Tupim
di Pameran Patah Hati
Kalian masih ingat dengan Tupim? Betul,
si tupai pipi manis yang suka mengembara kemana-mana sesuka hatinya itu. Kali ini
ia datang lagi. Wajahnya benar-benar kosong dan redup karena kesepian. Tupim
datang lagi ke kamar saya membawa buntalan cerita pengembaraannya. Kebetulan sekali
karena saya juga sedang kesepian. Orang itu terlalu jauh berada di benua
seberang lautan. Kabarnya datang lewat kata-kata yang patah dan tak pernah
tuntas, menjadi kabar yang tak mengabarkan apapun. Maka biar saya tulisakan
saja cerita Tupim di malam Minggu menggalau ini.
Kemarin malam Tupim datang ke sebuah
acara pameran patah hati, tepat di saat sebagian besar orang menerima coklat
dan bunga mawar dari kekasihnya. Sebelumnya, Tupim dimintai bantuan sahabat
dekatnya yang jauh di luar kota untuk mengantarkan sekotak coklat untuk
kekasihnya, kepada orang yang perlu diajari bagaimana caranya romantis. Teman Tupim
itu sesekali ingin sekali diromantisi oleh kekasihnya yang dingin beku. Setelah
tugas mengantar coklat selesai, hujan-hujan Tupim datang ke pembukaan pameran
itu. Ia mengajak teman dekatnya bernama Tupilur si tupai pipi telur untuk
menemaninya.
Betapa Tupim tak habis pikir
bagaimana orang-orang itu memajang benda-benda peninggalan mantan kekasih, entah tanpa atau dengan sisa luka. Tupim dan Tupilur duduk di pojokan
berdua sambil menguping pembicaraan hangat antar sepasing kekasih entah sahabat
di depan mereka. Lagu-lagu Jalan Pulang menambah kesedihan, mengantarkan
pikiran-pikiran masa lalu yang bangkit dari kubur tiba-tiba. Tak sampai
selesai, Tupim dan Tupilur memutuskan untuk pulang ketika salah satu kelompok musik
pengisi acara mulai menabur kembang dan menyulut kemenyan untuk mendukung
penampilan. Di tengah hujan, dingin dan angin, dua tupai kecil itu menyanyikan
kembali lagu Jalan Pulang dengan suara sangat keras, tanpa nada. Ya, Tupilur memang
tidak bisa menyanyi dengan baik. Lepas.
Cerita Tupim tentang perayaan luka diselesaikannya. Ia tak ingin melanjutkan pengembaraan luka dan patah hati
meski pameran itu masih menggelar acara diskusi membahas sejarah patah hati dan
acara penutupannya malam ini. Tupim tak ingin datang lagi.
Tupim
di Sebuah Mall
Pengembaraan Tupim kembali berhenti
pada sebuah mall. Di sana sedang digelar diskon buku-buku. Tak ada yang menarik
bagi Tupim. Pameran itu banyak menjajakan novel-novel John Grisham dengan diskon
sampai empat puluh persen. Yang menarik bagi Tupim adalah
pemandangan-pemandangan ganjil, sesuatu yang bagi banyak orang mungkin tak
dipedulikan. Di tangga masuk mall itu, seorang gadis duduk di tangga sambil
menulis dengan kertas dan pena. Gadis itu sudah menuliskan dua paragraf pada
halaman pertama. Tupim ingin sekali mengintip apa yang sedang dituliskan gadis
itu. Tapi ia keburu berdiri, meninggalkan mall bersama kertas dan
penanya.
Tupim masuk ke mall itu, betapa
ramai orang-orang dengan segala bentuk. Ia bertemu seorang nyonya dengan
dua anak dan dua pengasuh perempuannya. Si pengasuh yang menggendong bayi itu
memiliki tato bergambar mirip jangkar kapal di punggung tangannya. Barangkali saja
itu tato sementara, tapi siapa yang tahu. Tupim tak membeli apapun kecuali
memandangi orang-orang berlalu lalang di sekitarnya. Di tengah pameran buku,
dilihatnya seorang kakek tua dengan kopyah putih. Kopyah itu dipakai sedikit kebelakang.
Dahinya yang mengkilap dibiarkannya terbuka. Kakek berkopyah putih itu sedang
membaca halaman belakang buku tentang sejarah kotanya. Barangkali ia hanya
tukang becak yang mampir baca, kakek itu pun tidak membeli buku yang sudah
beberapa lama diamat-amati dan dibacanya hati-hati.
Di mall itu juga, Tupim membuntuti
seorang nenek yang menggendong tas plastik berwarna merah muda. Tupim tidak
tahu apa isi tas plastik itu. Dari luar tampak seperti handuk bertumpuk-tumpuk
yang diikat dengan tali. Sang nenek hanya mengenakan sandal jepit, rok di bawah
lutut berwarna hitam dan kaos lusuh kecoklatan. Sebagian rambutnya memutih dan
digelung di belakang kepala. Seorang satpam dengan pentungan dan seragam tampak
juga membuntuti nenek itu. Mungkin hanya kebetulan saja Pak Satpam berjalan di
belakangnya. Nenek itu hanya berkeliling di lantai pertama, lalu keluar
menyeberang jalan menembus hujan.
Tupim ingin segera meninggalkan mall itu. Sambil menunggu hujan sedikit reda, akhirnya ia memesan es krim dan melihat hujan dari balik jendela. Es krim dengan selai strowberi itu tak membuat hatinya lega. Sedikit demi sedikit ia menyendoki es krim tanpa merasakan campuran rasa manis dan kecutnya.
Tupim ingin segera meninggalkan mall itu. Sambil menunggu hujan sedikit reda, akhirnya ia memesan es krim dan melihat hujan dari balik jendela. Es krim dengan selai strowberi itu tak membuat hatinya lega. Sedikit demi sedikit ia menyendoki es krim tanpa merasakan campuran rasa manis dan kecutnya.
Petualangan
Mencari Perpustakaan
Cerita Tupim lalu beralih ke
petualangannya di awal minggu ini. Ia mengajak Tupilur (tupai pipi telur) dan
Tupila (tupai pipi bola) untuk mencari sebuah perpustakaan yang tersembunyi di
desa terpencil. Rumah Tupilur sebenarnya sangat dekat dengan perpustakaan itu.
Tapi ia tak pernah mendengar keberadaannya. Alamat dalam website yang menceritakan sedikit tentang perpustakaan itu juga
tidak begitu jelas menunjukkan letaknya. Tupim benar-benar penasaran. Konon katanya
perpustakaan itu milik Hersri Setiawan. Tupila dan Tupilur hanya dengan samar
pernah mendengar nama itu dan tidak juga tahu lebih banyak.
Petualangan tiga tupai itu dimulai
di sebuah siang yang panas. Alamat dari website
menyebutkan bahwa perpustakaan itu terletak di Desa Lendah. Padahal Tupilur
yang penduduk setempat hanya tahu bahwa Lendah adalah nama sebuah kecamatan. Maka berangkatlah
mereka menuju kantor kecamatan Lendah. Setibanya di sana, Tupim baru sadar
kalau bangunan kantor kecamatan itu sama persis dengan bangunan di daerahnya. Sebuah
ruang berbentuk pendopo tanpa dinding berada di tengah dan ruang-ruang kantor
yang telah terbagi berdasarkan tugas dan fungsinya itu di bangun separuh
keliling pendopo. Di halaman depan sebelah kanan juga terdapat pohon,
sangat mirip dengan kantor kecamatan di daerah Tupim. Jangan-jangan memang ada
standar pembuatan bangunan kantor kecamatan untuk semua daerah di negeri ini.
Luar biasa Orba.
Mereka kemudian bertanya kepada
seorang petugas perempuan yang kebetulan hendak keluar ruangan. Petugas itu
menjelaskan bahwa selain kecamatan Lendah, ternyata ada juga dusun bernama Lendah. Ia lalu menunjukkan arah yang langsung dimengerti oleh Tupilur.
Berangkatlah mereka ke rumah Pak Dukuh Lendah untuk bertanya dimana letak
perpustakaan itu. Pak Dukuh Dusun Lendah ternyata berprofesi sebagai pengepul
barang-barang bekas. Setelah bertanya kepada istrinya yang sedang memilah
barang bekas di halaman, tiga tupai itu kembali melanjutkan pencarian mereka.
Tibalah akhirnya mereka di sebuah
bangunan yang tersembunyi di antara pohon bambu dan rumah penduduk di
sekitarnya. Bangunan itu terbuat dari batu bata yang bagian depannya di cat
warna warni. Sama sekali tidak tampak bahwa tempat itu menyimpan buku-buku. Perpustakaan terkunci rapat. Tupim, Tupilur dan Tupila hanya bertemu seorang
ibu-ibu penduduk sekitar yang duduk di bangku depan bangunan itu dengan dua orang anak perempuan yang menggelayut di
kakinya.
Perempuan itu menjelaskan bahwa
perpustakaan itu tidak buka setiap hari. Petugasnya sibuk mengajar dan
sebagainya. Tetapi biasanya kunci perpustakaan dititipkan kepada seseorang yang
tinggal tidak jauh. Perempuan baik hati itu kemudian meminjam sepeda dan
memanggilkan mbak-mbak pembawa kunci. Tupim dan temannya pun menunggu. Mereka narsis
berfoto-foto di depan dinding yang di cat meriah, suasana anak-anak yang sedang
bermain dan belajar di bawah pohon. Di sebelahnya terdapat gambar gedung-gedung
tinggi berwarna kelabu.
Tupim dan teman-temannya masih saja
bergaya di depan dinding. Sementara mereka tak pernah berpikir bagaimana di
abad ke-16, Jose Arcadio Buendia terlongong-longong dengan penemuan yang dibawa
oleh Melquiades. Tiba-tiba saja penemuan itu mengingatkannya pada kematian. Bagaimana
mungkin manusia yang semakin renta dan akhirnya mati bisa diabadikan gambarnya
lewat sebuah plat foto. Sedang istrinya memilih untuk tidak difoto karena tak
ingin gambarnya menjadi bahan tertawaan anak cucunya kelak. Jose Arcadio
Buendia di kemudian hari, ketika masa sintingannya tiba, pernah menggugat
seorang pastor untuk membuktikan keberadaan tuhan dengan menunjukkan fotonya. Memang
tak ada hubungannya, kebiasaan tupai muda macam Tupim dengan nukilan cerita
Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez itu.
Mbak-mbak pembawa kunci akhirnya
tiba. Para tupai menjelaskan maksud kedatangannya dan mbak-mbak itu kemudian
menelepon seseorang yang seharusnya memberinya mandat untuk membukakan pintu. Tanpa
mandat, mbak-mbak pembawa kunci tidak berani membukakan pintu untuk para tupai.
Suara perempuan tersambung dari telepon genggam yang di loudspeaker. Perempuan itu menjelaskan bahwa ia hanya berada di
perpustakaan pada hari Sabtu. Para tupai boleh meminjam buku dengan menyerahkan
daftar judul yang kemudian akan dicarikan oleh petugas berwenang. Dengan maksud
hanya melihat-lihat, akhirnya perempuan itu memberi mandat kepada pembawa kunci
untuk mempersilakan para tupai masuk.
Konon katanya izin untuk menjadikan
perpustakaan itu sebagai bagian dari perpustakaan daerah Kulonprogo terkesan dipersulit. Keberadaanya sekarang menjadi perpustakaan ilegal. Padahal,
kegiatan di perpustakaan sudah banyak, khususnya untuk anak-anak usia es de. Mereka
memiliki kelompok teater, kelompok belajar membuat komik, dan sebagainya.
Pertama menginjakkan kaki di ruang
perpustakaan itu, suasana sangat lembab. Cukup lembab untuk membuat buku-buku
di dalamnya hancur. Lantai dipenuhi debu tebal, tupai-tupai merasakan di
telapak kakinya kotoran serangga pemakan kayu yang berceceran. Hanya ada empat
rak yang dipajang, masing-masing berisi novel-novel remaja populer, buku-buku anak,
buku motivasi dan sangat sedikit bisa ditemukan buku yang berat-berat isinya. Tupim menemukan salah satu karya Pram berjudul Hoakiau di Indonesia, sebuah
karya menarik tentang keturunan Cina di zaman kolonial, lengkap dengan
angka-angka dan potongan berita koran. Selain itu, tak ada buku menarik yang
berhasil ditemukan Tupim.
Kata mbak-mbak pembawa kunci, buku-buku
referensi sebagian besar di kunci di sebuah ruangan. Pintu ruangan itu awalnya
susah sekali dibuka. Di dalamnya terdapat kardus bertumpuk-tumpuk. Kardus-kardus
berdebu yang membangkitkan rasa ingin tahu, buku-buku apa kiranya yang mati suri
di dalamnya. Kalian tentu pernah mendengar cerita tentang buku-buku yang hidup
di malam hari. Mereka saling memamerkan diri siapa yang paling banyak dibaca
orang. Ah, cerita itu tidak penting. Kalau katanya buku-buku itu adalah koleksi
pribadi Hersri Setiawan, siapa bisa menyangka di dalamnya terdapat buku-buku
berbahasa Rusia, barangkali juga karya-karya Dostoevsky yang belum
diterjemahkan.
Sekali lagi mbak-mbak yang dititipi
kunci itu meminta maaf kepada Tupim dan teman-temannya karena tak bisa berbuat
banyak. Katalog yang sebenarnya ada pun ia tidak tahu disimpan di mana. Ia juga
meminta maaf karena Tupim dan teman-temannya melihat-lihat koleksi buku dalam
keadaan ruangan yang gelap. Lampu baru saja diganti tetapi sudah rusak lagi.
Jendela di ruangan itu juga rusak dan tak bisa dibuka. Rasanya Tupim ingin
menangis. Sebelumnya ia pernah ke Perpustakaan Sri Gunting dan mendapati
Marquez yang dimakan rayap bagian pojoknya. Betapa sayang. Tupim akhirnya
berpamitan dan meminta nomor kontak si penjaga perpustakaan, kalau-kalau saja suatu
kali akan kembali ke sana lagi.
Tupim
di antara Orang-Orang yang Ngomongin Kebudajaan
Si Tupim nyasar lagi. Ia meninggalkan
Tupilur dan Tupila yang tak mau ikut. Ia pun sendirian mengembara. Kali ini
sampailah Tupim di sebuah acara jelajah pemikiran Dr. Sjafri Sairin dan Dr. Faruk. Tupim berharap di
acara itu akan ada sebuah debat akademis yang seru, mirip seperti obrolan kakak-kakaknya
teman sebelah yang pernah disaksikannya sambil terbengong karena tidak mengerti.
Sendirian Tupim menaiki gedung Pusat Studi Kebudayaan sampai ke lantai tiga. Ia
disambut oleh dua orang perempuan yang memintanya mengisi daftar hadir,
memberinya sebotol kecil air mineral dan meminta mengganti uang cetak makalah
sebesar lima ribu rupiah.
Tupim masuk ruangan kecil dan sumpek
yang sudah penuh dengan orang-orang. Sebagian besar bapak-bapak dan
ibu-ibu. Barangkali calon doktor semua. Nugraha Trisnu Brata diminta untuk
membedah pemikiran Pak Sjafri sementara Sudibyo diminta membedah pemikiran Om
Faruk. Tupim terkejut karena ternyata acara itu juga menjadi perayaan ulang
tahun Om Faruk. Sebelum acara dimulai, seorang perempuan masuk ruangan dengan membawa
kue dan lilin di atasnya. Orang-orang yang hadir diminta untuk menyanyi dan lilin pun
ditiup. Tupim hanya mnghela nafas kecil. Tak ada yang mendengar gerutuannya.
Acara itu berlangsung jauh dari
harapan Tupim. Para pembicara dan peserta terkesan hanya ngobrol. Para
pembicara itu kebetulan calon doktor dengan promotor orang-orang yang sedang
mereka bicarakan. Entah kenapa yang diungkapkan terasa baik-baik semua. Hampir tak
ada kritik. Tanggapan dari peserta juga tidak ada yang menarik. Tupim meneguk
air dari botol kecilnya. Ia sendiri tidak mengerti apa-apa tentang kebudayaan. Namanya
juga kesasar.
Pembicara pertama mulai membicarakan
definisi kebudayaan menurut para ahli lalu mengungkapkan pemikiran-pemikiran orang yang sering dipinjam Pak Sjafri ketika mengajar di kelas. Beberapa yang
dikutip adalah pendapat James Spradley. Kemudian dibicarakan juga sifat
kebudayaan yang berubah, dimana sering hanya struktur permukaannya saja yang
berubah sedangkan deep structure-nya
tetap sulit berubah. Pak Sjafri katanya juga sering mengelaborasi fenomena liminality yang merujuk pada pemikiran
Viktor Turner. Begitulah ia menjelaskan masyarakat galau yang tidak punya
rujukan budaya yang jelas, sangat mudah dipengaruhi dan diprovokasi.
Pak Sjafri sering meminjam istilah
mentalitas “nrabas” dari Koentjaraningrat. Istilah itu dipakai untuk menyebut
orang-orang yang menggunakan jalan pintas, ingin memperoleh hasil banyak tanpa
mau bekerja keras. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang relasi personal. Apabila
berbicara tentang epistemologi antropologi maka kata pembicara itu, Pak Sjafri
termasuk seorang antropolog-fenomenologis.
Selanjutnya, pembicara kedua akan
menjelajahi pemikiran Om Faruk. Karena begitu banyaknya, maka ia hanya membahas
pemikiran yang tertuang dalam sebuah buku berjudul Women Womini Lupus. Benang merah dari
pemikirannya adalah bahwa Om Faruk selalu melihat yang tersirat di balik yang
tersurat. Selain membahas gender, Om Faruk juga mengkritik para esensialis
dengan penjelasan bahwa budaya itu hasil hibridasi, pertemuan berbagai pusat
kebudayaan. Kata pembicara itu, Om faruk dimasukannya sebagai pemikir
postruktural.
Tupim sudah bilang bahwa apa yang
diungkapkan para penanya tidak ada yang menarik. Para pemikir yang pikirannya
sudah dijelajahi lalu diberi kesempatan untuk mengklarifikasi. Om Faruk bilang kalau
ram otaknya terbatas sehingga apa yang sudah dia tulis itu banyak yang sudah
lupa. Sedari tadi Om Faruk tak berhenti merokok di belakang dengan gayanya yang
bagi Tupim terkesan sok itu.
Sementara itu, Pak Sjafri mencoba
untuk menambahkan apa yang belum diungkapkan oleh pembicara. Studi Pak Sjafri
tentang buruh membawanya untuk meregister istilah “masyarakat tegel”—e dibaca seperti pada kata terang—dalam
ranah akademis. Kata tegel sendiri
berasal dari Bahasa Jawa yang mungkin belum ditemukan padanannya dalam Bahasa
Indonesia. Pak Sjafri sempat menyebut istilah padanannya dalam bahasa Inggris
tetapi Tupim tidak begitu jelas mendengarnya. Tegel berbeda dengan tega. Tega bisa jadi masih memiliki nilai
positif tergantung pada penggunaannya, sementara tegel itu mentolo, kok sampai hati. Ia lalu menceritakan
kisah Marsinah yang ditusuk kemaluannya itu.
Ketika membicarakan sistem simbol,
Geertz menggunakan istilah “model of”
dan “model for”. Tupim tidak berani
membahasnya lebih lanjut karena ia kurang begitu paham. Pak Sjafri ingin
menambahkan satu model yaitu expected
model, model seperti apakah yang sebenarnya diharapakan. Sayang sekali
tidak ada orang yang menanggapi pemikiran tersebut, seperti halnya register
istilah “masyarakat tegel” tadi. Pemikirannya
hanya terhenti pada kongres-kongres dan ini sama menyedihkannya dengan
buku-buku yang dimakan rayap. Tupim akhirnya pulang dan mendapati Tupila dan
Tupilur sudah tidak ada lagi di kamarnya. Dua tupai itu tampaknya sedang
mengembara sendiri.
***
***
Tupim mengakhiri ceritanya. Ia buru-buru pamit pergi karena segera ingin menonton film lagi. Sebelumnya ia sempat bicara ngawur, “jangan-jangan pemberontakan setan di atas sana sudah berhasil dan sekarang mereka duduk di singgasana menggantikan tuhan. Itulah kenapa dunia jadi begini kacau, toh kita tidak ada yang tahu.” Entah dari novel atau film yang mana Tupim mendapatkan pikiran gila semacam itu. Saya sendiri tak ambil peduli. Kopi yang saya suguhkan tidak dihabiskannya.
"Pengembaraan yang tidak nyata dalam
film kadang memang lebih menyenangkan," kata Tupim. Sebelumnya sedikit ia mengeluh bahwa sekarang
ia tak bisa menonton semua film. Ketika sepuluh menit pertama sudah
membosankan, maka Tupim akan segera menggantinya dengan film lain. Ah, mayak sekali dia sekarang. Kalau curhatan
Tupim semua ditumpahkan pada saya, kepada siapakah saya akan meluapkan sekian
banyak cerita? Saya juga pamit, sudah mengantuk. Tulisan ini barangkali terlalu
panjang. Tapi begitulah kalau Tupim sudah bercerita, tidak ada habisnya.
Selamat malam.
Semenit Setelah Tengah Malam, Kamar
Kost, 17 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar