Rabu, 10 Oktober 2012

Hidjo dalam Fragmen dan Alegori


Sejak dulu saya memang suka membacai novel. Mungkin bagi sebagian orang hanya terkesan membuang waktu sementara mereka bisa melahap buku-buku teori sampai bertumpuk-tumpuk dalam otaknya. Tumpukan pengetahuan yang tercipta dari serangkaian bahasa novel tentu berbeda dengan apa yang didapatkan orang dari selusin buku-buku yang membicarakan sesuatu dengan bahasa dan istilah-istilah serius, meski novel juga bisa melakukan hal yang sama. Setidaknya, saya selalu percaya setiap cerita menyimpan alegori tentang segala hal yang benar-benar terjadi. Novel selalu menyimpan hal-hal mengejutkan, tak banyak diungkapkan, tapi bisa jadi begitu penting dalam merekam masa lalu. Para pengarang novel itu tak pernah mendapatkan ceritanya dari sebuah ruang kosong, juga tidak seperti saya yang suka hanya menulis tentang diri sendiri. Novel kadang justru banyak bicara tentang hidup dan obyektifitas-obyektifitasnya.

Ketika berlangsung percakapan tentang kemungkinan-kemungkinan suram dalam pertjintaan, teman sebelah menyodorkan Student Hidjo karya Mas Marco. Kala itu masih dalam konteks bagaimana akhirnya pernikahan hanya terjadi melalui perjodohan, macam Siti Nurbaya, macam Hidjo dan Wungu dalam novel itu. Segala hal macam begini saat ini mungkin masih bisa ditertawakan. Hangat dan siapa bisa tahu apa yang nanti terjadi.    

Mengiyakan salah satu bagian buku yang juga dipunyai teman sebelah, membaca Student Hidjo memang lebih mirip seperti menonton pertunjukan. Kita dibawa dalam suasana-suasana vivid dan sephia masa lalu ketika para borjuis-borjuis kecil Indonesia sedang nyaman menikmati hidup sebagai bagian dari kolonialisme Belanda. Barangkali sudah banyak orang membahas Student Hidjo sebagai sebuah karya yang dibilang di sampul belakangnya sebagai sastra perlawanan dan dianggap sastra kanon Balai Pustaka sebagai bacaan liar. Soal ini tidak akan dibahas di tulisan ini. Membincang politik sastra di sini tak akan ada habisnya.

Apa yang memungkinkan Student Hidjo hadir pada tahun 1919 tak bisa dilepaskan dari pengarangnya. Marco, bagi sebagian orang mungkin sudah mulai berusaha memunculkan semangat untuk bersatu dalam komunitas imajiner bernama Indonesia. Kritik-kritik dihadirkan dalam cerita tokoh-tokohnya bahwasannya Marco ingin mengisi sesuatu yang tadinya absen dari penceritaan sejarah. Kata teman sebelah, ia sama sekali tak menganggap keberadaan pemerintah kolonial melalui kehidupan tokoh-tokohnya. Karakter-karakter dalam Student Hidjo adalah manusia-manusia pada massanya yang bergerak dalam pusaran Jawa-Belanda dengan segala silang tradisi dan gaya hidupnya. Mari kita simak bagaimana Marco melukiskan Hidjo.

Fragmen Kebimbangan Hidjo dan Romantisme

Para pengarang tampaknya memang suka membuat karakter-karakter bimbang, seperti halnya banyak manusia lain atau bahkan dirinya sendiri. Kebimbangan menunjukkan sebuah langkah sebelum pilihan ditentukan. Tentunya sebagian dari kita juga pernah mengalaminya. Si tokoh utama kita kali ini, Hidjo adalah seorang anak priyayi Jawa yang sengaja dikirim ke Belanda untuk melanjutkan studinya demi mengangkat derajat keluarga. Sampai di Belanda, Hidjo bertemu dengan Betje, anak seorang directeur maatschapij dimana Hidjo tinggal selama di Belanda. Hidjo yang semula dikenal sebagai kutu buku, bahkan mendapat julukan pendito sampai onzijdig atau banci akhirnya terbujuk oleh rayuan Betje dan dimulailah fragmen percintaan terlarang di antara mereka. Membaca bagian ini akan memunculkan gambaran seorang pemuda malu-malu dan gadis cantik yang merayu.

Kebimbangan Hidjo sebagai manusia Jawa dengan nilai-nilai yang dibawanya dibenturkan dengan kehidupan modern di Belanda. Hal ini dilukiskan di awal novel dengan fragmen Hidjo menonton opera Faust di Koninklijke Schouwburg. Faust adalah dirinya yang hanya senang dengan ratusan buku yang dimiliki, tenggelam di dalamnya sampai tak sadar bahwa rambutnya mulai memutih. Diceritakan bahwa tiba-tiba Faust mencintai seorang perempuan bersuami dan akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Ia kemudian melakukan perjanjian dengan setan. Akibat kelakukan itu, segala kekayaan dan kepandaian yang dimiliki akhirnya hilang musnah.

Hidjo pun bimbang karena perubahan gaya hidup di Belanda memunculkan pertaruangan dalam hatinya yang sedikit banyak membuatnya tak bisa belajar dengan tenang. “Kalau besok saya sudah tua dan bertindak seperti Faust, lebih baik hal itu kulakukan saja sekarang. Sebab waktu ini saya sebagaimana kebiasaan anak muda yang suka plesiran, itu tidak ada jeleknya. Karena adat semacam itu sudah dipandang umum. Tetapi kalau besok saya sudah berambut putih, berbuat seperti Faust, bah.... begitulah kata Hidjo seorang diri, sewaktu dia hendak tidur.” Demikianlah Marco menggambarkan kebimbangan Hidjo.

Hidjo kembali bimbang karena panggilan pulang ke Jawa membawanya pada perempuan yang sedang menantinya. Ia telah dijodohkan dengan Raden Adjeng Biru. Hidjo menyukainya tapi juga menyukai Raden Adjeng Wungu yang anak Regent Jarak. Kisah perjodohan pun berubah. Hidjo akhirnya menikah dengan Wungu, sementara Biru dengan Raden Mas Wardojo, kakak laki-laki Wungu. Kisah ini pun berakhir dengan bahagia. Dalam kerangka perjodohan pun semua ternyata masih bebas menentukan pilihannya. Begitulah kebebasan memilih secara sederhana diangkat dalam novel ini.

Membaca bagian per bagian dalam novel ini terkesan mirip sebuah adegan yang terputus-putus lalu disatukan dalam sebuah pertunjukan yang utuh. Selain kebimbangan tokoh Hidjo, romantisme sepertinya menjadi bumbu yang menarik dalam novel ini. Sudah lama saya tak membaca ataupun melihat adegan macam ini dilukiskan begini manis. Saya akan cuplikkan sedikit fragmen percakapan Hidjo dan Biru. Barangkali subyektif kalau saya menyebutnya romantis.

“Djo, mari melihat bioscoop atau wayang orang!” kata Raden Ajeng sambil tangannya memegang tangan Hidjo.
Nee, Lieve.” [Tidak, Sayang] kata Hidjo dengan suara yang tidak begitu keras membisikkan ke telinga Raden Ajeng seolah-olah hendak menciumnya.
“Kita mencari Restoran yang sedikit remang-remang dan ngobrol saja di situ!”
Raden Ajeng hatinya berdebar mendengar kata-kata Hidjo yang luar biasa itu seraya berkata, “Hari ini kamu tampak sangat baik sekali Djo!” Raden Ajeng sambil mengencangkan pegangan tangannya serta kepalanya disandarkan di pundak Hidjo sebagai tanda cinta.
“Nanti saya hendak berkata kepadamu!” kata Hidjo sambil menunjukkan tanda cintanya yang dengan memegang kerembong sutra tuan putri.
“Akan berkata apa? Lekas!” kata Raden Ajeng tidak sabar dan suaranya itu dipecah untuk menarik hati Hidjo.
“Kalau nanti sudah duduk!” jawab Hidjo menepuk pundak Raden Ajeng membalas cintanya.

Fragmen novel yang tak bisa dilepaskan dari soal asmara ini memiliki tenaga sendiri untuk melukiskan bentuk asmara pada zamannya. Kata Pram di salah satu esainya, asmara selamanya merupakan suatu batas peggaris yang membuat hidup sesuatu makhluk cerai berai dalam fragmen-fragmen yang kadang-kadang satu sama lain tak punya sangkut paut sedikit pun jua. Lewat cerita asmara Hidjo sendiri pun, Marco dapat bicara tentang banyak hal, dari kebimbangan sampai soal kesadaran pribumi.

Kata teman sebelah, dia sempat merasa lucu saja membaca novel ini. Lho, kok tiba-tiba begini ceritanya. Lho, kok tiba-tiba sampai di sini. Katanya lagi, bentuk novel ini memang mirip karya jurnalisme, tak heran karena Marco juga seorang jurnalis. Novel ini pun ditulisnya di penjara sebelum dipindahkan ke Blora.

Melihat Pribumi dalam Bahasa Alegoris Marco

Manusia Hindia yang Jawa dilukiskan Marco lewat penggambaran tokoh-tokohnya. Kentalnya kisah cinta menjadi bungkus yang apik untuk menyisipkan serangkaian bahasa alegoris dimana Marco bisa dengan leluasa menggambarkan posisi manusia-manusia Hindia dihadapkan dengan budaya Belanda serta mulai munculnya perkumpulan-perkumpulan besar seperti Sarekat Islam.

Para bangsawan dan saudagar Hindia zaman dulu ternyata kaya raya. Mereka digambarkan Marco dengan sedikit kesan glamor. Entah apakah bisa disebut kelas menengah, Biru digambarkan sebagai sosok perempuan bangsawan yang cantik dan mahal. Bayangkan segenap pakaian yang dikenakan Biru hanya untuk berjalan-jalan ke kebun binantang. Marco menggambarkan sebuah malam yang lebih terang karena beberapa sinar berlian yang dipakai para bangsawan dan saudagar. Subang Biru seharga f.2000, entah harga ini setara berapa, membacanya tetap terkesan mahal. Cahaya lampu listrik belomba dengan kilau berlian. Biru mengenakan baju berwarna kuning yang berkilauan ditempa sinar lampu. Selain itu, Biru juga masih mengenakan selendang sutera dengan selop model terbaru.

Penggambaran serupa banyak bertebaran di sepanjang novel ketika mengisahkan pertemuan keluarga-keluarga bangsawan Hindia. Mereka menggunakan kereta terbaik, cara makan dengan duduk melingkar menghadap meja, dan sebagainya. Kelas bansawa pribumi, baik yang saduagar maupun pejabat sepertinya tak banyak punya beda dengan gaya hidup orang-orang Belanda di Hindia.

Marco barangkali ingin bicara tentang kesetaraan. Kesetaraan antara Hindia dan Belanda, antara yang dijajah dan penjajahnya. Mungkin ia belum membayangkan Hindia tanpa Belanda. Kalau meminjam istilah teman sebelah. Barangkali pemikiran Marco yang diselipkan dalam novel ini termasuk aspek-aspek revolusionernya. Seperti halnya yang dikatakan oleh ayah Hidjo dalam cuplikan di bawah ini,

“Saya ini seorang saudagar saja, kamu tahu sendiri, ini waktu orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang jadi pegawainya gouvernement. Kadang-kadang kita punya sanak sendiri yang sama turut gouvernement, dia tidak suka kumpul dengan kita, sebab pikirannya dia orang lebih tinggi derajadnya daripada kita orang yang sama jadi saudagar atau tani. Maksud saya buat mengirim Hidjo ke negeri Belanda itu tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita orang ini bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja, tandanya anak kita bisa belajar juga seperti anaknya regent-regent atau pangeran-pangeran...”

Marco sempat mengkritik cara pandang para bumiputera terhadap Belanda. Dalam hal ini, ia masih bicara dalam kerangka bumiputera Jawa. Anak bumiputera digambarkan Marco memiliki ketakutan terhadap Belanda. Sejak zaman kompeni, bumiputera banyak diinjak-injak, diperas dan dirampas harta bendanya hingga masih saja mereka memandang orang Belanda lebih tinggi dan selalu pantas dihormati. Orang Belanda tak banyak ambil pusing dan senang-senang saja dengan perilaku bumiputera terhadapnya. Marco menggambarkan orang Belanda dengan perangai kurang halus yang selalu membalas perlakuan bumiputera dengan kekasarannya. Anak-anak Jawa sering ditakut-takuti orang tuanya dengan sosok orang Belanda dan inipun terbawa hingga mereka dewasa, “Hai, diam ada Belanda!”

Marco lewat novel ini juga mempersoalkan penggunaan bahasa. Anak-anak bumiputera yang tidak mengerti bahasa Belanda sebagian besar menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Jawa “kromo inggil” kepada Belanda. Sedangkan Belanda yang enggan mempelajari bahasa melayu dan kromo inggil menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Jawa rendah.

Jika m.i. belum memperkenalkan diri, si Jawa tidak usah menyebut dengan sebutan “tuan” atau “ndoro”, bila Belanda menyebut “man”. Dalam bahasa Belanda pun demikian juga. Dalam bahasa ini hanya sedikit sekali bedanya antara tinggi (kromo inggil) dengan rendah (kasar/ ngoko). Sebab itu, banyak Belanda yang tidak mau diajak berkata dalam Bahasa Belanda. Baik! Tetapi m.i. jangan juga diajak berbicara dengan bahasa Jawa Tinggi kalau ia tak mau. Mengenai masalah kehormatan pun tak ada bedanya. Heran saya, di Nederland, Belanda itu, sering berkata bahwa kita itu Slaafsch (seperti budaknya). Meski di Hindia ia sering dijongkoki.

Tak banyak pengarang pada masa ini yang sadar akan bentuk-bentuk bahasa yang menyebar dan membuat pribumi berada dalam posisi sangat direndahkan oleh orang-orang Belanda. Padahal, orang-orang Belanda yang datang ke Hindia bisa jadi hanya berasal dari kelas rendah atau bahkan hanya bekas kuli. Orang bumiputera yang tidak pernah ke Belanda menganggap mereka berasal dari kelas bangsawan atau kelas terhormat.  Di Hindia mereka bisa menyombongkan diri, menghina dan menganggap orang Hindia hanya sebagai budak belian. “Lebih keterlaluan lagi, seperti binatang!”, kata Marco.

Marco menunjukkan paradok ketika Hidjo berangkat ke Belanda sampai kedatangannya di sana. Orang-orang Belanda justru sangat menghormatinya. Sebaliknya di Hindia, orang-orang Belanda itu bisa sangat congkak. Demikianlah Marco memaparkan sedikit persoalan inferiority complex yang sampai sekarang mungkin masih menghinggapi bangsa ini. Soal ini bisa kita baca dalam beberapa fragmen novelnya.

Waktu Hidjo turun dari kapal, di pelabuhan sudah berdesak-desakan orang-orang yang datang dengan kapal Gunung, keadaan itulah sungguh luar biasa bagi Hidjo. Bukan karena kebagusan pakaian orang-orang yang ada di situ, tetapi luar biasa sebab mulai ini waktu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda, orang mana kalau di tanah Hindia kebanyakan amat besar kepala... (Hlm. 58)

Sesudahnya Hidjo dan Leeraar-nya turun dari kapal, terus ke hotel, kedatangannya di situ dihormati betul oleh sekian budak hotel, sebab mereka memikirkannya, kalau ada orang baru datang dari tanah Hindia, mesti banyak uang, lebih-lebih kalau orang Jawa. Dari itu, Hidjo tertawa dalam hati melihat keadaan serupa itu, karena dia ingat nasib bangsanya yang ada di tanahnya sana dihina oleh bangsa Belanda kebanyakan (Hlm. 58)

Demikianlah Marco melihat pribumi pada masa itu dengan segala posisi dirinya, dihadapkan pada tradisi Jawa yang tidak begitu mudahnya dilepaskan. Modernitas mulai masuk di bawa Belanda dan orang-orang pribumi berpendidikan Eropa yang telah kembali pulang. Segala bentuk perubahan yang terjadi selama kolonialisme Belanda ini membuat Hindia semakin menjadi kantung penuh rupa-rupa manusia.

Menginjak bagian akhir, sempat menghadirkan fragmen pergerakan yang ditandai dengan kemunculan kongress Sarekat Islam. Marco menggambarkannya dengan ribuan orang yang berbondong-bondong menuju Sriwedari. Commissaris politie dan seluruh pegawainya sudah siap menjaga tempat itu sampai serdadu tambahan juga didatangkan dari Magelang untuk berjaga-jaga seandainya akan terjadi kerusuhan dalam konggres. Marco pun menulis, “Sepanjang jalan di kota Solo, penuh dengan orang-orang yang akan datang di Sriwedari, untuk melihat vergadering itu. Pada waktu itu, seolah-olah semua orang Hindia sudah bersatu hati dan bersama-sama menuju ke tempat yang berperikemanusiaan.” Sarekat Islam sebagai sebuah organisasi besar pada masa itu diandaikan telah mampu menyatukan pribumi. Imajinasi Marco ini mungkin bisa juga disebut revolusioner.

Dan di akhir tulisan, saya akan tuliskan beberapa aspek revolusioner dalam novel Student Hidjo versi teman sebelah. Novel ini dikatakan revolusioner karena Hidjo sudah menjalani percintaan terlarang dengan seorang perempuan Belanda. Aspek lain tampak pada fragmen ketika Hidjo menonton opera Faust, naik trem, sampai pertukaran jodoh yang dilakukannya. Meski dengan nada bercanda, barangkali saja di antara para pembaca yang budiman ada yang mau menganggukkan kepala dengan pendapat teman sebelah di atas.

Saya menyukai ironi dan alegori dalam Student Hidjo. Sebuah perkawinan paling pas antara estetika sebuah cerita novel dan kondisi sosial budaya pada zamannya. Hidjo bisa menjadi sosok mimic man dalam tradisi poskolonial ditengah superioritas Barat yang menguasainya. Hidjo mampu menjadi seorang flaneur di negeri orang dengan plesirannya menonton opera sampai menginap di sebuah hotel. Ah, betapa banyak Hidjo yang disampulanya terlihat necis itu belum bisa saya tulisakan. Tulisan ini memang hanya sekadarnya. Hanya menunjukkan beberapa bagian novel yang saya suka saja. Tulisan ini pun sudah tertunda sekian lama dan jadi tak jelas argumennya. Sekian tulisan yang sedikit kacau ini saya buat, semoga semakin banyak orang yang jadi ingin membaca Student Hidjo sendiri.  

Agustus – Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar