Kamis, 21 Februari 2013

Banyak Hal Tentang Murung dan Sedikit Wong Kar Wai

Sudah terlalu banyak mendung. Hujan datang tiap siang hingga malam. Cuaca begini bikin orang tambah senang bermalas-malasan. Pikiran nglangut, menulis sambil menepi dengan duduk berjongkok di depan pintu, memandang ke atas. Ada apakah bersembunyi di balik kelabu itu? Orang itu benar-benar terlalu jauh dan rumah ini tiba-tiba seperti bicara tentang banyak hal. Sepertinya saya akan lebih lama berdiam di kamar ini. Kalian bisa bayangkan, lebih dari separuh dekade saya bertapa di sini. Orang-orang berlalu lalang, datang dan pergi sementara saya tetap tinggal. Kadang saya bayangkan semua ini menjadi film yang dipercepat gambarnya, hingga hanya ada larik-larik sosok, langkah kaki, gelap terang yang bergantian dalam hitungan detik.  

Keberadaan yang semakin membusuk membuat saya mengingat sebab musabab segala hal di rumah kost ini. Orang-orang datang membawa cerita lalu pergi setelah menyelesaikan kuliahnya atau pindah. Silakan tanya saya kalau kalian melihat pemandangan-pemandangan ganjil di rumah ini. Jaring-jaring berwarna biru yang dipasang di atas meja makan bulat itupun ada sebabnya. Dulu, atap di atas meja menjadi rumah bagi kelelawar yang datang tiap malam dan membikin kotor meja tiap pagi. Lalu dipasanglah jaring-jaring itu agar kelelawar tak bisa menggelantungkan dirinya pada kayu-kayu penyangga genting.

Kalian juga boleh tanya kenapa ada lampu terpasang di tempat yang tidak penting seperti itu. Sebabnya masih tentang kelelawar. Lampu itu dipasang agar mereka tak datang, takut pada terang. Silakan tanya juga kenapa pohon belimbing yang dulu banyak buahnya itu dipangkas habis sama ibu kost, nenek lampir berambut putih. Atau kenapa bak mandi harus dihancurkan dan diganti dengan ember-ember. Boleh kalian tanya juga tentang kematian bapak pemilik kost sekitar lebih dari setahun lalu. Saya akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Semua yang ada di kost ini tiba-tba seperti ingin bercerita. Benda-benda kecil tanpa disadari menemani setiap kejadian dan peristiwa. Barangkali kalian heran kenapa saya betah tinggal dengan ibu kost cerewet dan konservatif, yang di tahun 2013 ini masih memberlakukan jam malam. Kalian bisa bertanya juga tentang penjaga kost, intrik dan perselingkuhannya. Tapi kali ini saya tak akan bercerita banyak tentang itu semua. Saya sedang sakit dibalut sebuah lagu yang sakit pula. Melancholic Bitch melantunkan Taman Bermain Waktu (Lagu Boikot untuk Para Pasifis), “Jangan terjaga. Tak ada apa-apa di luar sana. Jangan terjaga. Di luar sana hanya ada bahaya. Pejamkanlah mata.” Maka jangan pernah percaya dengan kata-kata orang yang sedang bosan dan tidak bertanggung jawab seperti saya, juga tulisan ini.

Kembali saya rela dikutuk karena tak pernah bercerita dengan benar, masih tentang diri sendiri, melulu murung. Seberapapun egoisnya, sebenarnya saya masih tetap memikirkan para pembaca. Setidaknya mereka tidak akan bunuh diri setelah menelan tulisan ini. Saya juga tidak sehebat itu dalam membangun kesedihan lewat kata-kata. Cerita-cerita buntu. Lalu sayapun akan kembali terkagum-kagum kalau ada orang yang bisa membuat cerita demikian menyenangkan, menggugah, kekiri-kirian, semua cerita yang memberi manfaat bagi seluruh manusia dan jagad raya. Sementara itu, jagad sastra juga sedang ramai dengan kasus plagiasi dan soal Andrea Hirata yang menuntut pengkritiknya ke pengadilan. Pejamkan mata.

Sepagi ini saya sibuk rebutan segelas kopi dengan sekawanan semut hitam. Kalian tahu, ini racikan kopi Bali terakhir yang saya punya. Semut-semut itu tak pernah mau peduli. Sambil menahan kesal, semut-semut itu saya usir dengan lembut. Para semut yang sudah mengapung dalam kopi saya ambil satu demi satu dengan jari. Sebagian mati. Sebagian lagi masih mampu berjalan terseok-seok dengan kaki-kaki basah. Segera kopi itu tandas. Kapan-kapan akan saya undang makhluk-makhluk Onet untuk berperang melawan kerajaan semut di kamar ini. Kalian tahu Onet? Itu permainan tidak penting yang hanya membutuhkan kejelian mata. Sudah sampai level lima saya memasangkan makhluk-makhluk Onet sesuai jenisnya dan mereka tampak bahagia. Kalau saja mereka saya undang, tentu dengan senang hati makhluk-makhluk itu akan datang.

Lalu kemarin pagi tepatnya, setelah semalam menonton film-film Wong Kar Wai, layar laptop saya bergerak-gerak aneh tiba-tiba. Kabur. Cahaya-cahaya kehijauan berbaris horizontal muncul memenuhi layar, naik dan turun dengan cepat. Saya mengira ini gara-gara film Wong Kar Wai yang visualnya aneh-aneh itu. Barangkali film-film itu tak mau pergi dan menempel di layar hingga pagi. Tapi bagaimana mungkin. Layar itu sudah pernah saya ganti sekali. Kalau sampai rusak lagi, saya tak akan bisa mengganti untuk menunggu kerusakan berikutnya. Barangkali memang karena Wong Kar Wai.


Film-film Wong Kar Wai memang berbeda dari film Hong Kong yang pernah saya tonton. Malam itu saya menghabiskan empat filmnya sekaligus: Chungking Express (1994), Fallen Angels (1995), Happy Together (1997), dan My Blueberry Nights (2007). Sisa tulisan ini akan bercerita tentang tiga film pertama saja karena yang terakhir sangat berbeda dari tiga lainnya. Dari film-film itu—meski saya belum menonton semua karya Wong Kar Wai—memang sudah tampak jelas kekhasan auteur-nya. Orang itu dengan indah menyeret kameranya, detail memotret benda-benda. Dia menuntun manusia-manusia dalam moment-moment lambat lalu menempatkan mereka di sebuah ruang dan peristiwa. Begitulah Wong Kar Wai memainkan cahaya kota, mempercepat dan memperlambat gambar, mengambil shot dari sudut-sudut tak terduga, lewat cermin, kepulan asap rokok, mengintip di celah kaca eskalator, entah apa lagi.

Keindahan gambar Wong Kar Wai memang mempesona. Saya tak tahu banyak soal perdebatan studi film sejak jaman dahulu kala itu. Tapi kalau saya mau meletakkan Wong Kar Wai, barangkali dia memang berseberangan dengan film-film neo-realisme yang saya tonton belakangan. Sungguh ini sangat subjektif. Tapi bagi saya, cara neo-realisme memperlakukan realitas terasa lebih pas. Estetika Wong Kar Wai itu mendistorsi, montase manipulatifnya serasa tidak memberi kesempatan kepada saya untuk menerjemahkan segala yang ada di balik keindahan gambar. Sekali lagi jangan percaya tulisan saya. Percayalah hanya pada tuhan. Setelah nonton film jangan lupa sembahyang.

Dengan cara berbeda, film-film Wong Kar Wai memang sangat menarik untuk dibahas. Sebut saja lewat kajian pop culture-pop culture-an itu. Kalian bisa melihat Hong Kong dalam film, sebuah kota kosmopolitan, sosok kota yang tak bisa lepas dari pengaruh China dan bekas jajahan Inggris. Di sanalah Hong Kong berada mencari dirinya, kota dan manusia-manusianya penghuninya. Dari tiga filmnya, tema-tema cinta, kesepian, kenangan dan harapan masa depan, tampak mendominasi. Karakter-karakternya adalah orang-orang yang terasing dari kotanya sendiri.

Wong Kar Wai memang ahli menghubungkan mood tokoh dengan atmosfir lingkungan sekitarnya, biasanya dilengkapi dengan musik. Ia lihai mempermainkan warna. Seorang perempuan duduk sendiri di bar sambil menghisap rokok dan gambar pun perlahan dihitam putihkan. Shot itu langsung berefek pada kesedihan dan murung yang menjalar pelan. 

Rangkaian gambar film seringkali menempatkan waktu dalam kenangan, ingatan dan kisah-kisah tokohnya, dan lebih jauh memperlihatkan perubahan Hong Kong itu sendiri. Sebuah kota yang keras lengkap dengan kriminalitas dan berbagai jenis penghuni; para imigran India di Chungking Express, misalnya. Film-film itu menggambarkan kesementaraan. “I do not know who these people are and I do not care, soon they will be history,” kata salah satu tokoh di Fallen Angels. Sebuah hubungan yang tak abadi, putus nyambung dalam kesementaraan, cerita unik itu akan kalian temukan dalam Happy Together. Para tokohnya berjuang untuk sesuatu yang lebih dari kesementaraan, mereka adalah tokoh-tokoh penuh kesedihan yang memperjuangkan sejarahnya sendiri.

Wong Kar Wai bercerita dengan gaya khas monolog para tokohnya. Kedalaman personal tokoh dapat tergali lewat cara ini. Mereka menarasikan kehidupan dan perasaan. Monolog mengalir bersama kamera yang bermain dengan shot, warna serta gerak cepat atau lambat. 

Kalian akan menjumpai musik-musik pengisi yang unik. Saya rasa ini tidak sekedar pelengkap melainkan ikut menghidupkan tokoh-tokoh dan peristiwa. Ada salah satu lagu The Cranberries dalam bahasa Kanton di salah satu filmnya. Gambar-gambar seperti menari bersama iringan musik-musik itu, mengiringi kesepian, masturbasi seorang perempuan, polisi yang mengejar penjahat di kerumunan. Kota menjadi metafor bagi keberadaan tokoh-tokoh dalam film itu. Di sanalah mereka hidup dan berjuang, kesepian di tengah kerumunan. Mari mainkan!  Melancholic Bitch: Noktah Pada Kerumunan.

Kamar Kost, Setelah Tengah Malam, 21 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar