Rabu, 10 Oktober 2012

Kisah Sang Pendekar Pasir Beracun


Kisah yang akan saya ceritakan padamu ini adalah sebuah kisah usang tentang seorang teman. Semacam ada keharusan untuk menuliskannya. Teman satu ini kadang seenaknya saya marah-marahi dan sekaligus mampu mengusir sepi, seorang perempuan sakti berjuluk pendekar pasir beracun. Sejak beberapa tahun lalu kami menjadi dekat dan sering bermain bersama di gundukan-gundukan pasir dekat kali. Pasir telah meminjamkan kekuatan padanya. Jurus-jurusnya mematikan, bersumber dari kekuatan pasir dengan racikan racun yang mampu membuat darah seseorang membeku seketika.

Jurus pasir maut menjadi andalannya. Jurus ini diturunkan berdasarkan garis keturunan dan tak satu pun orang di luar keluarganya yang bisa mempelajari. Keluarga pendekar pasir masih keturunan para ningrat  zaman dahulu sehingga semua orang di kampung itu dan juga dunia persilatan sangat menghormatinya. Pendekar pasir beracun berpembawaan sedikit kekanak-kanakan. Tapi awas, kau jangan berani macam-macam karena urat lehermu bisa putus hanya dengan sebutir pasir yang disentikkan dengan kekuatan ibu jari dan telunjuk.

Teman saya ini memang kuat, tapi perasaannya sedikit lemah dan tertekan. Ia membawa darah, warisan keluarga yang terasa berat di pundakknya. Ia tak sembarangan bisa bergaul dengan pendekar lain yang tidak setara kesaktiannya. Orang-orang selalu menunduk, takut hanya ketika berpasasan atau sekadar bertatap muka. Kadang pendekar pasir beracun ini merasa sepi juga dan mengalihkan perhatiannya pada aktivitas virtual dengan laptopnya.

Sebagai teman, saya tak bisa mengabaikan kisah ini. Pendekar pasir beracun telah banyak berjasa kepada pasir yang telah meminjamkan kekuatan kepadanya. Ketika para pengusaha dan penambang pasir skala besar datang untuk seenaknya mengekploitasi sumber daya pasir, pendekar pasir beracun memasang badan bagi para petani demi menyelamatkan sumber kekuatannya. Berterimakasihlah kepada pendekar pasir beracun karena orang sepertinya masih ada di dunia ini. Di sini tentu saya tak sedang bicara tentang aktivis pejuang hak rakyat atau yang semacam dengan itu. Saya hanya sedang bicara tentang seorang teman berilmu silat tingkat tinggi.

Sebenarnya saya hanya ingin menceritakan sebuah fragmen kisah cinta tapi kenapa rasanya malah seperti menuliskan jalan hidupnya. Aneh memang.

Kesaktian dan racun ganas pasir tak mampu mengalahkan takdir dan tragedi cinta. Cinta pendekar pasir beracun hanya akan dimiliki oleh siapa pun yang mampu mengalahkan kesaktiannya. Kisah ini bermula ketika ia bertemu dengan seorang pemuda kampung. Ia adalah sosok pemuda biasa-biasa saja, dengan kesaktian biasa, kepandaian biasa dan segala hal yang tak lebih baik dari kebanyakan pemuda lain. Inilah pertama kali pendekar pasir beracun mendapatkan perhatian utuh dari seseorang. Pemuda itu tak kenal takut dengan kesaktiannya, tak kenal rendah diri karena hanya keturunan rakyat jelata dan tak punya kesaktian yang bisa dibanggakan.

Kisah klasik kembali terulang. Seperti sudah saya bilang, menjadi tradisi dalam keluarga Sang Pendekar bahwa orang yang akan menjadi suaminya adalah orang yang mampu mengalahkan kesaktiannya. Sang Pendekar terpaksa harus bertarung dengan seseorang yang dicintainya. Sebuah pertarungan yang sama sekali tidak dimaksudakan untuk saling membunuh. Pertaruangan sepasang kekasih adalah percumbuan paling indah, sama sekali tak dilukiskan dengan kekerasan tapi kelembutan. Sebuah pertarungan yang mampu membuat tetes air mata bagi orang yang melihatnya.  

Pada sebuah senja yang muram. Di pinggir kali itu telah ditentukan waktu yang dirasa tepat untuk mempertemukan pendekar pasir beracun dan kekasihnya. Saat ini sedang kemarau dan air kali hanya ricik saja mengalir. Pertarungan itu disaksikan oleh keluarga pendekar pasir dan beberapa warga kampung. Sebagian besar lain tak sanggup menyaksikan tragedi ketika dua orang kekasih harus saling membunuh. Betapa bulat matahari senja itu. Angin membawa pula lagu-lagu kesedihan. Kisah cinta yang sangat menyakitkan harus berakhir. Darah siapa yang akan pertama kali mengubah warna kali, semua sudah bisa menduga.

Pendekar pasir datang terlebih dahulu.  Tak lama kemudian, pemuda yang dicintainya datang dengan wajah kuyu. Otot-otonya yang kekar karena sering digunakan untuk bekerja kasar itu tampak mengkilat diterpa cahaya senja. Beberapa orang yang sudah berdiri di pinggir kali tempat bertarung mulai memalingkan muka. Pemuda kampung itu hanya membawa sebilah arit yang biasa digunakannya untuk mencari rumput. Sedangkan pendekar pasir beracun telah siap dengan pasir maut yang akan keluar dari sela jarinya. Ia hanya tinggal menggunakan tenaga dalam dan munculah butiran pasir yang akan dengan mudah melayangkan nyawa.

Tak ada kata-kata keluar dari sepasang kekasih yang harus mengadu nyawa itu. Semua orang di sana juga diam. Bahkan ayah sang pendekar pasir pun sengaja membendung kata yang akan keluar. Ia hanya terlihat garang dengan muka memerah. Semua orang tahu bagaimana ayah pendekar pasir beracun dikenal sangat pemarah juga memiliki bakat sebagai diktator. Senja begitu sunyi. Tidak seperti kau duga. Kisah ini tak akan dilengkapi dengan deskripsi pertarungan maha dasyat. Kekuatan dua orang itu sangat tak seimbang.

Tiba-tiba saja pendekar pasir beracun bersuara lembut, “tidak akan ada satu pun dari kita terluka.” Sang kekasih mengangkat wajah. Silau dengan sinar senja begitu saja menusuk mata. Sebentar lagi matahari tenggelam.

“Kalian adalah saksi. Bahwa di senja ini aku akan memusnahkan semua kesaktianku. Aku lebih memilih menjadi perempuan desa yang setiap hari mengangkut pasir dan kujual seadanya. Aku tak akan bisa membunuh orang yang kucintai.” Apalah yang tak bisa diperbuat orang demi cinta, entah berakhir pada kebahagiaan, entah duka.

Perkataan pendekar pasir beracun mengejutkan semua orang. Termasuk juga ayahnya. Laki-laki berbadan tegap dan kekar itu hanya bisa menggeretakkan gigi dan mengepalkan tangan sekuat-kuatnya, bersiap-siap hendak menyerang. Sepertinya laki-laki itu akan membunuh dua orang yang tak jadi bertarung. Niatnya hanya di angan. Pendekar pasir beracun sudah terlanjur mengeluarkan semua ilmunya. Begitu saja dan dihempaskannya di antara pasir dan bebatuan pinggir kali. Angin berhembus sangat kencang. Pasir-pasir beterbangan, semua pasir dari tubuh pendekar cantik itu keluar, memancar dengan deras.

Tubuh pendekar pasir beracun menjadi seringan kapas ketika semua pasir dari tubuhnya telah keluar. Seiring dengan ringannya tubuh, ia berjalan setengah melayang menghampiri pemuda itu. Dilepaskannya arit dalam genggaman tangan. Jatuh dengan ujungnya tenggelam di permukaan pasir. Pendekar pasir beracun menggamit lengan kekasihnya. Mereka berdua melayang. Seringan angan-angan. Matahari hampir tenggelam. Melesatlah pendekar pasir beracun bersama kekasihnya, melesap ke dalam matahari. Tenggelam dalam bumi.

***

Jancuk, asu raimu..hentikan pikiran gilamu itu.”
Pendekar pasir beracun seperti biasa menerobos kamar dan mengibaskan tangannya di atas kepala saya, mengusir adegan-adegan pertarungan yang urung diceritakan. ia begitu mudah melihat cerita yang diam-diam saya gambar di kepala. Seperti biasa pula, pendekar pasir beracun tak dapat lepas dari hape terbarunya. Seperti biasa pula matanya tartawan pada  timeline twitter yang setiap saat berjalan. Memang tak ada duka, darah dan kesedihan berkilauan di cerita ini. Cerita selesai. Selamat sore.

Kamar Kost, 10 Oktober 2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar