Rabu, 16 Januari 2013

Musik Jazz Bungkus Daun Jati


Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menonton salah satu film dokumenter karya Garin Nugroho, Teak Leaves at The Temples (2007, 71 menit). Matahari hampir tergelincir ke barat ketika film ini diputar bersama Nanang R Hidayat, art director yang ikut menggarap film ini. Teak Leaves at The Temples menjadi semacam video klip panjang atas pertunjukan musik free jazz dari kolaborasi Guerino Mazzola (piano), Heinz Geisser (perkusi) dan Norris Jones a.k.a Sirone (bass) yang bermain di tiga candi; Borobudur, Prambanan dan Boko.

Dari beberapa film dokumenter yang pernah saya tonton, bentuk seperti ini memang baru kali ini saya jumpai. Sebuah dokumenter dengan banyak lapis di dalamnya, tak hanya merekam tapi juga ikut mengkonstruksi. Sebagai sebuah dokumenter musik, Teak Leaves at The Temples menggabungkan jazz dengan unsur-unsur seni masyarakat lokal. Film ini menggendeng beberapa komunitas seni akar rumput di lereng Merapi seperti Komunitas Lima Gunung, Seni Sono Ensambel, dan beberapa nama lain yang saya tidak bisa mengingatnya.

Ada dialog antara bentuk dan gagasan yang ingin ditampilkan dalam film. Saya setuju dengan teman sebelah bahwa film ini memang tidak menyuguhkan titik temu antara visual yang ditampilkan dengan free jazz itu sendiri. Keduanya seperti berdiri dalam ruang terpisah dan bahkan musik jazznya terasa mengganggu. Tapi justru itulah yang membuat film ini terkesan asyik. Harmonisasi musik tradisional dengan kemantapan ritmenya diusik oleh kehadiran jazz dengan nada tak beraturannya. Keduanya tidak bertemu tapi tetap menggelinding bersama.  

Terlepas dari unsur musik yang tidak akan diuraikan lebih panjang lagi, narasi film ini menjadi menarik dengan kehadiran banyak seniman, masyarakat lokal dan peran besar kamera yang menjaga ritme antara narasi visual dan musik. Kita diperkenalkan kepada sosok Ismanto dengan pakaian Superman dan filosofi hidupnya, yang punya tuhan sangat cair seperti musik jazz itu sendiri. Garin juga menampilkan sosok penari yang selalu muncul mengawali setiap scene yang menandai bahwa film ini seperti terbagi menjadi tiga bagian sebagaimana bangunan candi; kamadhatu, rupadhatu dan bagian puncak atau arupadhatu.  

Mas Nanang kemudian lebih banyak bercerita soal teknis bagaimana menerjemahkan ide-ide Garin dalam bentuk gambar maupun properti-properti yang digunakan. Ia bercerita bagaimana membuat, mengangkut ke lokasi sampai menyalakan seribu lampion untuk mempercantik pertunjukan musik jazz di sekitar Candi Borobudur. Ia bercerita juga ketika harus mencari daun-daun jati sampai blusukan ke pasar Kranggan dini hari.

Dalam proses pembuatannya, banyak hal spontan yang dilakukan. Konsep memang telah disiapkan tetapi ketika dalam perjalanan banyak menemukan hal baru, tak ingin menyia-nyiakan keindahan yang berceceran, maka itulah yang dipungut sepanjang perjalanan. Banyak film yang berangkat dari narasi tertulis tapi Garin mencoba untuk membuat filmnya dari narasi-narasi lisan. Film ini mengumpulkan segala sesuatu yang tampak indah, belanja gambar kalau dalam istilahnya Mas Nanang. Semua gambar yang telah terkumpul kemudian diserahkan kepada Garin dalam proses penyuntingan. Beginilah jadinya. Sebuah mozaik yang ketika ditonton lagi akan tetap susah mengingat dengan tepat scene apa yang akan muncul kemudian.

Mengapa daun jati? Pertanyaan ini muncul selama proses diskusi. Pada bagian pertama, seorang perempuan menari dengan selembar daun jati yang masih segar. Mengawali bagian kedua, perempuan itu menari dengan daun jati sedikit layu dan beberapa lembar lain berserakan disekitarnya. Mengawali bagian ketiga, perempuan itu menari dengan selembar daun jati kering. Tarian senja dengan efek suara dari selembar daun jati yang diremas-remas.

Film ini tentu saja bersifat sangat cair. Terbuka terhadap segala bentuk penafsiran. Daun jati mampu menimbulkan efek suara yang khas. Ia juga banyak dijumpai di daerah sekitar Candi Boko. Di balik segala filosofinya, kita bisa melihat fungsi dan kedekatan daun jati dengan masyarakat desa. Daun jati bisa jadi bungkus tempe bongkrek kalau dalam Ronggeng Dukuh Paruknya Ahmad Tohari yang difilmkan jadi Sang Penari itu. Daun jati bisa jadi bungkus nasi pecel yang ikut mempengaruhi rasanya. Daun jati menjadi semacam ikon dalam film yang dapat ditafsir apa saja, menerjemahkan segala macam makna dalam sebuah bentuk dengan kesan artistiknya.

Eksperimentasi bentuk film semacam ini mungkin tak asing bagi Garin. Menonton film ini langsung mengingatkan saya pada Opera Jawa. Garin menyuguhkan banyak sekali metafor lewat gerak, tembang, bahkan seni instalasi. Narasi besar kisah Sinta, Rama dan Rahwana di-Jawa-kan dengan gerak hasrat Siti yang mengintip-ngintip.  Seorang perempuan yang menari dengan kukusan nasi, perempuan yang tersesat di labirin sabut kelapa dan tergoda nyala lilin-lilin serta uantaian kain merah, tembang orang-orang kecil yang kebingungan akan ikut dengan siapa, relasi cinta segitiga dan ketimpangan sosial yang diaduk menjadi satu dalam film itu.

Dibandingkan dengan Opera Jawa yang dibayangi oleh narasi berat kisah Ramayana—meski narasi inilah yang justru menyelamatkan film—Teak Leaves at The Temples lebih mengalir lancar. Bahasa visual Garin menyajikan persepsi atas kehidupan sehari-hari yang tampak sederhana menjadi sesuatu yang sama sekali lain. Kehidupan di sebuah pasar dibingkai ulang dan gambar-gambar itupun menyanyikan musiknya sendiri lewat suara mesin jahit, suara kerupuk yang digoreng di sebuah wajan besar, suara besi yang sedang dipipihkan di tengah arang membara.

Tentu saja ketika pertunjukan free jazz ini didokumentasikan begitu saja, orang akan merasa bosan setengah mati menontonya. Free jazz bagi sebagian orang mungkin masih suilit dinikmati, apalagi karena telinga kita terbiasa mendengarkan musik-musik penuh harmoni. Tetapi dengan visualisasi, ada banyak hal menarik diperlihatkan dalam film ini. Seorang pemain piano bermain di tengah reruntuhan bangungan sehabis gempa Jogja. Di belakangnya, seorang anak meniup gelembung sabun dengan wajah datar, juga beberapa anak lain yang mengelilingi pemain jazz itu. Lalu kita diperkenalkan dengan komunitas Daging Tumbuh yang seperti menebarkan harapan dengan lukisan-lukisan di reruntuhan bangunan. Saya sendiri suka sekali dengan adegan orang-orang yang dipotret mirip foto keluarga, berjajar begitu saja dengan ekspresi datar menatap kamera.

Hal yang berkesan jadinya memang bukan musik yang mengisi film tetapi beraneka rupa seni, nenek-nenek yang menyanyi tanpa ekspresi, mengucap selamat datang kepada para tamu diiringi irama alu dan lesung saling beradu. Pada akhirnya di sebuah senja, Si Penari berjalan ke arah bukit dengan payungnya, disusul dengan dua orang laki-laki tua, lalu muncul Ismanto dengan pakaian Supermannya, berlari jenaka seperti ingin terbang. Dari begitu banyak suara, mozaik yang beraneka rupa sepanjang film dirangkum dalam momen adegan penutup ini. Film ini lebih seperti karnaval, lebih ekspresif dari sekadar instrumental. 

Maaf karena tulisan ini seperti terputus dan hanya sekadar menuliskan kesan. Tapi, seberapapun saya terkesan, toh film ini juga tidak akan ditonton banyak orang. Sayang sekali, bukan? Arrrrggggg, saya ingin menulis tesis soal film, sumpah!

Kamar Kost, 16 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar