Selamat Pagi. Ada ‘wow’ mengapung di
cangkir kopi. Entah kenapa saya merasa disuruk-suruk untuk menuliskannya pagi
ini. Tulisan buruk rupa tentang cerita luar biasa, yang barangkali juga tidak
penting bagi sebagian orang. Telat sekali saya membacanya, rasanya pahit seperti
saya seorang yang telat dan semua orang di dunia sudah membacanya. Kata teman
sebelah, lebih baik telat daripada telat sekali, bukan?
Banjir sedang mengaliri jalan-jalan
Ibu Kota, demikian juga dengan saya yang sedang kebanjiran ini, kebanjiran apa?
Ah, tidak penting. Hanya berdoa saja yang bisa saya lakukan untuk
saudara-saudara di Jakarta. Sedangkan di sini, saya masih membaca novel dan
menonton film setiap hari sambil bernyanyi, “dan berholiday...tak pernah usai...”.
Benar-benar hidup cap...
Setelah membaca Student Hidjo yang
dengan bahasanya telah membuat saya meletup-letup, kemarin saya dipukau oleh tiga
karya fiksi Tirto Adhi Soerjo (selanjutnya akan disingkat dengan T.A.S) dalam
Sang Pemula.[1]
Sungguh akan sangat naif kalau membaca karya ini dengan prasangka moral. Konteks
pada zaman cerita itu dibuat jelas sangat berbeda dengan sekarang. Tapi dari
cerita-cerita itu, kita bisa menemukan jejak bagaimana hal-hal serupa tetap
bisa terjadi sampai hari ini.
Ketika membandingkan dua karya
pertama T.A.S yaitu Cerita Nyai Ratna dan Membeli Bini Orang, 1909, pembaca
akan dengan mudah menemukan kemiripan tema. Dua-duanya berkisah tentang dunia
pernyaian, cerita tentang pribumi yang menjual istrinya kepada lintah darat
Belanda untuk membayar utang, soal kepriyayian pada masa itu dan sosok pembaca
kartu, peramal nasib yang kerap muncul. Kehadiran si peramal ini sebenarnya
cukup menarik untuk dibahas lebih panjang. Orang-orang Belanda itu ternyata ikut
percaya juga pada mereka, yang bekerja kadang bukan dengan keahlian membaca
kartu melainkan keahlian mengatur siasat, bagaimana nyai ini bisa jadi sama
tuan itu, dan sebagainya. Ceritanya memang hanya berputar pada nyai-nyai yang
dipelihara Belanda, lalu nyai-nyai yang memelihara laki-laki pribumi.
Dalam pengantar bagian ketiga Sang
Pemula, Pram banyak bertutur bagaimana perubahan sosial pada saat itu mampu
direkam T.A.S meski dalam karya yang nge-pop.
Dunia pergundikan memang dianggap sebagai hal biasa. Perempuan-perempuan yang
menjadi nyai itu tidak hanya berasal dari golongan rendah tetapi juga golongan
menengah. Justru, perempuan yang menjadi nyai akan terangkat derajatnya.
Para Raja dan Bangsawan Jawa mungkin
memiliki kebiasaan sama soal memelihara perempuan tetapi para tuan Belanda menempatkan nyainya dalam strata yang sedikit berbeda. Mereka bahkan akan
mengusahakan pendidikan bagi anak dari seorang nyai sampai ke Eropa. Para pejabat
Belanda di Hindia sebagian besar adalah keturunan nyai-nyai dengan tuannya.
Mereka memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dibanding bangsawan pribumi
asli.
Nyai-nyai ini mendapat gaji, rumah,
sawah, bahkan uang pensiun serta hak untuk menuntut lepas dari tuannya. Ruang
lingkup gerak dan pergaulan mereka lebih luas daripada perempuan bangsawan
Hindia. Memang sedikit menyakitkan membaca cerita ini. Kita akan dituntun untuk
membayangkan konteks pada masa itu, bagaimana relasi sosial, politik dan
ekonomi yang terjadi antara nyai-nyai dengan tuannya, maupun kondisi
Hindia secara lebih luas.
Cerita T.A.S tak bisa dilepaskan
dari sejarah sosial budaya pada abad 19 dan awal abad 20. Soal nyai-nyai
tampaknya memang sudah menjadi fenomena biasa dan dapat diterima umum. Dalam
ceritanya, penggambaran T.A.S atas kondisi pada zamannya dengan bahasa Melayu pasar
yang digunakan telah memukau saya. Orang-orang bicara dengan campuran antara
bahasa Sunda, Jawa, Belanda, dengan efek khusus yang ditimbulkan ketika
membaca. Pembaca bisa merasakan sendiri bagian ketika Nyai Ratna sedang
berbirahian—dalam istilahnya T.A.S—dengan seorang mahasiswa kedokteran bernama
Sambodo. Saya cuplikkan saja di sini, atau barangkali memang hanya saya yang
mendapat sensasi tertentu ketika membaca ini, maaf jika demikian.
“Ratna semakin terpikat pada pemuda yang tidak saja
cakap itu juga pandai bicara dan pintar membawa pembicaraan yang menyenangkan
hatinya.
-
Tuan suka gula
biet?
-
Dengan segala
senang hati, jiwa.
-
Berapa? Satu?
Dua?
-
Kalau tidak
disendok, kalau dijumput dengan jari yang elok itu, satu saja cukup.
-
Enakan dijumput
dengan jari saja. Kobokan tak ada, hendak ambil malas. Bujang udah pada capek.
-
Biar saya seka
dengan lidah saya.
-
Coy ... mana
mungkin. Lah, lelaki jaman sekarang. Pandai ambil hati perempuan.
Mentang-mentang lidah tidak bertulang.
-
Coba kemarikan
kalau tidak percaya.
Ratna lalu menghampiri tempat duduk pemuda itu,
mengulurkan jarinya yang habis mengambil gula. Oleh pemuda itu jari Ratna
digigit sampai menjerit, menariknya dan mencubit pada tamunya, seraya mengomel:
-
Benci gua. Coba
sampai luka begini.
-
Ya Robbi, ya
Rasul, kasihan, ampun, ampun, kasihan betul. Sakit? Tanya pemuda itu sambil
memeluk Ratna dan menciumnya gemas.” (Halaman, 382)
Saya tidak bisa membayangkan
penggunaan bahasa yang lugas seperti ini ternyata justru mampu menampilkan efek
visual yang sangat jelas. Di sebuah ruang tamu rumah loji dengan perabot mewah,
Ratna yang ditinggal suaminya sebagai Kapten Kapal, bertemu dan berasyik masyuk
dengan Sambodo. Ahahaha... Perselingkuhan menjadi semacam sifat alami dalam
percintaan yang mungkin seringkali masih kita jumpai sampai sekarang. Kalaupun
bukan tubuh, siapa tak mengaku kalau hati dan pikirannya pernah berselingkuh.
Kisah Ratna berakhir tragis (sambil
menepuk perut dan mengucap mantra ‘amit-amit
jabang bayi’). Ratna urung kawin dengan Sambodo. Suami Ratna bangkrut,
bahkan berusaha mencuri harta miliknya. Ratna yang di awal cerita digambarkan
begitu cantik, menjadi rebutan bangsawan dan tuan-tuan Belanda menjadi
lontang-lantung nasibnya. Ia kembali menjadi nyai seorang Belanda dan
dikabarkan tega meracun suaminya sendiri hingga mati. Sedikit subyektif saya
berpanjang lebar dengan cerita ini karena unsur kesamaan nama yang tidak
disengaja.
Sedikit meloncat, bukan kebetulan
kalau sehari sebelumnya saya menonton film The
Lover yang diadaptasi dari novel Marguirite Duras. Kalau dicari-cari
kesamaannya, maka saya menemukan bentuk kemiripan dari cerita kehidupan
percintaan antar ras, tragis dan selalu tak berakhir bahagia. Setelah menonton
filmnya, saya baru mengerti apa yang dimaksud Masnya teman sebelah tentang
keintiman antara sastra dan film. Novelnya intim dengan dengan gaya tutur orang
pertama, sering disebut juga sebagai nukilan kehidupan Duras sendiri. Sedangkan
filmnya sangat intim dengan kamera yang sering menampilkan gambar-gambar close-up, bahkan sampai ke permukaan
kulit. Film ini berkisah tentang percintaan gadis Prancis dan Pria Cina dewasa
yang berlatar di Vietnam, koloni Prancis pada waktu itu. Sebuah kisah cinta
remaja yang tidak biasa. Keintiman antara gambar dan narasi dalam film ini
memang asyik. Lho, kok jadi ngomongin film. Sebelum jauh, mari
kita kembali.
Saya tidak tahu bagaimana Pram
menggolongkan dua cerita sebelumnya sebagai cerita pop dan cerita ketiga yang berjudul
Busono, 1912 adalah termasuk jenis sastra. Cerita pop, kata Pram, ditulis hanya
untuk dijual kepada mereka yang memerlukan hiburan. Sedangkan Busono, 1912 memuat
pergulatan mimpi-mimpi T.A.S dengan kenyataan yang harus dihadapinya. Memang
sangat disayangkan bahwa hanya sebagian kecil saja dari cerita ketiga ini yang
bisa diselamatkan.
Dari cerita ketiga yang kental
dengan unsur otobiografi T.A.S, kita bisa menemukan kemunculan kesadaran
pribumi lewat jurnalisme, selain juga tetap dengan kisah percintaan Busono.
Sebagai gambaran sosok pribadi T.A.S, kita akan mendapati pemikiran-pemikiran
awalnya, bagaimana ia mengkritik para priyayi baik besar maupun kecil yang
dengan mudahnya bisa disogok. Itu juga karena gaji mereka sangat rendah dengan
jenjang pangkat yang jauh. Akan saya kutipkan lagi bagian dalam cerita Busono,
1912.
“Apakah bangsa lain itu semua jadi pegawai gubermen?
Tidak, bukan? Apakah kita kekurangan modal? Sama sekali tidak. Modal cukup
banyak pada kita, asal mau mencarinya saja. Apalagi kalau kita mau bersemboyan
sedikit-sedikit menjadi bukit. Berbagai onderneming, pabrik, toko, kongsi itu, semua
milik orang Eropa, atau miliki bangsa lain, di samping milik Sri Ratu ada
perorangan dan ada milik bersama. Mereka, bangsa Eropa, mengumpulkan modal
sedikit sedikit dan setelah terkumpul mereka lalu mendirikan kongsi besar.
Selain untuk mencari keuntungan, mereka juga memberikan pekerjaan kepada
bangsanya, juga kepada kita, tapi yang Cuma sedikit hasilnya. Ini disebabkan
karena bangsa kita tak memasukkan modal ke dalamnya. Mengapa kita tak mau
mencontoh?” (Halaman, 482)
Di zaman itu ternyata sudah
ada yang berpikir demikian di negeri ini. Pada bagian akhir cerita yang
terputus tak diketahui lanjutannya ini, Busono akhirnya mampu menerbitkan koran
mingguan atas usahanya sendiri dan bantuan modal dari seorang bupati. Jujur
saya belum membaca bagian awal Sang Pemula yang merupakan tulisan Pram tentang biografi
T.A.S. Kalau lebih jauh ditelusuri, tentu akan banyak hal menarik dari kehidupan
dan perjuangannya sebagai tonggak penting berdirinya jurnalisme pribumi.
Demikianlah Hindia pada
masanya digambarkan dalam cerita soal pernyaian disamping kemunculan tokoh luar
biasa seperti T.A.S yang dipersonifikasikan Pram sebagai sosok Minke dalam
tetraloginya. Sebelum membaca tiga karya fiksi T.A.S, Pram memberitahu saya di
bagian pengantar bahwa guling atau
bantal panjang yang kita dekap tiap malam itu adalah warisan masa pernyaian
untuk peradaban baru. Orang Inggris mengejeknya dengan nama Dutch wife alias “bini Belanda”. Saat
ini kita hanya melihatnya sebagai guling, sesuatu yang tampak. Sedangkan bagian-bagian
yang hilang di belakang suatu materi berbentuk guling itu sendiri tak terekam
jejaknya dalam ingatan. Rasanya ini menjadi contoh menarik untuk menggambarkan
obrolan soal Bergson dan materi, antara teman sebelah dan Masnya yang satunya
di sebuah warung kopi beberapa waktu lalu.
Kalau sekarang kita banyak dihadapkan
dengan urusan moral, moralisasi, ah, capek sekali. Dan betapa senang saya bisa
menelusuri kembali bahasa berlekuk liku dan berpilin pintal yang berasal dari
masa lalu. Nah, daripada sibuk bicara
soal moral, sibuk mengomentari soal calon hakim yang bikin guyonan tidak lucu
itu, tak ada salahnya kalau kita baca lagi tiga karya fiksi T.A.S. Setelahnya,
bolehlah kita mengaca apakah kita termasuk pembesar-pembesar jang doeloe kena
critiknja karena kelakoennja jang koerang senonoh.
Kamar Kost, 17 Januari 2013
[1]
Lihat, Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula
(Jakarta: Lentera Dipantara, 2003). Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama adalah tulisan Pram tentang Tirto Adhi Soerjo. Bagian kedua memuat
karya-karya non fiksi dan karya jurnalistik Tirto Adhi Soerjo pada masanya dan
bagian ketiga memuat tiga karya fiksinya: Cerita Nyi Ratna Betapa seorang
isetri setia telah menjadi jahat Satu Cerita yang sungguh sudah terjadi di Jawa
Kulon; Membeli Bini Orang, 1909 Sebuah Cerita Yang Sungguh Sudah Terjadi Di
Periangan; Busono, 1912.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar