli tiket seharga lima puluh ribu yang mungkin
saja masih tersisa, saya harus berpikir lima ratus kali. Belagak kayak orang
susah padahal sudah terang kalau kita ini bukan Antonio Ricci yang kehilangan
sepeda, sampai-sampai Teman Sebelah tak bisa melanjutkan menonton film itu
karena terlalu menghayati penderitaan kelas pekerja.
Saya
dan Teman Sebelah lalu makan di angkringan dekat stasiun tugu. Sebungkus nasi
kucing dan ceritanya tentang wabah pes zaman dahulu kala itu. Betapa tidak
mengenakkannya. Para pengamen dan yang meminta-minta datang silih berganti.
Lidah saya yang tidak bisa merasakan apa-apa karena flu ini membuat semua
makanan menjadi hambar. Teman Sebelah mengoceh lagi bahwa pada zaman dahulu
kala influenza itu bisa membunuh ratusan manusia. Ah, abaikan. Akhirnya kami
pun berangkat untuk menonton sebuah pertunjukan teater berjudul Rashomon.
Sudah
sekian lama saya tidak menonton teater. Beberapa pertunjukan terakhir yang saya
tonton sedikit mengecewakan. Tulisan ini menjadi pernyataan bahwa saya tidak
meninggalkan teater meskipun saat ini sedang terpesona dengan film. Dengan
tidak begitu peduli siapa yang mementaskan, saya tertarik menonton karena
naskah teaternya. Naskah bagi saya adalah salah satu materi dasar dalam
pementasan. Kalau naskahnya sudah jaminan baik, akan lebih banyak peluang bahwa
pementasan kali ini tidak akan terlalu mengecewakan. Hmm, akhirnya bisa menonton
teater lagi dengan Teman Sebelah. Koleksi saya bertambah lagi dengan dua tiket
yang bakal jadi barang peninggalan mantan di pameran patah hati suatu hari
nanti.
Rashomon memang bukan naskah
sembarangan. Siapa bisa meragukan kepengarangan
Ryunosuke Akutagawa. Naskah ini adalah adaptasi dari dua cerpennya. Latar
cerita diambil dari cerpen berjudul Rashomon
sedangkan alur ceritanya berasal dari cerpennya berjudul Yabu No Naka (In a Grove). Katanya juga ini adalah pementasan
perdana dari kelompok seni Saka yang sebelumnya telah dipentaskan di Teater
Arena Taman Budaya Surakarta dan Universitas Muhammadiyah Magelang. Seperti halnya
malam itu, pertunjukan teater di Jogja memang selalu ramai, tampak sejak dulu
sampai sekarang teater tetap punya penonton setia.
Rashomon pernah difilmkan oleh Akira
Kurosawa di tahun 1950. Sebuah film yang bagi saya cukup memukau. Mungkin
tulisan ini tidak akan membandingkan secara langsung antara pertunjukan
teater dengan film hanya karena keduanya memiliki judul sama. Tulisan ini hanya
akan berisi beberapa komentar ngawur
atas dua bentuk seni dari adaptasi sebuah naskah. Saya sendiri tidak tahu
apakah di Jepang sana juga ada Rashomon versi
teaternya.
Sebagai
sebuah pertunjukan, saya rasa Kelompok Seni Saka cukup mampu menerjemahkan
naskah dengan baik. Kalau saya boleh kasih rating kayak IMDb, bolehlah dapat
6,4. Latar cerita dibangun dengan cukup detail. Kata teman sebelah, sayang
sekali ada sedikit pencahayaan yang kurang pas pada saat adegan pertempuran. Disayangkan
juga kenapa baju pendeta di Jepang berwarna kuning seperti bikshu shaolin dari
China. Satu lagi komentarnya tentang suara kuda yang lebih terdengar mirip babi
mau disembelih.
Kami
pun sepakat bahwa aktor terbaik jatuh pada pemeran Tajomaru si bandit. Saya tidak
mengerti mengapa peran-peran antagonis dalam teater selalu lebih menarik. Sisi
jahat mereka kadang bisa keluar dengan sangat memukau. Ini berbeda dengan peran
pendeta yang sangat terlihat palsunya itu. Perempuan berbaju pink yang berperan
sebagai Massage juga cukup lumayan memainkan peran meskipun masih banyak
eksplorasi karakter yang sebenarnya bisa dilakukan terhadap tokoh ini. Mbaknya juga
harus lebih banyak latihan vokal lagi.
Apa
yang sebenarnya dicari dari sebuah teater? Bagi saya tentu adalah efek dramatis
yang dihasilkan dari dialog dan aktor-aktor di atas panggung. Teks dan manusia
yang utama, sedangkan efek dari latar, pencayahaan dan sebagainya adalah
pelengkap. Itulah kenapa beberapa naskah drama yang baik tetap bisa dimainkan di
segala zaman. Sebut saja malam Jahanam karya Motinggo Boesje. Beberapa kali
saya pernah menonton pertunjukan itu dimainkan oleh kelompok teater berbeda.
Adaptasi naskah bisa bermacam-macam tetapi kekuatan teksnya selalu memberi
energi lebih dalam sebuah pementasan. Naskah Malam Jahanam ternyata pernah
difilmkan di tahun 1971 oleh sutradara Pitra Burnama. Tapi sayang saya belum
menonton filmnya. Tentu sangat tidak adil kalau saya berkomentar tentang
pementasan kemarin malam berdasarkan film Akira Kurosawa yang sudah saya tonton
sebelumnya.
Adapatasi
naskah asing mungkin menjadi persoalan tersendiri. Pertama adalah persoalan
bahasa. Beberapa naskah yang dimainkan para aktor dengan bahasa Indonesia yang
baik dan benar justru terdengar sangat kering dan kaku. Apalagi dengan
intonasi-intonasi generik yang sudah sering kita dengar. Ini berbeda dengan
naskah-naskah yang menyimpan banyak suara. Kita bisa menemukan naskah-naskah
kontemporer yang diisi dengan dialek tertentu untuk memberi suara lain dalam
sebuah pementasan. Sutradara dan aktor sebenarnya dituntut untuk membangun dan
mengembangkan karakter dalam naskah yang tidak melulu harus bicara dengan
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Persoalan
lainnya, mementaskan naskah Chekov tidak akan membuat Indonesia menjadi Rusia.
Demikian juga dengan sekeras apapun usaha untuk menjadi Takehiko, si pemain
tidak akan menjadi samurai sebaik aslinya. Hal ini pun masih dengan asumsi
bahwa sutradara sekalian para pemainnya sudah menonton film Rashomon sebelumnya. Cara berjalan
perempuan Jepang yang begitu indah bukan sesuatu yang mudah untuk dipelajari. Tetapi
dari awal saya sendiri tidak menggantung harapan terlalu tinggi sehingga tiru
meniru yang masih sangat jauh itu tetap sangat bisa dimaklumi.
Dalam
bentuk film, Rashomon sama sekali
tidak kehilangan efek dramatis. Bagi pembaca yang sudah menonton filmnya
barangkali akan tahu. Kurang teatrikal apa ekspresi para pemainnya, apalagi
dengan bantuan close-up kamera dan
kurang dramatis apa dari sisi cerita film itu jika dibayangkan dapat
dibandingkan dengan sebuah pertunjukan teater lengkap dengan panggung.
Sinema
menambahan latar sebenarnya dalam cerita, bukan latar buatan berupa gerbang Rashomon yang terbuat dari bambu. Di
titik inilah efek dramatis dari manusia yang memerankan tokoh dikurangi dan
tergantikan atau mungkin dikuatkan dengan tokoh utama sejati yaitu alam.
Pencahayaan lampu diganti dengan sinar matahari yang menembus ranting dan
pepohonan. Hujan di luar kuil bisa benar-benar diwujudkan dalam film,
sebaliknya sangat sulit tentunya membasahi seluruh panggung dengan hujan
buatan. Kita bisa melihat bahasa yang sangat berbeda antara teater dan sinema,
jika dilihat dari aspek latar, beranjak dari panggung yang
statis menuju latar dalam sinema yang relatif. Dialog dalam teater bisa
dikurangi sedemikian rupa dengan bahasa latar alam dalam film.
Kekuatan
dramatis bisa dengan mudah ditambahkan lewat kamera. Waktu dan peradeganannya
pun menjadi berbeda. Apakah dengan demikian sinema bisa menelan teater? Banyak
orang bilang sinema tidak mampu menggantikan kehadiran langsung para aktor di
depan penonton. Dalam teater, Tajomaru mampu berkata kepada kita bahwa membunuh
adalah hal yang mudah saja baginya. Dalam sinema bisa saja ia berkata demikian
di depan kamera tetapi tentu tidak akan memiliki efek sama ketika interaksi
langsung lebih mungkin dilakukan dalam teater. Teater jelas dibangun dari kehadiran
antara penonton dan aktor. Berbeda dengan menonton film yang bagi saya lebih
mirip seperti membaca, sebuah proses dimana saya bisa sembunyi-sembunyi
menjadikan para tokoh dalam layar sebagai objek identifikasi. Hal ini bisa
menjadi berbeda dalam teater. Ketika Tajomaru memperkosa Massage di bawah
cahaya lampu merah diselingi tawanya yang khas bandit itu, para penonton
barangkali tertawa atau bereakasi lain, diam-diam juga ada yang cemburu.
Begitulah, maaf kalau saya tidak bisa menjelaskan dengan baik perbedaan
identifikasi ini dalam kerangka ketika saya memposisikan diri sebagai penonton
film dan penonton teater.
Bagaimanapun
kita harus mengakui keluwesan kamera dalam menampilkan ilusi. Meskipun bagi
saya sedramatis apapun ilusi yang ditampilkan tetap tidak mampu menggantikan
saat-saat ketika lampu panggung dipadamkan dan pertunjukan selesai, seberapapun
buruknya pertunjukan itu. Dalam teaternya, Rashomon
hanya bisa kita dinikmati dengan dua lapis cerita yang harus dipaksakan terjadi
di panggung dan latar yang sama: cerita pendeta dan penebang kayu ketika
berteduh di bawah kuil dan cerita Tajomaru lewat interaksinya dengan penonton.
Sementara dalam filmnya, kisah ini berkembang dengan kerumitan tersendiri dan
penambahan karakter-karakter tokoh dengan sisi-sisi psikologis yang lebih
kompleks.
Dalam
teater kita mendengar bagaimana para tokoh bercerita tentang mayat yang
dilihatnya. Sementara dalam filmnya, cerita para tokoh tersebut divisualkan lewat
peradeganan. Teater sebenarnya bisa melakukan hal serupa, misalnya dalam
pertunjukan Malam Jahanan yang terakhir saya tonton di Purna Budaya beberapa
bulan lalu. Di balik latar dua rumah Mat Kontan dan Soleman, dalam sebuah
adegan ditampilkan ingatan masa lalu Mat Kontan lewat video visual berwarna sepia
samar. Usaha ini menjadi janggal ketika yang dinantikan dari adegan tersebut bukan
seorang tokoh yang diam dengan ekpresi membayangkan masa lalu tetapi narasi melalui
monolog tokoh. Itulah kenapa kadang saya tidak begitu menyukai eksperimentasi visual
teater-teater kontemporer yang pada satu titik justru membuat teater kehilangan
efek dramatisnya.
Mari
kita kembali pada Rashomon. Sebenarnya
akan lebih menarik kalau dibahas dari tranformasi bentuk sastranya tapi akan
terlalu panjang, seolah-olah saya pun berasumsi bahwa transformasi bentuk
tersebut berjalan linear dari sastra, teater lalu film. Padahal tentu tidak
begitu adanya. Ketika sampai pada bentuk teater dan filmnya, pesan ceritanya
pun menjadi berbeda. Rashomon sebagai
film mencoba untuk merekonstruksi sekian banyak cerita orang tentang satu kasus
pembunuhan. Kalau film ini diandaikan menjadi sekumpulan kesaksian orang-orang
dengan kebohongan-kebohongan yang beralasan, bagaimanakah penonton bisa
menjangkau kebenaran cerita pembunuhan yang sebenarnya?
Di
satu sisi film ini menjadi tidak jelas karena tidak mengungkap cerita
sebenarnya tapi di sisi lain hal ini justru menjadi menarik. Si penebang kayu
mengarang cerita karena tidak ingin terlibat lebih jauh. Kehidupannya yang
miskin dan susah tidak ingin lebih susah hanya karena ia tidak sengaja melihat
sebuah pembunuhan. Si penebang kayu bisa juga menjadi pencuri belati Massage dengan
gagang penuh permata demi membuat ia dan keluarganya bertahan hidup. Setiap
tokoh punya alasan untuk setiap versi cerita mereka yang sudah tentu juga
rasional. Apakah memang demikian pesan yang ingin disampaikan Akira Kurosawa?
Saya
tidak tahu kenapa Akira Kurosawa menjatuhkan bayi dari langit di akhir cerita. Saya
sendiri lupa apakah bagian ini merupakan penambahan atau memang berasal dari
cerpen Akutagawa. Kemunculan tangisan bayi yang tiba-tiba itu memang sedikit
mengganggu. Hujan di kuil reda, penebang kayu membawa pulang bayi yang
ditelantarkan itu. Apakah karena ada satu pembunuhan dalam film maka harus ada
satu kelahiran pula? Apakah Akira Kurosawa berusaha menampilkan harapan? Semua
bisa dimaknai apa saja oleh penonton. Adegan terakhir yang sedikit absurd ini
menjadi sangat berbeda dalam versi teaternya. Ada sedikit perbedaan pula dari
naskah yang saya temukan di google dengan pementasan yang saya lihat. Sangat
disayangkan ketika di akhir pertunjukan penonton justru disuguhi pidato moral
dari tokoh pendeta. Retorika Pak Pendeta itu membuat klimaks cerita menjadi tawar
di ujungnya.
Pada
akhirnya tulisan ini pun terjebak pada perbandingan tidak senonoh dan
patahan-patahan kesan tidak jelas antara petunjukan yang saya tonton dengan
filmnya Akira Kurosawa. Untuk ini saya mohon maaf. Kesetiaan pada naskah yang
sudah besar terlebih dahulu sepertinya memang tetap menjadi pertimbangan utama
apabila akan diadaptasi menjadi bentuk seni lain. Teater lebih dulu lahir sebelum
film. Berapa banyak publik sinema yang telah meninggalkan teater, dan bagi saya
efek dramatis dari dua bentuk seni itu tetap tidak dapat dipertukarkan.
Meskipun tak banyak lagi teater yang memuaskan, sesekali saya merasa tetap
ingin menonton. Di antara sekian banyak tumpukan file film yang tersimpan dan
bisa ditonton kapan saja, teater bagi saya tetap punya rasa. Cukup sepuluh ribu
untuk menyaksikan teater mahasiswa di Jogja, pikir-pikir lima ratus kali lagi
kalau mau nonton Teater Gandrik beberapa hari lagi. Buat penonton yang bayar
lima puluh ribu silakan duduk di belakang saja ya, yang bayar dua ratus ribu
paling depan. Oh! (tepuk jidat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar