Kalau ditanya mengapa saya
menuliskan hal-hal macam ini di blog, itu sama halnya ditanya mengapa saya
hidup. Semua tulisan buruk rupa yang lahir adalah kebutuhan untuk memberi makan
bagi diri saya sendiri. Buruk rupa karena saya tak pernah serius menuliskannya,
kerena tak ramah pada pembaca dan sangat egois tentunya. Buruk rupa karena
penulis malas ini membiarkan ide-idenya terputus begitu saja dan ditulis dengan
kalimat melompat-lompat tanpa argumen. Benar-benar kacau. Akhir-akhir ini
kebutuhan literer dan visual saya terasa tercukupi dengan film, sebenarnya
masih tak pernah merasa cukup. Seandainya ada orang yang menjual waktu dengan harga
murah, saya pasti akan membelinya untuk menonton film.
Sesuatu yang sudah berlebih dan
menumpuk ini mendesak untuk dikeluarkan. Maka jadilah tulisan ini. Bagi Anda
yang sudah muak membaca paragraf pertama, silakan ditinggalkan. Bagi yang masih
ingin tahu apa isinya, silakan lanjut membaca. Meski saya selalu terkesan, film
yang saya tonton belakangan ini kebanyakan memang bernada redup, bahkan gelap dengan
ending menggantung. Kadang malah
terkesan terpaksa menyelipkan sepucuk harapan. Tulisan ini sedikit banyak akan
membincang tentang film-film yang saya maksudkan. Saya sengaja tak menyebutkan
judul-judul film dan orang yang saya maksud karena sudah barang tentu Anda akan sangat mudah
menebaknya.
Film-film itu dibuat oleh orang yang
menjadi sutradara, penulis naskah sekaligus senang muncul dalam karya-karyanya
sendiri. Ia banyak menggunakan latar kota-kota di Amerika dalam filmnya, New
York khususnya. Meski berlatar Amerika, pikiran, shot-shot dan gaya film orang itu sangat Perancis. Pernyataan ini
bukan pendapat saya tetapi dari masnya teman sebelah dan saya sepakat. Anda
bisa menemukannya sendiri dalam film-film yang berlatar Perancis.
Tidak hanya itu, eksotisme kota-kota di Eropa juga sering muncul, sebut saja
Barcelona.
Orang itu senang sekali mengomentari
segala sesuatu. Ia seperti Sukab yang kerap muncul dalam cerita-cerita Seno. Orang
itu kadang muncul sebagai bagian dari kelas menengah Amerika. Ia menjadi
produser acara televisi, menjadi profesor yang mengajar sastra, penulis novel,
wartawan olah raga, pernah juga menjadi seorang pesulap. Beberapa lainnya
menjadi karakter aneh seperti orang yang dicatat sejarah karena selalu menjadi orang
lain sesuai lingkungannya macam bunglon, seorang pasien yang tiba-tiba
dihidupkan kembali setelah dua ratus tahun mengalami koma, juga seorang tester
alat-alat aneh yang tiba-tiba menjadi presiden di negeri antah berantah. Ia
pernah memerankan biografi seorang kriminal. Yang lebih konyol adalah perannya sebagai
sperma. Seberapapun absurd karakternya, orang ini mampu berbohong dengan sangat
meyakinkan lewat filmnya.
Kadang filmnya terkesan seperti
dokumenter. Beberapa lainnya berkisah tentang bapak-bapak dan ibu-ibu yang
mengalami krisis paruh baya, melulu soal cinta, seks, atau ketidakpuasan atas
harapan yang kandas pada kenyataan. Sebagai bagian kelas menengah Amerika,
orang itu menjadi leluasa membicarakan segala sesuatu. Mereka menyoal filsafat,
karya seni seperti lukisan, patung, sastra maupun film itu sendiri. Sebagai
seorang profesor dan penulis novel misalnya, ia bisa dengan meyakinkan
membandingkan Tolstoy, Turgenev dan Dostoevsky. Kalau karya Tolstoy adalah
makanan empat sehat lima sempurna, maka Turgenev adalah hidangan penutup paling
menarik, sementara Dostoevsky adalah makanan empat sehat lima sempurna dengan
tambahan vitamin dan sebutir permata.
Gambaran orang itu tentang kelas
menengah membuat saya merasa sedikit sinis belakangan ini. Mereka dengan mudah
mendapat apa yang mereka mau; membeli buku apa saja, melihat-lihat galeri
lukisan, menonton opera, mendengarkan Bach, membaca E.E. Cumming sebelum tidur,
minum anggur, berdansa cha cha cha (Ups, maaf, berdansa cha cha cha sudah jadi
hak paten Om Anwar Congo tampaknya). Film-filmnya yang seperti ini khas muncul
pada dekade 80-an sampai 90-an awal dengan bungkus komedi romantis atau murni
drama romatis.
Bapak-bapak dan ibu-ibu paruh baya
itu dengan mudah jatuh cinta kembali dan saya tak pernah membayangkan bisa
begitu rupa terjadi. Sebenarnya memang wajar. Tidak ada yang aneh dari itu
semua. Misal dalam salah satu filmnya, seorang profesor bisa tiba-tiba jatuh
cinta terhadap pelatih senam. Untuk sesaat ia merasa butuh pembicaraan segar,
perbincangan remeh seperti berapa jumlah kalori yang diperlukan setiap hari
atau menonton video yang bisa membuatnya tertawa terbahak-bahak. Awalnya ia
bahagia dengan hidupnya yang baru tapi tiba-tiba pembicaraan seperti itu
menjadi memuakkan. Bayangkan ketika pacar barunya membicarakan astrologi dan
tofu di antara teman-temannya yang intelektual itu. Ia tiba-tiba merasa muak lalu
kembali kepada istrinya yang memiliki level selera setara.
Hubungan bapak-bapak dan ibu-ibu itu
terlihat sama labilnya dengan anak muda. Namun tentu dengan segala bentuk
persoalan yang sama sekali lain dan lebih kompleks. Ini juga yang membuat saya
semakin sinis dengan hubungan-hubungan yang seperti itu. Ah, tapi itukan orang
Amerika. Gambaran hubungan dalam film-film Indonesia masih banyak yang percaya
dengan cinta sejati (which is itu
bullshit) atau memang hal semacam itu masih ada di sini. Berapa lama orang
akan bisa bertahan hidup dengan orang yang sama tanpa topan dan badai.
Barangkali itu cuma hubungan khas kelas menengah yang sangat mungkin bisa terjadi pada siapapun. Maaf, sinisme semacam ini seharusnya dibuang
ke laut saja.
Lalu seperti apakah kisah kita?
Pahit tentu kalau diceritakan dari akhir kisahnya. Bisa jadi terasa asin ketika
bercerita tentang fragmen ciuman dan airmata. Kita masih punya cerita manis
apabila kenangan-kenangan tertentu diisolasi dan diceritakan sebagai bagian
yang tak mampu menggambarkan keseluruhan. Barangkali juga asam, sebuah cerita
tentang pertengkaran-pertengkaran kecil karena hal kecil, dan pelukanku untukmu
meski kau tak mandi dua hari. Hoaks. Ironis. Mirip sekali dengan film-film yang
belakangan ini saya tonton. Sangat ironis.
Orang itu masih saja memerankan
tokoh dengan gaya serupa meskipun karakternya berbeda. Menjadi seseorang yang
mudah panik, gugup, berbicara dengan sedikit tergagap sambil tetap terlalu kritis
terhadap segala sesuatu. Kadang ia menyukai anak-anak dan ingin menjadikan
mereka seperti dirinya. Tetapi di lain waktu ia bisa sangat tidak menginginkan anak.
Menyenangkan memang melihat banyak film berbeda dengan tipe mirip seperti itu.
Anda dengan mudah akan menemukan benang tipis maupun kasar yang tergurat dalam
setiap karyanya, seperti sebuah tanda tangan. Film-film itu seperti puzzle kehidupannya. Sesuatu yang tidak Anda
temukan dalam satu film akan terjawab ketika menonton film lainnya. Dan hal
yang sangat jelas bisa ditandai adalah musik-musik jazz pengisi film yang
serupa.
Lewat film-filmnya, orang itu seperti
mendokumentasikan kesedihannya sendiri dengan bungkus rapi berbagai macam
omongan soal seni. Tetapi ini sungguh menarik, setiap monolog dan dialog
membuat kita menyimak baik-baik bagaimana seorang tokoh memandang dunia dan
orang-orang di sekitarnya. Saya sendiri sangat menikmati setiap narasi dengan
dukungan latar dan musik dalam setiap film, khususnya film-film di awal
kariernya.
Guyonannya memang kadang masuk dan
kadang juga lewat begitu saja. Pernah ia seperti bicara dengan penonton di
depan kamera mempertanyakan suatu hal yang persis saya pertanyakan juga. Saya
pun seakan-akan bisa berbincang dengan orang itu melalui layar. Barangkali
hanya sebuah kebetulan. Orang itu memang senang menyuguhkan hal yang
berat-berat, memberondong penonton dengan debat-debat filosofis dan tetek
bengeknya. Dia pikir saya ngerti, ta?
Ia mengaku tak percaya tuhan, tak
percaya pada ilmu pengetahuan dan menyebut kepercayaanya sebagai teleological existential atheis.
Binatang apakah ini? Silakan Anda jawab sendiri. Persoalan eksistensi memang
kerap muncul dalam filmnya. Bisa panjang kalau diuraikan. Ada satu film tentang
seorang tokoh yang tiba-tiba keluar dari layar. Ia jatuh cinta pada perempuan
yang menonton film itu sebanyak lima kali berturut-turut. Drama perebutan cinta
sang perempuan oleh aktor sebenarnya dan karakter yang diperankan terjadi.
Benturan antara yang nyata dan tidak nyata, tokoh rekaan dan manusia—digambarkan
manis di sini meski ujungnya tetap pahit.
Dua kali setidaknya saya pernah menjumpai
orang itu hampir mati. Pertama karena diagnosa dokter yang mengatakan
kemungkinan tumor di otaknya. Kedua karena ditembak salah satu penggemar ketika
ia memerankan sosok sutradara film komedi terkenal yang mana sangat mirip dengan
dirinya sendiri. Orang itu sempat mengalami depresi karena sadar bahwa filmnya
jauh dari realitas. Ia merasa tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu
mengentaskan kemiskinan, para penderita kanker dan segala penderitaan dunia. Lalu
tiba-tiba ia menyadari hidupnya sangat tidak berarti.
Ungkapan Tolstoy menjadi pas di
sini, “The only absolute knowledge
attainable by man is that life is meaningless.” Ungkapan ini pun menjadi
sub judul di salah satu filmnya. Orang ini beberapa kali kehilangan arah.
Mungkin juga diantara Anda pernah mengalaminya. Meskipun begitu, ia selalu bisa
mendapati dirinya kembali lewat momentum yang kadang sangat sedehana. Hanya
dengan memandang perempuan yang dicintai sambil mendengar musik dan menyendok
es krim sedikit demi sedikit. Orang itu akhirnya bisa mendapatkan hidupnya
kembali. Ternyata hidup masih indah.
Di akhir filmnya yang lain, orang
itu pernah mati. Sedikit lain karena film ini mengambil latar Rusia pada masa
perang melawan Napoleon. Orang itu mati setelah dipenggal karena percobaan
pembunuhan terhadap Napoleon. Sebuah kematian yang bahagia. Ia dijumpai sosok
malaikat dan mendapat pengampunan tuhan pada malam sebelumnya. Malaikat itu
berkata bahwa ia tak akan mati esok hari meski ia akhirnya mati juga. Sebuah film
yang menarik, membicarakan tentang cinta dan kematian dengan kutipan-kutipan
para filsuf pengisi dialog antar tokoh. Anda akan menemukan Spinoza dan
debat-debat konyol soal moral di sini. Film
yang ini masih kental dengan nuansa komedi dan mengingatkan saya pada cerita
Gogol tentang dua laki-laki bertetangga yang saling bertengkar karena hal-hal
remeh.
Di lain film, idenya tentang orang
yang bisa dihidupkan kembali di masa depan mirip dengan cerita Poe tentang mumi
dari Mesir kuno yang juga dihidupkan kembali oleh para ilmuwan. Keseluruhan
cerita memang sama sekali berbeda tetapi kisah semacam itu serasa menggelitik.
Kalaupun yang demikian itu bisa benar-benar terjadi, orang tak perlu bersusah
payah menggali sejarah. Anda juga bisa menemukan satir manis tentang masa depan
kapitalisme dalam film ini.
Seandainya ada yang ingin
menuliskannya dengan serius. Banyak sekali hal-hal menarik dari orang ini dan
film-filmnya. Setidaknya beberapa kali dia berhasil membuat saya menderita
setelah menonton. Sepertinya menarik melihat perjalanan film-filmnya dari tahun
70-an sampai sekarang. Saya sendiri menonton filmnya-filmnya secara terbalik.
Film-Film awalnya baru banyak saya tonton belakangan. Kalau berkenan, Anda bisa
menemui orang itu pada setiap dekade perjalanan kariernya dan menuliskan
masing-masing kekhasan atau gayanya. Genre filmnya juga tampak mengalami
perubahan dan belakangan semakin bervariasi. Artis filmnya juga berubah dari
waktu ke waktu, meskipun ia terbilang banyak menggunakan artis yang sama dalam
beberapa film di setiap periode waktu tertentu. Kalau ada yang tertarik lagi,
bisa dilihat juga bagaimana film-film itu menyerempet filsafat, seni, psikologi, psikiatri, dan sedikit politik
dalam narasi dan dialog.
Rasanya film orang itu memang cukup
bergizi—mengimbangi banyaknya produksi film holywood yang bisa dihitung dengan
jari ketika bicara kualitas—yang tentu saja ini subjektif menurut saya.
Membicarakan pengaruh barangkali juga menarik, misalnya pengaruh Ingmar Bergman
dan Fellini dalam film-film orang itu. Pengaruh selalu mengalir dalam
darah meski pengaruh bukan berarti meniru. Orang itu sungguh punya gaya
tersendiri dalam menulis dan menyutradari film-filmnya. Gayanya yang sok pintar
itu membuat saya suka. Kepintaran yang seringkali melelehkan hati perempuan.
Saya tahu itu bukan dimaksudkan untuk membodohi penonton karena barangkali saja
ia menganggap penontonnya sama pintar dengannya, atau bahkan lebih pintar.
Saking banyaknya, saya jadi bingung
akan menuliskan apalagi. Betapa tidak tertatanya sesuatu dalam otak saya ini. Dan
sepertinya tidak akan ada senja sore ini. Langit sedang cerah tetapi gelap. Sementara film-film itu tak pernah menginginkan dirinya selesai. Mereka menambatkan
kesan pada mata orang-orang. Tokoh-tokohnya berkeliaran, berpindah dari layar
menuju pikiran. Mengapa mengajari diri sendiri terus-menerus tak pernah cukup
untuk dunia ini? Sedang kita masih saja menjejalkan diri di tangan orang-orang
yang mengajari kita dengan begitu membosankan. Bodohnya, kita masih dengan
senang hati membayar mereka begitu mahal. Lalu, akan menonton apalagi setelah
ini?
Menuju Senja, Kamar Kost, 7 Februari
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar