Kisah yang akan saya ceritakan
padamu ini adalah sebuah kisah usang tentang seorang teman. Semacam ada
keharusan untuk menuliskannya. Teman satu ini kadang seenaknya saya marah-marahi
dan sekaligus mampu mengusir sepi, seorang perempuan sakti berjuluk pendekar
pasir beracun. Sejak beberapa tahun lalu kami menjadi dekat dan sering bermain
bersama di gundukan-gundukan pasir dekat kali. Pasir telah meminjamkan kekuatan
padanya. Jurus-jurusnya mematikan, bersumber dari kekuatan pasir dengan racikan
racun yang mampu membuat darah seseorang membeku seketika.
Jurus pasir maut menjadi andalannya.
Jurus ini diturunkan berdasarkan garis keturunan dan tak satu pun orang di luar keluarganya yang bisa mempelajari. Keluarga pendekar pasir masih keturunan para
ningrat zaman dahulu sehingga semua orang di kampung itu dan juga dunia
persilatan sangat menghormatinya. Pendekar pasir beracun berpembawaan sedikit
kekanak-kanakan. Tapi awas, kau jangan berani macam-macam karena urat lehermu bisa
putus hanya dengan sebutir pasir yang disentikkan dengan kekuatan ibu jari
dan telunjuk.
Teman saya ini memang kuat, tapi
perasaannya sedikit lemah dan tertekan. Ia membawa darah, warisan keluarga yang
terasa berat di pundakknya. Ia tak sembarangan bisa bergaul dengan pendekar
lain yang tidak setara kesaktiannya. Orang-orang selalu menunduk, takut hanya ketika
berpasasan atau sekadar bertatap muka. Kadang pendekar pasir beracun ini merasa
sepi juga dan mengalihkan perhatiannya pada aktivitas virtual dengan laptopnya.
Sebagai teman, saya tak bisa mengabaikan
kisah ini. Pendekar pasir beracun telah banyak berjasa kepada pasir yang telah
meminjamkan kekuatan kepadanya. Ketika para pengusaha dan penambang pasir skala
besar datang untuk seenaknya mengekploitasi sumber daya pasir, pendekar pasir
beracun memasang badan bagi para petani demi menyelamatkan sumber kekuatannya.
Berterimakasihlah kepada pendekar pasir beracun karena orang sepertinya masih
ada di dunia ini. Di sini tentu saya tak sedang bicara tentang aktivis pejuang
hak rakyat atau yang semacam dengan itu. Saya hanya sedang bicara tentang seorang teman berilmu silat tingkat tinggi.
Sebenarnya saya hanya ingin
menceritakan sebuah fragmen kisah cinta tapi kenapa rasanya malah seperti menuliskan
jalan hidupnya. Aneh memang.
Kesaktian dan racun ganas pasir tak
mampu mengalahkan takdir dan tragedi cinta. Cinta pendekar pasir beracun hanya akan dimiliki oleh
siapa pun yang mampu mengalahkan kesaktiannya. Kisah
ini bermula ketika ia bertemu dengan seorang pemuda kampung. Ia adalah sosok
pemuda biasa-biasa saja, dengan kesaktian biasa, kepandaian biasa dan segala
hal yang tak lebih baik dari kebanyakan pemuda lain. Inilah pertama kali
pendekar pasir beracun mendapatkan perhatian utuh dari seseorang. Pemuda itu
tak kenal takut dengan kesaktiannya, tak kenal rendah diri karena hanya
keturunan rakyat jelata dan tak punya kesaktian yang bisa dibanggakan.
Kisah klasik kembali terulang. Seperti sudah saya bilang, menjadi tradisi dalam keluarga Sang Pendekar bahwa orang yang akan menjadi
suaminya adalah orang yang mampu mengalahkan kesaktiannya. Sang Pendekar
terpaksa harus bertarung dengan seseorang yang dicintainya. Sebuah pertarungan
yang sama sekali tidak dimaksudakan untuk saling membunuh. Pertaruangan sepasang kekasih adalah percumbuan paling indah, sama sekali tak dilukiskan
dengan kekerasan tapi kelembutan. Sebuah pertarungan yang mampu membuat tetes air mata bagi orang yang melihatnya.
Pada sebuah senja yang muram. Di pinggir
kali itu telah ditentukan waktu yang dirasa tepat untuk mempertemukan pendekar
pasir beracun dan kekasihnya. Saat ini sedang kemarau dan air kali hanya ricik
saja mengalir. Pertarungan itu disaksikan oleh keluarga pendekar pasir dan
beberapa warga kampung. Sebagian besar lain tak sanggup menyaksikan tragedi ketika
dua orang kekasih harus saling membunuh. Betapa bulat matahari senja itu. Angin
membawa pula lagu-lagu kesedihan. Kisah cinta yang sangat menyakitkan harus
berakhir. Darah siapa yang akan pertama kali mengubah warna kali, semua sudah
bisa menduga.
Pendekar pasir datang terlebih dahulu. Tak lama kemudian, pemuda yang dicintainya datang dengan wajah kuyu. Otot-otonya yang kekar karena sering digunakan untuk bekerja kasar itu tampak mengkilat diterpa cahaya senja. Beberapa orang yang sudah berdiri di pinggir kali tempat bertarung mulai memalingkan muka. Pemuda kampung itu hanya membawa
sebilah arit yang biasa digunakannya untuk mencari rumput. Sedangkan pendekar pasir
beracun telah siap dengan pasir maut yang akan keluar dari sela jarinya. Ia hanya
tinggal menggunakan tenaga dalam dan munculah butiran pasir yang akan dengan
mudah melayangkan nyawa.
Tak ada kata-kata keluar dari
sepasang kekasih yang harus mengadu nyawa itu. Semua orang di sana juga diam. Bahkan
ayah sang pendekar pasir pun sengaja membendung kata yang akan keluar. Ia hanya
terlihat garang dengan muka memerah. Semua orang tahu bagaimana ayah
pendekar pasir beracun dikenal sangat pemarah juga memiliki bakat sebagai
diktator. Senja begitu sunyi. Tidak seperti kau duga. Kisah ini tak akan
dilengkapi dengan deskripsi pertarungan maha dasyat. Kekuatan dua orang itu sangat tak
seimbang.
Tiba-tiba saja pendekar pasir
beracun bersuara lembut, “tidak akan ada satu pun dari kita terluka.” Sang
kekasih mengangkat wajah. Silau dengan sinar senja begitu saja menusuk mata. Sebentar
lagi matahari tenggelam.
“Kalian adalah saksi. Bahwa di senja
ini aku akan memusnahkan semua kesaktianku. Aku lebih memilih menjadi perempuan
desa yang setiap hari mengangkut pasir dan kujual seadanya. Aku tak akan bisa
membunuh orang yang kucintai.” Apalah yang tak bisa diperbuat orang demi cinta,
entah berakhir pada kebahagiaan, entah duka.
Perkataan pendekar pasir beracun
mengejutkan semua orang. Termasuk juga ayahnya. Laki-laki berbadan tegap dan
kekar itu hanya bisa menggeretakkan gigi dan mengepalkan tangan sekuat-kuatnya,
bersiap-siap hendak menyerang. Sepertinya laki-laki itu akan membunuh dua orang
yang tak jadi bertarung. Niatnya hanya di angan. Pendekar pasir beracun sudah
terlanjur mengeluarkan semua ilmunya. Begitu saja dan dihempaskannya di antara pasir
dan bebatuan pinggir kali. Angin berhembus sangat kencang. Pasir-pasir
beterbangan, semua pasir dari tubuh pendekar cantik itu keluar, memancar dengan
deras.
Tubuh pendekar pasir beracun menjadi
seringan kapas ketika semua pasir dari tubuhnya telah keluar. Seiring dengan
ringannya tubuh, ia berjalan setengah melayang menghampiri pemuda itu. Dilepaskannya
arit dalam genggaman tangan. Jatuh dengan ujungnya tenggelam di permukaan
pasir. Pendekar pasir beracun menggamit lengan kekasihnya. Mereka berdua
melayang. Seringan angan-angan. Matahari hampir tenggelam. Melesatlah pendekar
pasir beracun bersama kekasihnya, melesap ke dalam matahari. Tenggelam dalam
bumi.
***
“Jancuk,
asu raimu..hentikan pikiran gilamu
itu.”
Pendekar pasir beracun seperti biasa
menerobos kamar dan mengibaskan tangannya di atas kepala saya, mengusir adegan-adegan
pertarungan yang urung diceritakan. ia begitu mudah melihat cerita yang diam-diam saya gambar di kepala. Seperti biasa pula, pendekar pasir beracun
tak dapat lepas dari hape terbarunya. Seperti biasa pula matanya tartawan pada timeline
twitter yang setiap saat berjalan. Memang tak ada duka, darah dan kesedihan
berkilauan di cerita ini. Cerita selesai. Selamat sore.
Kamar Kost, 10 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar