Beberapa waktu lalu saya
berkesempatan menonton salah satu film dokumenter karya Garin Nugroho, Teak Leaves at The Temples (2007, 71
menit). Matahari hampir tergelincir ke barat ketika film ini diputar bersama
Nanang R Hidayat, art director
yang ikut menggarap film ini. Teak Leaves at The Temples menjadi semacam
video klip panjang atas pertunjukan musik free jazz dari kolaborasi Guerino Mazzola (piano), Heinz Geisser (perkusi) dan Norris
Jones a.k.a Sirone (bass) yang bermain di tiga candi; Borobudur, Prambanan dan Boko.
Dari
beberapa film dokumenter yang pernah saya tonton, bentuk seperti ini memang
baru kali ini saya jumpai. Sebuah dokumenter dengan banyak lapis di dalamnya,
tak hanya merekam tapi juga ikut mengkonstruksi. Sebagai sebuah dokumenter musik,
Teak Leaves at The Temples
menggabungkan jazz dengan unsur-unsur seni masyarakat lokal. Film ini menggendeng
beberapa komunitas seni akar rumput di lereng Merapi seperti Komunitas Lima
Gunung, Seni Sono Ensambel, dan beberapa nama lain yang saya tidak bisa
mengingatnya.
Ada dialog
antara bentuk dan gagasan yang ingin ditampilkan dalam film. Saya setuju dengan
teman sebelah bahwa film ini memang tidak menyuguhkan titik temu antara visual
yang ditampilkan dengan free jazz itu
sendiri. Keduanya seperti berdiri dalam ruang terpisah dan bahkan musik jazznya
terasa mengganggu. Tapi justru itulah yang membuat film ini terkesan asyik.
Harmonisasi musik tradisional dengan kemantapan ritmenya diusik oleh kehadiran
jazz dengan nada tak beraturannya. Keduanya tidak bertemu tapi tetap
menggelinding bersama.
Terlepas
dari unsur musik yang tidak akan diuraikan lebih panjang lagi, narasi film ini
menjadi menarik dengan kehadiran banyak seniman, masyarakat lokal dan peran
besar kamera yang menjaga ritme antara narasi visual dan musik. Kita
diperkenalkan kepada sosok Ismanto dengan pakaian Superman dan filosofi
hidupnya, yang punya tuhan sangat cair seperti musik jazz itu sendiri. Garin
juga menampilkan sosok penari yang selalu muncul mengawali setiap scene yang menandai bahwa film ini seperti
terbagi menjadi tiga bagian sebagaimana bangunan candi; kamadhatu, rupadhatu
dan bagian puncak atau arupadhatu.
Mas Nanang
kemudian lebih banyak bercerita soal teknis bagaimana menerjemahkan ide-ide
Garin dalam bentuk gambar maupun properti-properti yang digunakan. Ia bercerita
bagaimana membuat, mengangkut ke lokasi sampai menyalakan seribu lampion untuk
mempercantik pertunjukan musik jazz di sekitar Candi Borobudur. Ia bercerita
juga ketika harus mencari daun-daun jati sampai blusukan ke pasar Kranggan dini hari.
Dalam
proses pembuatannya, banyak hal spontan yang dilakukan. Konsep memang telah
disiapkan tetapi ketika dalam perjalanan banyak menemukan hal baru, tak ingin
menyia-nyiakan keindahan yang berceceran, maka itulah yang dipungut sepanjang
perjalanan. Banyak film yang berangkat dari narasi tertulis tapi Garin mencoba
untuk membuat filmnya dari narasi-narasi lisan. Film ini mengumpulkan segala
sesuatu yang tampak indah, belanja gambar kalau dalam istilahnya Mas Nanang.
Semua gambar yang telah terkumpul kemudian diserahkan kepada Garin dalam proses
penyuntingan. Beginilah jadinya. Sebuah mozaik yang ketika ditonton lagi akan
tetap susah mengingat dengan tepat scene
apa yang akan muncul kemudian.
Mengapa
daun jati? Pertanyaan ini muncul selama proses diskusi. Pada bagian pertama,
seorang perempuan menari dengan selembar daun jati yang masih segar. Mengawali
bagian kedua, perempuan itu menari dengan daun jati sedikit layu dan beberapa
lembar lain berserakan disekitarnya. Mengawali bagian ketiga, perempuan itu
menari dengan selembar daun jati kering. Tarian senja dengan efek suara dari
selembar daun jati yang diremas-remas.
Film ini
tentu saja bersifat sangat cair. Terbuka terhadap segala bentuk penafsiran.
Daun jati mampu menimbulkan efek suara yang khas. Ia juga banyak dijumpai di
daerah sekitar Candi Boko. Di balik segala filosofinya, kita bisa melihat fungsi
dan kedekatan daun jati dengan masyarakat desa. Daun jati bisa jadi bungkus
tempe bongkrek kalau dalam Ronggeng Dukuh Paruknya Ahmad Tohari yang difilmkan
jadi Sang Penari itu. Daun jati bisa jadi bungkus nasi pecel yang ikut
mempengaruhi rasanya. Daun jati menjadi semacam ikon dalam film yang dapat
ditafsir apa saja, menerjemahkan segala macam makna dalam sebuah bentuk dengan
kesan artistiknya.
Eksperimentasi
bentuk film semacam ini mungkin tak asing bagi Garin. Menonton film ini
langsung mengingatkan saya pada Opera Jawa. Garin menyuguhkan banyak sekali
metafor lewat gerak, tembang, bahkan seni instalasi. Narasi besar kisah Sinta,
Rama dan Rahwana di-Jawa-kan dengan gerak hasrat Siti yang
mengintip-ngintip. Seorang perempuan
yang menari dengan kukusan nasi, perempuan yang tersesat di labirin sabut
kelapa dan tergoda nyala lilin-lilin serta uantaian kain merah, tembang
orang-orang kecil yang kebingungan akan ikut dengan siapa, relasi cinta
segitiga dan ketimpangan sosial yang diaduk menjadi satu dalam film itu.
Dibandingkan
dengan Opera Jawa yang dibayangi oleh narasi berat kisah Ramayana—meski narasi
inilah yang justru menyelamatkan film—Teak
Leaves at The Temples lebih mengalir lancar. Bahasa visual Garin menyajikan
persepsi atas kehidupan sehari-hari yang tampak sederhana menjadi sesuatu yang
sama sekali lain. Kehidupan di sebuah pasar dibingkai ulang dan gambar-gambar
itupun menyanyikan musiknya sendiri lewat suara mesin jahit, suara kerupuk yang
digoreng di sebuah wajan besar, suara besi yang sedang dipipihkan di tengah
arang membara.
Tentu saja
ketika pertunjukan free jazz ini
didokumentasikan begitu saja, orang akan merasa bosan setengah mati menontonya.
Free jazz bagi sebagian orang mungkin
masih suilit dinikmati, apalagi karena telinga kita terbiasa mendengarkan
musik-musik penuh harmoni. Tetapi dengan visualisasi, ada banyak hal menarik
diperlihatkan dalam film ini. Seorang pemain piano bermain di tengah reruntuhan
bangungan sehabis gempa Jogja. Di belakangnya, seorang anak meniup gelembung
sabun dengan wajah datar, juga beberapa anak lain yang mengelilingi pemain jazz itu. Lalu kita diperkenalkan dengan komunitas Daging Tumbuh yang seperti
menebarkan harapan dengan lukisan-lukisan di reruntuhan bangunan. Saya sendiri
suka sekali dengan adegan orang-orang yang dipotret mirip foto keluarga,
berjajar begitu saja dengan ekspresi datar menatap kamera.
Hal yang berkesan
jadinya memang bukan musik yang mengisi film tetapi beraneka rupa seni, nenek-nenek
yang menyanyi tanpa ekspresi, mengucap selamat datang kepada para tamu diiringi
irama alu dan lesung saling beradu. Pada akhirnya di sebuah senja, Si Penari
berjalan ke arah bukit dengan payungnya, disusul dengan dua orang laki-laki tua,
lalu muncul Ismanto dengan pakaian Supermannya, berlari jenaka seperti ingin
terbang. Dari begitu banyak suara, mozaik yang beraneka rupa sepanjang film dirangkum
dalam momen adegan penutup ini. Film ini lebih seperti karnaval, lebih
ekspresif dari sekadar instrumental.
Maaf karena tulisan ini seperti terputus dan hanya sekadar menuliskan kesan. Tapi, seberapapun saya terkesan, toh film ini juga tidak akan ditonton banyak orang. Sayang sekali, bukan? Arrrrggggg, saya ingin menulis tesis soal film, sumpah!
Maaf karena tulisan ini seperti terputus dan hanya sekadar menuliskan kesan. Tapi, seberapapun saya terkesan, toh film ini juga tidak akan ditonton banyak orang. Sayang sekali, bukan? Arrrrggggg, saya ingin menulis tesis soal film, sumpah!
Kamar
Kost, 16 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar