Selasa, 06 November 2012

Dongeng Titah Si Tikus Tanah


Untuk membunuhmu yang sudah beranak pinak dalam pikiranku, akan kukisahkan sebuah cerita. Kisah ini ditulis sambil mendengarkan Cinematic Orchestra yang sekaligus pernah mengiringi ciuman pertama kita. Bagian awal ini memang seharusnya dibuang saja. Tidak penting. Mari kita lewati dan langsung menuju pada cerita sesungguhnya.  

Sudah tiba musim mangga di kampungku. Anak-anak yang lewat tanpa permisi sering mengambili mangga-mangga masak berjatuhan di halaman. Mangga-mangga ini juga punya cerita. Tapi lain kali saja. Sudah hampir jam lima. Saatnya anak-anak menunggu, mengejar kereta mini yang lewat, lalu menaikinya sampai ke ujung gang. Kereta mini berkelap-kelip lampu dan bergambar tokoh kartun itu adalah milik salah satu warga kampung ini.

Kereta itu akan beroperasi di alun-alun kota setiap malam. Anak-anak hanya bisa menaikinya sesaat, gratis hanya sampai ke ujung gang. Jarang sekali mereka bisa melihat alun-alun kota yang sekarang sudah banyak berkeliaran becak dan odong-odong penuh lampu; merah, kuning, hijau dan biru. Mirip yang ada di alun-alun kidul Yogyakarta itu. Keren sekali bukan, kotaku sekarang. Katamu itu ndeso, ndangdut banget. Biarlah. Yang penting sudah ada pertunjukan teater di kota ini.

Nama sebagian anak di sini diilhami dari artis dan peran mereka dalam sinetron. Kalau kalian berkunjung ke kampungku, akan ku kenalkan pada Zahira, Amira, Farel, Acha, dan lain sebagainya. Ada juga kakak beradik yang cakep sekali wajahnya, tidak mirip dengan anak kampung yang sebagian berkulit hitam. Cara bicaranya lucu. Sedikit cedal, pelo kalau bahasa Jawanya. Mereka hidup dengan neneknya. Sang ibu sedang mencari nafkah sampai ke negeri gajah putih. Rumahku juga dikeramik dindingnya. Tapi sumpah. Ibuku bukan TKI.

Pada sore yang berbahagia ini, aku ingin mengumpulkan anak-anak itu untuk mendengar dongeng. Barangkali saja ibu-ibu mereka jarang membacakan cerita sebelum tidur. Kubiarkan mereka duduk melingkar di bawah pohon mangga di halaman rumah. Sebagian sambil memegang jajan lima ratusan yang hanya dengan rengekan terdasyat boleh dibeli. Sebagian menggenggam buah mangga setengah matang, lebih enak kalau digerogoti tanpa dikupas kulitnya. Ibu-ibu masih berceloteh sendiri. Berkumpul di seberang jalan sambil bergosip tentang masakan hari ini. Para ibu yang merebus mie instan, merebus daun krokot, membakar gerih, menanak nasi dan sambal, spesial untuk anak dan suaminya.

Anak-anak sepertinya sudah tak sabar ingin mendengar cerita. Meski mungkin terlalu mengada-ada, kumulai saja kisah tentang Titah. Nama ini adalah kependekan dari tikus tanah. Titah tak betah tiap hari harus selalu berada dalam tanah. Ibunya merasa ia masih terlalu kecil untuk keluar dari lubang sarang mereka. Dunia luar juga terlalu berbahaya baginya. Si Titah terbiasa melihat dalam gelap sehingga sinar matahari akan menyakiti mata. Tikus tanah memang rabun. Aku memeragakan menjadi rabun dan menggapai-gapai wajah mereka. Anak-anak tertawa.

Titah sering mengintip keluar lewat lubang sarang dan melihat istana kerajaan menjulang tinggi. Atap dan dindingnya kekuningan seperti terbuat dari emas. Bagian bawahnya terlihat kehitaman. Di sekitar istana terdapat rerumputan yang hijau dan indah. Ada pula pohon-pohon besar dengan buah kehijauan menjuntai-juntai ke tanah.

Titah benar-benar sudah tidak tahan. Ia meminja izin kepada ibunya untuk melihat istana impiannya. "Siapa tahu di istana itu tinggal seorang tikus cantik berwajah peri seperti dalam dongeng ibu," pikirnya. Dengan berat hati, Ibu Titah akhirnya mengizinkan anaknya untuk pergi mengintip dunia luar. Ibunya berpesan agar Titah tak pergi jauh-jauh dari rumah. Ia hanya diperbolehkan melihat istana yang terletak tak jauh dari lubang sarangnya.

“Aku akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Titah.
“Jangan terlalu jauh meninggalkan sarang, Anakku. Berhati-hatilah terhadap segala macam bahaya.”
“Jangan khawatir, Ibu. Aku akan berhati-hati. Ibu sudah memberi tahuku bentuk ular, burung, manusia, bunga-bunga, dan aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri.”
“Pergilah, Nak. Pulanglah sebelum senja. Ibu akan menyiapkan makan malam kesukaanmu.”
“Baik, Bu.”
“Sebelum pergi, Ibu punya sesuatu untukmu.”

Ibu Titah mengeluarkan sesuatu dari kotak warisan leluhur. Kotak itu sudah menjadi barang turun menurun. Ia mengeluarkan benda ajaib yang ternyata adalah sebuah kacamata. Titah menerimanya dengan senang hati. Ia mengenakan benda itu yang terus saja melorot karena hidung Titah terlalu kecil. Dengan hati berdebar-debar, Titah keluar dari lubang. Ia tak sabar ingin melihat istana impiannya dan diam-diam menyimpan harapan tentang seorang tikus cantik yang menunggu kedatangannya.

Sampai di luar lubang sarang, Titah mengucek-ngucek matanya sambil berkedip-kedip. Matanya harus menyesuaikan diri dengan cahaya matahari. Pemandangan yang tadinya kabur lama kelamaan menjadi jelas. Tapi betapa kecewa hati Titah. Istana impiannya itu ternyata hanya tumpukan sampah, daun-daun kering. Lantai istana yang terlihat kehitaman itu ternyata hanya abu bekas pembakaran. Kacamata dari ibunya benar-benar merusak mimpinya. Istana impian lenyap seketika.

Titah tak ingin lagi melanjutkan perjalanannya melihat dunia di luar sarang. Ia memutuskan untuk pulang. Segera ia ingin kembali ke lubang sarang. Tiba-tiba terdengar suara berdebam. Tanah bergetar. Titah melihat barisan manusia menuju ke arahnya. Ia melongo saja sambil mengira-ngira apakah yang ia lihat adalah manusia seperti cerita ibunya.

Anak-anak tetap tak mengalihkan perhatian dari ceritaku. Wajah mereka masih bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.

Titah melihat barisan orang berpakaian hitam-hitam dengan celana tiga perempat yang juga hitam. Sebagian besar adalah laki-laki. Mereka membawa berbagai macam peralatan, membawa tongkat kayu, cangkul, sabit. Mereka juga membawa obor dari pelepah-pelepah daun kelapa. Orang-orang itu seperti menggumamkan mantra. Ya ma ra ja. Ja ra ma ya.

Titah mendengar gumaman mereka. Sekilas ia teringat perkataan ibunya tentang mantra kalacakra. Sebuah mantra untuk menolak balak. Manusia-manusia itu sedang memohon agar bisa terbebas dari segala musibah. Titah tak mampu mencerna apa yang terjadi. Pikiran mungilnya terlalu kecil menjangkau apa yang dilihat dan didengarnya. Ia segera berlari menuju lubang tempat tinggalnya. Sekuat tenaga Titah berlari. Sama sekali tak menoleh meski suara gumam manusia-manusia itu semakin keras. Lubang rumahnya memang tak seberapa jauh namun kaki mungil Titah sudah sangat lelah. Kakinya bergetar, antara takut dan lelah. Tanah yang dipijaknya juga semakin keras bergetar.

Hanya ada lubang rumah dan ibunya dalam pandangan Titah. Ia Sama sekali tak bisa menikmati perjalanan pertama keluar sarang. Bunga-bunga dan keindahan yang diimpikannya lewat bersama angin yang meniup tubuh bersimbah peluh. Titah terus berlari. Terus berlari. Terengah-engah.

***

Cerita yang hampir klimaks itu tiba-tiba harus kuhentikan. Hujan deras mendadak datang. Anak-anak berlari berhamburan. Pulang ke rumah sambil menanti ibu mereka menyajikan makan malam. Akhir cerita ini kusimpan sendiri. Mungkin terlalu sadis untuk didengar anak-anak itu. Setidaknya hujan telah menyelamatkan pendengaran mereka dari dongengku yang terlalu ngawur.

Manusia-manusia itu sedang melakukan ritual untuk memburu tikus-tikus yang merusak sawah mereka. Entah sejak kapan mereka tak pernah bicara lagi dengan tikus. Ketika malam tiba, tanpa ampun begitu saja membantai mereka. Ibu Titah mati terpanggang dalam lubang. Tubuhnya kaku, hangus terbakar. Manusia-manusia itu menggunakan alat penyembur api yang dijejalkan ke dalam sarang. Kadang membakar belerang di mulut lubang dan tikus-tikus di dalamnya mati keracunan.

Aku sendiri sibuk mencari Dewi Sri sementara dongeng tentang Titah terasa tak menyisakan pesan apapun bagi anak-anak itu. Barangkali mereka akan kembali mencari cerita dalam sinetron-sinetron. Ada perempun pakai baju kulit harimau dan berlagak bodoh ketarzan-tarzanan. Tak ada yang lebih bodoh dari orang yang menonton cerita itu, malah sudah dilanjutkan sampai season dua.

Di kampungku ada anak perempuan hafal dengan tarian perempuan tarzan itu. Ia memiliki seorang pengikut setia, mengikutinya kemana-mana. Ketika berjalan kemanapun, anak itu selalu membunyikan hape yang memutar lagu-lagu terbaru dari boyband dan girlband idolanya. Aku sering melihatnya lewat di depan rumah. Masih berseragam sepulang sekolah, tangannya menggengam plastik es. Sesekali ia bernyanyi sampil menyedot esnya lewat pipet berwarna merah.

Hujan reda tapi sudah hampir gelap. Beberapa kali terdengar suara mangga jatuh. Seorang anak menghampiri ketika aku masih duduk di teras, “Mbak, sesuk critani neh ya.” Malam ini aku dapat tugas untuk kembali mengarang cerita atau meyampaikan cerita bohong tentang akhir kisah Titah.



Kamar Kost, 6 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar