Kamis, 07 Februari 2013

Gambar-Gambar Bergerak Sebelum Lampu Kamar Padam


Kalau ditanya mengapa saya menuliskan hal-hal macam ini di blog, itu sama halnya ditanya mengapa saya hidup. Semua tulisan buruk rupa yang lahir adalah kebutuhan untuk memberi makan bagi diri saya sendiri. Buruk rupa karena saya tak pernah serius menuliskannya, kerena tak ramah pada pembaca dan sangat egois tentunya. Buruk rupa karena penulis malas ini membiarkan ide-idenya terputus begitu saja dan ditulis dengan kalimat melompat-lompat tanpa argumen. Benar-benar kacau. Akhir-akhir ini kebutuhan literer dan visual saya terasa tercukupi dengan film, sebenarnya masih tak pernah merasa cukup. Seandainya ada orang yang menjual waktu dengan harga murah, saya pasti akan membelinya untuk menonton film.

Sesuatu yang sudah berlebih dan menumpuk ini mendesak untuk dikeluarkan. Maka jadilah tulisan ini. Bagi Anda yang sudah muak membaca paragraf pertama, silakan ditinggalkan. Bagi yang masih ingin tahu apa isinya, silakan lanjut membaca. Meski saya selalu terkesan, film yang saya tonton belakangan ini kebanyakan memang bernada redup, bahkan gelap dengan ending menggantung. Kadang malah terkesan terpaksa menyelipkan sepucuk harapan. Tulisan ini sedikit banyak akan membincang tentang film-film yang saya maksudkan. Saya sengaja tak menyebutkan judul-judul film dan orang yang saya maksud karena sudah barang tentu Anda akan sangat mudah menebaknya.

Film-film itu dibuat oleh orang yang menjadi sutradara, penulis naskah sekaligus senang muncul dalam karya-karyanya sendiri. Ia banyak menggunakan latar kota-kota di Amerika dalam filmnya, New York khususnya. Meski berlatar Amerika, pikiran, shot-shot dan gaya film orang itu sangat Perancis. Pernyataan ini bukan pendapat saya tetapi dari masnya teman sebelah dan saya sepakat. Anda bisa menemukannya sendiri dalam film-film yang berlatar Perancis. Tidak hanya itu, eksotisme kota-kota di Eropa juga sering muncul, sebut saja Barcelona.

Orang itu senang sekali mengomentari segala sesuatu. Ia seperti Sukab yang kerap muncul dalam cerita-cerita Seno. Orang itu kadang muncul sebagai bagian dari kelas menengah Amerika. Ia menjadi produser acara televisi, menjadi profesor yang mengajar sastra, penulis novel, wartawan olah raga, pernah juga menjadi seorang pesulap. Beberapa lainnya menjadi karakter aneh seperti orang yang dicatat sejarah karena selalu menjadi orang lain sesuai lingkungannya macam bunglon, seorang pasien yang tiba-tiba dihidupkan kembali setelah dua ratus tahun mengalami koma, juga seorang tester alat-alat aneh yang tiba-tiba menjadi presiden di negeri antah berantah. Ia pernah memerankan biografi seorang kriminal. Yang lebih konyol adalah perannya sebagai sperma. Seberapapun absurd karakternya, orang ini mampu berbohong dengan sangat meyakinkan lewat filmnya.

Kadang filmnya terkesan seperti dokumenter. Beberapa lainnya berkisah tentang bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengalami krisis paruh baya, melulu soal cinta, seks, atau ketidakpuasan atas harapan yang kandas pada kenyataan. Sebagai bagian kelas menengah Amerika, orang itu menjadi leluasa membicarakan segala sesuatu. Mereka menyoal filsafat, karya seni seperti lukisan, patung, sastra maupun film itu sendiri. Sebagai seorang profesor dan penulis novel misalnya, ia bisa dengan meyakinkan membandingkan Tolstoy, Turgenev dan Dostoevsky. Kalau karya Tolstoy adalah makanan empat sehat lima sempurna, maka Turgenev adalah hidangan penutup paling menarik, sementara Dostoevsky adalah makanan empat sehat lima sempurna dengan tambahan vitamin dan sebutir permata.

Gambaran orang itu tentang kelas menengah membuat saya merasa sedikit sinis belakangan ini. Mereka dengan mudah mendapat apa yang mereka mau; membeli buku apa saja, melihat-lihat galeri lukisan, menonton opera, mendengarkan Bach, membaca E.E. Cumming sebelum tidur, minum anggur, berdansa cha cha cha (Ups, maaf, berdansa cha cha cha sudah jadi hak paten Om Anwar Congo tampaknya). Film-filmnya yang seperti ini khas muncul pada dekade 80-an sampai 90-an awal dengan bungkus komedi romantis atau murni drama romatis.

Bapak-bapak dan ibu-ibu paruh baya itu dengan mudah jatuh cinta kembali dan saya tak pernah membayangkan bisa begitu rupa terjadi. Sebenarnya memang wajar. Tidak ada yang aneh dari itu semua. Misal dalam salah satu filmnya, seorang profesor bisa tiba-tiba jatuh cinta terhadap pelatih senam. Untuk sesaat ia merasa butuh pembicaraan segar, perbincangan remeh seperti berapa jumlah kalori yang diperlukan setiap hari atau menonton video yang bisa membuatnya tertawa terbahak-bahak. Awalnya ia bahagia dengan hidupnya yang baru tapi tiba-tiba pembicaraan seperti itu menjadi memuakkan. Bayangkan ketika pacar barunya membicarakan astrologi dan tofu di antara teman-temannya yang intelektual itu. Ia tiba-tiba merasa muak lalu kembali kepada istrinya yang memiliki level selera setara.

Hubungan bapak-bapak dan ibu-ibu itu terlihat sama labilnya dengan anak muda. Namun tentu dengan segala bentuk persoalan yang sama sekali lain dan lebih kompleks. Ini juga yang membuat saya semakin sinis dengan hubungan-hubungan yang seperti itu. Ah, tapi itukan orang Amerika. Gambaran hubungan dalam film-film Indonesia masih banyak yang percaya dengan cinta sejati (which is itu bullshit) atau memang hal semacam itu masih ada di sini. Berapa lama orang akan bisa bertahan hidup dengan orang yang sama tanpa topan dan badai. Barangkali itu cuma hubungan khas kelas menengah yang sangat mungkin bisa terjadi pada siapapun. Maaf, sinisme semacam ini seharusnya dibuang ke laut saja.

Lalu seperti apakah kisah kita? Pahit tentu kalau diceritakan dari akhir kisahnya. Bisa jadi terasa asin ketika bercerita tentang fragmen ciuman dan airmata. Kita masih punya cerita manis apabila kenangan-kenangan tertentu diisolasi dan diceritakan sebagai bagian yang tak mampu menggambarkan keseluruhan. Barangkali juga asam, sebuah cerita tentang pertengkaran-pertengkaran kecil karena hal kecil, dan pelukanku untukmu meski kau tak mandi dua hari. Hoaks. Ironis. Mirip sekali dengan film-film yang belakangan ini saya tonton. Sangat ironis.

Orang itu masih saja memerankan tokoh dengan gaya serupa meskipun karakternya berbeda. Menjadi seseorang yang mudah panik, gugup, berbicara dengan sedikit tergagap sambil tetap terlalu kritis terhadap segala sesuatu. Kadang ia menyukai anak-anak dan ingin menjadikan mereka seperti dirinya. Tetapi di lain waktu ia bisa sangat tidak menginginkan anak. Menyenangkan memang melihat banyak film berbeda dengan tipe mirip seperti itu. Anda dengan mudah akan menemukan benang tipis maupun kasar yang tergurat dalam setiap karyanya, seperti sebuah tanda tangan. Film-film itu seperti puzzle kehidupannya. Sesuatu yang tidak Anda temukan dalam satu film akan terjawab ketika menonton film lainnya. Dan hal yang sangat jelas bisa ditandai adalah musik-musik jazz pengisi film yang serupa.

Lewat film-filmnya, orang itu seperti mendokumentasikan kesedihannya sendiri dengan bungkus rapi berbagai macam omongan soal seni. Tetapi ini sungguh menarik, setiap monolog dan dialog membuat kita menyimak baik-baik bagaimana seorang tokoh memandang dunia dan orang-orang di sekitarnya. Saya sendiri sangat menikmati setiap narasi dengan dukungan latar dan musik dalam setiap film, khususnya film-film di awal kariernya.

Guyonannya memang kadang masuk dan kadang juga lewat begitu saja. Pernah ia seperti bicara dengan penonton di depan kamera mempertanyakan suatu hal yang persis saya pertanyakan juga. Saya pun seakan-akan bisa berbincang dengan orang itu melalui layar. Barangkali hanya sebuah kebetulan. Orang itu memang senang menyuguhkan hal yang berat-berat, memberondong penonton dengan debat-debat filosofis dan tetek bengeknya. Dia pikir saya ngerti, ta?

Ia mengaku tak percaya tuhan, tak percaya pada ilmu pengetahuan dan menyebut kepercayaanya sebagai teleological existential atheis. Binatang apakah ini? Silakan Anda jawab sendiri. Persoalan eksistensi memang kerap muncul dalam filmnya. Bisa panjang kalau diuraikan. Ada satu film tentang seorang tokoh yang tiba-tiba keluar dari layar. Ia jatuh cinta pada perempuan yang menonton film itu sebanyak lima kali berturut-turut. Drama perebutan cinta sang perempuan oleh aktor sebenarnya dan karakter yang diperankan terjadi. Benturan antara yang nyata dan tidak nyata, tokoh rekaan dan manusia—digambarkan manis di sini meski ujungnya tetap pahit.  

Dua kali setidaknya saya pernah menjumpai orang itu hampir mati. Pertama karena diagnosa dokter yang mengatakan kemungkinan tumor di otaknya. Kedua karena ditembak salah satu penggemar ketika ia memerankan sosok sutradara film komedi terkenal yang mana sangat mirip dengan dirinya sendiri. Orang itu sempat mengalami depresi karena sadar bahwa filmnya jauh dari realitas. Ia merasa tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu mengentaskan kemiskinan, para penderita kanker dan segala penderitaan dunia. Lalu tiba-tiba ia menyadari hidupnya sangat tidak berarti.

Ungkapan Tolstoy menjadi pas di sini, “The only absolute knowledge attainable by man is that life is meaningless.” Ungkapan ini pun menjadi sub judul di salah satu filmnya. Orang ini beberapa kali kehilangan arah. Mungkin juga diantara Anda pernah mengalaminya. Meskipun begitu, ia selalu bisa mendapati dirinya kembali lewat momentum yang kadang sangat sedehana. Hanya dengan memandang perempuan yang dicintai sambil mendengar musik dan menyendok es krim sedikit demi sedikit. Orang itu akhirnya bisa mendapatkan hidupnya kembali. Ternyata hidup masih indah.

Di akhir filmnya yang lain, orang itu pernah mati. Sedikit lain karena film ini mengambil latar Rusia pada masa perang melawan Napoleon. Orang itu mati setelah dipenggal karena percobaan pembunuhan terhadap Napoleon. Sebuah kematian yang bahagia. Ia dijumpai sosok malaikat dan mendapat pengampunan tuhan pada malam sebelumnya. Malaikat itu berkata bahwa ia tak akan mati esok hari meski ia akhirnya mati juga. Sebuah film yang menarik, membicarakan tentang cinta dan kematian dengan kutipan-kutipan para filsuf pengisi dialog antar tokoh. Anda akan menemukan Spinoza dan debat-debat konyol soal moral di sini.  Film yang ini masih kental dengan nuansa komedi dan mengingatkan saya pada cerita Gogol tentang dua laki-laki bertetangga yang saling bertengkar karena hal-hal remeh.

Di lain film, idenya tentang orang yang bisa dihidupkan kembali di masa depan mirip dengan cerita Poe tentang mumi dari Mesir kuno yang juga dihidupkan kembali oleh para ilmuwan. Keseluruhan cerita memang sama sekali berbeda tetapi kisah semacam itu serasa menggelitik. Kalaupun yang demikian itu bisa benar-benar terjadi, orang tak perlu bersusah payah menggali sejarah. Anda juga bisa menemukan satir manis tentang masa depan kapitalisme dalam film ini.

Seandainya ada yang ingin menuliskannya dengan serius. Banyak sekali hal-hal menarik dari orang ini dan film-filmnya. Setidaknya beberapa kali dia berhasil membuat saya menderita setelah menonton. Sepertinya menarik melihat perjalanan film-filmnya dari tahun 70-an sampai sekarang. Saya sendiri menonton filmnya-filmnya secara terbalik. Film-Film awalnya baru banyak saya tonton belakangan. Kalau berkenan, Anda bisa menemui orang itu pada setiap dekade perjalanan kariernya dan menuliskan masing-masing kekhasan atau gayanya. Genre filmnya juga tampak mengalami perubahan dan belakangan semakin bervariasi. Artis filmnya juga berubah dari waktu ke waktu, meskipun ia terbilang banyak menggunakan artis yang sama dalam beberapa film di setiap periode waktu tertentu. Kalau ada yang tertarik lagi, bisa dilihat juga bagaimana film-film itu menyerempet filsafat, seni,  psikologi, psikiatri, dan sedikit politik dalam narasi dan dialog.

Rasanya film orang itu memang cukup bergizi—mengimbangi banyaknya produksi film holywood yang bisa dihitung dengan jari ketika bicara kualitas—yang tentu saja ini subjektif menurut saya. Membicarakan pengaruh barangkali juga menarik, misalnya pengaruh Ingmar Bergman dan Fellini dalam film-film orang itu. Pengaruh selalu mengalir dalam darah meski pengaruh bukan berarti meniru. Orang itu sungguh punya gaya tersendiri dalam menulis dan menyutradari film-filmnya. Gayanya yang sok pintar itu membuat saya suka. Kepintaran yang seringkali melelehkan hati perempuan. Saya tahu itu bukan dimaksudkan untuk membodohi penonton karena barangkali saja ia menganggap penontonnya sama pintar dengannya, atau bahkan lebih pintar.

Saking banyaknya, saya jadi bingung akan menuliskan apalagi. Betapa tidak tertatanya sesuatu dalam otak saya ini. Dan sepertinya tidak akan ada senja sore ini. Langit sedang cerah tetapi gelap. Sementara film-film itu tak pernah menginginkan dirinya selesai. Mereka menambatkan kesan pada mata orang-orang. Tokoh-tokohnya berkeliaran, berpindah dari layar menuju pikiran. Mengapa mengajari diri sendiri terus-menerus tak pernah cukup untuk dunia ini? Sedang kita masih saja menjejalkan diri di tangan orang-orang yang mengajari kita dengan begitu membosankan. Bodohnya, kita masih dengan senang hati membayar mereka begitu mahal. Lalu, akan menonton apalagi setelah ini?


Menuju Senja, Kamar Kost, 7 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar