Senin, 29 Oktober 2012

Kesan Jadi Penonton IDRF 2012



Sebentuk kesan akan saya tuliskan setelah menonton Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF), tanpa teman sebelah. Payah, kalimat pertama tulisan ini sudah berupa keluhan. Saya memang belum pernah menonton acara serupa. Sebelum menonton, sedikit gambaran dalam benak memperlihatkan orang-orang yang membacakan naskah dengan intonasi dan ekspresinya. Lebih tepatnya mungkin bisa disebut pelisanan naskah drama. Di acara menonton yang sampai tiga hari berturut-turut tak pernah absen ini, saya ditemani oleh pendekar pasir beracun untuk dua hari pertama. Ia khusus datang dari pulau pasir untuk menemani saya. Dia memang teman yang baik.

Tema IDRF tahun ini adalah “Memperkarakan Realisme”. Dua tahun sebelumnya, IDRF mengusung tema “Melihat Kembali Realisme” dan tahun lalu bertema “Mengolah Kembali Realisme”. Sayang sekali saya tak ikut ambil bagian jadi penonton untuk IDRF tahun-tahun sebelumnya. Dan di sini saya hanya akan bercerita, tak berani membanding-bandingkan atau berkomentar macam-macam tentang teater dan lakon realis di Indonesia. Sejarahnya sudah sangat panjang dan bukan kapasitas saya sebagai penonton untuk menuliskannya.

Mas Joned Suryatmoko membuka acara sebagai direktur IDRF yang juga akan digelar di kota lain yaitu Semarang, Bandung dan Lampung. Seharusnya ia ditemani oleh Gunamawan Maryanto, sayangnya dia sedang berada di Korea. Mungkin para aktor Teater Garasi sedang diikutkan training dalam management artis SM Town biar terkenal seperti Super Junior.Hehe.. Penonton di hari pertama ini lumayan semarak. Pendekar pasir beracun cukup senang bertemu dengan salah satu penonton yang juga bergaya mirip pendekar. Seorang laki-laki dengan udeng-udeng atau iket di kepala. Ia datang sendiri dan sepertinya tak mengenal seorang pun di tempat itu seperti kami.

/1/
Di hari pertama ini, Behind Theatre akan melisankan naskah Helvy Tiana Rosa. Dulu saya senang membacai karya Helvy ketika es em a dengan majalah wajib baca zaman itu bernama Annida. Jangan salah karena beberapa tulisan saya sewaktu es em a memang sangat Islami. Sempat dulu awal kuliah ikut FLP karena ingin menjadi penulis seperti Mbak Helvy. Tapi kemudian tak betah karena merasa bukan bagian dari sekawanan bidadari surga yang ada di sana.

Kembali pada naskah Helvy yang di bacakan di IDRF. Lakon berjudul Jiroris ini memang cukup menarik. Naskah ini dibawakan oleh Behind Theatre dengan interpretasi khas mereka yang segar dan menghibur. Helvy bercerita tentang seorang ibu yang khawatir dengan anaknya yang ikut Rohis di sekolah. Sebagai naskah realis, pelisan dan naskahnya sendiri bisa dikatakan berhasil menghibur. Perdebatan antara pandangan feminis dan Islam dengan kutipan dari Cixious dan Hadist Nabi dibawakan oleh aktor yang cute (peran Rossa, anak seorang pengacara ternama, tiba-tiba mengalami perubahan perilaku setelah ikut Rohis) dan seorang perempuan bergaya kebarat-baratan sebagai peneliti terorisme di Indonesia dari Amerika. Bagian ini menjadi tak terkesan berat. Penonton bisa menikmati dan kadang diselingi tawa.

Saya sendiri tidak tahu pakem dramatic reading itu seperti apa. Apakah hanya boleh dibacakan begitu saja atau pelisan bisa menerjemahkan naskah itu melalui penyutradaraan. Kalau anak-anak rohis digambarkan demikian heboh, tentu bukan lagi menjadi realis. Itu pun sebenarnya bukan soal. Dalam hal memindahkan realitas ke panggung, se-realis apapun, pasti tetap ada fleksibilitas pertunjukan yang bisa ditoleransi.

Dari pengalaman saya menonton, mungkin memang sudah jarang teater yang membawakan naskah realis. Kalaupun ada, naskah-naskah yang dibawakan sudah demikian uzur. Kalau tidak begitu, mereka membawakan naskah-naskah terjemahan seperti punya Chekov. Naskah-naskah realis nan uzur ini tentu harus kembali disesuaikan dengan zaman kalau ingin dipentaskan saat ini. Kalau tidak, mereka akan terjebak pada pembawaan kaku dan tak menarik perhatian. Jiroris tampaknya memang membawa angin segar bagi kekhawatiran saya tentang pertunjukan-pertunjukan teater realis yang seringkali masih membawakan lakon-lakon lama.  

Sebagai pembanding, naskah kedua yang ditampilkan di hari pertama ini berjudul Keluarga-Keluarga Bahagia (Happy Family) karya Ann Lee. Lakon dari Malaysia ini dilisankan oleh Teater Stemka. Berbeda dengan naskah pertama yang dibawakan dengan segar, naskah kedua dilisankan dengan membacanya begitu saja. Para aktor duduk di kursi setengah melingkar. Satu aktor bisa membawakan tiga karakter sekaligus. Kelompok teater yang bisa dibilang senior di Yogyakarta ini membawakan naskah yang bercerita tentang anak-anak perempuan beranjak dewasa. Percakapan mereka membawa cerita tentang bagaimana anak-anak itu memandang laki-laki di usia mereka, memperbincangkan hal-hal yang dianggap tabu dan tak layak diperbincangkan, juga soal-soal keluarga lainnya. Kadang segar, lucu, tapi juga sedikit membosankan. Mungkin juga karena ini naskah dari Malaysia sehingga sedikit tidak akrab masuk dalam telinga.

/2/
Hari kedua IDRF, pendekar pasir beracun masih bisa menjumpai kawan pendekarnya. Kali ini tak lagi memakai udeng di kepala. Tapi tetap saja ia terlihat berbeda dengan sepatu boot menkilapnya itu. Mas Joned kembali membuka acara, tetap dengan kabar bahwa Gunawan Maryanto masih berada di Korea. Di pojokan belakang, sepertinya saya melihat Mas Ipank sedang bersama teman-temannya. Biar saya jujur di sini. Saya nge-fans dengan salah satu potongan lirik lagunya, “dan revolusi...yang kita nanti...akhirnya pecah...di kamar ini...”

Hari kedua ini diisi dengan pelisanan naskah dari Singapura, ditulis Huzir Sulaiman berjudul Cogito. Naskah ini dilisankan oleh Forum Aktor Yogyakarta. Naskah ini juga sedikit terkesan berat. Para pelakunya memperbincangkan Descartes, Santo Agustinus sampai Rumi. Tiga Katherine Lee bertemu dan mengaku sebagai istri Tony Szeto. Salah satunya adalah sebuah program komputer. Seperti judulnya, dan yang tertulis di pamflet juga, naskah ini ingin bicara tentang keberadaan. Saya sendiri kurang begitu mengerti soal yang berat-berat berfilsafat macam begini. Tetap ada riuh tepuk tangan meski entah berapa dari orang-orang yang mengerti isi naskahnya.

Naskah kedua berjudul Ruang Putih karya Rangga Riantiarno. Dia adalah seorang penulis muda dan aktif di Teater Koma. Naskahnya bercerita tentang sebuah ruang yang mengharuskan penghuninya mengingat kejadian sebelum mereka mati, sebelum mereka bisa melanjutkan perjalanan kembali. Behind Theater kembali membawakan naskah di hari kedua IDRF. Seperti apapun naskahnya, tampaknya memang akan menjadi konyol kalau mereka yang membawakan.  

Dua naskah ini sepertinya memang perlu diperkarakan terkait tema realisme yang diambil. Saya jadi bertanya-tanya apakah naskah realis itu? Kalaupun ingin membuat pembahasan tersendiri, antara naskah realis dan pertunjukan teater realis tentunya menjadi dua hal yang sebaiknya dipisahkan tetapi tetap menjadi satu. Saya tak cukup punya bahan untuk membicarakannya di sini, sejarahnya..bla..bla..bla..., perkembangannnya di Indonesia...bla..bla..bla..teater dan naskah realis saat ini...bla..bla..bla...

Segumpal pertanyaan itu saya karungi untuk di bawa pulang. Tetap menggumpal dalam pikiran sampai sekarang. Kalau ada yang ingin berbagi, silakan hubungi saya. Mas Ipank sudah menghilang sejak jeda sebelum pelisanan naskah kedua.

/3/
Pendekar pasir beracun sudah pulang ke negerinya. Hari itu saya menonton sendirian. Rencananya juga setelah ini saya langsung pulang ke kampung halaman. Mas Joned kembali membuka acara dan lagi lagi mengabarkan bahwa Gunawan Maryanto masih berada di Korea. Penonton di hari ketiga ini sedikit menyusut. Meski demikian, Pendekar berudeng itu masih ada. Ia cukup setia juga karena tetap hadir sampai hari ketiga.

Hari ini akan dibacakan naskah berjudul Roberto Zucco. Karya dari perancis ini ditulis oleh Bernard-Marie Koltes tahun 1988. Naskah ini diterjemahkan oleh Arya Seta. Sampai sekarang hanya sebagian saja naskah yang diterjemahkan terkait dengan persoalan izin dan sebagainya. Sebagian lakon yang dilisankan oleh Forum Aktor Yogyakarta ini bercerita tentang seorang kriminal bernarma Roberto Zucco. Dari sebagian naskah itu, Zucco digambarkan sebagai seorang kriminal. Ia melarikan diri dari penjara dan menemui ibunya. Dan akhirnya dibunuhnya juga.

Tema besar kriminalitas dan nama penulis naskahnya benar-benar mengingatkan saya pada salah satu bagian novel Milan Kundera yang berjudul Kekelan itu. Melalui seorang pembaca berita, Mil Kun—panggilan sayang saya untuk penulis satu itu—mempersoalkan isi berita termasuk kriminalitas dan seberapa dekatnya dengan kehidupan kita. Setiap hari kita memang disuguhi berita tentang pembunuhan, kerusuhan, bayi yang dibuang, gadis diperkosa, dan sebagainya. Pun kadang kita sempat menganggapnya sebagai hiburan semata. Mendengar atau menyaksikan berita pembunuhan hampir mirip dengan membaca novel Agatha Christie sambil minum teh di sore hari.

Naskah Roberto Zucco membawa pada suatu kedalaman tertentu dari seorang yang dianggap kriminal. Mungkin juga yang seperti ini pernah kita saksikan di film-film psikopat. Tapi melalui naskah teater, kriminalitas bisa disajikan lengkap dengan kedalamannya, kehidupan seorang Zucco dan lingkungannya. Sayang sekali naskah ini belum lengkap diterjemahkan sehingga saya pun tak bisa menikmati pelisanannya secara utuh.

Naskah kedua yang dibacakan berjudul Keok karya Ibed Surgana Yuga (2010). Sepertinya naskah ini memang paling berkesan. Pelisan naskahnya sendiri adalah Teater Stemka dengan Om Landung Simatupang sebagai naratornya. Penampilan Teater Stemka untuk naskah ini terasa lebih menarik dibandingkan ketika mereka membawakan naskah Keluarga-Keluarga Bahagia sebelumnya. Menarik juga karena naskah karya seorang penulis dan pegiat teater muda dibacakan oleh kelompok teater sepuh di Yogyakarta.

Para sesepuh Teater Stemka berusaha untuk membawa ruh naskah yang berlatar di Bali dengan alunan seruling dan kenong. Mereka berusaha sekuat tenaga membawakan aksen Bali dalam pelisanan naskah tersebut, meski tak sepenuhnya menggunakan dialek Bali karena waktu latihan yang hanya enam kali. Beberapa kali kesalahan dalam pelisanan justru diubah oleh Om Landung menjadi sesuatu yang renyah dan mengundang tawa.

Lakon ini tentu bergaya realis. Bukan Bali yang banal yang ditampilkan melainkan Bali sekaligus orang-orangnya dengan segala pertarungan di dalamnya. Sebagian orang Bali dalam lakon ini digambarkan suka tajen, mabuk, suka dengan istri orang, kongkalikong dengan negara untuk urusan perjudian, kekerasan, pembunuhan, dan sebagainya. Terlepas dari pikiran-pikiran yang romantis maupun yang najis tentang teman sebelah dan ke-Bali-annya, naskah ini tetap bisa saya nikmati, kadang dengan tawa, kadang juga dengan pikiran yang tiba-tiba melompat entah kemana.  

Dikisahkan sepasang suami istri bernama Made Surya dan Luh Sandat yang mencari penghasilan dengan berjualan ketika tajen berlangsung. Tajen sendiri konon katanya sudah dilarang tapi masyarakat di desa kecil itu tetap saja menyelenggarakannya atas nama adat. Salah satu pemain tajen yang bergaya mirip preman bernama Komang Kober. Ia bekerjasama dengan Pak Binmas agar tajen tetap bisa dilangsungkan dengan memberinya uang.    

Ceritanya sederhana. Komang Kober mencintai Luh Sandat dan berusaha menjebak Made Surya melalui tajen. Komang Kober menyimpan niat buruk dibalik kebaikannya meminjamkan uang untuk biaya Ngaben ayah Made Surya yang lumayan mahal. Komang kober bekerjasama dengan Pak Binmas untuk menjebak dan memenjarakan Made Surya ketika ia mengikuti tajen. Sementara suaminya dipenjara, Komang Kober pun berencana memiliki Luh Sandat seutuhnya. Belum sempat terjadi, Made Surya mengetahui rencana Komang Kober dan terjadilah perkelahian berdarah itu. Dari cerita ini, Ibed sebagai orang Bali berusaha menampilkan Bali tanpa dibedak-bedaki dan saya suka itu.

Dari keseluruhan lakon yang dilisankan dalam IDRF 2012 ini, saya jadi bisa membuka mata. Tentu akan sangat beragam kalau tema-tema realis kembali dihadirkan di pangung-panggung pertunjukan. Tema dan cerita yang barangkali secara tidak langsung bisa mengobati sakitnya masyarakat negeri ini. Dari tiga hari ini, pelisan IDRF terlihat muncul dari tiga generasi. Dari anak-anak muda, setengah tua, sampai para sesepuh dari Teater Stemka. Yang muda tetap harus lebih banyak berlajar dan berproses sebagai aktor. Saya tahu itu proses begitu njlimet dan berdarah-darah.

Pegiat teater di Yogyakarta seharusnya bisa terinspirasi dari lakon-lakon ini. Jangan sampai tragedi ketika saya menonton teater beberapa waktu lalu terulang kembali. Sudah membayar tiket sepuluh ribu tapi pertunjukan yang dihadirkan justru membuat saya geram dan membangkitkan nafsu ingin membunuh orang. Terlepas dari bentuk apresiasi saya, cerita tentang kuburan keramat yang dikomodifikasi itu membuat saya ingin melempar sandal ke atas panggung.Hehehe..

Anak-anak muda kadang tergiur dengan bentuk teater yang aneh-aneh, teater tubuh, teater surealis dan aneh-anehan lain yang justru membuat penonton awam seperti saya tidak mengerti apa yang saya saksikan. Barangkali teater realis dianggap sebagai dasar yang mungkin dianggap pula sudah dilewati atau sudah tak masanya lagi. Padahal, pelatihan aktor yang njlimet juga tetap berlaku dalam teater jenis realis ini. Padahal, melalui pertunjukan-pertunjukan bentuk ini, kita kembali diingatkan terhadap realitas.

Realitas sendiri barangkali sudah sangat jarang kita saksikan. Ia ditumpuki berita-berita koran dan televisi. Berita-berita yang terlalu sering berseliweran meski saya tetap tak pernah percaya pada mereka, selain sebatas sesuatu yang mengejutkan, mengundang tawa, bergidik, merinding untuk sesaat kemudian dilupakan.

Saya menuliskan ini di ruang depan, ruangan yang dulu saya juluki ruang relung. Ruangan paling depan rumah ini memang semacam ruang untuk melihat ke dalam. Dulu sebelum mengenal Jogja, tulisan-tulisan awal saya pernah lahir di ruang ini. Masih polos. Mungkin seperti juga tulisan ini yang lahir tanpa tambahan informasi. Ah, akses internet lewat modem lelet sekali di sini. Tulisan ini murni kesan. Sekian.

Ditulis pada sebuah hari dimana saya pengen sekali ketemu Om Seno di Magelang, tapi apa daya.
Ruang Relung, 29 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar