Minggu, 17 Februari 2013

Tupim’s Diary


Tupim di Pameran Patah Hati


Kalian masih ingat dengan Tupim? Betul, si tupai pipi manis yang suka mengembara kemana-mana sesuka hatinya itu. Kali ini ia datang lagi. Wajahnya benar-benar kosong dan redup karena kesepian. Tupim datang lagi ke kamar saya membawa buntalan cerita pengembaraannya. Kebetulan sekali karena saya juga sedang kesepian. Orang itu terlalu jauh berada di benua seberang lautan. Kabarnya datang lewat kata-kata yang patah dan tak pernah tuntas, menjadi kabar yang tak mengabarkan apapun. Maka biar saya tulisakan saja cerita Tupim di malam Minggu menggalau ini.

Kemarin malam Tupim datang ke sebuah acara pameran patah hati, tepat di saat sebagian besar orang menerima coklat dan bunga mawar dari kekasihnya. Sebelumnya, Tupim dimintai bantuan sahabat dekatnya yang jauh di luar kota untuk mengantarkan sekotak coklat untuk kekasihnya, kepada orang yang perlu diajari bagaimana caranya romantis. Teman Tupim itu sesekali ingin sekali diromantisi oleh kekasihnya yang dingin beku. Setelah tugas mengantar coklat selesai, hujan-hujan Tupim datang ke pembukaan pameran itu. Ia mengajak teman dekatnya bernama Tupilur si tupai pipi telur untuk menemaninya.

Betapa Tupim tak habis pikir bagaimana orang-orang itu memajang benda-benda peninggalan mantan kekasih, entah tanpa atau dengan sisa luka. Tupim dan Tupilur duduk di pojokan berdua sambil menguping pembicaraan hangat antar sepasing kekasih entah sahabat di depan mereka. Lagu-lagu Jalan Pulang menambah kesedihan, mengantarkan pikiran-pikiran masa lalu yang bangkit dari kubur tiba-tiba. Tak sampai selesai, Tupim dan Tupilur memutuskan untuk pulang ketika salah satu kelompok musik pengisi acara mulai menabur kembang dan menyulut kemenyan untuk mendukung penampilan. Di tengah hujan, dingin dan angin, dua tupai kecil itu menyanyikan kembali lagu Jalan Pulang dengan suara sangat keras, tanpa nada. Ya, Tupilur memang tidak bisa menyanyi dengan baik. Lepas.

Cerita Tupim tentang perayaan luka diselesaikannya. Ia tak ingin melanjutkan pengembaraan luka dan patah hati meski pameran itu masih menggelar acara diskusi membahas sejarah patah hati dan acara penutupannya malam ini. Tupim tak ingin datang lagi.

Tupim di Sebuah Mall

Pengembaraan Tupim kembali berhenti pada sebuah mall. Di sana sedang digelar diskon buku-buku. Tak ada yang menarik bagi Tupim. Pameran itu banyak menjajakan novel-novel John Grisham dengan diskon sampai empat puluh persen. Yang menarik bagi Tupim adalah pemandangan-pemandangan ganjil, sesuatu yang bagi banyak orang mungkin tak dipedulikan. Di tangga masuk mall itu, seorang gadis duduk di tangga sambil menulis dengan kertas dan pena. Gadis itu sudah menuliskan dua paragraf pada halaman pertama. Tupim ingin sekali mengintip apa yang sedang dituliskan gadis itu. Tapi ia keburu berdiri, meninggalkan mall bersama kertas dan penanya.

Tupim masuk ke mall itu, betapa ramai orang-orang dengan segala bentuk. Ia bertemu seorang nyonya dengan dua anak dan dua pengasuh perempuannya. Si pengasuh yang menggendong bayi itu memiliki tato bergambar mirip jangkar kapal di punggung tangannya. Barangkali saja itu tato sementara, tapi siapa yang tahu. Tupim tak membeli apapun kecuali memandangi orang-orang berlalu lalang di sekitarnya. Di tengah pameran buku, dilihatnya seorang kakek tua dengan kopyah putih. Kopyah itu dipakai sedikit kebelakang. Dahinya yang mengkilap dibiarkannya terbuka. Kakek berkopyah putih itu sedang membaca halaman belakang buku tentang sejarah kotanya. Barangkali ia hanya tukang becak yang mampir baca, kakek itu pun tidak membeli buku yang sudah beberapa lama diamat-amati dan dibacanya hati-hati.

Di mall itu juga, Tupim membuntuti seorang nenek yang menggendong tas plastik berwarna merah muda. Tupim tidak tahu apa isi tas plastik itu. Dari luar tampak seperti handuk bertumpuk-tumpuk yang diikat dengan tali. Sang nenek hanya mengenakan sandal jepit, rok di bawah lutut berwarna hitam dan kaos lusuh kecoklatan. Sebagian rambutnya memutih dan digelung di belakang kepala. Seorang satpam dengan pentungan dan seragam tampak juga membuntuti nenek itu. Mungkin hanya kebetulan saja Pak Satpam berjalan di belakangnya. Nenek itu hanya berkeliling di lantai pertama, lalu keluar menyeberang jalan menembus hujan.

Tupim ingin segera meninggalkan mall itu. Sambil menunggu hujan sedikit reda, akhirnya ia memesan es krim dan melihat hujan dari balik jendela. Es krim dengan selai strowberi itu tak membuat hatinya lega. Sedikit demi sedikit ia menyendoki es krim tanpa merasakan campuran rasa manis dan kecutnya.

Petualangan Mencari Perpustakaan

Cerita Tupim lalu beralih ke petualangannya di awal minggu ini. Ia mengajak Tupilur (tupai pipi telur) dan Tupila (tupai pipi bola) untuk mencari sebuah perpustakaan yang tersembunyi di desa terpencil. Rumah Tupilur sebenarnya sangat dekat dengan perpustakaan itu. Tapi ia tak pernah mendengar keberadaannya. Alamat dalam website yang menceritakan sedikit tentang perpustakaan itu juga tidak begitu jelas menunjukkan letaknya. Tupim benar-benar penasaran. Konon katanya perpustakaan itu milik Hersri Setiawan. Tupila dan Tupilur hanya dengan samar pernah mendengar nama itu dan tidak juga tahu lebih banyak.

Petualangan tiga tupai itu dimulai di sebuah siang yang panas. Alamat dari website menyebutkan bahwa perpustakaan itu terletak di Desa Lendah. Padahal Tupilur yang penduduk setempat hanya tahu bahwa Lendah adalah nama sebuah kecamatan. Maka berangkatlah mereka menuju kantor kecamatan Lendah. Setibanya di sana, Tupim baru sadar kalau bangunan kantor kecamatan itu sama persis dengan bangunan di daerahnya. Sebuah ruang berbentuk pendopo tanpa dinding berada di tengah dan ruang-ruang kantor yang telah terbagi berdasarkan tugas dan fungsinya itu di bangun separuh keliling pendopo. Di halaman depan sebelah kanan juga terdapat pohon, sangat mirip dengan kantor kecamatan di daerah Tupim. Jangan-jangan memang ada standar pembuatan bangunan kantor kecamatan untuk semua daerah di negeri ini. Luar biasa Orba.

Mereka kemudian bertanya kepada seorang petugas perempuan yang kebetulan hendak keluar ruangan. Petugas itu menjelaskan bahwa selain kecamatan Lendah, ternyata ada juga dusun bernama Lendah. Ia lalu  menunjukkan arah yang langsung dimengerti oleh Tupilur. Berangkatlah mereka ke rumah Pak Dukuh Lendah untuk bertanya dimana letak perpustakaan itu. Pak Dukuh Dusun Lendah ternyata berprofesi sebagai pengepul barang-barang bekas. Setelah bertanya kepada istrinya yang sedang memilah barang bekas di halaman, tiga tupai itu kembali melanjutkan pencarian mereka.

Tibalah akhirnya mereka di sebuah bangunan yang tersembunyi di antara pohon bambu dan rumah penduduk di sekitarnya. Bangunan itu terbuat dari batu bata yang bagian depannya di cat warna warni. Sama sekali tidak tampak bahwa tempat itu menyimpan buku-buku. Perpustakaan terkunci rapat. Tupim, Tupilur dan Tupila hanya bertemu seorang ibu-ibu penduduk sekitar yang duduk di bangku depan bangunan itu dengan dua orang anak perempuan yang menggelayut di kakinya.

Perempuan itu menjelaskan bahwa perpustakaan itu tidak buka setiap hari. Petugasnya sibuk mengajar dan sebagainya. Tetapi biasanya kunci perpustakaan dititipkan kepada seseorang yang tinggal tidak jauh. Perempuan baik hati itu kemudian meminjam sepeda dan memanggilkan mbak-mbak pembawa kunci. Tupim dan temannya pun menunggu. Mereka narsis berfoto-foto di depan dinding yang di cat meriah, suasana anak-anak yang sedang bermain dan belajar di bawah pohon. Di sebelahnya terdapat gambar gedung-gedung tinggi berwarna kelabu.

Tupim dan teman-temannya masih saja bergaya di depan dinding. Sementara mereka tak pernah berpikir bagaimana di abad ke-16, Jose Arcadio Buendia terlongong-longong dengan penemuan yang dibawa oleh Melquiades. Tiba-tiba saja penemuan itu mengingatkannya pada kematian. Bagaimana mungkin manusia yang semakin renta dan akhirnya mati bisa diabadikan gambarnya lewat sebuah plat foto. Sedang istrinya memilih untuk tidak difoto karena tak ingin gambarnya menjadi bahan tertawaan anak cucunya kelak. Jose Arcadio Buendia di kemudian hari, ketika masa sintingannya tiba, pernah menggugat seorang pastor untuk membuktikan keberadaan tuhan dengan menunjukkan fotonya. Memang tak ada hubungannya, kebiasaan tupai muda macam Tupim dengan nukilan cerita Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez itu.

Mbak-mbak pembawa kunci akhirnya tiba. Para tupai menjelaskan maksud kedatangannya dan mbak-mbak itu kemudian menelepon seseorang yang seharusnya memberinya mandat untuk membukakan pintu. Tanpa mandat, mbak-mbak pembawa kunci tidak berani membukakan pintu untuk para tupai. Suara perempuan tersambung dari telepon genggam yang di loudspeaker. Perempuan itu menjelaskan bahwa ia hanya berada di perpustakaan pada hari Sabtu. Para tupai boleh meminjam buku dengan menyerahkan daftar judul yang kemudian akan dicarikan oleh petugas berwenang. Dengan maksud hanya melihat-lihat, akhirnya perempuan itu memberi mandat kepada pembawa kunci untuk mempersilakan para tupai masuk.

Konon katanya izin untuk menjadikan perpustakaan itu sebagai bagian dari perpustakaan daerah Kulonprogo terkesan dipersulit. Keberadaanya sekarang menjadi perpustakaan ilegal. Padahal, kegiatan di perpustakaan sudah banyak, khususnya untuk anak-anak usia es de. Mereka memiliki kelompok teater, kelompok belajar membuat komik, dan sebagainya.

Pertama menginjakkan kaki di ruang perpustakaan itu, suasana sangat lembab. Cukup lembab untuk membuat buku-buku di dalamnya hancur. Lantai dipenuhi debu tebal, tupai-tupai merasakan di telapak kakinya kotoran serangga pemakan kayu yang berceceran. Hanya ada empat rak yang dipajang, masing-masing berisi novel-novel remaja populer, buku-buku anak, buku motivasi dan sangat sedikit bisa ditemukan buku yang berat-berat isinya. Tupim menemukan salah satu karya Pram berjudul Hoakiau di Indonesia, sebuah karya menarik tentang keturunan Cina di zaman kolonial, lengkap dengan angka-angka dan potongan berita koran. Selain itu, tak ada buku menarik yang berhasil ditemukan Tupim.

Kata mbak-mbak pembawa kunci, buku-buku referensi sebagian besar di kunci di sebuah ruangan. Pintu ruangan itu awalnya susah sekali dibuka. Di dalamnya terdapat kardus bertumpuk-tumpuk. Kardus-kardus berdebu yang membangkitkan rasa ingin tahu, buku-buku apa kiranya yang mati suri di dalamnya. Kalian tentu pernah mendengar cerita tentang buku-buku yang hidup di malam hari. Mereka saling memamerkan diri siapa yang paling banyak dibaca orang. Ah, cerita itu tidak penting. Kalau katanya buku-buku itu adalah koleksi pribadi Hersri Setiawan, siapa bisa menyangka di dalamnya terdapat buku-buku berbahasa Rusia, barangkali juga karya-karya Dostoevsky yang belum diterjemahkan.

Sekali lagi mbak-mbak yang dititipi kunci itu meminta maaf kepada Tupim dan teman-temannya karena tak bisa berbuat banyak. Katalog yang sebenarnya ada pun ia tidak tahu disimpan di mana. Ia juga meminta maaf karena Tupim dan teman-temannya melihat-lihat koleksi buku dalam keadaan ruangan yang gelap. Lampu baru saja diganti tetapi sudah rusak lagi. Jendela di ruangan itu juga rusak dan tak bisa dibuka. Rasanya Tupim ingin menangis. Sebelumnya ia pernah ke Perpustakaan Sri Gunting dan mendapati Marquez yang dimakan rayap bagian pojoknya. Betapa sayang. Tupim akhirnya berpamitan dan meminta nomor kontak si penjaga perpustakaan, kalau-kalau saja suatu kali akan kembali ke sana lagi.

Tupim di antara Orang-Orang yang Ngomongin Kebudajaan

Si Tupim nyasar lagi. Ia meninggalkan Tupilur dan Tupila yang tak mau ikut. Ia pun sendirian mengembara. Kali ini sampailah Tupim di sebuah acara jelajah pemikiran Dr. Sjafri Sairin dan Dr. Faruk. Tupim berharap di acara itu akan ada sebuah debat akademis yang seru, mirip seperti obrolan kakak-kakaknya teman sebelah yang pernah disaksikannya sambil terbengong karena tidak mengerti. Sendirian Tupim menaiki gedung Pusat Studi Kebudayaan sampai ke lantai tiga. Ia disambut oleh dua orang perempuan yang memintanya mengisi daftar hadir, memberinya sebotol kecil air mineral dan meminta mengganti uang cetak makalah sebesar lima ribu rupiah.

Tupim masuk ruangan kecil dan sumpek yang sudah penuh dengan orang-orang. Sebagian besar bapak-bapak dan ibu-ibu. Barangkali calon doktor semua. Nugraha Trisnu Brata diminta untuk membedah pemikiran Pak Sjafri sementara Sudibyo diminta membedah pemikiran Om Faruk. Tupim terkejut karena ternyata acara itu juga menjadi perayaan ulang tahun Om Faruk. Sebelum acara dimulai, seorang perempuan masuk ruangan dengan membawa kue dan lilin di atasnya. Orang-orang yang hadir diminta untuk menyanyi dan lilin pun ditiup. Tupim hanya mnghela nafas kecil. Tak ada yang mendengar gerutuannya.

Acara itu berlangsung jauh dari harapan Tupim. Para pembicara dan peserta terkesan hanya ngobrol. Para pembicara itu kebetulan calon doktor dengan promotor orang-orang yang sedang mereka bicarakan. Entah kenapa yang diungkapkan terasa baik-baik semua. Hampir tak ada kritik. Tanggapan dari peserta juga tidak ada yang menarik. Tupim meneguk air dari botol kecilnya. Ia sendiri tidak mengerti apa-apa tentang kebudayaan. Namanya juga kesasar.

Pembicara pertama mulai membicarakan definisi kebudayaan menurut para ahli lalu mengungkapkan pemikiran-pemikiran orang yang sering dipinjam Pak Sjafri ketika mengajar di kelas. Beberapa yang dikutip adalah pendapat James Spradley. Kemudian dibicarakan juga sifat kebudayaan yang berubah, dimana sering hanya struktur permukaannya saja yang berubah sedangkan deep structure-nya tetap sulit berubah. Pak Sjafri katanya juga sering mengelaborasi fenomena liminality yang merujuk pada pemikiran Viktor Turner. Begitulah ia menjelaskan masyarakat galau yang tidak punya rujukan budaya yang jelas, sangat mudah dipengaruhi dan diprovokasi.

Pak Sjafri sering meminjam istilah mentalitas “nrabas” dari Koentjaraningrat. Istilah itu dipakai untuk menyebut orang-orang yang menggunakan jalan pintas, ingin memperoleh hasil banyak tanpa mau bekerja keras. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang relasi personal. Apabila berbicara tentang epistemologi antropologi maka kata pembicara itu, Pak Sjafri termasuk seorang antropolog-fenomenologis.

Selanjutnya, pembicara kedua akan menjelajahi pemikiran Om Faruk. Karena begitu banyaknya, maka ia hanya membahas pemikiran yang tertuang dalam sebuah buku berjudul Women Womini Lupus. Benang merah dari pemikirannya adalah bahwa Om Faruk selalu melihat yang tersirat di balik yang tersurat. Selain membahas gender, Om Faruk juga mengkritik para esensialis dengan penjelasan bahwa budaya itu hasil hibridasi, pertemuan berbagai pusat kebudayaan. Kata pembicara itu, Om faruk dimasukannya sebagai pemikir postruktural.

Tupim sudah bilang bahwa apa yang diungkapkan para penanya tidak ada yang menarik. Para pemikir yang pikirannya sudah dijelajahi lalu diberi kesempatan untuk mengklarifikasi. Om Faruk bilang kalau ram otaknya terbatas sehingga apa yang sudah dia tulis itu banyak yang sudah lupa. Sedari tadi Om Faruk tak berhenti merokok di belakang dengan gayanya yang bagi Tupim terkesan sok itu.  

Sementara itu, Pak Sjafri mencoba untuk menambahkan apa yang belum diungkapkan oleh pembicara. Studi Pak Sjafri tentang buruh membawanya untuk meregister istilah “masyarakat tegel”—e dibaca seperti pada kata terang—dalam ranah akademis. Kata tegel sendiri berasal dari Bahasa Jawa yang mungkin belum ditemukan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Pak Sjafri sempat menyebut istilah padanannya dalam bahasa Inggris tetapi Tupim tidak begitu jelas mendengarnya. Tegel berbeda dengan tega. Tega bisa jadi masih memiliki nilai positif tergantung pada penggunaannya, sementara tegel itu mentolo, kok sampai hati. Ia lalu menceritakan kisah Marsinah yang ditusuk kemaluannya itu.

Ketika membicarakan sistem simbol, Geertz menggunakan istilah “model of” dan “model for”. Tupim tidak berani membahasnya lebih lanjut karena ia kurang begitu paham. Pak Sjafri ingin menambahkan satu model yaitu expected model, model seperti apakah yang sebenarnya diharapakan. Sayang sekali tidak ada orang yang menanggapi pemikiran tersebut, seperti halnya register istilah “masyarakat tegel” tadi. Pemikirannya hanya terhenti pada kongres-kongres dan ini sama menyedihkannya dengan buku-buku yang dimakan rayap. Tupim akhirnya pulang dan mendapati Tupila dan Tupilur sudah tidak ada lagi di kamarnya. Dua tupai itu tampaknya sedang mengembara sendiri.

***

Tupim mengakhiri ceritanya. Ia buru-buru pamit pergi karena segera ingin menonton film lagi. Sebelumnya ia sempat bicara ngawur, “jangan-jangan pemberontakan setan di atas sana sudah berhasil dan sekarang mereka duduk di singgasana menggantikan tuhan. Itulah kenapa dunia jadi begini kacau, toh kita tidak ada yang tahu.” Entah dari novel atau film yang mana Tupim mendapatkan pikiran gila semacam itu. Saya sendiri tak ambil peduli. Kopi yang saya suguhkan tidak dihabiskannya.

"Pengembaraan yang tidak nyata dalam film kadang memang lebih menyenangkan," kata Tupim. Sebelumnya sedikit ia mengeluh bahwa sekarang ia tak bisa menonton semua film. Ketika sepuluh menit pertama sudah membosankan, maka Tupim akan segera menggantinya dengan film lain. Ah, mayak sekali dia sekarang. Kalau curhatan Tupim semua ditumpahkan pada saya, kepada siapakah saya akan meluapkan sekian banyak cerita? Saya juga pamit, sudah mengantuk. Tulisan ini barangkali terlalu panjang. Tapi begitulah kalau Tupim sudah bercerita, tidak ada habisnya. Selamat malam.

Semenit Setelah Tengah Malam, Kamar Kost, 17 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar