Kepada siapakah akan saya bagikan
kisah ini. Sementara orang itu sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Sekian
banyak cerita dihadirkan kembali lewat ilusi-ilusi layar. Seberapa banyak
kenyataan yang dihilangkan, ditolak lalu diolah lewat teknik sinematografis,
penciptaan citra estetika, katanya. Dunia baru ini benar-benar membuat saya
gagap. Demikian juga dengan orang-orang itu.
Tak banyak film yang saya tonton dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2012 kali ini, atau terlalu banyak untuk ukuran mereka yang sibuk. Memang terlalu banyak saya punya waktu luang.
Tak banyak film yang saya tonton dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2012 kali ini, atau terlalu banyak untuk ukuran mereka yang sibuk. Memang terlalu banyak saya punya waktu luang.
Sisa film dalam folder sudah
menipis. Beberapa diantaranya justru membuat saya mengantuk, murung, melankolis
secara berlebihan, dan banyak efek negatif lainnya, semacam mengurangi daya
hidup. Menonton drama korea seperti biasa juga sudah tidak menggairahkan lagi.
Mereka seperti terus mengulang narasi yang sama, rebutan harta, rebutan cinta,
meski tentu harus saya katakan bahwa itu pun masih lebih baik daripada sinetron
kita.
Melarikan diri dengan menonton JAFF menjadi pilihan saya. Minggu itu saya pindahkan kampus ke Taman Budaya. Dasar
memang sudah tidak ada kuliah, proposal yang tak kunjung beres. Kacau pokoknya.
Kehadiran JAFF seperti memberi harapan, barangkali ada film yang menggairahkan.
Pengalaman visual saya selama ini jelas belum cukup untuk bisa menilai sesuatu secara obyektif. Dan memang tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk menilai. Saya hanya ingin mencatat kesan dan pengalaman saja. Sekali-sekali boleh lah saya sok-sokan membahas film meskipun ya cuma sok-sokan yang pantas ditertawakan.
Pengalaman visual saya selama ini jelas belum cukup untuk bisa menilai sesuatu secara obyektif. Dan memang tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk menilai. Saya hanya ingin mencatat kesan dan pengalaman saja. Sekali-sekali boleh lah saya sok-sokan membahas film meskipun ya cuma sok-sokan yang pantas ditertawakan.
Film-film ini tidak bisa dipercaya.
Tidak bisa dipercaya betapa orang bisa membuat yang demikian itu, tidak bisa dipercaya
karena saya bisa menyaksikankanya, dan sekian banyak karena yang bisa mengikuti
sebuah frase ‘tidak bisa dipercaya’.
Dokumenter
yang Tidak Bisa Dipercaya
Dalam festival ini terdapat beberapa pemutaran film dokumenter. Tentu saja tidak semuanya saya lihat. Menonton Philippine New Wave: This is Not A Film
Movement (Kavn De La Cruz, 75 menit, 2012) membuat saya bosan setengah mati. Dokumenter ini memuat
pernyataan-pernyataan para sutradara Filipina yang katanya semakin mudah membuat
film di era digital. Mereka bisa berekspresi dengan bebas, mengenalkan
identitas ke-Filipina-an, merekam orang-orang terpinggirkan, dan serangkaian
retorika yang biasa dikatakan orang-orang di luar mainstream. Halah, ngemeng epeh to yo. Saya tidak
tahu apakah ini disengaja, tapi visualisasi dari film ini memang menggangu.
Kadang tidak jelas apa yang dikatakan, kadang kamera terlalu dekat dengan subjek,
kadang juga terganggu dengan masuknya suara-suara dari luar.
Sepertinya di luar hujan. Apakah
setelah ini akan ada sesuatu yang menggairahkan? Kalau tidak, biar saya pulang
saja sambil menari di bawah hujan.
Tapi Hujan pula yang memberhentikan
langkah dan tetap membuat saya duduk menatap layar. Film kedua yang saya
tonton berjudul Negeri di Bawah Kabut
(Shalahuddin Siregar, 105 menit, 2011). Dokumenter ini bercerita tentang kehidupan orang-orang di lereng Merbabu. Gambar pertama memperlihatkan seorang ibu yang
berusaha memotong kuku anaknya ketika tidur. Memotret dengan cerita yang
terkesan lambat membuat saya ikut hanyut dalam kehidupan mereka. Para ibu
bangun jam tiga pagi di tengah cuaca dingin, menanak nasi, pergi ke ladang
menanam kentang, dan serangkaian gambar lain yang menghadirkan kehidupan mereka.
Film ini tentu dibuat dalam jangka waktu
lama. Dari dialog-dialog natural, penonton bisa merasakan kehidupan serba
pas-pasan tetapi para petani itu tetap menikmatinya. Musim mulai mengacaukan
perhitungan mereka selama masa tanam. Hujan terlalu banyak membuat
kentang-kentang membusuk, kemarau yang demikian panjang membuat sayuran di
ladang kering. Dan seorang anak dengan nilai paling tinggi dalam ujian harus
rela untuk tidak melanjutkan ke sekolah negeri karena tak ada uang untuk
membeli seragam. Sang ayah pun terpaksa berhutang.
Saya menyukai keintiman
kamera dengan subjek dalam film ini meski terkesan lambat. Kehidupan mereka
memang berada dalam ritme yang lambat, tetapi tak berarti juga menyia-nyiakan
waktu. Wis, pokoke apik lah menurutku.
Sekali lagi hanya menurut saya. Di akhir film pun, sang sutradara manawarkan
harapan lewat ocehan seorang anak kecil. Suka juga bahwa film ini memotret
momentum Pilpres 2009 lalu. Ketika penghitungan suara, tampak bahwa sebagian
besar orang di sana memilih Megawati sebagai presiden. Hehe... tawa ini tidak
bermaksud apa-apa, abaikan saja.
Film dokumenter lain yang saya
tonton adalah Bachelor Mountain (Yu
Guangyi, 95 menit, 2011). Ini film juga sangat menggairahkan, merekam kisah
cinta yang sangat personal dengan latar belakang perubahan sosial dan kapitalisasi.
Bayangkan ketika jumlah laki-laki di daerah China bagian utara semakin
meningkat karena para wanitanya tak tahan hidup susah mengandalkan pekerjaan
hutan dan berpindah mencari penghidupan di kota. Mengandalkan hasil hutan juga
semakin sulit karena peraturan perlindungan hutan dan pelestarian lingkungan.
Seorang duda yang telah ditinggal
istrinya dikisahkan mencintai seroang gadis di kota itu secara diam-diam. Ia
sering membantu pekerjaan rumah sang gadis yang juga memiliki penginapan.
Laki-laki itu mencintai perempuannya selama dua belas tahun dan tak pernah berubah
cintanya, bahkan tak pernah mencoba berpindah ke lain hati hanya karena ingin
menjaga track record-nya sebagai
laki-laki yang baik. Sayangnya, sang gadis tak pernah ingin menikah. Ia hanya
ingin terus berkonsentrasi dengan bisnis penginapan yang memang terus
berkembang. Orang tuanya tak berhenti mendorongnya untuk menikah. Potongan filsafat
terekam dari pernyataan mereka, bahwa kebahagiaan tidak hanya bisa dicapai dengan uang
melainkan ketika kita punya seseorang untuk berbagai. So sweet...
Mencintai selama dua belas tahun.
Luar biasa. Adegan paling saya suka di film ini adalah ketika sang gadis sedang
ke luar kota dan sang duda berkunjung ke rumahnya. Ia memandangi kamar sang
gadis. Melihat seperangkat komputernya dan berjanji dengan dirinya sendiri
bahwa kelak dia juga akan punya yang seperti itu. Fiuh, setelah beberapa tahun berselang, sang duda mulai memiliki
kebiasan berbicara sendiri. Kesepian dan cinta tak berbalas memang mengerikan.
Haha..
Dari pemutaran beberapa film
dokumenter yang saya tonton. Setiap sutradara memang memiliki caranya sendiri
dalam merekam realitas. Tiga film ini pun menyajikan kesan visual yang sangat
berbeda. Pemilihan adegan dalam film jelas telah menyebabkan abstraksi tersendiri
terhadap apa yang ingin dihadirkan. Seperti halnya sebuah retina yang peka,
se-realis apapun sinema, bahkan dokumenter sekalipun tentu tidak bisa menangkap
keseluruhan realitas. Cerita-cerita dalam film tersebut juga bagian dari
pilihan-pilihan atas realitas yang ingin ditampilkan.
Sebagai sebuah karya estetika,
visualisasi dalam film dokumenter menghadirkan wilayah-wilayah visual yang
berkelindan dengan wilayah dramatis. Hidup manusia memang penuh dengan
drama. Dari bagian demi bagian yang ditampilkan di layar, rasanya memang
menjadi tugas penonton untuk mendeteksi spektrum dramatis yang saling
berkesinambungan dan paralel dengan realitas itu sendiri. Hehe..ngemeng epeh.
Teknik pengisahan sepertinya juga
menjadi hal yang penting. Seperti dalam tulisan, dalam film kita menemukan gaya
dimana potongan-potongan kisah dapat disajikan dalam setiap fragmen gambar.
Dokumenter-dokumenter yang tidak bisa dipercaya ini juga memuat sekian bentuk
gaya khas. Sinema memang tidak bisa dikatakan lebih dekat dengan realitas
daripada seni klasik, tapi lewat film-film ini, kita tak hanya diajak untuk
menikmati tetapi juga menghanyutkan diri di dalamnya.
Film
Negara Tetangga yang Tidak Bisa Dipercaya
Akhir-akhir ini saya memang banyak
menonton film. Sebagian besar film Indonesia, Amerika, Inggris, Prancis,
Jerman, Iran, Korea, Jepang, China, sedikit Thailand, dan juga India yang
sering diputar dulu sewaktu saya masih es de dan sampai sekarang sering
diulang-ulang. Dalam festival ini, diputar juga film-film negara tetangga.
Kebetulan yang sempat saya tonton adalah film dari Sri Lanka dan Filipina. Film
Filipina menempati tempat khusus dalam festival ini dengan mengenalkan
Guiterrez (Teng) Mangansakan II lewat film-filmnya.
Sebelumnya, saya akan sedikit bercerita
tentang August Drizzled (Aruna
Jayawardana, 108 menit, 2011). Film dari Sri Lanka ini mengisahkan seorang
wanita pengurus krematorium. Saya tidak tahu jelasnya, film ini terasa
membosankan dan membuat saya terbata-bata menangkap apa yang dimaksudkan. Apakah
ini tentang tradisi orang sana yang menganggap seorang wanita pengurus makam
itu mengerikan dan membawa sial, atau ada sebab lain yang membuat masyarakat
sekitar memandang sebelah mata terhadap perempuan itu. Kisah tentang perempuan
yang tidak bahagia ini mampu membuat orang murung seharian. Bisa jadi karena
duka lara nestapa, atau bisa jadi karena kebosanan.
Seperti judulnya, gerimis bulan Agustus,
gerimis dalam kemarau yang menguap begitu saja tak sampai membasahi hati
penontonnya. Kalau pun ditinggal tidur dan lima belas menit kemudian kembali
menonton, saya yakin tetap akan bisa mengikuti narasi besarnya, tentu dengan
kehilangan-kehilangan kecil. Menonton film negara tetangga yang satu ini juga mengesankan
gap. Meskipun ceritanya mungkin menyedihkan, tidak sepenuhnya saya bisa
merasakan kesedihan kecuali karena subjektivitas sesama perempuan yang merindukan
cinta, spesifiknya seorang laki-laki yang mencintai. Hehe... Mungkin karena
pengaruh bahasa yang dipakai atau hal lain. Soal bahasa ini juga terasa ketika
menonton Negeri di Bawah Kabut. Membaca
translasi bahasa Jawa dalam bahasa Inggris ternyata cukup menggelikan. Gak penting sih, intinya film ini membosankan.
Film berikutnya berjudul Nono (Milo Tolentino, 115 Menit, 2011). Menonton
film ini membuat trenyuh sekaligus
menghibur. Berkisah tentang seorang anak bernama Toto yang karena bibir
sumbingnya hanya bisa mengucapkan namanya menjadi Nono. Dibesarkan dalam
masyarakat menengah ke bawah, Toto berjuang keras untuk membahagiakan ibunya sejak sang ayah pergi tanpa pamit. Toto tidak diizinkan mengikuti paduan suara
sekolah karena suaranya dianggap merusak harmonisasi. Ia pun sering diejek oleh
teman sekelas dan seorang bocah gendut yang suka menggagunya. Toto bersahabat
dengan Ogoy yang tuli. Pada akhirnya, Toto pun mendapat penghargaan khusus
dengan menampilkan sebuah deklamasi tentang Si Ogoy yang ditinggalkan ibunya
begitu saja.
Film tentang anak-anak atau dengan
peran anak-anak memang selalu menarik. Peran mereka menampilkan kepolosan. Kadang
mereka bisa lebih dewasa dari orang dewasa. Saya lebih suka cerita seperti ini
dibandingkan narasi yang menampilkan perlakukan terhadap anak yang dilebih-lebihkan.
Saya tidak tahu konteks di sana sehingga tak bisa cerita banyak. Mungkin menarik
apabila bisa dikupas dari sisi itu. Cerita rekaan seperti ini sekalipun masih
meninggalkan jejak-jejak yang bisa ditelusuri darimana datangnya. Kita tetap
tahu bahwa masih ada batu bata dalam tembok yang dibalut semen. Lha, malah jadi kemana-mana.
JAFF tahun ini mengadirkan
Guitierrez (Teng) Mangansakan II lewat film-filmnya. Kebetulan sekali dua film
yang saya tonton itu terasa kurang menarik. Film pertama berjudul Cartas de la Soledad (Teng Mangansakan
II, 105 menit, 2012). Karena terlalu banyak kesalahan teknis. Film ini sama
sekali tidak nyaman untuk ditonton. Terlalu banyak kegelapan dan unsur-unsur
suara yang hilang, bahkan dialog aktornya. Bercerita tentang seorang laki-laki
yang mengasingkan diri dan hidup bersama seorang pembantu perempuan. Setiap malam
ia mendengar berita radi dengan penerangan lampu minyak dan menulis
pengalaman serta pendapat pribadinya. Laki-laki itu setiap hari menulis surat
untuk dirinya.
Sayang sekali tidak ada keterangan
tentang apa yang diperdengarkan lewat radio-radio itu. Penonton yang tidak
mengetahui sejarah panjang perang di Filipina tidak akan mengerti apa yang
dituliskan oleh laki-laki itu. Barangkali semacam kekecewaannya terhadap dunia
lalu ia memilih menjauh atau ada hal-hal lain yang memuat pesan-pesan tertentu
lewat tulisannya. Ketidaknyamanan saya menonton membuat saya mundur sebelum
film berakhir. Sayang sekali memang.
Film kedua berjudul Qiyamah (Teng Mangansakan II, 95 menit,
2012) berkisah tentang penduduk suatu desa yang pada suatu hari melihat
matahari terbit dari barat. Seperti banyak film-film bertema serupa, film ini
juga merekam kegelisahan dan kehidupan orang-orang menunggu hari akhir tiba.
Teng memilih menampilkan film ini dalam warna hitam putih. Barangkali ini
memang pilihan estetis tetapi apa lagi yang bisa saya katakan selain bahwa film
ini membosankan. Rasanya tidak hanya saya, melihat wajah-wajah penonton lain
keluar ruangan dengan lesu begitu cukup bisa mengatakan bagaimana film ini di
mata penontonnya.
Alur cerita diputar dengan lambat.
Seperti halnya sebuah film detektif di mana penonton pasti mengharap
benar-benar ada pembunuhan, selama film ini diputar saya hanya menunggu akhir
ketika kiamat tiba. Gambaran yang bisa ditangkap tentang masyarakat Filipina
Selatan cukup jelas. Mereka Islam, miskin dan menghidupi diri dengan bertani.
Orang-orang tinggal di rumah-rumah sederhana.
Selain teror tentang hari akhir,
masyarakat di desa itu disibukkan dengan teror lain. Pembunuhan terjadi dan
ternyata dilakukan oleh seorang gila yang berkeliaran menjual mainan di kampung
itu. Meskipun menggunakan bentuk-bentuk teror yang seharusnya mencekam,
kelambatan alur, pilihan gambar, dan barangkali efek warna film tidak
memberinya kesan mencekam. Kiamat memang benar-benar datang. Angin kencang dan
cahaya terang menutup film ini yang juga berarti mengakhiri penderitaan
penonton menunggu film selesai.
Sayang sekali saya tak melihat film
Teng yang lain. Fokus dengan kehidupan masyarakat Filipina selatan mungkin
memang menjadi tema menarik. Masyarakat yang hidup dalam perang tak berkesudahan
dan serangkaian sejarah panjang mereka sudah seharusnya dikemas lewat film dan
ditonton banyak orang.
Film Pendek yang Tidak Bisa Dipercaya
Ada dua kompilasi film pendek yang
diputar di JAFF tetapi saya hanya menyaksikan kompilasi kedua. Kalau melihat
film panjang terasa seperti membaca novel atau roman, film pendek memberi kesan
seperti membaca cerpen atau bahkan puisi. Film pendek hadir dengan kekhasan
narasinya dan gambar yang ditata sedemikian rupa dan ditempatkan dalam rentang waktu yang
sangat terbatas.
Film Ritual menempatkan kisah di depan sebuah cermin cembung dan meja
rias. Tentang seorang yang selalu memesan tenderloin steak dan orange juice
sehabis senggama di siang hari. Hunger
Pangs, film dari Filipina ini bercerita
tentang seorang ibu yang meninggalkan anaknya di pintu gerbang rumah calon walikota.
Anak itu mati dimakan anjing kelaparan di
akhir film. How to Make a Perfect Xmas
Eve menawarkan panduan cara membuat malam natal sempurna dengan membuat
hidangan dari hati dan daging para laki-laki yang telah menyakiti
perempuan-perempuan ini. Sebuah ide yang bagus untuk dicoba di rumah anda. Please Me Love adalah cerita tentang
pasangan yang menonton film bersama. Cerita dalam film yang ditonton
mengantarkan mereka pada pertanyaan-pertanyaan terhadap diri sendiri, tentang
cinta dan berakhir dengan tusukan gelas pecah di leher kekasih.
Dokumenter tentang sejarah film Iran
di masa revolusi Islam tahun 1978 dikemas dalam film pendek berjudul Blames and Flames. Pembakaran
bioskop-bioskop terjadi, orang-orang yang tidak bisa lagi menyaksikan film
kemudian membuat film atas diri mereka sendiri, menemukan para pahlawan di jalanan, dalam hiruk pikuk revolusi. Lalu ada Overseas,
menceritakan seorang buruh imigran yang melaporkan kasus pemerkosaan atas
dirinya sendiri dan berusaha memperoleh izin untuk melakukan aborsi legal. Film
terakhir dalam kompilasi film pendek ini berjudul Bunglon, dengan apik memotret seorang istri muda yang mendatangi rumah
suami dan istri tuanya. Cerita sederhana ini dikemas cukup baik, menggambarkan
kegagapan seorang suami yang tak ingin rahasia perselingkuhannya terbongkar.
Dasar!
Hal yang lebih menarik diceritakan
di sini sebenarnya bukan tentang filmnya melainkan tanya jawab singkat setelah
pemutaran. Telah hadir dua orang sutradara dari film How to Make a Perfect Xmas Eve dan Ritual. Seorang bertanya apakah ketika membuat film tentang
persetubuhan, sang sutradara tidak ikut tegang? Spontan saya tertawa dalam
hati. Di awal film tadi sudah dibilang bahwa orang-orang yang tidak bisa
berpikiran terbuka dan kurang dari 18 tahun lebih baik tidak usah
menonton.
Perkembangan para sineas ternyata
tidak diikuti dengan kedewasaan berpikir penontonnya. Film Ritual dibuat
setelah mengadakan workshop film selama enam bulan. Hasilnya adalah sebuah film
panjang yang tidak untuk ditayangkan dan film pendek yang telah anda saksikan.
Selama jangka waktu itu, sang sutradara berusaha untuk menemukan mood antar pemain, membangun keselarasan
suasana, bahkan sampai persoalan detail ketika pintu hotel diketuk. Film ini
telah melewati diskusi panjang, bahkan dengan membeberkan persoalan paling
personal sekalipun, dan tentu juga mendiskusikan persoalan moral.
Soal erotisme dalam sinema
sepertinya menjadi perbincangan yang tak sudah-sudah. Kita akan berurusan
dengan sensor, baik sensor dari diri kita sendiri maupun urusan formal miliki
negara. Teman di samping saya saja berusaha mengalihkan pandangan dari layar,
berusaha tak melihat itu adegan meski ia terpaksa harus tetap mendengar suara
ah uh ah uh dari para aktor. Haha.
Erotisme dalam sinema barangkali pernah menjadi unsur bawaan, unsur pelengkap atau permainan bebas gaya kapitalis yang ingin menarik sebanyak-banyaknya penonton dengan memanfaatkan—kalau istilah Bazin—tropisme paling ampuh: tropisme seks. Tentu bukan karena yang terakhir itu, dalam film Ritual, kita benar-benar menyaksikan ritual. Sesuatu yang diulang-diulang, persetubuhan pada jam istirahat siang, dan mungkin gaya khas kelas menengah.
Erotisme dalam sinema barangkali pernah menjadi unsur bawaan, unsur pelengkap atau permainan bebas gaya kapitalis yang ingin menarik sebanyak-banyaknya penonton dengan memanfaatkan—kalau istilah Bazin—tropisme paling ampuh: tropisme seks. Tentu bukan karena yang terakhir itu, dalam film Ritual, kita benar-benar menyaksikan ritual. Sesuatu yang diulang-diulang, persetubuhan pada jam istirahat siang, dan mungkin gaya khas kelas menengah.
Hmmm, apalagikah? Rasanya cukup
untuk berkomentar tentang film ini. Seandainya kita bisa melihat transmutasi
estetis yang sempurna dalam film semacam ini, Ritual maksud saya. Apa meneh kuwi transmutasi? Haha. Seandainya
transmutasi estetis ini berjalan sempurna, penonton tentu tidak ikut beremosi
dengan para aktor. Nyatanya, efeknya tetap berbeda pada setiap orang. Ada yang
bisa menangkap estetika atau terjebak pada sesuatu selain itu. Teman saya
sendiri mengaku jadi agak gimana gitu ketika melihat sang aktor yang kebetulan
hadir.
Enaknya begini saja. Setiap film
memang bebas mengatakan apa saja tetapi tidak akan mungkin memperlihatkan
segalanya. Tabu sosial dan moral menjadi pembatas tersendiri, yang kadang
terlalu picik dan semena-mena. Terserah penonton, apakah maslahat dari menonton
film-film seperti itu akan lebih banyak dari mudarat yang ditimbulkannya.
Seorang lagi bertanya mengapa yang
ditampilkan dalam film-film seperti Ritual
dan How to Make a Perfect Xmas Eve
seperti meniru-niru barat. Kita bisa melihat adegan pembunuhan dan
berdarah-darah itu seperti dalam film Saw.
Kenapa tidak mengambil gaya pembunuhan yang khas Indonesia atau ritual senggama
khas Indonesia? Sumpah, saya kembali ingin tertawa. Saya tahu betul maksud
penanya yang mendorong munculnya warna-warna lokal dalam film. Tapi gak banget
kalau ditanyakan dalam konteks dua film itu tadi. Jawaban para sutradara juga
sederhana. How to Make a Perfect Xmas Eve dibuat ketika sang sutradara sedang
patah hati dan muncul imajinasi untuk mencincang-cincang tubuh mantan pacarnya.
Sama sekali tak ada referensi dari film barat. Lagi-lagi, gap dimana dunia para
sineas berdiri dan penontonnya sepertinya sudah semakin mendesak untuk dijembatani.
Saya tidak tahu lagi harus berkomentar apa.
Selama ini memang jarang saya
menonton film pendek dan menjadi pengalaman visual tersendiri setelah menonton
film-film yang tidak bisa dipercaya itu. Ada efek filmis yang mengikuti saya
kemana-mana. Perubahan cara melihat dan memandang realitas pun terjadi. Di
tempat makan itu, seorang pria sedang melihat dengan tatapan hampa kepada
pasangan perempuannya yang tidak juga menyelesaikan makan malam. Dalam hatinya,
saya mendengar suara gemuruh emosi tertahan. Seperti ingin mengunyah perempuan
di hadapannya itu. Tiba-tiba saja mengalir rangkaian gambar filmis dalam
kepala. Betapa kadang laki-laki juga tertindas oleh perempuan. Haha.
Film
Indonesia yang Tidak Bisa Dipercaya
Ada dua film panjang Indonesia yang
saya tonton dalam JAFF. Film pertama adalah Parts
of the Hearts (Paul Agusta, 90 menit, 2012). Film ini bercerita tentang
Peter yang gay. Dibagi menjadi delapan bagian narasi yang mengisahkan cerita
cinta Peter dari kecil sampai dewasa. Banyak eksperimentasi kamera dan efek
yang berbeda di tiap bagian. Kesatuan sekuen gambar dalam film ini membuat homoseksualitas
tidak lagi terasa menjijikkan tetapi romantis, penuh cinta dan kesedihan yang
akan selalu mengiringinya. Ini hanya kesan saya yang tetap saja masih melihat
dengan perasaan janggal orientasi seksual yang dianggap menyimpang itu.
Film ini bertambah manis dengan
soundtrack yang mengiringi kisah cinta Peter. Tiap bagian
memiliki judul-judul unik seperti Stolen
Kiss, Game Kiss, Solace, dan sebagainya. Asyik. Mungkin kata itu tepat
untuk menggambarkan film ini. Saya suka sekali dengan bagian awal film ini. Setelah
Peter dan teman laki-lakinya mengungkapkan cinta, slide show benda-benda ditampilkan dengan latar sebuah kamar. Dari
jam dinding yang berdetak, sprei kusut, kertas tisu berserakan. Seperti ada
semacam peralihan pemaknaan di balik benda-benda. Tentu saja penonton sudah
mahir mengidentifikasi apa yang terjadi di antara mereka berdua. Pemaknaan beralih
ke analogi dan analogi menuju identifikasi. Sketsa montase yang ditampilkan ini
terasa indah, seperti visualisasi puisi. Masih banyak pula gambar-gambar close-up yang tiba-tiba dikaburkan untuk
menampakkan kesedihan dan tampaknya memang cukup berhasil.
Parts
of the Hearts penuh dengan pemain baru. Maksudnya, baru saya lihat dalam
film ini, termasuk pemeran Peter yang berubah-ubah untuk menggambarkan
perubahan usianya. Lagu dan narasi di awal sedikit berubah menjadi kaku ketika
muncul dialog antar pemain, meski tidak semua tentunya. Sebagian dialog
menggunakan bahasa Inggris. Buat saya ini terdengar aneh karena jarak saya
sendiri dengan budaya mereka terasa jauh. Sebagian dialog lain benar-benar
terasa mengambang, sebut misalnya dialog Peter dan mantan kekasihnya yang
bertemu kembali di sebuah kamar hotel setelah enam bulan tak ada kabar. Sang
kekasih memilih menikahi seorang perempuan demi membahagiakan orang lain. Fragmen ini terasa
sedikit mengganggu walaupun kemudian tertutup dengan narasi berikutnya yang
tetap bisa dibilang asyik.
Berikutnya adalah film berjudul Mata
Tertutup (Garin Nugroho, 90 menit, 2012). Film pesanan Ma’arif Institute ini bercerita
tentang persebaran fundamentalisme Islam di Indonesia. Film ini mengangkat
persilangan tiga cerita, seorang perempuan bernama Rima yang dipatahkan oleh sesuatu
yang sangat dia percaya sebelumnya, seorang Jabir yang memilih menjadi martir
sebagai jalan keluar kemiskinan dan seorang Ibu yang menunggu kepulangan
anaknya yang direkrut NII.
Soal narasi dalam film tidak akan
saya utak atik karena sudah ada pernyataan bahwa narasi tersebut dibuat berdasarkan hasil
riset. Pembuatan filmnya sendiri melibatkan mantan anggota NII yang berada di
tengah-tengah kru film dan memberi petunjuk kepada pemain, begitu kata Om
Garin. Film ini hampir dibuat tanpa skrip kecuali sekitar sepuluh halaman
konsep adegan yang telah disusun matang. Dengan demikian, film ini sepenuhnya
mengandalkan kemampuan akting para pemain dan kecakapan mereka dalam
berimprovisasi sesuai arahan sutradara.
Memang keaktoran para pemain dalam
film ini sudah tidak diragukan lagi. Amalgam pemain (halah, istilah apa meneh iki?) antara pemain profesional, para
aktor teater dan pemain dadakan yang sebenarnya cukup beresiko ternyata justru
menambah kekuatan cerita film ini. Siapa tak kenal dengan Jajang C. Noer,
aktris luar biasa berwajah keras ini berperan sebagai Ibu yang khawatir anak
gadisnya masuk NII. Siapa tak kenal
Kedung Darma Romansha. Saya sendiri mengenalnya sebagai aktor teater dan
pembaca puisi yang sering tampil di berbagai acara. Dengan pakaian hitam-hitam sambil
menjual kopyah, Kedung memainkan perannya sebagai semacam anggota JIL yang
sedang merekrut pemuda-pemuda putus asa untuk dijadikan martir bom bunuh diri
atas nama jihad. Seorang pelaku bom bunuh diri diwakili oleh sosok Jabir,
seorang anak pesantren yang ikut casting karena diberitahu bahwa syaratnya
hanya bisa mengaji. Wajahnya lugu dan polos dan terlihat cocok untuk perannya
yang ingin mati demi sang Ibu.
Film ini diisi oleh bunyi saluang
yang khas membari kesan tersendiri. Saya ingin tapi enggan membahas narasi. Soal
fundamentalisme dan ekstrimis keagamaan itu. Film ini memerangkap penonton pada
realitas sekaligus ilusi dramatik dari citraan gambar. Siapa yang tak
menyebutnya dramatis ketika digambarkan seorang istri petinggi NII, pucat,
dengan daster kumal, hamil dan sakit hingga mengalami pendarahan karena
kesulitan ekonomi yang diderita.
Ilusi dalam sinema adalah niscaya,
kadang justru menghilangkan kesadaran realitas yang dalam benak para penonton
akan diidentifikasi melalui tampilan yang bersifat sinematografis. Tapi karena
sudah ada pernyataan di awal dari sutradara, saya jadi tak akan bicara banyak tentang ini. Film
selalu tak bisa membedakan dengan jelas di mana awal dan akhir kebohongannya, karena
itulah justru yang membentuk seninya.
Saya sudah lelah menulis ini hampir
seharian. Saya cukupkan saja sampai di sini. Kalau dibahas detail satu demi
satu sebenarnya ini bisa menjadi novel. Hehe. Akhir tahun penuh seremonial
festival. Selamat menonton!
Kamar Kost, 10 Desember 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar