Saya mengenal Kim Ki Duk dari Arirang (2011).
Wah, ini kok ada sutradara nggatheli dari Korea
Selatan. Arirang adalah semacam dokumenter atas kontemplasi
dan ungkapan perasaan—bahkan dengan cucuran airmata—yang
dibuatnya sendiri selama menyepi setelah salah satu artis filmnya
bunuh diri. Film itu membuat saya tertarik untuk menonton film Kim Ki
Duk yang lain. Memang tidak semua filmnya saya tonton, tapi dari
beberapa itu rasanya cukup memberi gambaran bahwa sutradara itu cukup
gila dalam mengambil posisi untuk estetika filmnya dengan konsekuensi
bahwa filmnya tidak akan ditonton banyak orang. Ia menentang kanon
film Korea Selatan lewat rangkaian gambar yang mempertontonkan
manusia-manusia terasing dan kesepian berperilaku aneh, manampakkan
sisi-sisi lain Korea yang selama ini selalu tersamar dengan kesan
gegap gempita industri budaya pop: musik, serial drama maupun filmnya
sendiri.
Kim Ki Duk memilih mengangkat sisi gelap manusia
ketimbang menambah pemanis dalam filmnya dengan fantasi atau kisah
cinta romantis. Maka jangan coba menonton film-filmnya kalau anda
mengharapkan hiburan pelepas penat setelah seharian bekerja, kecuali
bagi yang suka. Film-film Kim Ki Duk cenderung mengerikan, penuh
kekerasan bahkan mendapat kecaman dari para feminis-feminisan ketika
mereka terganggu melihat kerakter dan representasi perempuan yang
muncul dalam film. Kalau orang membaca sedikit biografinya, maka dia
akan tahu darimanakah bentuk film-film anehnya berasal. Caranya
memandang, mempertanyakan kehidupan dan pengalaman memiliki andil
besar dalam tema cerita film yang dipilihnya.
Karakter-karater dalam filmnya adalah orang-orang
terasing. Mereka hidup jauh dari sisi terang masyarakat Korea yang
sangat kelas menengah seperti sering kita bayangkan saat menonton
serial dramanya. Film-film Kim Ki Duk minim dialog. Karakter-karakter
diam yang diciptakan lebih menonjolkan ekspresi bahasa tubuh.
Beberapa menggambarkan betapa keterasingan dan kesepian mampu
mengubah manusia menjadi sinting dan berkelakukan aneh, jauh dari
yang biasa disebut sebagai manusia normal.
Apakah karakter-karakter itu adalah wajah lain sebagian
orang Korea yang selama ini tak tampak? Saya sendiri tidak tahu. Mari
kita mulai dengan The Isle (2000), kisah tentang perempuan tak
bernama yang hidup di sebuah danau dimana terdapat rumah-rumah kecil
yang mengapung sebagai tempat pemancingan. Para pemancing tinggal di
rumah-rumah itu sementara perempuan tak bernama datang berkeliling
dengan perahunya, menjual cacing sebagai umpan, kopi, bahkan tubuhnya
sendiri untuk menyambung hidup.
Cinta dalam film ini jauh sekali dari kesan romantis.
Perempuan tak bernama dikisahkan tertarik dengan salah satu penghuni
rumah apung, laki-laki dengan bayangan masa lalu buruk: seorang
pembunuh yang lari dari kejaran polisi. Suasana terasing dan putus
asa yang dialami tokoh menumbuhkan dorongan bunuh diri sedemikian
kuat. Si Lelaki menelan mata pancing dan Si Perempuan menenggelamkan
mata pancing itu ke dalam kemaluannya sendiri. Kim Ki Duk memang
tampak sengaja ingin mengganggu pikiran dan emosi para penontonnya.
Adegan mata pancing itu mengerikan.
The Bow (2005) adalah kisah cinta aneh
selanjutnya. Kali ini tentang kakek tua dan gadis innocent
yang ditemukannya sejak umur enam tahun. Si Kakek merawat gadis itu
dan menunggu untuk bisa menikahinya sampai umurnya cukup. Mereka
tinggal di sebuah kapal di tengah laut, hidup dengan mengangkut para
pemancing dari kota ke kapalnya. Lagi-lagi ekspresi dan bahasa
tubuhlah yang ditonjolkan dalam film ini. Hubungan antara Si Kakek
dan gadis kecil, juga antara gadis kecil dengan laki-laki muda yang
tiba-tiba datang ke kapal mereka. Si Kakek hampir bunuh diri ketika
melihat Sang Gadis memilih pergi. Lalu gadis itu kembali, mau menikah
dengan kakek di atas sebuah perahu. Adegan percintaan menjadi
surealis di sini. Setelah menikah, Si Kakek menceburkan diri ke laut
dan gadis itu masturbasi, sendirian di atas perahu.
Diam pun adalah bahasa. Mereka yang diam dari awal
hingga akhir cerita, demikianlah tokoh-tokoh yang tidak revolusioner
tersesat dalam labirin-labirin kisah sunyi Kim Ki Duk. Bahasa diam
dalam The Bow tentu tidak selamanya harus diterjemahkan
sebagai melankoli. Senyum gadis innocent itu manis sekali
meskipun tak selamanya juga senyum bisa diterjemahkan sebagai
ungkapan kebahagiaan. Hanya dengan melihat dan menjadikannya sebagai
pengalaman menonton, orang akan paham maksud dari setiap bahasa tubuh
para tokoh.
Gadis dalam The Bow diperankan oleh aktris yang
sama yang juga berperan dalam film Kim Ki Duk berjudul Samaritan
Girl. Ia juga memukau dengan bahasa senyumnya. Seperti
mengguratkan tanda bahwa para penonton tidak akan cepat lupa dengan
ekspresi tanpa dosa itu. Alih-alih menggunakan artis ganteng dan
cantik khas muka plastik Korea, Kim Ki Duk memperkenalkan aktor-aktor
yang tidak begitu terkenal. Walaupun begitu, aktor yang dipilih
selalu mampu mengeluarkan kekuatan karakter dari tokoh cerita. Wajah
mengerikan perempuan dalam The Isle atau wajah sendu perempuan
dalam Amen boleh jadi bisa menjadi signature bagi para
aktris itu. Orang akan mengenal mereka sebagai karakter di film Kim
Ki Duk meski selanjutnya mereka bisa main dalam film siapa saja. Tapi
katanya, film Kim Ki Duk itu tidak laku di negaranya sendiri.
Tidak ada ungkapan “aku mencintaimu” dalam film Kim
Ki Duk, kata dari lidah yang banyak tidak dimaksudkan sebagaimana
dikatakan. Retorika Kim Ki Duk adalah tubuh, bahasa yang lebih jujur.
Orang bicara dengan senyum, dengan ekspresi, gestur, dan penonton
tetap bisa paham apa yang dirasakan para tokoh. Sebagian besar emosi
tokoh yang muncul bukan kemurahan dan kebaikan hati tetapi kemarahan,
hasrat untuk menyakiti diri sendiri, gairah menghancurkan, membunuh
orang dan segala kejahatan yang selama ini ditekan kuat-kuat dalam
diri manusia. Lewat tokoh-tokoh anehnya, Kim Ki Duk menggambarkan
tingkat absurditas manusia dalam keterasingan mereka, memberikan
makna terhadap gambaran hidup yang tak bermakna itu.
Mari kita kembali pada kisah cinta yang aneh-aneh
bentuknya. Film 3-Iron (2004) mengisahkan seorang laki-laki
seperti hantu, memasuki rumah orang tanpa diketahui, menjadi
penghuninya satu atau dua malam, mengembalikan semua barang seperti
semula lalu pergi untuk mencari rumah kosong selanjutnya. Awalnya
saya menonton potongan-potongan film ini dari sebuah video musik
boyband pop Korea berjudul Tik Tok. Setelah menonton film
utuhnya, ungkapan cinta dalam diam itupun semakin jelas. Kali ini
memang ada ungkapan saranghaeyo yang berati juga aku
mencintaimu. Seorang perempuan menyatakannya untuk lelaki yang
berdiri di belakang suaminya. Sebuah adegan yang merujuk pada arketip
lama yang sudah banyak bertebaran dimana-mana: seorang perempuan
berpelukan dengan seorang laki-laki sambil mencium laki-laki lain di
belakang orang yang dipeluknya. Laki-laki penyusup dalam film ini
adalah gambaran paradok keberadaan dan ketiadaan, bahwa menjadi tidak
terlihat barangkali lebih baik daripada manusia-manusia dengan
keberadaannya yang serba menyedihkan.
Dalam Spring, Summer, Fall, Winter, and... Spring
(2003), dikisahkan sebuah kuil sunyi di tengah danau dikurung
pegunungan. Film ini mempertemukan kemuliaan hati Sang Guru dan
kejahatan Si Murid. Ketika kecil, Si Murid suka menyiksa binatang.
Beranjak dewasa, ia bercinta dengan gadis yang sedang sakit dan ingin
menyembuhkan diri di kuil itu. Penyakit Si Gadis langsung sembuh
setelah bercinta. Si Murid meninggalkan kuil untuk menikahi gadis itu
dan kembali setelah membunuhnya karena dikhianati. Ada kemarahan dari
Si Murid yang meledak dan wajah datar tanpa emosi dari Sang Guru
dalam sebuah adegan di film ini. Kalau cintanya kepada Si Gadis
dianggap dosa, maka Si Murid berharap bisa menebusnya dengan bunuh
diri (Bukan khilafah solusinya, tapi Bunuh diri solusinya! Halah).
Film ini seperti mengajak menikmati kontras pemandangan indah dan
anak kecil yang menyiksa binatang. Kim Ki Duk tampak berhasil
menjadikan gambar sebagai pertemuan dua titik sublim dari kejahatan
manusia dan sense lirisisme yang ditekankan oleh alam. Di akhir
cerita, Sang Guru membakar dirinya sendiri di atas perahu.
Beberapa filmnya tak jauh dari perempuan dan prostitusi.
Dua yang saya tonton adalah Birdcage Inn (1998) dan Samaritan
Girl (2004). Film yang terakhir disebut sempat mendapat
penghargaan dari Berlin Film Festival pada tahun 2004. Banyak kritik
dari para feminis ketika Kim Ki Duk merepresentasikan perempuan
sedemikian rupa. Dalam Samaritan Girl, siapa yang bisa
membayangkan ada pelajar memilih menjadi pelacur untuk mengumpulkan
uang bekal perjalanan ke Eropa. Keinginan itu berangkat dari legenda
Vasumitra, perempuan yang bisa mengangkat laki-laki menjadi Budha
setelah bercinta. Jauh dari kesan seorang pelacur yang menderita, Si
Gadis justru dengan senyum mengembang melayani setiap laki-laki,
sampai akhirnya ia mati.
Demikian juga dalam Birdcage Inn, masih tentang
pelacur dalam keterasingannya, perempuan yang tidak diterima di
masyarakat, juga keluarga yang menampungnya. Birdcage Inn
memang sedikit berakhir lebih baik—dibanding kalau kita
kembali—perempuan tak bernama dalam The Isle yang lebih
mengerikan nasibnya. Sosok perempuan tak bernama dalam The Isle
seperti menanggung akar sejarah panjang objektifikasi tubuh
perempuan. Bahasa diam perempuan itu mengatakan dengan jelas mulai
dari cinta, marah sampai semua penderitaannya. Di akhir film,
perempuan itu mengambang di atas perahu dengan tubuh telanjang.
Sebaik apapun nasib seorang pelacur, itu tetap buruk. Para feminis
boleh saja marah, tapi darimanakah jejak adegan itu berasal? Siapa
yang mau mereka kritik selanjutnya? Dan barangkali Kim Ki Duk pun
merasa bersalah sudah menyiksa binatang dan memperlakukan perempuan
begitu rupa untuk filmnya. Siapa saja bisa salah, bahkan penonton,
apalagi saya yang ngomong tidak ada aturannya begini.
Kim Ki Duk tentu tidak menciptakan tokoh-tokoh
perempuannya dari ruang kosong. Ia menyentuh banyak hal yang tak
berani disentuh orang. Perempuan yang menguliti seekor katak memang
tampak lebih kejam ketika sudah berada dalam film. Padahal, hal
semacam itu bisa saja sering terjadi di sekitar kita. Ada banyak sisi
dari perempuan-perempuan menyedihkan itu yang ingin diungkap, lebih
kepada merangsang sense penonton terhadap sesuatu yang asing
ketimbang menjejali banyak orang dengan budaya Korea yang selama ini
selalu dikesankan penuh sopan santun dan segudang ajaran moral.
Sedikit berbeda dari dua film tadi, Amen (2011)
menceritakan perjalanan sorang perempuan berkeliling Eropa mencari
kekasihnya yang hilang. Perempuan itu sedang hamil pula. Hampir tak
ada dialog juga dalam film ini. Kecuali ketika perempuan itu mengetuk
pintu dan menanyakan keberadaan laki-laki yang dicarinya di sembarang
rumah yang ia temui. Perjalananya menjadi misterius ketika
barang-barangnya dicuri dan dikembalikan satu demi satu oleh
seseorang berbaju tentara dan menggunakan masker.
Film ini bagi sebagian besar orang mungkin akan terasa
sangat membosankan. Tapi ya begitulah film, tidak harus melulu dengan
cerita canggih. Film ini terkesan datar dan tentu sulit diputar di
luar festival. Lewat pria misterius bermasker, mata penonton dipaksa
mengikuti mata kamera, gambar yang bergoyang ketika kamera dibawa
berlari, melihat patung-patung sedih di pekuburan dan suasana sendu
gereja katedral, juga latar kota-kota di Eropa, kereta dan bangku
taman.
Cinta di film ini adalah perjuangan Sang Gadis menemukan
pria yang dicintainya. Gadis itu berteriak di atas gunung, menelepon
hanya untuk mendengarkan suara tut yang berulang, menangis
keras-keras, menari balet di kerumunan untuk makan ketika barangnya
dicuri. Sementara filmnya sendiri menjadi suatu transformasi. Kita
tahu kualitas gambar seperti itu pasti dibuat dengan bugdet rendah,
bahkan bisa dikerjakan oleh satu orang yang merangkap menjadi
sutradara, kameramen sekaligus editor film. Tetapi dengan film-film
dan gambar sederhana, ada transformasi yang terlihat jelas. Kadang
film tidak memerlukan gambar yang indah melainkan gambar yang perlu.
Saya lupa ini kata-kata siapa, Bazin atau siapa. Satu gambar tidak
akan bercerita banyak tanpa dirangkai dengan gambar lain. Sedangkan
suara tidak digunakan untuk menekankan suasana tertentu melainkan
memperjelas transformasi itu. Maka, di sini film bisa dikembalikan
dalam fungsi transformatifnya, bukan fungsi reproduksinya yang
berasal dari bentuk seni lain seperti teater.
Film-film Kim Ki Duk mengingatkan kita bahwa diam
mengandung lebih banyak kata-kata, tentu apabila ini berkaitan soal
relasi antar manusia. Namun dengan diam itu pula, tokoh-tokohnya
tidak mampu memberontak akan nasibnya, semakin tenggelam dalam
kegelapan. Ada juga gurat warna berbeda di film lain, meski tetap
bercerita tentang orang-orang yang terpinggirkan dengan dunia kecil
mereka. Ada sesuatu yang menarik dalam Pieta (2012), sebuah
potret gelap Korea di tengah perkembangan industrinya saat ini.
Cerita dalam film ini asli menggambarkan manusia-manusia yang
tercerabut sampai ke jiwa oleh kejahatan kapitalisme (Halah, rasanya
kok nggak enak banget ya saya ngomong begini. Haha).
Settingnya adalah pabrik-pabrik penuh peralatan dari
besi-besi tua. Seorang laki-laki berkeliaran menjalankan bisnis
asuransi. Laki-laki itu memotongi tangan dan kaki orang-orang yang
ingin mendapatkan ganti rugi dari perusahaan asuransi atas klaim
kecelakaan kerja. Mesin-mesin tampak sangat berkuasa dalam film ini,
justru karena digambarkan dengan shot yang sederhana tanpa
efek grafis berlebih. Kamera menjelajah sebuah wilayah penuh
pabrik-pabrik tua lalu semakin mendekat pada mesin-mesin yang
bersuara seperti detak jantung kita sendiri.
Betapa menyedihkan bahwa mesin-mesin itu justru
dikendalikan oleh manusia sebagaimana manusia mengendalikan hidupnya
atau justru dikendalikan hidupnya oleh mesin-mesin itu. Saya jadi
teringat sebuah film karya Elio Petri berjudul The Working Class
Goes to Heaven (1971). Film itu dari awal sampai akhir berisi
dialog-dialog dengan tone tinggi. Berkisah tentang seorang
workaholic yang kemudian terpotong jarinya dan memimpin protes
melawan perusahaan tempatnya bekerja. Mesin-mesin itu membuat sang tokoh cerita hampir
menjadi gila, memberikan ilustrasi betapa
ritme kerja mesin yang teratur dan berulang itu mempengruhi otak dan
jiwanya.
Kembali Kim Ki Duk mengaduk kekejaman dengan drama
paling menyentuh dalam Pieta. Setelah memainkan sebuah lagu
yang indah dengan gitarnya, seorang laki-laki rela memotong tangan
untuk biaya kelahiran anaknya. Inti ceritanya terletak pada dendam
seorang perempuan atas kematian anaknya yang menjadi korban laki-laki
pemotong tangan. Perempuan itu menyamar sebagai ibu bagi pembunuh
anaknya sendiri. Ia muncul menjadi ibu yang telah menelantarkan
anaknya. Laki-laki pemotong tangan menjelma kanak-kanak kembali,
meringkuk dalam kehangatan selimut ibunya dan tak ingin
kehilangannya.
Film ini juga diakhiri dengan bunuh diri. Sang Ibu
memilih melompat dari sebuah gedung agar laki-laki yang membunuh
anaknya tahu rasa kehilangan seperti apa yang akan dibawanya seumur
hidup. Adegan terakhir dalam film memperlihatkan gambar ketika Sang
Ibu memeluk mayat anaknya dan Si Pemotong Tangan berada di
sampingnya. Sebuah gambar penutup yang indah yang dipinjam dari
Pieta, Perawan Maria yang memeluk anaknya. Pada akhirnya, kesan atas
film ini menjadi berubah. Kim Ki Duk seperti tidak ingin bercerita
tentang pembalasan dendam, tetapi sosok ibu dengan dua anak. Cinta
yang lain lagi bentuknya.
Gaya shot yang sedikit mirip dengan Pieta
dapat ditemukan dalam The Coast Guard (2002). Film ini banyak
mengingatkan pada konteks politik Korea setelah sekian lama berseteru
dengan saudara sedarah sampai sebuah negara bisa terbagi. Pasca
perang dengan Korea Utara, para tentara di perbatasan adalah gambaran
orang-orang yang terasing. Film ini bercerita tentang seorang tentara
penjaga pantai yang sangat terobsesi untuk membela negaranya. Tentara
itu kemudian menembak penduduk sipil yang sedang bercinta di atas
pasir karena dianggap mata-mata. Perempuan yang kehilangan kekasihnya
itu menjadi gila, yang menembak pun akhirnya ikut menjadi gila. Kisah
ini tragis. Tentara gila berkeliaran di tengah kota, menjadi lelucon
dan menusukkan bayonetnya ke perut salah satu orang yang tertawa dan
mengerumuninya. Betapa asyiknya Kim Ki Duk bercerita soal cinta tanah
air dalam film ini.
Tulisan ini akan ditutup dengan Real Fiction
(2000), sebuah film yang sangat kentara dibuat dengan budget rendah.
Mengambil setting di sebuah taman, seorang pelukis potret membunuh
satu demi satu orang-orang yang sangat dibencinya. Banyak sudut
pandang dalam film ini. Dari kamera sutradara, juga gadis tak bernama
yang mengikuti Si Lelaki Pelukis dengan membawa kamera pula. Yang
fiksi dan yang nyata diramu menjadi satu sampai penonton tak bisa
membedakannya, juga sang tokoh sendiri. Kejutan datang di akhir
ketika terdengar suara teriakan, “cut,” lalu semua orang
yang berada di taman itu bertepuk tangan dan membubarkan diri.
Sutradara ini mayak sekali, membangunkan para penontonnya dan
seolah-olah berkata, “hello... anda hanya sedang sedang
menonton film, kenapa begitu pusing-pusing berpikir mana yang nyata
dan yang tidak.” Demikian keduanya semakin susah dibedakan dalam
masyarakat yang sakit seperti sekarang.
Subjek-subjek simptomatik pengidap neurosis, histeria
dan kegilaan bergentayangan dalam film-film Kim Ki Duk. Mereka
menghantui kita dengan kelambatan ritme, sosok-sosok kejam, teror
bunuh diri, dan adegan penyiksaan binatang. Suatu sisi dimana manusia
ingin menyiksa dan membunuh kebinatangannya sendiri. Kenapa
subjek-subjek seperti ini bisa muncul dalam film korea? Mereka pun
bisa muncul di mana saja atau barangkali kita sendiri. Ah, saya tidak
tahu jalan seperti apa yang telah dilalui Korea. Seperti apakah
sejarah filmnya ketika yang banyak sekali bisa ditemui hanya
film-film dari tahun 1990-an sampai sekarang. Dalam film-film itu ada
cinta, beraneka macam paradok, perang, konteks industrialisasi,
subjektifikasi perempuan sebagai pekerja murah dan pelacur, entah
apalagi.
Dalam film-film Kim Ki duk, kadang kita menjumpai
gambar-gambar kasar seperti gurat lukisan dalam gua, kadang kita juga
dipertemukan dengan shot-shot panjang dari keindahan alam.
Film-filmnya adalah visualisasi dari perasaan-perasaan orang-orang
pinggiran, termarginalkan, yang menggigil dan bergetar menahan
keinginan untuk menyakiti diri sendiri. Subjek-subjek yang terasing
mengenalkan kita pada fantasi lain, jauh dari cerita cinta romatis
kelas menengah, tambah terasing dari cinta sekolah rendah kalau kata
Chairil.
Subjek dalam film Kim Ki Duk adalah mereka yang diam dan
tak bisa berontak pada dunia besar yang menekan dan mencekik, tapi di
sisi lain mereka otonom dalam dunia kecilnya. Subjek-subjek diam itu
bebas untuk bunuh diri, sedikit berharap kalau mau, atau tetap pasrah
menjalani hidup yang asing itu. Sisi gelap jiwa manusia dihadirkan
menjadi bahasa sebagaimana konstruksi-konstuksi hubungan yang penuh
kepatuhan, bujuk rayu, dominasi dan pemberontakan. Kim Ki Duk sudah
menjajal batas sense kita terhadap visualisasi parade atas
kekerasan dan kekejaman. Daripada sekian bentuk kritik soal moral,
penonton yang baik tentu bisa memilih apakah akan tetap menonton atau
meninggalkan ruangan sebelum film selesai diputar. Gawatnya, sekarang
saya kehabisan kopi. Kim Ki Duk lagi asyik mancing sama temannya di
pinggir kali ditemani perempuan telanjang. Gawatnya lagi, kumis
temannya tanggal dan dimakan ikan. Sekian.
Kamar Kost, 23 Maret 2013
narasi yang cukup mendalam. sepertinya anda cukup mengenal film2 produksi kim ki duk. saya rasa, kim ki duk lebih mengutamakan realita dari pada fantasi (seperti pendapat anda). dan itu sangat bagus dan menyentuh jika bisa dilihat dari sisi yang lainnya.
BalasHapuskim ki duk mrupakan salah satu sutradara ksukaan saya. entah bagaimana cara berpikir dia tp smua film nya slalu trdpat makna yg trsirat mskipun di isi adegan tak waras. saya bnar2 dibuat kagum oleh beliau. saya mnyukai tipikal sutradara sperti ini, diantaranya takashi miike, junji ito dll. tdak sperti sutradara indo yang tolol n tdak tau bikin film yg cuma mngejar pndapatan lwat adegan2 munafik oleh artis munafik berjilbab indo.
BalasHapusWah admin istilah kata katanya benar2 bermutu .saya sedang menonton film the isle karena penasaraan akhirnya nyasar di sini 😁
BalasHapusTulisan yang sangat berkualitas. Keep writing, Mbak Ratna. :)
BalasHapusArtikelnya bagus (y)
BalasHapus