Sudah beberapa minggu lalu saya
pulang membawa oleh-oleh ini. Biar diperam dulu. Alih-alih memang baru sempat
dituliskan. Saya tahu tentang Pulau Pasir dari kabar seorang teman. Tentu kau
tak akan menemukan tempat ini dalam peta manapun. Peta yang dibuat demi
mengusai wilayah-wilayah, menerobos setiap jengkal hutan, gunung, pantai,
sungai, lautan. Pulau Pasir adalah salah satu yang tak bisa ditemukan kecuali
kau mau mengikuti kabar angin dan nekat untuk mencarinya. Pulau Pasir konon
katanya akan datang juga kepada orang-orang yang benar-benar ingin menemukannya
tanpa maksud menguasai.
Sebelum menemukan Pulau Pasir, saya
singgah di sebuah kampung. Tempat ini mungkin ada dalam peta. Maaf saya tak
bisa menyebutkan namanya. Kala itu hari minggu. Cuaca di kampung itu sedang
panas-panasnya. Hari hampir siang dan di sebuah lapangan orang-orang mulai
berdatangan. Tak ada yang aneh di sana. semua hampir mirip dengan
kampung-kampung yang pernah kau temui. Mereka tidak terisolasi dari peradaban.
Pekerjaan sebagian besar warga adalah petani, penambang pasir, segelintir
pegawai negeri dan seorang mantri hewan. Itulah yang saya tahu. Saya hanya
mampir sehari di pulau itu.
Di lapangan telah berkumpul
orang-orang yang menyaksikan panggung organ tunggal. Duet penyanyi di atas panggung
terdengar meliuk-liuk. Seorang laki-laki dan seroang lagi perempuan melantunkan
salah satu tembang campur sari. Cuaca panas tak menghalangi warga untuk mencari
hiburan sejenak setelah seminggu penuh bekerja. Organ tunggal itu dipesan untuk
memeriahkan lomba antar kelompok senam ibu-ibu di kampung itu. Sponsornya salah
satu partai yang baru saja muncul dan sedang giat-giatnya menggalang massa.
Semua orang sudah tahu tapi tentu tak ada satupun bendera partai di sana.
Aih...ibu-ibu yang di depan panggung
itu rasanya masih tak rela kalau musik berhenti. Ia masih ingin terus bergoyang
dengan pakaiannya yang ketat tapi aneh, meninggalkan panggung sampil mengusap
keringat di dahinya. Celana dan baju ketatnya itu sebenarnya menyiksa, masih
ditambah dengan rompi berwarna ungu tua. Tubuhnya benar-benar basah karena
panas. Anak-anak juga mulai sedikit menjauh dari panggung. Rambut mereka
kemerahan dengan kulit mengkilat karena matahari. Kaki-kaki mungil bersisik itu
beradu dengan debu dan rumput-rumput kering kecoklatan.
Berikutnya rombongan reog tiba.
Mereka diangkut oleh truk dengan bak terbuka. Anak-anak yang tidak boleh lagi
berada di panggung mulai memanjat dan bertengger di atas bak truk agar bisa
menyaksikan pertunjukan lebih jelas. Reog di sini berbeda dengan reog di
Ponorogo. Saya tak punya cukup data untuk menuliskan sejarah dan perkembangan
hiburan rakyat macam reog yang saya saksikan ini. Reog di sini hanya berupa
barisan yang terdiri dari dari dua orang pemimpin laki-laki, delapan orang
penari perempuan, barisan kera, ksatria, raksasa dan punakawan yang
mondar-mandir di sela barisan.
Saya menduga kalau pertunjukan ini
mengusung cerita ramayana. Tarian yang diperagakan dalam pertunjukan ini memang
sedikit statis. Irama musiknya juga demikian, hanya mengulang beberapa nada
dalam sistem tangga nada pentatonis, mungkin slendro, mungkin juga pelog,
tapi kemungkinan besar slendro. Pertunjukannya
hanya menggunakan hitungan langkah kaki secara sederhana. Gerakan tangannya
juga cukup sederhana. Gerakan-gerakan ini juga tergantung oleh karakter yang
dimainkan.
Tata rias dari para penari reog
terlihat tebal. Sedikit riasan berlebihan tampak pada bagian hidung dan mata. Para
raksasa juga dirias dengan wajah menakutkan, bermata besar berwarna merah. Ketika
perang antar penari berlangsung, pemain lain duduk melingkar. Terlihat wajah-wajah
lelah karena kepanasan. Beberapa di antaranya minum dari botol yang sama secara
bergantian. Setelah pertunjukan di lapangan ini, mereka masih harus berkeliling
lagi menuju tempat pertunjukan berikutnya. Bayangkan, mereka akan menggelar
pertunjukan antara delapan sampai sepuluh kali dalam sehari. Mereka berdandan
sejak pukul enam pagi, selesai sekitar jam dua belas siang. Dan mereka baru akan
selesai mengadakan pertunjukan sampai pukul sebelas malam.
Reog di kampung ini memiliki
keragaman. Selain mengangkat cerita Ramayana yang bisa dikenali dengan barisan
kera, reog jenis lain mengusung barisan prajurit. Barisan ini terdiri dari
prajurit pedang, prajurit panah, prajurit tombak, dan prajurit gada. Masing-masing
biasanya terdiri dari lima orang, tapi ini bukan pakem yang wajib diikuti. Pertunjukan
perang dilakukan antar prajurit tetapi tetap dalam satu kelompok, misalnya
prajurit pedang dengan prajurit pedang.
Pertunjukan ini biasa hadir setiap
minggu. Ada banya kelompok reog di kampung ini. Mereka bergiliran membuat
pertunjukan. Kadang juga ngamen kalau
kebetulan ada yang menanggap. Sempat tak habis pikir kenapa kesenian ini masih
ada. Kata seseorang yang saya temui ketika menonton, mereka mungkin tak banyak
mendapat uang dari pertunjukan-pertunjukan itu. Sebagian malah merugi. Beberapa
kelompok memang mempunyi kostum sendiri untuk dipakai saat pertunjukkan. Bagi
yang tidak, mereka harus menyewa kostum dan berarti juga menambah biaya. Sekali
ditanggap katanya hanya dibayar sekitar lima ratus ribu. Mana cukup uang
tersebut dibandingkan jumlah anggota sebanyak itu. Meski begitu, pertunjukan
reog tetap ada setiap minggu. Mereka ada bukan karena uang tentunya.
Penanggap bebas meminta untuk
mempertunjukkan adegan perang yang mana dan disesuaikan dengan tarif atau
bayaran. Adegan paling menarik biasanya menampilkan perang antara buta cakil
dengan seorang ksatria. Gerakan cakil memang harus terlihat lincah dan memukau.
Peran cakil memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Tak semua kelompok reog
meiliki seorang karakter cakil. Kalau sudah begitu, mereka bisa menyewa pran
cakil dari kelompok reog lain. Adegan lain yang juga sering dipesan adalah
perang antara hanoman melawan raksasa. Peran hanoman juga diharuskan lincah.
Seorang hanoman juga harus lucu memperagakan gerakan-gerakan kera, menggemaskan
tapi juga mematikan.
Masyarakat memiliki klasifikasi
untuk mengatakan kelompok reog mana yang dikatakan baik dan kurang baik. Klasifikasi
ini biasanya didasarkan pada penilaian atas gerakan, kesesuaian gerakan dan irama,
serta kesesuaian antara penari dan karakter yang dibawakan. Masyarakat bisa
memilih kelompok reog mana yang ingin merekan tonton beradasarkan
penilaian-penilaian tersebut.
Ini juga yang mau saya kisahkan.
Ketika bunyi-bunyian mulai terdengar di lapangan, orang-orang berkumpul,
perempuan dan anak-anak, juga gadis-gadis yang berboncengan mengendarai sepeda
motor. Di kampung itu, sudah biasa gadis-gadis akan mengendarai motor berkeliling
kampung tanpa helm. Orang-orang menyebutnya nyetrika
dalan. Sebutan ini muncul karena mereka suka mondar-mandir seperti setrika menelusuri
jalan. Selain itu, ada sebutan lain yaitu; thethek.
Yah, bisa dikatakan semacam show off gitu. Para pemuda biasanya
bergerombol di beberapa tempat tertentu, seperti counter hape, jembatan lama atau di teras rumah. Mereka kadang juga
mondar-mandir dengan motor tak kalah dengan para gadis. Siulan akan terdengar
dari para pemuda itu ketika gadis-gadis melintas di depan mereka.
Saya juga sempat mencatat cara berpakaian
mereka. Beberapa ada yang mewarnai rambutnya, meski sangat tidak cocok dengan
warna kulit. Beberapa lagi mengenakan bandana dan pita di rambut. Sepertinya girl band yang sedang marak menjadi
referensi bagi penampilan gadis-gadis kampung ini.
Perempuan dan anak-anak memang
antusias ketika mendengar keramaian di kampungnya. Tapi tidak dengan seseorang
yang saya temui ini. Ia justru merasa tidak nyaman dengan keramaian dan jenis
hiburan yang ditawarkan, khususnya organ tunggal dengan panggung dan penyanyi
dangdutnya. Saya tahu juga kalau ia masih keturunan priyayi di kampung ini.
Orang-orang kampung masih menempelinya dengan label status sosial yang cukup
tinggi karena keturunan. Ketika saya ajak menonton pertunjukan di lapangan itu,
ia terkesan malas dan mencemaskan perkataan orang tentangnya. Meski demikian,
ia hampir kenal dengan semua warga kampung, tetap rendah hati meski berstatus
sosial tinggi.
Saya jadi ingat cerita novel Mbah Suparto Broto dengan Republik Jungkir Balik nya. Keluarga
Kartijo diceritakan baru saja mengungsi dari Surabaya ke Probolinggo. Mereka harus
mengungsi karena bom-bom yang mulai berjatuhan ketika pasukan Bung Tomo
berusaha mempertahankan Surabaya pada November 1945. Keluarga Kartijo
digambarkan cukup mapan dan bahagia di Surabaya. Ketika pindah ke Probolinggo
itulah keluarga Kartijo kesulitan mengikuti kebiasaan hidup orang-orang Madura
di desa. Mereka hanya mencari ikan, bertani dan suka dengan berbagai hiburan seperti
Sandur (semacam pertunjukan teater
tradisional) atau Tandak Bedes
(komidi kera). Di sana digambarkan bahwa ketika bunyi-bunyian itu terdengar,
perempuan dan anak-anak akan langsung berlari menuju sumber bunyi tersebut
berasal.
Ini hanya sebuah cerita. Saya tak
bermaksud jauh mengaitkannya dengan different
taste dalam kelas atau kategori seni “tinggi” versus “rendah”, “modern”
versus “tradisional”, “elit” versus “populer” dan dikotomi semacamnya. Tak punya
waktu untuk melihat bagaimana masyarakat menghidupi seni reog ini. Yang saya
tahu, mereka hanya ingin melestarikan tradisi dan kebudayaan reog yang sudah
hadir dan bertahan cukup lama, entah berapa tahun pastinya. Secara obyektif,
kesenian ini mungkin hadir dengan institusi, individu dan kelengkapan yang
telah tersutruktur dengan skema-skema persepsi dan pemaknaan tertentu. Secara
subyektif, seni reog juga memproduksi simbol-simbol di dalamnya yang dapat
diidentifikasi serta menunjukkan keragaman dalam bentuk seni pertunjukannya.
Rasanya sudah cukup saya bercerita. Lha wong cuma mampir saja ke kampung
itu. Tujuan saya adalah mencari Pulau Pasir. Sebuah pulau tersembunyi dimana
tak sembarang orang bisa menemukannya. Di pulau itu saya ingin mencari sahabat
saya, Si Pendekar Pasir Beracun. Rupanya ia benar-benar menghilang setelah pertarungan
yang urung dilakukan. Entah, apakah saya bisa menemukannya di balik matahari
senja. Para pembaca budiman, mohon doanya agar bisa menemukan Sang Pendekar Pasir
sahabat saya.
Kamar Kost, Maghrib, 16 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar