Sabtu, 13 April 2013

Tentang Teater dan Sinema yang Berteduh Di Gerbang Rashomon


Pada sebuah Kamis sehabis maghrib, kehabisan tiket konser Melbi itu memang menyakitkan. Sementara untuk membeli tiket seharga lima puluh ribu yang mungkin saja masih tersisa, saya harus berpikir lima ratus kali. Belagak kayak orang susah padahal sudah terang kalau kita ini bukan Antonio Ricci yang kehilangan sepeda, sampai-sampai Teman Sebelah tak bisa melanjutkan menonton film itu karena terlalu menghayati penderitaan kelas pekerja.

Saya dan Teman Sebelah lalu makan di angkringan dekat stasiun tugu. Sebungkus nasi kucing dan ceritanya tentang wabah pes zaman dahulu kala itu. Betapa tidak mengenakkannya. Para pengamen dan yang meminta-minta datang silih berganti. Lidah saya yang tidak bisa merasakan apa-apa karena flu ini membuat semua makanan menjadi hambar. Teman Sebelah mengoceh lagi bahwa pada zaman dahulu kala influenza itu bisa membunuh ratusan manusia. Ah, abaikan. Akhirnya kami pun berangkat untuk menonton sebuah pertunjukan teater berjudul Rashomon.

Sudah sekian lama saya tidak menonton teater. Beberapa pertunjukan terakhir yang saya tonton sedikit mengecewakan. Tulisan ini menjadi pernyataan bahwa saya tidak meninggalkan teater meskipun saat ini sedang terpesona dengan film. Dengan tidak begitu peduli siapa yang mementaskan, saya tertarik menonton karena naskah teaternya. Naskah bagi saya adalah salah satu materi dasar dalam pementasan. Kalau naskahnya sudah jaminan baik, akan lebih banyak peluang bahwa pementasan kali ini tidak akan terlalu mengecewakan. Hmm, akhirnya bisa menonton teater lagi dengan Teman Sebelah. Koleksi saya bertambah lagi dengan dua tiket yang bakal jadi barang peninggalan mantan di pameran patah hati suatu hari nanti.


Rashomon memang bukan naskah sembarangan. Siapa bisa meragukan kepengarangan  Ryunosuke Akutagawa. Naskah ini adalah adaptasi dari dua cerpennya. Latar cerita diambil dari cerpen berjudul Rashomon sedangkan alur ceritanya berasal dari cerpennya berjudul Yabu No Naka (In a Grove). Katanya juga ini adalah pementasan perdana dari kelompok seni Saka yang sebelumnya telah dipentaskan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta dan Universitas Muhammadiyah Magelang. Seperti halnya malam itu, pertunjukan teater di Jogja memang selalu ramai, tampak sejak dulu sampai sekarang teater tetap punya penonton setia.

Rashomon pernah difilmkan oleh Akira Kurosawa di tahun 1950. Sebuah film yang bagi saya cukup memukau. Mungkin tulisan ini tidak akan membandingkan secara langsung antara pertunjukan teater dengan film hanya karena keduanya memiliki judul sama. Tulisan ini hanya akan berisi beberapa komentar ngawur atas dua bentuk seni dari adaptasi sebuah naskah. Saya sendiri tidak tahu apakah di Jepang sana juga ada Rashomon versi teaternya.

Sebagai sebuah pertunjukan, saya rasa Kelompok Seni Saka cukup mampu menerjemahkan naskah dengan baik. Kalau saya boleh kasih rating kayak IMDb, bolehlah dapat 6,4. Latar cerita dibangun dengan cukup detail. Kata teman sebelah, sayang sekali ada sedikit pencahayaan yang kurang pas pada saat adegan pertempuran. Disayangkan juga kenapa baju pendeta di Jepang berwarna kuning seperti bikshu shaolin dari China. Satu lagi komentarnya tentang suara kuda yang lebih terdengar mirip babi mau disembelih.

Kami pun sepakat bahwa aktor terbaik jatuh pada pemeran Tajomaru si bandit. Saya tidak mengerti mengapa peran-peran antagonis dalam teater selalu lebih menarik. Sisi jahat mereka kadang bisa keluar dengan sangat memukau. Ini berbeda dengan peran pendeta yang sangat terlihat palsunya itu. Perempuan berbaju pink yang berperan sebagai Massage juga cukup lumayan memainkan peran meskipun masih banyak eksplorasi karakter yang sebenarnya bisa dilakukan terhadap tokoh ini. Mbaknya juga harus lebih banyak latihan vokal lagi.

Apa yang sebenarnya dicari dari sebuah teater? Bagi saya tentu adalah efek dramatis yang dihasilkan dari dialog dan aktor-aktor di atas panggung. Teks dan manusia yang utama, sedangkan efek dari latar, pencayahaan dan sebagainya adalah pelengkap. Itulah kenapa beberapa naskah drama yang baik tetap bisa dimainkan di segala zaman. Sebut saja malam Jahanam karya Motinggo Boesje. Beberapa kali saya pernah menonton pertunjukan itu dimainkan oleh kelompok teater berbeda. Adaptasi naskah bisa bermacam-macam tetapi kekuatan teksnya selalu memberi energi lebih dalam sebuah pementasan. Naskah Malam Jahanam ternyata pernah difilmkan di tahun 1971 oleh sutradara Pitra Burnama. Tapi sayang saya belum menonton filmnya. Tentu sangat tidak adil kalau saya berkomentar tentang pementasan kemarin malam berdasarkan film Akira Kurosawa yang sudah saya tonton sebelumnya.  

Adapatasi naskah asing mungkin menjadi persoalan tersendiri. Pertama adalah persoalan bahasa. Beberapa naskah yang dimainkan para aktor dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar justru terdengar sangat kering dan kaku. Apalagi dengan intonasi-intonasi generik yang sudah sering kita dengar. Ini berbeda dengan naskah-naskah yang menyimpan banyak suara. Kita bisa menemukan naskah-naskah kontemporer yang diisi dengan dialek tertentu untuk memberi suara lain dalam sebuah pementasan. Sutradara dan aktor sebenarnya dituntut untuk membangun dan mengembangkan karakter dalam naskah yang tidak melulu harus bicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Persoalan lainnya, mementaskan naskah Chekov tidak akan membuat Indonesia menjadi Rusia. Demikian juga dengan sekeras apapun usaha untuk menjadi Takehiko, si pemain tidak akan menjadi samurai sebaik aslinya. Hal ini pun masih dengan asumsi bahwa sutradara sekalian para pemainnya sudah menonton film Rashomon sebelumnya. Cara berjalan perempuan Jepang yang begitu indah bukan sesuatu yang mudah untuk dipelajari. Tetapi dari awal saya sendiri tidak menggantung harapan terlalu tinggi sehingga tiru meniru yang masih sangat jauh itu tetap sangat bisa dimaklumi.

Dalam bentuk film, Rashomon sama sekali tidak kehilangan efek dramatis. Bagi pembaca yang sudah menonton filmnya barangkali akan tahu. Kurang teatrikal apa ekspresi para pemainnya, apalagi dengan bantuan close-up kamera dan kurang dramatis apa dari sisi cerita film itu jika dibayangkan dapat dibandingkan dengan sebuah pertunjukan teater lengkap dengan panggung.

Sinema menambahan latar sebenarnya dalam cerita, bukan latar buatan berupa gerbang Rashomon yang terbuat dari bambu. Di titik inilah efek dramatis dari manusia yang memerankan tokoh dikurangi dan tergantikan atau mungkin dikuatkan dengan tokoh utama sejati yaitu alam. Pencahayaan lampu diganti dengan sinar matahari yang menembus ranting dan pepohonan. Hujan di luar kuil bisa benar-benar diwujudkan dalam film, sebaliknya sangat sulit tentunya membasahi seluruh panggung dengan hujan buatan. Kita bisa melihat bahasa yang sangat berbeda antara teater dan sinema, jika dilihat dari aspek latar, beranjak dari panggung yang statis menuju latar dalam sinema yang relatif. Dialog dalam teater bisa dikurangi sedemikian rupa dengan bahasa latar alam dalam film.

Kekuatan dramatis bisa dengan mudah ditambahkan lewat kamera. Waktu dan peradeganannya pun menjadi berbeda. Apakah dengan demikian sinema bisa menelan teater? Banyak orang bilang sinema tidak mampu menggantikan kehadiran langsung para aktor di depan penonton. Dalam teater, Tajomaru mampu berkata kepada kita bahwa membunuh adalah hal yang mudah saja baginya. Dalam sinema bisa saja ia berkata demikian di depan kamera tetapi tentu tidak akan memiliki efek sama ketika interaksi langsung lebih mungkin dilakukan dalam teater. Teater jelas dibangun dari kehadiran antara penonton dan aktor. Berbeda dengan menonton film yang bagi saya lebih mirip seperti membaca, sebuah proses dimana saya bisa sembunyi-sembunyi menjadikan para tokoh dalam layar sebagai objek identifikasi. Hal ini bisa menjadi berbeda dalam teater. Ketika Tajomaru memperkosa Massage di bawah cahaya lampu merah diselingi tawanya yang khas bandit itu, para penonton barangkali tertawa atau bereakasi lain, diam-diam juga ada yang cemburu. Begitulah, maaf kalau saya tidak bisa menjelaskan dengan baik perbedaan identifikasi ini dalam kerangka ketika saya memposisikan diri sebagai penonton film dan penonton teater.

Bagaimanapun kita harus mengakui keluwesan kamera dalam menampilkan ilusi. Meskipun bagi saya sedramatis apapun ilusi yang ditampilkan tetap tidak mampu menggantikan saat-saat ketika lampu panggung dipadamkan dan pertunjukan selesai, seberapapun buruknya pertunjukan itu. Dalam teaternya, Rashomon hanya bisa kita dinikmati dengan dua lapis cerita yang harus dipaksakan terjadi di panggung dan latar yang sama: cerita pendeta dan penebang kayu ketika berteduh di bawah kuil dan cerita Tajomaru lewat interaksinya dengan penonton. Sementara dalam filmnya, kisah ini berkembang dengan kerumitan tersendiri dan penambahan karakter-karakter tokoh dengan sisi-sisi psikologis yang lebih kompleks.

Dalam teater kita mendengar bagaimana para tokoh bercerita tentang mayat yang dilihatnya. Sementara dalam filmnya, cerita para tokoh tersebut divisualkan lewat peradeganan. Teater sebenarnya bisa melakukan hal serupa, misalnya dalam pertunjukan Malam Jahanan yang terakhir saya tonton di Purna Budaya beberapa bulan lalu. Di balik latar dua rumah Mat Kontan dan Soleman, dalam sebuah adegan ditampilkan ingatan masa lalu Mat Kontan lewat video visual berwarna sepia samar. Usaha ini menjadi janggal ketika yang dinantikan dari adegan tersebut bukan seorang tokoh yang diam dengan ekpresi membayangkan masa lalu tetapi narasi melalui monolog tokoh. Itulah kenapa kadang saya tidak begitu menyukai eksperimentasi visual teater-teater kontemporer yang pada satu titik justru membuat teater kehilangan efek dramatisnya.  

Mari kita kembali pada Rashomon. Sebenarnya akan lebih menarik kalau dibahas dari tranformasi bentuk sastranya tapi akan terlalu panjang, seolah-olah saya pun berasumsi bahwa transformasi bentuk tersebut berjalan linear dari sastra, teater lalu film. Padahal tentu tidak begitu adanya. Ketika sampai pada bentuk teater dan filmnya, pesan ceritanya pun menjadi berbeda. Rashomon sebagai film mencoba untuk merekonstruksi sekian banyak cerita orang tentang satu kasus pembunuhan. Kalau film ini diandaikan menjadi sekumpulan kesaksian orang-orang dengan kebohongan-kebohongan yang beralasan, bagaimanakah penonton bisa menjangkau kebenaran cerita pembunuhan yang sebenarnya?

Di satu sisi film ini menjadi tidak jelas karena tidak mengungkap cerita sebenarnya tapi di sisi lain hal ini justru menjadi menarik. Si penebang kayu mengarang cerita karena tidak ingin terlibat lebih jauh. Kehidupannya yang miskin dan susah tidak ingin lebih susah hanya karena ia tidak sengaja melihat sebuah pembunuhan. Si penebang kayu bisa juga menjadi pencuri belati Massage dengan gagang penuh permata demi membuat ia dan keluarganya bertahan hidup. Setiap tokoh punya alasan untuk setiap versi cerita mereka yang sudah tentu juga rasional. Apakah memang demikian pesan yang ingin disampaikan Akira Kurosawa?

Saya tidak tahu kenapa Akira Kurosawa menjatuhkan bayi dari langit di akhir cerita. Saya sendiri lupa apakah bagian ini merupakan penambahan atau memang berasal dari cerpen Akutagawa. Kemunculan tangisan bayi yang tiba-tiba itu memang sedikit mengganggu. Hujan di kuil reda, penebang kayu membawa pulang bayi yang ditelantarkan itu. Apakah karena ada satu pembunuhan dalam film maka harus ada satu kelahiran pula? Apakah Akira Kurosawa berusaha menampilkan harapan? Semua bisa dimaknai apa saja oleh penonton. Adegan terakhir yang sedikit absurd ini menjadi sangat berbeda dalam versi teaternya. Ada sedikit perbedaan pula dari naskah yang saya temukan di google dengan pementasan yang saya lihat. Sangat disayangkan ketika di akhir pertunjukan penonton justru disuguhi pidato moral dari tokoh pendeta. Retorika Pak Pendeta itu membuat klimaks cerita menjadi tawar di ujungnya.

Pada akhirnya tulisan ini pun terjebak pada perbandingan tidak senonoh dan patahan-patahan kesan tidak jelas antara petunjukan yang saya tonton dengan filmnya Akira Kurosawa. Untuk ini saya mohon maaf. Kesetiaan pada naskah yang sudah besar terlebih dahulu sepertinya memang tetap menjadi pertimbangan utama apabila akan diadaptasi menjadi bentuk seni lain. Teater lebih dulu lahir sebelum film. Berapa banyak publik sinema yang telah meninggalkan teater, dan bagi saya efek dramatis dari dua bentuk seni itu tetap tidak dapat dipertukarkan. Meskipun tak banyak lagi teater yang memuaskan, sesekali saya merasa tetap ingin menonton. Di antara sekian banyak tumpukan file film yang tersimpan dan bisa ditonton kapan saja, teater bagi saya tetap punya rasa. Cukup sepuluh ribu untuk menyaksikan teater mahasiswa di Jogja, pikir-pikir lima ratus kali lagi kalau mau nonton Teater Gandrik beberapa hari lagi. Buat penonton yang bayar lima puluh ribu silakan duduk di belakang saja ya, yang bayar dua ratus ribu paling depan. Oh! (tepuk jidat).

Kamar Kost, 13 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar