Sejak dulu saya memang suka membacai
novel. Mungkin bagi sebagian orang hanya terkesan membuang waktu sementara
mereka bisa melahap buku-buku teori sampai bertumpuk-tumpuk dalam otaknya.
Tumpukan pengetahuan yang tercipta dari serangkaian bahasa novel tentu berbeda
dengan apa yang didapatkan orang dari selusin buku-buku yang membicarakan
sesuatu dengan bahasa dan istilah-istilah serius, meski novel juga bisa
melakukan hal yang sama. Setidaknya, saya selalu percaya setiap cerita
menyimpan alegori tentang segala hal yang benar-benar terjadi. Novel selalu menyimpan
hal-hal mengejutkan, tak banyak diungkapkan, tapi bisa jadi begitu penting
dalam merekam masa lalu. Para pengarang novel itu tak pernah mendapatkan
ceritanya dari sebuah ruang kosong, juga tidak seperti saya yang suka hanya
menulis tentang diri sendiri. Novel kadang justru banyak bicara tentang hidup
dan obyektifitas-obyektifitasnya.
Ketika berlangsung percakapan tentang kemungkinan-kemungkinan
suram dalam pertjintaan, teman sebelah menyodorkan Student Hidjo karya Mas Marco. Kala itu masih dalam konteks
bagaimana akhirnya pernikahan hanya terjadi melalui perjodohan, macam Siti Nurbaya,
macam Hidjo dan Wungu dalam novel itu. Segala hal macam begini saat ini mungkin
masih bisa ditertawakan. Hangat dan siapa bisa tahu apa yang nanti terjadi.
Mengiyakan salah satu bagian buku yang
juga dipunyai teman sebelah, membaca Student
Hidjo memang lebih mirip seperti menonton pertunjukan. Kita dibawa dalam
suasana-suasana vivid dan sephia masa lalu ketika para borjuis-borjuis kecil
Indonesia sedang nyaman menikmati hidup sebagai bagian dari kolonialisme
Belanda. Barangkali sudah banyak orang membahas Student Hidjo sebagai sebuah karya yang dibilang di sampul
belakangnya sebagai sastra perlawanan dan dianggap sastra kanon Balai Pustaka
sebagai bacaan liar. Soal ini tidak akan dibahas di tulisan ini. Membincang
politik sastra di sini tak akan ada habisnya.
Apa yang memungkinkan Student Hidjo hadir pada tahun 1919 tak
bisa dilepaskan dari pengarangnya. Marco, bagi sebagian orang mungkin sudah
mulai berusaha memunculkan semangat untuk bersatu dalam komunitas imajiner
bernama Indonesia. Kritik-kritik dihadirkan dalam cerita tokoh-tokohnya
bahwasannya Marco ingin mengisi sesuatu yang tadinya absen dari penceritaan
sejarah. Kata teman sebelah, ia sama sekali tak menganggap keberadaan
pemerintah kolonial melalui kehidupan tokoh-tokohnya. Karakter-karakter dalam Student Hidjo adalah manusia-manusia
pada massanya yang bergerak dalam pusaran Jawa-Belanda dengan segala silang
tradisi dan gaya hidupnya. Mari kita simak bagaimana Marco melukiskan Hidjo.
Fragmen Kebimbangan Hidjo dan Romantisme
Para pengarang tampaknya memang suka
membuat karakter-karakter bimbang, seperti halnya banyak manusia lain atau
bahkan dirinya sendiri. Kebimbangan menunjukkan sebuah langkah sebelum pilihan
ditentukan. Tentunya sebagian dari kita juga pernah mengalaminya. Si tokoh
utama kita kali ini, Hidjo adalah seorang anak priyayi Jawa yang sengaja
dikirim ke Belanda untuk melanjutkan studinya demi mengangkat derajat keluarga.
Sampai di Belanda, Hidjo bertemu dengan Betje, anak seorang directeur maatschapij dimana Hidjo
tinggal selama di Belanda. Hidjo yang semula dikenal sebagai kutu buku, bahkan
mendapat julukan pendito sampai onzijdig
atau banci akhirnya terbujuk oleh rayuan Betje dan dimulailah fragmen
percintaan terlarang di antara mereka. Membaca bagian ini akan memunculkan
gambaran seorang pemuda malu-malu dan gadis cantik yang merayu.
Kebimbangan Hidjo sebagai manusia Jawa
dengan nilai-nilai yang dibawanya dibenturkan dengan kehidupan modern di
Belanda. Hal ini dilukiskan di awal novel dengan fragmen Hidjo menonton opera
Faust di Koninklijke Schouwburg. Faust
adalah dirinya yang hanya senang dengan ratusan buku yang dimiliki, tenggelam
di dalamnya sampai tak sadar bahwa rambutnya mulai memutih. Diceritakan bahwa
tiba-tiba Faust mencintai seorang perempuan bersuami dan akan melakukan segala
cara untuk mendapatkannya. Ia kemudian melakukan perjanjian dengan setan.
Akibat kelakukan itu, segala kekayaan dan kepandaian yang dimiliki akhirnya
hilang musnah.
Hidjo pun bimbang karena perubahan gaya hidup di Belanda memunculkan pertaruangan
dalam hatinya yang sedikit banyak membuatnya tak bisa belajar dengan tenang. “Kalau besok saya sudah tua dan bertindak
seperti Faust, lebih baik hal itu kulakukan saja sekarang. Sebab waktu ini saya
sebagaimana kebiasaan anak muda yang suka plesiran, itu tidak ada
jeleknya. Karena adat semacam itu sudah dipandang umum. Tetapi kalau besok saya
sudah berambut putih, berbuat seperti Faust, bah.... begitulah kata Hidjo
seorang diri, sewaktu dia hendak tidur.” Demikianlah Marco menggambarkan
kebimbangan Hidjo.
Hidjo kembali bimbang karena panggilan
pulang ke Jawa membawanya pada perempuan yang sedang menantinya. Ia telah
dijodohkan dengan Raden Adjeng Biru. Hidjo menyukainya tapi juga menyukai Raden
Adjeng Wungu yang anak Regent Jarak. Kisah perjodohan pun berubah. Hidjo
akhirnya menikah dengan Wungu, sementara Biru dengan Raden Mas Wardojo, kakak
laki-laki Wungu. Kisah ini pun berakhir dengan bahagia. Dalam kerangka
perjodohan pun semua ternyata masih bebas menentukan pilihannya. Begitulah
kebebasan memilih secara sederhana diangkat dalam novel ini.
Membaca bagian per
bagian dalam novel ini terkesan mirip sebuah adegan yang terputus-putus lalu
disatukan dalam sebuah pertunjukan yang utuh. Selain kebimbangan tokoh Hidjo, romantisme
sepertinya menjadi bumbu yang menarik dalam novel ini. Sudah lama saya tak membaca
ataupun melihat adegan macam ini dilukiskan begini manis. Saya akan cuplikkan
sedikit fragmen percakapan Hidjo dan Biru. Barangkali subyektif kalau saya
menyebutnya romantis.
“Djo, mari melihat bioscoop atau wayang orang!” kata Raden
Ajeng sambil tangannya memegang tangan Hidjo.
“Nee, Lieve.” [Tidak, Sayang] kata Hidjo dengan suara yang
tidak begitu keras membisikkan ke telinga Raden Ajeng seolah-olah hendak
menciumnya.
“Kita mencari Restoran yang sedikit
remang-remang dan ngobrol saja di situ!”
Raden Ajeng hatinya berdebar mendengar kata-kata Hidjo yang luar
biasa itu seraya berkata, “Hari ini kamu tampak sangat baik sekali Djo!” Raden
Ajeng sambil mengencangkan pegangan tangannya serta kepalanya disandarkan di pundak
Hidjo sebagai tanda cinta.
“Nanti saya hendak berkata kepadamu!” kata Hidjo sambil
menunjukkan tanda cintanya yang dengan memegang kerembong sutra tuan
putri.
“Akan berkata apa? Lekas!” kata Raden Ajeng tidak sabar dan
suaranya itu dipecah untuk menarik hati Hidjo.
“Kalau nanti sudah duduk!” jawab Hidjo menepuk pundak Raden Ajeng membalas
cintanya.
Fragmen novel yang tak bisa dilepaskan
dari soal asmara ini memiliki tenaga sendiri untuk melukiskan bentuk asmara
pada zamannya. Kata Pram di salah satu esainya, asmara selamanya merupakan
suatu batas peggaris yang membuat hidup sesuatu makhluk cerai berai dalam
fragmen-fragmen yang kadang-kadang satu sama lain tak punya sangkut paut
sedikit pun jua. Lewat cerita asmara Hidjo sendiri pun, Marco dapat bicara
tentang banyak hal, dari kebimbangan sampai soal kesadaran pribumi.
Kata
teman sebelah, dia sempat merasa lucu saja membaca novel ini. Lho, kok
tiba-tiba begini ceritanya. Lho, kok tiba-tiba sampai di sini. Katanya lagi,
bentuk novel ini memang mirip karya jurnalisme, tak heran karena Marco juga
seorang jurnalis. Novel ini pun ditulisnya di penjara sebelum dipindahkan ke
Blora.
Melihat
Pribumi dalam Bahasa Alegoris Marco
Manusia
Hindia yang Jawa dilukiskan Marco lewat penggambaran tokoh-tokohnya. Kentalnya
kisah cinta menjadi bungkus yang apik untuk menyisipkan serangkaian bahasa
alegoris dimana Marco bisa dengan leluasa menggambarkan posisi manusia-manusia
Hindia dihadapkan dengan budaya Belanda serta mulai munculnya
perkumpulan-perkumpulan besar seperti Sarekat Islam.
Para bangsawan
dan saudagar Hindia zaman dulu ternyata kaya raya. Mereka digambarkan Marco
dengan sedikit kesan glamor. Entah apakah bisa disebut kelas menengah, Biru
digambarkan sebagai sosok perempuan bangsawan yang cantik dan mahal. Bayangkan
segenap pakaian yang dikenakan Biru hanya untuk berjalan-jalan ke kebun binantang.
Marco menggambarkan sebuah malam yang lebih terang karena beberapa sinar
berlian yang dipakai para bangsawan dan saudagar. Subang Biru seharga f.2000,
entah harga ini setara berapa, membacanya tetap terkesan mahal. Cahaya lampu
listrik belomba dengan kilau berlian. Biru mengenakan baju berwarna kuning yang
berkilauan ditempa sinar lampu. Selain itu, Biru juga masih mengenakan
selendang sutera dengan selop model terbaru.
Penggambaran
serupa banyak bertebaran di sepanjang novel ketika mengisahkan pertemuan
keluarga-keluarga bangsawan Hindia. Mereka menggunakan kereta terbaik, cara
makan dengan duduk melingkar menghadap meja, dan sebagainya. Kelas bansawa
pribumi, baik yang saduagar maupun pejabat sepertinya tak banyak punya beda
dengan gaya hidup orang-orang Belanda di Hindia.
Marco
barangkali ingin bicara tentang kesetaraan. Kesetaraan antara Hindia dan
Belanda, antara yang dijajah dan penjajahnya. Mungkin ia belum membayangkan
Hindia tanpa Belanda. Kalau meminjam istilah teman sebelah. Barangkali
pemikiran Marco yang diselipkan dalam novel ini termasuk aspek-aspek
revolusionernya. Seperti halnya yang dikatakan oleh ayah Hidjo dalam cuplikan
di bawah ini,
“Saya ini seorang saudagar saja, kamu tahu sendiri,
ini waktu orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang jadi
pegawainya gouvernement. Kadang-kadang kita punya sanak sendiri yang sama turut
gouvernement, dia tidak suka kumpul dengan kita, sebab pikirannya dia orang
lebih tinggi derajadnya daripada kita orang yang sama jadi saudagar atau tani.
Maksud saya buat mengirim Hidjo ke negeri Belanda itu tidak lain supaya
orang-orang yang merendahkan kita orang ini bisa mengerti bahwa manusia itu
sama saja, tandanya anak kita bisa belajar juga seperti anaknya regent-regent
atau pangeran-pangeran...”
Marco sempat mengkritik cara pandang para bumiputera terhadap Belanda. Dalam hal
ini, ia masih bicara dalam kerangka bumiputera Jawa. Anak bumiputera
digambarkan Marco memiliki ketakutan terhadap Belanda. Sejak zaman kompeni,
bumiputera banyak diinjak-injak, diperas dan dirampas harta bendanya hingga
masih saja mereka memandang orang Belanda lebih tinggi dan selalu pantas
dihormati. Orang Belanda tak banyak ambil pusing dan senang-senang saja dengan
perilaku bumiputera terhadapnya. Marco menggambarkan orang Belanda dengan
perangai kurang halus yang selalu membalas perlakuan bumiputera dengan
kekasarannya. Anak-anak Jawa sering ditakut-takuti orang tuanya dengan sosok
orang Belanda dan inipun terbawa hingga mereka dewasa, “Hai, diam ada Belanda!”
Marco
lewat novel ini juga mempersoalkan penggunaan bahasa. Anak-anak bumiputera yang
tidak mengerti bahasa Belanda sebagian besar menggunakan bahasa Melayu dan
bahasa Jawa “kromo inggil” kepada
Belanda. Sedangkan Belanda yang enggan mempelajari bahasa melayu dan kromo
inggil menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Jawa rendah.
Jika m.i. belum memperkenalkan diri, si Jawa tidak
usah menyebut dengan sebutan “tuan” atau “ndoro”, bila Belanda menyebut “man”.
Dalam bahasa Belanda pun demikian juga. Dalam bahasa ini hanya sedikit sekali
bedanya antara tinggi (kromo inggil) dengan rendah (kasar/ ngoko).
Sebab itu, banyak Belanda yang tidak mau diajak berkata dalam Bahasa Belanda.
Baik! Tetapi m.i. jangan juga diajak berbicara dengan bahasa Jawa Tinggi kalau
ia tak mau. Mengenai masalah kehormatan pun tak ada bedanya. Heran saya, di
Nederland, Belanda itu, sering berkata bahwa kita itu Slaafsch (seperti
budaknya). Meski di Hindia ia sering dijongkoki.
Tak banyak pengarang pada
masa ini yang sadar akan bentuk-bentuk bahasa yang menyebar dan membuat pribumi
berada dalam posisi sangat direndahkan oleh orang-orang Belanda. Padahal,
orang-orang Belanda yang datang ke Hindia bisa jadi hanya berasal dari kelas
rendah atau bahkan hanya bekas kuli. Orang bumiputera yang tidak pernah ke
Belanda menganggap mereka berasal dari kelas bangsawan atau kelas
terhormat. Di Hindia mereka bisa
menyombongkan diri, menghina dan menganggap orang Hindia hanya sebagai budak
belian. “Lebih keterlaluan lagi, seperti binatang!”, kata Marco.
Marco menunjukkan
paradok ketika Hidjo berangkat ke Belanda sampai kedatangannya di sana.
Orang-orang Belanda justru sangat menghormatinya. Sebaliknya di Hindia,
orang-orang Belanda itu bisa sangat congkak. Demikianlah Marco memaparkan
sedikit persoalan inferiority complex
yang sampai sekarang mungkin masih menghinggapi bangsa ini. Soal ini bisa kita
baca dalam beberapa fragmen novelnya.
Waktu Hidjo turun dari kapal, di pelabuhan sudah
berdesak-desakan orang-orang yang datang dengan kapal Gunung, keadaan itulah
sungguh luar biasa bagi Hidjo. Bukan karena kebagusan pakaian orang-orang yang
ada di situ, tetapi luar biasa sebab mulai ini waktu Hidjo bisa memerintah
orang-orang Belanda, orang mana kalau di tanah Hindia kebanyakan amat besar
kepala... (Hlm. 58)
Sesudahnya Hidjo dan Leeraar-nya turun dari kapal, terus ke hotel,
kedatangannya di situ dihormati betul oleh sekian budak hotel, sebab mereka
memikirkannya, kalau ada orang baru datang dari tanah Hindia, mesti banyak
uang, lebih-lebih kalau orang Jawa. Dari itu, Hidjo tertawa dalam hati melihat
keadaan serupa itu, karena dia ingat nasib bangsanya yang ada di tanahnya sana
dihina oleh bangsa Belanda kebanyakan (Hlm. 58)
Demikianlah Marco melihat pribumi pada masa
itu dengan segala posisi dirinya, dihadapkan pada tradisi Jawa yang tidak
begitu mudahnya dilepaskan. Modernitas mulai masuk di bawa Belanda dan
orang-orang pribumi berpendidikan Eropa yang telah kembali pulang. Segala bentuk
perubahan yang terjadi selama kolonialisme Belanda ini membuat Hindia semakin
menjadi kantung penuh rupa-rupa manusia.
Menginjak bagian akhir,
sempat menghadirkan fragmen pergerakan yang ditandai dengan kemunculan kongress
Sarekat Islam. Marco menggambarkannya dengan ribuan orang yang
berbondong-bondong menuju Sriwedari. Commissaris
politie dan seluruh pegawainya sudah siap menjaga tempat itu sampai serdadu
tambahan juga didatangkan dari Magelang untuk berjaga-jaga seandainya akan
terjadi kerusuhan dalam konggres. Marco pun menulis, “Sepanjang jalan di kota
Solo, penuh dengan orang-orang yang akan datang di Sriwedari, untuk melihat vergadering itu. Pada waktu itu,
seolah-olah semua orang Hindia sudah bersatu
hati dan bersama-sama menuju ke tempat yang berperikemanusiaan.”
Sarekat Islam sebagai sebuah organisasi besar pada masa itu diandaikan telah
mampu menyatukan pribumi. Imajinasi Marco ini mungkin bisa juga disebut
revolusioner.
Dan di akhir tulisan, saya akan
tuliskan beberapa aspek revolusioner dalam novel Student Hidjo versi teman
sebelah. Novel ini dikatakan revolusioner karena Hidjo sudah menjalani
percintaan terlarang dengan seorang perempuan Belanda. Aspek lain tampak pada
fragmen ketika Hidjo menonton opera Faust, naik trem, sampai pertukaran jodoh
yang dilakukannya. Meski dengan nada bercanda, barangkali saja di antara para
pembaca yang budiman ada yang mau menganggukkan kepala dengan pendapat teman
sebelah di atas.
Saya menyukai ironi dan alegori dalam Student Hidjo. Sebuah perkawinan paling
pas antara estetika sebuah cerita novel dan kondisi sosial budaya pada
zamannya. Hidjo bisa menjadi sosok mimic
man dalam tradisi poskolonial ditengah superioritas Barat yang
menguasainya. Hidjo mampu menjadi seorang flaneur
di negeri orang dengan plesirannya menonton
opera sampai menginap di sebuah hotel. Ah, betapa banyak Hidjo yang
disampulanya terlihat necis itu belum bisa saya tulisakan. Tulisan ini memang
hanya sekadarnya. Hanya menunjukkan beberapa bagian novel yang saya suka saja. Tulisan
ini pun sudah tertunda sekian lama dan jadi tak jelas argumennya. Sekian tulisan
yang sedikit kacau ini saya buat, semoga semakin banyak orang yang jadi ingin
membaca Student Hidjo sendiri.
Agustus – Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar