Jumat, 30 November 2012

Pertemuan dengan Tupim Si Tupai Pengembara

Di dunia tak bernama itu, musim hujan disebut juga musim tangis. Musim tangis yang memendam tawa sebagaimana benih-benih yang sedang tidur di bawah tanah menunggu rengkuhan matahari. Di musim tangis inilah seekor tupai singgah di suatu tempat dalam pengembaraannya. 

Orang-orang memanggilnya Tupim. Nama ini diberikan kepadanya karena dia seekor tupai kecil dengan pipi yang manis. Tupim; tupai pipi manis. Si Tupim adalah tupai yang senang mengembara. Ia sudah menjelajahi banyak tempat dan melihat banyak hal. Tupim berjalan dengan jubah hitam berkerudung. Dari jauh tupai kecil ini mirip para pengembara gipsi. Tapi ia pengembara biasa, hanya senang berjalan tanpa tujuan. 

Tupim memakai kalung yang terbuat dari rangkaian biji-bijian kesukaannya. Ia selalu mengumpulkan banyak jenis bijih-bijian dari berbagai tempat selama pengembaraan. Pipi yang manis menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap binatang maupun manusia yang dijumpai. Mereka tidak akan segan memberi makanan tanpa diminta. Pandangan mata Tupim yang bening dan penuh kasih itu seakan bicara, mencairkan hati siapapun yang melihatnya. 

Musim tangis baru saja datang. Gerimis biasanya betah turun berlama-lama. Tupim berjalan sendirian dengan jubah hitamnya, menyelusup di antara kaki-kaki manusia, kendaraan yang berseliweran, disilaukan oleh lampu-lampu jalan, papan-papan iklan. Kaki kecil Tupim terasa sangat lelah. Seharian ia berjalan dan ingin sekali rasanya beristirahat sejenak. Pada dinding sebuah bangunan, tak sengaja Tupim melihat poster pertunjukan. Sebuah band bernama Gable dari Perancis bagian utara akan memainkan musik mereka di tempat itu.

Tupim sangat suka mendengarkan musik atau melihat pertunjukan musik. Seringkali ia berhenti dalam pengembaraanya untuk menyaksikan orang-orang memainkan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi indah itu. Kadang ia menjumpai pertunjukan yang membosankan tapi didatangi banyak orang. Lain kali Tupim melihat orang-orang memainkan musik dengan sangat aneh, sampai efek kesedihan mendengar musik itu bertahan selama berhari-hari dalam hatinya. Kadang juga Tupim sedih karena merasa kehilangan ketika aktivitas musikal tidak lagi manual. Orang-orang juga lebih suka menjadi penonton, pasrah mendengar musik yang menyuruk-nyuruk masuk telinga. 

Malam ini Tupim mampir ke kamar saya, sekadar meminta remah roti. Perutnya terlalu lapar. Sambil menyambut sekerat roti dan segelas kopi, Tupim kemudian menceritakan pertunjukan musik yang baru saja ditontonnya. Saya akan menuliskannya dengan campuran ejaan bahasa negeri tupai yang sudah disempurnakan. Bagi yang tidak mengerti, saya mohon maaf. 

Tupim mengawali ceritanya dengan sedikit sumpah serapah. “Gak pa pa ta mas-mase karo mbak-mbak kuwi. Gendheng. Gak lara ta wong-wong kuwi? Saya tak banyak tahu soal musik dan jadi bertanya-tanya apakah ini yang disebut musik kontemporer, avant gardist katanya. Semua hal bisa jadi alat musik, semua boleh jadi perkusi, njuk dithuthuki. Triplek elek barang disuwek-suwek neng ngarep mikropon. Gek kuwi ki nyilih dolanane bocah saka ngendi kok nganti diorak-arik neng nduwur drum barang. Bukane gumun neng yo mung ngrasa aneh wae. Jan wong saiki cen aneh-aneh isine.  

Musik mereka adalah ramuan dari banyak sekali hal. Ana musik cangkem, post rock, sedikit berbau hip hop, malah ana hardcore barang og. Lagu mereka banyak terdengar lebih seperti narasi daripada lirik yang liris. Ana sing nesu lan padu dhewe-dhewe njuk digameli. Aneh tapi segar. Nonton mereka ki dadi memecah bosan saka ngrungokne lagu-lagu kebanyakan. Sebagian lagu mereka pendek. Akeh-akeh mau nganggo basa Inggris. Sing paling ketok kuwi nganggo sudut pandang sato kewan. Ana lagu sing nyritakne bebek buruk rupa, ana sing critane tentang serigala kelaparan, uga akeh suara asu barang.

Mereka memadukan permainan musik dengan teater. Salah satu memakai topeng, menyanyi dan melompat di atas panggung. Pembawaan liriknya juga sangat teatrikal; bengong, kejang-kejang, autis dan ekspresi lain yang kuat muncul pada wajah-wajah kepanasan penuh peluh. Lirik mereka sederhana, kadang konyol, menggelora dan mengandung pelepasan. Mereka memindahkan kebisingan-kebisingan kecil yang tak dihiraukan ke dalam musik, mengundang kehadiran banyak sekali suara. 

Hingar-bingar mereka juga mengandung kematian. Seperti lagu terakhir itu, bercerita tentang orang-orang yang bunuh diri dengan berbagai cara. Pertunjukan mereka ditutup dengan suara flute sengau, sumbang,  melenceng dari tonalitas, rusak tapi indah. Kadang memang sesuatu yang sumbang, sedih dan rusak itu indah, seperti hidup.”

Tupim mengakhiri ceritanya. Ia pamit akan melanjutkan perjalanan. Pengembaraannya memang sangat berbahaya tetapi Si Tupim kadang justru memilih berjalan di malam hari. Ketika saya bertanya kenapa, Tupim sedikit bercerita bahwa mimpi buruk telah mengganggunya di malam-malam sunyi. Ia ingin pengembaraan ini tak selamanya sendiri. Tupim butuh teman hanya ia belum menemukan, hanya ia selalu saja ditinggalkan. Musim tangis masih mengguyurkan gerismis. Tupim mencabut salah satu biji kacang dari kalungnya dan memberikannya kepada saya. “Suatu hari kelak, kacang ini bisa tumbuh sampai ke langit dan menyelamatkanmu, terima kasih untuk roti dan kopinya,” kata Tupim sebelum menutupi kepalanya dengan kerudung hitam lalu menghilang dalam gelap. 


Kamar Kost, 29 November 2012 

2 komentar:

  1. Hahaha... ups!!! Sorry... xixixixi ada bag yg tdk lucu tp menggelikan... utk bagian itu tu...xixixi

    BalasHapus
  2. ngapa kowe? masalah buat lhoh?

    BalasHapus