Untuk membunuhmu yang sudah beranak
pinak dalam pikiranku, akan kukisahkan sebuah cerita. Kisah ini ditulis sambil
mendengarkan Cinematic Orchestra yang
sekaligus pernah mengiringi ciuman pertama kita. Bagian awal ini memang
seharusnya dibuang saja. Tidak penting. Mari kita lewati dan langsung menuju
pada cerita sesungguhnya.
Sudah tiba musim mangga di
kampungku. Anak-anak yang lewat tanpa permisi sering mengambili mangga-mangga
masak berjatuhan di halaman. Mangga-mangga ini juga punya cerita. Tapi lain
kali saja. Sudah hampir jam lima. Saatnya anak-anak menunggu, mengejar kereta
mini yang lewat, lalu menaikinya sampai ke ujung gang. Kereta mini berkelap-kelip
lampu dan bergambar tokoh kartun itu adalah milik salah satu warga kampung ini.
Kereta itu akan beroperasi di
alun-alun kota setiap malam. Anak-anak hanya bisa menaikinya sesaat, gratis hanya
sampai ke ujung gang. Jarang sekali mereka bisa melihat alun-alun kota yang
sekarang sudah banyak berkeliaran becak dan odong-odong penuh lampu; merah,
kuning, hijau dan biru. Mirip yang ada di alun-alun kidul Yogyakarta itu. Keren
sekali bukan, kotaku sekarang. Katamu itu ndeso,
ndangdut banget. Biarlah. Yang penting
sudah ada pertunjukan teater di kota ini.
Nama sebagian anak di sini diilhami
dari artis dan peran mereka dalam sinetron. Kalau kalian berkunjung ke kampungku,
akan ku kenalkan pada Zahira, Amira, Farel, Acha, dan lain sebagainya. Ada juga
kakak beradik yang cakep sekali wajahnya, tidak mirip dengan anak kampung yang
sebagian berkulit hitam. Cara bicaranya lucu. Sedikit cedal, pelo kalau bahasa Jawanya. Mereka hidup
dengan neneknya. Sang ibu sedang mencari nafkah sampai ke negeri gajah putih. Rumahku
juga dikeramik dindingnya. Tapi sumpah. Ibuku bukan TKI.
Pada sore yang berbahagia ini, aku
ingin mengumpulkan anak-anak itu untuk mendengar dongeng. Barangkali saja
ibu-ibu mereka jarang membacakan cerita sebelum tidur. Kubiarkan mereka duduk
melingkar di bawah pohon mangga di halaman rumah. Sebagian sambil memegang
jajan lima ratusan yang hanya dengan rengekan terdasyat boleh dibeli. Sebagian menggenggam
buah mangga setengah matang, lebih enak kalau digerogoti tanpa dikupas
kulitnya. Ibu-ibu masih berceloteh sendiri. Berkumpul di seberang jalan
sambil bergosip tentang masakan hari ini. Para ibu yang merebus mie instan,
merebus daun krokot, membakar gerih, menanak nasi dan sambal, spesial untuk
anak dan suaminya.
Anak-anak sepertinya sudah tak sabar
ingin mendengar cerita. Meski mungkin terlalu mengada-ada, kumulai saja kisah
tentang Titah. Nama ini adalah kependekan dari tikus tanah. Titah tak betah
tiap hari harus selalu berada dalam tanah. Ibunya merasa ia masih terlalu kecil
untuk keluar dari lubang sarang mereka. Dunia luar juga terlalu berbahaya baginya.
Si Titah terbiasa melihat dalam gelap sehingga sinar matahari akan menyakiti
mata. Tikus tanah memang rabun. Aku memeragakan menjadi rabun dan menggapai-gapai
wajah mereka. Anak-anak tertawa.
Titah sering mengintip keluar lewat
lubang sarang dan melihat istana kerajaan menjulang tinggi. Atap dan
dindingnya kekuningan seperti terbuat dari emas. Bagian bawahnya terlihat
kehitaman. Di sekitar istana terdapat rerumputan yang hijau dan indah. Ada pula
pohon-pohon besar dengan buah kehijauan menjuntai-juntai ke tanah.
Titah benar-benar sudah tidak tahan.
Ia meminja izin kepada ibunya untuk melihat istana impiannya. "Siapa tahu di istana
itu tinggal seorang tikus cantik berwajah peri seperti dalam dongeng ibu," pikirnya. Dengan berat
hati, Ibu Titah akhirnya mengizinkan anaknya untuk pergi mengintip dunia luar. Ibunya
berpesan agar Titah tak pergi jauh-jauh dari rumah. Ia hanya diperbolehkan
melihat istana yang terletak tak jauh dari lubang sarangnya.
“Aku akan selalu mengingat pesan
Ibu,” kata Titah.
“Jangan terlalu jauh meninggalkan
sarang, Anakku. Berhati-hatilah terhadap segala macam bahaya.”
“Jangan khawatir, Ibu. Aku akan
berhati-hati. Ibu sudah memberi tahuku bentuk ular, burung, manusia,
bunga-bunga, dan aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri.”
“Pergilah, Nak. Pulanglah sebelum
senja. Ibu akan menyiapkan makan malam kesukaanmu.”
“Baik, Bu.”
“Sebelum pergi, Ibu punya sesuatu
untukmu.”
Ibu Titah mengeluarkan sesuatu dari
kotak warisan leluhur. Kotak itu sudah menjadi barang turun menurun. Ia mengeluarkan
benda ajaib yang ternyata adalah sebuah kacamata. Titah menerimanya dengan
senang hati. Ia mengenakan benda itu yang terus saja melorot karena hidung Titah
terlalu kecil. Dengan hati berdebar-debar, Titah keluar dari lubang. Ia tak
sabar ingin melihat istana impiannya dan diam-diam menyimpan harapan tentang
seorang tikus cantik yang menunggu kedatangannya.
Sampai di luar lubang sarang, Titah
mengucek-ngucek matanya sambil berkedip-kedip. Matanya harus menyesuaikan diri
dengan cahaya matahari. Pemandangan yang tadinya kabur lama kelamaan menjadi
jelas. Tapi betapa kecewa hati Titah. Istana impiannya itu ternyata hanya
tumpukan sampah, daun-daun kering. Lantai istana yang terlihat kehitaman itu
ternyata hanya abu bekas pembakaran. Kacamata dari ibunya benar-benar merusak
mimpinya. Istana impian lenyap seketika.
Titah tak ingin lagi melanjutkan
perjalanannya melihat dunia di luar sarang. Ia memutuskan untuk pulang. Segera ia
ingin kembali ke lubang sarang. Tiba-tiba terdengar suara berdebam. Tanah bergetar.
Titah melihat barisan manusia menuju ke arahnya. Ia melongo saja sambil
mengira-ngira apakah yang ia lihat adalah manusia seperti cerita ibunya.
Anak-anak tetap tak mengalihkan
perhatian dari ceritaku. Wajah mereka masih bertanya-tanya apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Titah melihat barisan orang berpakaian hitam-hitam dengan celana tiga perempat yang juga hitam. Sebagian besar adalah laki-laki. Mereka membawa berbagai macam peralatan, membawa tongkat kayu, cangkul, sabit. Mereka juga membawa obor dari pelepah-pelepah daun kelapa. Orang-orang itu seperti menggumamkan mantra. Ya ma ra ja. Ja ra ma ya.
Titah melihat barisan orang berpakaian hitam-hitam dengan celana tiga perempat yang juga hitam. Sebagian besar adalah laki-laki. Mereka membawa berbagai macam peralatan, membawa tongkat kayu, cangkul, sabit. Mereka juga membawa obor dari pelepah-pelepah daun kelapa. Orang-orang itu seperti menggumamkan mantra. Ya ma ra ja. Ja ra ma ya.
Titah mendengar gumaman mereka. Sekilas
ia teringat perkataan ibunya tentang mantra kalacakra. Sebuah mantra untuk
menolak balak. Manusia-manusia itu sedang memohon agar bisa terbebas dari
segala musibah. Titah tak mampu mencerna apa yang terjadi. Pikiran mungilnya
terlalu kecil menjangkau apa yang dilihat dan didengarnya. Ia segera berlari
menuju lubang tempat tinggalnya. Sekuat tenaga Titah berlari. Sama sekali tak
menoleh meski suara gumam manusia-manusia itu semakin keras. Lubang rumahnya
memang tak seberapa jauh namun kaki mungil Titah sudah sangat lelah. Kakinya
bergetar, antara takut dan lelah. Tanah yang dipijaknya juga semakin keras bergetar.
Hanya ada lubang rumah dan ibunya
dalam pandangan Titah. Ia Sama sekali tak bisa menikmati perjalanan pertama
keluar sarang. Bunga-bunga dan keindahan yang diimpikannya lewat bersama angin
yang meniup tubuh bersimbah peluh. Titah terus berlari. Terus berlari. Terengah-engah.
***
Cerita yang hampir klimaks itu
tiba-tiba harus kuhentikan. Hujan deras mendadak datang. Anak-anak berlari
berhamburan. Pulang ke rumah sambil menanti ibu mereka menyajikan makan malam. Akhir
cerita ini kusimpan sendiri. Mungkin terlalu sadis untuk didengar anak-anak
itu. Setidaknya hujan telah menyelamatkan pendengaran mereka dari dongengku
yang terlalu ngawur.
Manusia-manusia itu sedang melakukan
ritual untuk memburu tikus-tikus yang merusak sawah mereka. Entah sejak kapan
mereka tak pernah bicara lagi dengan tikus. Ketika malam tiba, tanpa ampun
begitu saja membantai mereka. Ibu Titah mati terpanggang dalam lubang. Tubuhnya
kaku, hangus terbakar. Manusia-manusia itu menggunakan alat penyembur api yang
dijejalkan ke dalam sarang. Kadang membakar belerang di mulut lubang dan
tikus-tikus di dalamnya mati keracunan.
Aku sendiri sibuk mencari Dewi Sri
sementara dongeng tentang Titah terasa tak menyisakan pesan apapun bagi
anak-anak itu. Barangkali mereka akan kembali mencari cerita dalam
sinetron-sinetron. Ada perempun pakai baju kulit harimau dan berlagak bodoh
ketarzan-tarzanan. Tak ada yang lebih bodoh dari orang yang menonton cerita
itu, malah sudah dilanjutkan sampai season
dua.
Di kampungku ada anak perempuan
hafal dengan tarian perempuan tarzan itu. Ia memiliki seorang pengikut setia,
mengikutinya kemana-mana. Ketika berjalan kemanapun, anak itu selalu
membunyikan hape yang memutar lagu-lagu terbaru dari boyband dan girlband
idolanya. Aku sering melihatnya lewat di depan rumah. Masih berseragam sepulang
sekolah, tangannya menggengam plastik es. Sesekali ia bernyanyi sampil menyedot
esnya lewat pipet berwarna merah.
Hujan reda tapi sudah hampir gelap. Beberapa
kali terdengar suara mangga jatuh. Seorang anak menghampiri ketika aku masih
duduk di teras, “Mbak,
sesuk critani neh ya.” Malam ini aku dapat tugas untuk kembali mengarang
cerita atau meyampaikan cerita bohong tentang akhir kisah Titah.
Kamar Kost, 6 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar