Selasa, 16 Oktober 2012

Oleh-Oleh Perjalanan ke Pulau Pasir


Sudah beberapa minggu lalu saya pulang membawa oleh-oleh ini. Biar diperam dulu. Alih-alih memang baru sempat dituliskan. Saya tahu tentang Pulau Pasir dari kabar seorang teman. Tentu kau tak akan menemukan tempat ini dalam peta manapun. Peta yang dibuat demi mengusai wilayah-wilayah, menerobos setiap jengkal hutan, gunung, pantai, sungai, lautan. Pulau Pasir adalah salah satu yang tak bisa ditemukan kecuali kau mau mengikuti kabar angin dan nekat untuk mencarinya. Pulau Pasir konon katanya akan datang juga kepada orang-orang yang benar-benar ingin menemukannya tanpa maksud menguasai.

Sebelum menemukan Pulau Pasir, saya singgah di sebuah kampung. Tempat ini mungkin ada dalam peta. Maaf saya tak bisa menyebutkan namanya. Kala itu hari minggu. Cuaca di kampung itu sedang panas-panasnya. Hari hampir siang dan di sebuah lapangan orang-orang mulai berdatangan. Tak ada yang aneh di sana. semua hampir mirip dengan kampung-kampung yang pernah kau temui. Mereka tidak terisolasi dari peradaban. Pekerjaan sebagian besar warga adalah petani, penambang pasir, segelintir pegawai negeri dan seorang mantri hewan. Itulah yang saya tahu. Saya hanya mampir sehari di pulau itu.

Di lapangan telah berkumpul orang-orang yang menyaksikan panggung organ tunggal. Duet penyanyi di atas panggung terdengar meliuk-liuk. Seorang laki-laki dan seroang lagi perempuan melantunkan salah satu tembang campur sari. Cuaca panas tak menghalangi warga untuk mencari hiburan sejenak setelah seminggu penuh bekerja. Organ tunggal itu dipesan untuk memeriahkan lomba antar kelompok senam ibu-ibu di kampung itu. Sponsornya salah satu partai yang baru saja muncul dan sedang giat-giatnya menggalang massa. Semua orang sudah tahu tapi tentu tak ada satupun bendera partai di sana. 

Lomba itu juga dimeriahkan dengan doorprize berupa oeralatan-peralatan rumah tangga seperti kipas angin, rice cooker dan dvd player. Ibu-ibu sudah memegang kartu bertuliskan nomor undian. Ketika panitia mengumumkan nomor yang ditunjuk, beberapa muka tampak mengkerut karena bukan nomor mereka yang disebut. Beberapa lagi merekah senyumnya. Segera seorang ibu berlari mendekat panggung karena beruntung mendapat sebuah televisi. Pembagian doorprize adalah acara puncak dan setelahnya akan ada hiburan reog. Panitia sudah pamit tapi anak-anak kecil dan beberapa ibu-ibu justru mendekat ke panggung. Mereka ikut naik panggung dan berjoged. Panitia memperingatkan untuk berhati-hati karena panggung itu rapuh dan bisa runtuh kalau terlalu banyak orang di atasnya.

Aih...ibu-ibu yang di depan panggung itu rasanya masih tak rela kalau musik berhenti. Ia masih ingin terus bergoyang dengan pakaiannya yang ketat tapi aneh, meninggalkan panggung sampil mengusap keringat di dahinya. Celana dan baju ketatnya itu sebenarnya menyiksa, masih ditambah dengan rompi berwarna ungu tua. Tubuhnya benar-benar basah karena panas. Anak-anak juga mulai sedikit menjauh dari panggung. Rambut mereka kemerahan dengan kulit mengkilat karena matahari. Kaki-kaki mungil bersisik itu beradu dengan debu dan rumput-rumput kering kecoklatan.

Berikutnya rombongan reog tiba. Mereka diangkut oleh truk dengan bak terbuka. Anak-anak yang tidak boleh lagi berada di panggung mulai memanjat dan bertengger di atas bak truk agar bisa menyaksikan pertunjukan lebih jelas. Reog di sini berbeda dengan reog di Ponorogo. Saya tak punya cukup data untuk menuliskan sejarah dan perkembangan hiburan rakyat macam reog yang saya saksikan ini. Reog di sini hanya berupa barisan yang terdiri dari dari dua orang pemimpin laki-laki, delapan orang penari perempuan, barisan kera, ksatria, raksasa dan punakawan yang mondar-mandir di sela barisan.

Saya menduga kalau pertunjukan ini mengusung cerita ramayana. Tarian yang diperagakan dalam pertunjukan ini memang sedikit statis. Irama musiknya juga demikian, hanya mengulang beberapa nada dalam sistem tangga nada pentatonis, mungkin slendro, mungkin juga pelog, tapi kemungkinan besar slendro. Pertunjukannya hanya menggunakan hitungan langkah kaki secara sederhana. Gerakan tangannya juga cukup sederhana. Gerakan-gerakan ini juga tergantung oleh karakter yang dimainkan.

Tata rias dari para penari reog terlihat tebal. Sedikit riasan berlebihan tampak pada bagian hidung dan mata. Para raksasa juga dirias dengan wajah menakutkan, bermata besar berwarna merah. Ketika perang antar penari berlangsung, pemain lain duduk melingkar. Terlihat wajah-wajah lelah karena kepanasan. Beberapa di antaranya minum dari botol yang sama secara bergantian. Setelah pertunjukan di lapangan ini, mereka masih harus berkeliling lagi menuju tempat pertunjukan berikutnya. Bayangkan, mereka akan menggelar pertunjukan antara delapan sampai sepuluh kali dalam sehari. Mereka berdandan sejak pukul enam pagi, selesai sekitar jam dua belas siang. Dan mereka baru akan selesai mengadakan pertunjukan sampai pukul sebelas malam.

Reog di kampung ini memiliki keragaman. Selain mengangkat cerita Ramayana yang bisa dikenali dengan barisan kera, reog jenis lain mengusung barisan prajurit. Barisan ini terdiri dari prajurit pedang, prajurit panah, prajurit tombak, dan prajurit gada. Masing-masing biasanya terdiri dari lima orang, tapi ini bukan pakem yang wajib diikuti. Pertunjukan perang dilakukan antar prajurit tetapi tetap dalam satu kelompok, misalnya prajurit pedang dengan prajurit pedang.

Pertunjukan ini biasa hadir setiap minggu. Ada banya kelompok reog di kampung ini. Mereka bergiliran membuat pertunjukan. Kadang juga ngamen kalau kebetulan ada yang menanggap. Sempat tak habis pikir kenapa kesenian ini masih ada. Kata seseorang yang saya temui ketika menonton, mereka mungkin tak banyak mendapat uang dari pertunjukan-pertunjukan itu. Sebagian malah merugi. Beberapa kelompok memang mempunyi kostum sendiri untuk dipakai saat pertunjukkan. Bagi yang tidak, mereka harus menyewa kostum dan berarti juga menambah biaya. Sekali ditanggap katanya hanya dibayar sekitar lima ratus ribu. Mana cukup uang tersebut dibandingkan jumlah anggota sebanyak itu. Meski begitu, pertunjukan reog tetap ada setiap minggu. Mereka ada bukan karena uang tentunya.

Penanggap bebas meminta untuk mempertunjukkan adegan perang yang mana dan disesuaikan dengan tarif atau bayaran. Adegan paling menarik biasanya menampilkan perang antara buta cakil dengan seorang ksatria. Gerakan cakil memang harus terlihat lincah dan memukau. Peran cakil memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Tak semua kelompok reog meiliki seorang karakter cakil. Kalau sudah begitu, mereka bisa menyewa pran cakil dari kelompok reog lain. Adegan lain yang juga sering dipesan adalah perang antara hanoman melawan raksasa. Peran hanoman juga diharuskan lincah. Seorang hanoman juga harus lucu memperagakan gerakan-gerakan kera, menggemaskan tapi juga mematikan.

Masyarakat memiliki klasifikasi untuk mengatakan kelompok reog mana yang dikatakan baik dan kurang baik. Klasifikasi ini biasanya didasarkan pada penilaian atas gerakan, kesesuaian gerakan dan irama, serta kesesuaian antara penari dan karakter yang dibawakan. Masyarakat bisa memilih kelompok reog mana yang ingin merekan tonton beradasarkan penilaian-penilaian tersebut.

Ini juga yang mau saya kisahkan. Ketika bunyi-bunyian mulai terdengar di lapangan, orang-orang berkumpul, perempuan dan anak-anak, juga gadis-gadis yang berboncengan mengendarai sepeda motor. Di kampung itu, sudah biasa gadis-gadis akan mengendarai motor berkeliling kampung tanpa helm. Orang-orang menyebutnya nyetrika dalan. Sebutan ini muncul karena mereka suka mondar-mandir seperti setrika menelusuri jalan. Selain itu, ada sebutan lain yaitu; thethek. Yah, bisa dikatakan semacam show off gitu. Para pemuda biasanya bergerombol di beberapa tempat tertentu, seperti counter hape, jembatan lama atau di teras rumah. Mereka kadang juga mondar-mandir dengan motor tak kalah dengan para gadis. Siulan akan terdengar dari para pemuda itu ketika gadis-gadis melintas di depan mereka.  

Saya juga sempat mencatat cara berpakaian mereka. Beberapa ada yang mewarnai rambutnya, meski sangat tidak cocok dengan warna kulit. Beberapa lagi mengenakan bandana dan pita di rambut. Sepertinya girl band yang sedang marak menjadi referensi bagi penampilan gadis-gadis kampung ini.

Perempuan dan anak-anak memang antusias ketika mendengar keramaian di kampungnya. Tapi tidak dengan seseorang yang saya temui ini. Ia justru merasa tidak nyaman dengan keramaian dan jenis hiburan yang ditawarkan, khususnya organ tunggal dengan panggung dan penyanyi dangdutnya. Saya tahu juga kalau ia masih keturunan priyayi di kampung ini. Orang-orang kampung masih menempelinya dengan label status sosial yang cukup tinggi karena keturunan. Ketika saya ajak menonton pertunjukan di lapangan itu, ia terkesan malas dan mencemaskan perkataan orang tentangnya. Meski demikian, ia hampir kenal dengan semua warga kampung, tetap rendah hati meski berstatus sosial tinggi.

Saya jadi ingat cerita novel Mbah Suparto Broto dengan Republik Jungkir Balik nya. Keluarga Kartijo diceritakan baru saja mengungsi dari Surabaya ke Probolinggo. Mereka harus mengungsi karena bom-bom yang mulai berjatuhan ketika pasukan Bung Tomo berusaha mempertahankan Surabaya pada November 1945. Keluarga Kartijo digambarkan cukup mapan dan bahagia di Surabaya. Ketika pindah ke Probolinggo itulah keluarga Kartijo kesulitan mengikuti kebiasaan hidup orang-orang Madura di desa. Mereka hanya mencari ikan, bertani dan suka dengan berbagai hiburan seperti Sandur (semacam pertunjukan teater tradisional) atau Tandak Bedes (komidi kera). Di sana digambarkan bahwa ketika bunyi-bunyian itu terdengar, perempuan dan anak-anak akan langsung berlari menuju sumber bunyi tersebut berasal.

Ini hanya sebuah cerita. Saya tak bermaksud jauh mengaitkannya dengan different taste dalam kelas atau kategori seni “tinggi” versus “rendah”, “modern” versus “tradisional”, “elit” versus “populer” dan dikotomi semacamnya. Tak punya waktu untuk melihat bagaimana masyarakat menghidupi seni reog ini. Yang saya tahu, mereka hanya ingin melestarikan tradisi dan kebudayaan reog yang sudah hadir dan bertahan cukup lama, entah berapa tahun pastinya. Secara obyektif, kesenian ini mungkin hadir dengan institusi, individu dan kelengkapan yang telah tersutruktur dengan skema-skema persepsi dan pemaknaan tertentu. Secara subyektif, seni reog juga memproduksi simbol-simbol di dalamnya yang dapat diidentifikasi serta menunjukkan keragaman dalam bentuk seni pertunjukannya.

Rasanya sudah cukup saya bercerita. Lha wong cuma mampir saja ke kampung itu. Tujuan saya adalah mencari Pulau Pasir. Sebuah pulau tersembunyi dimana tak sembarang orang bisa menemukannya. Di pulau itu saya ingin mencari sahabat saya, Si Pendekar Pasir Beracun. Rupanya ia benar-benar menghilang setelah pertarungan yang urung dilakukan. Entah, apakah saya bisa menemukannya di balik matahari senja. Para pembaca budiman, mohon doanya agar bisa menemukan Sang Pendekar Pasir sahabat saya.

Kamar Kost, Maghrib, 16 Oktober 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar