Sebelum mulai, mari kita mengheningkan cipta, matikan segala musik, Radiohead juga. Dijamin kalau ngeyel tetap mendengarkannya, bahan tulisan dalam otakmu akan menguap jadi kebengongan semata. Kursor di layarmu akan terus berkedip-kedip dalam halaman kosong. Dan dari sini saya memulai, dari racauanya sepagi yang sepertinya telah jelas bahwa semua kemungkinan-kemungkinan telah tertutup, atau sengaja ditutup. Saya sendiri tak menjadikannya soal. Dari awal memang sudah ketahuan ujungnya, memang tidak ada celah.
Siangnya, saya pun terbuai dengan cerita keindahan ta’aruf seorang teman. Sebulan saling mengenal secara serius, suatu kali melalui surat elektronik, si perempuan mengajukan pertanyaan yang dijawab oleh si laki-laki sepanjang lima belas halaman. Sudah seperti tugas kuliah saja. Begitulah kemudian pertalian mereka akan disahkan bulan depan. Mungkin begitu lebih baik. Tapi saya sendiri masih suka mengalamatkan rasa pada orang-orang tidak jelas macam anda. Setidaknya, itu tidak jadi membuat saya membakar novel-novel yang sudah dibaca. Demikian saya harus memohom maaf kepada pembaca yang tidak mengerti konteks dari dua paragraf pertama ini.
Seharian bertapa dalam kamar mengharuskan saya untuk bergerak dari tempat ini, kemana saja. Sempat saya pernah melihat sebuah banner terpasang di perempatan jalan berisi jadwal pertunjukan teater, kalau tak salah berjudul “Siti Nurbaya”. Karena tidak tahu ini teater darimana, untung-untungan saja saya datang. Alih-alih bisa menonton, malah kehabisan tiket. Seseorang menawari tiket, bapak-bapak di dekat pintu gerbang. Saya menghindar. Ternyata ada seorang laki-laki yang membeli dari bapak-bapak itu. Harganya dua puluh lima ribu. Tiket teater lho, ada calonya. Sambil geleng-geleng kepala, saya pergi. Besok masih ada pertunjukan yang sama. Masih belum tahu apakah akan muncul tulisan berisi celaan seperti biasa.
Sambil menampung asap knalpot dan debu, pikiran ini melayang entah kemana. Beberapa kali suara klakson memperingatkan cara menyetir saya yang sedikit ngawur. Melamun di jalanan itu menyenangkan. Teringat pameran buku yang mulai digelar malam ini, saya memutuskan ke sana. Di halaman sedang ada seremonial pembukaan pameran. Yang berpidato di atas panggung mengungkapkan optimismenya terhadap minat baca masyarakat yang mulai meningkat. Hal ini tentu harus dibarengi pula dengan jumlah buku dan penerbit yang juga harus meningkat. Yang berpidato di atas panggung itu—dengan nada meyakinkan—berbicara bahwa buku cetak tidak akan kalah dengan maraknya buku digital. Bla..bla..bla...
Pidato itu selesai dan seorang lagi memperingatkan kekeliruan pengucapan frase “Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Sejak undang-undang keistimewaan itu disahkan, kata provinsi dari penyebutan itu seharunya dihilangkan. Begitulah. Tak ambil pusing dengan omongan orang itu, saya langsung masuk ke ruang pameran. Seperti biasa, penerbit-penerbit menjajakan buku-buku dengan label diskon yang digantungkan di atas rak dan tumpukan. Diskonnya memang menggiurkan tapi buku-buku itu tidak.
Sebagian besar pandangan mata saya justru menyapu para pengunjung pameran. Beberapa kali saya melihat laki-laki bersarung. Mereka berjalan, sekadar melihat atau membuka-buka buku. Mereka banyak berkunjung ke stand tertentu dan beberapa yang menjual buku-buku tentang Islam. Pengunjung yang gondrong dan sedikit kumal terlihat mampir ke stand yang menjual buku-buku sastra, politik, sejarah dengan penerbit tertentu pula. Ini hanya observasi selayang pandang. Bualan saya jangan sampai di percaya.
Mampirlah kemudian saya di sebuah stand. Ketika menengok kebelakang, tak sengaja saya melihat Cerpenis itu. Tentu saya mengenali bentuk mukanya yang khas. Pastinya dia tidak mengenal saya. Terbitan kumpulan cerpen terbarunya sedang dijajakan di tumpukan paling depan. Kata salah satu penyair yang meng-update status di facebook, ini salah satu kumpulan cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir. Harganya cuma tiga puluh lima ribu. Baru saja juga digelar acara launching dan bedah bukunya yang tidak dihadiri oleh saya. Ah, siapa saya. Cerpenis itu sedang menggandeng sesosok perempuan, cantik. Terlihat polos dan lugu dengan kaos dan rok panjang sederhana.
Iseng saja saya perhatikan mereka memilih-milih buku. Tapi tak tahu juga akhirnya membeli yang mana. Si perempuan menyodorkan buku tentang kopi. Apa memang sedang marak buku yang membahas tentang itu? Beberapakali juga saya temui website baru yang memperbincangkan soal kopi, di Indonesia tentu saja. Iseng lagi saya pegang-pegang kumpulan cerpennya. Setelah membaca bagian belakangnya lalu saya letakkan lagi. Seberapa banyakkah Cerpenis itu berharap bahwa bukunya akan laku?
Masih tentang Cerpenis itu. Biar saya katakan sebentuk kekaguman pada salah satu cerpennya. Barangkali benar kalau ia sedang menceritakan tanah kelahirannya dan dengan lihai memulainya dari sebuah ungkapan. Siapa nyana kalau ungkapan thai phau ta Lun Tun! ini berasal dari kekalahan China terhadap Inggris dalam Perang Candu sampai harus meminjamkan Hongkong sebagai ganti rugi perang. Ungkapan yang berarti meriam menembak London ini menyebar ke seluruh penjuru bumi dan menjadi semacam cemooh pada diri sendiri bagi orang Tionghoa.
Ungkapan ini terus dihidupi dan menjadi olok-olok bagi orang yang suka omong besar, suka membual. Thai phau ta Lun Tun! yang berasal dari sakit hati sejarah, hidup dalam percakapan sehari-hari, dalam gosip, dalam permainan catur, dalam perbincangan anak-anak sekalipun. Ia melebur dalam tradisi-tradisi setempat dan diserap adat. Begitulah Si Cerpenis membuat kisahnya dengan begitu hidup. Silakan dibaca sendiri untuk lebih jelasnya. Saya tak berkapasitas menjelaskannya lebih detail apalagi mengarah ke kritik sastra.
Mirip-mirip tapi beda dengan cerita itu, di bagian bumi nusantara lain, sedang ada yang akan melakukan penelitian berpijak pada sebuah ungkapan. Apa kabar dengan nak mule keto? Kita tunggu saja hasilnya. Saya jamin akan luar biasa. Sekian bualan saya.
Kamar Kost, 7 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar