Sudah beberapa hari ini saya
mengapung di dunia Apu, sebuah film yang efeknya bisa tertinggal lumayan lama.
Pertama kali saya mengenal Satyajit Ray ketika menonton Pather Panchali (1955). Kala itu saya tak jadi pulang dari
kontrakan teman sebelah karena tertawan oleh pesona gambar Pather Panchali yang diputar lewat You Tube. Pertanyaan pertama yang langsung terlontar dari pikiran ketika
menonton film itu adalah: sejak kapan film India berisi nyanyi-nyanyi dan nari-nari
antar sepasang kekasih, saling mengintip dari balik pohon, sambil berkejaran di
padang rumput luas atau taman bunga yang indah? Kesan pertama pada Satyajit Ray
(selanjutnya akan saya panggilm Om Ray) akhirnya mengantarkan saya pada Trilogi
Apu: tiga film Om Ray tentang biografi kehidupan seorang anak di Bengali,
India.
Pather
Pancali bagi saya memiliki efek kejut tersendiri. Setidaknya karena itu adalah
film India pertama yang saya tonton dengan kesan sangat berbeda. Dari dulu saya
mengenal film India yang dipenuhi oleh pertentangan hero dan anti-hero, antara
inspektur Vijay dan Tuan Takur, kisah-kisah cinta penuh drama, serta lagu dan
tarian-tarian mereka, sepasang kekasih menari di bawah hujan dan di
taman-taman. Selebihnya, kita mengenal film-film epos seperti Mahabharata, itu
juga dari televisi kita tercinta.
Sejarah film India tercatat sejak
Lumiere bersaudara memperkenalkan film mereka pada tahun 1896. Dengan demikian,
film India telah melewati jalan panjang sampai meledaknya Bollywood dengan
film-film yang sering sekali diputar dan diulang-ulang di televisi kita. Lagu-lagu dan tarian mulai muncul sejak adanya film bicara sekitar tahun
1930-an, dibuat sebagai eskapisme depresi pasca Perang Dunia II. Film-film pada masa itu dibuat penuh melodrama nan romantis dengan lagu dan tarian penuh
harapan. Kondisi ini masih lebih baik daripada sebagian besar film Bollywood yang kita tonton saat ini,
murni sebagai mesin komersial.
Tahun 1950-an merupakan bagian dari era
keemasan perjalanan film India. Selain Om Ray, beberapa sutradara India banyak
membuat film sebagai respon atas perubahan sosial seperti modernisasi, tekanan
industrialisasi dan urbanisasi. Lewat Pather
Panchali, Om Ray berhasil menarik perhatian dunia dengan meraih penghargaan festival film Cannes untuk kategori Best
Human Document. Dalam Trilogi Apu, Pather
Panchali/ the Song of the Little Road (1955) dan Aparajito/ The Unvanguished (1956) dibuat dengan mengambil narasi
novel Bibhutibhusan Banerji (Bandopadhyay). Sedangkan film ketiga, Apur Sansar/ The World of Apu (1959)
dibuat dengan mengambil nukilan novel serta pengembangan cerita oleh sang
sutradara.
Trilogi Apu bagi saya mampu
menempatkan materi lewat bentuk rangkaian gambar yang terkesan eksotis. Pather Panchali bercerita tentang
seorang pendeta Brahmin, Harihar yang membawa keluarganya kembali ke desa
dengan seorang istri hamil dan anak perempuannya bernama Durga. Pather Panchali dengan Apu kecil yang
berlari-lari adalah efek kejut pertama dimana dari mata seorang anak laki-laki
itu, dapat ditangkap bagaimana Om Ray membincang realitas lewat citra. Dengan
menggunakan aktor non-profesional, latar-latar yang mengeksplorasi alam dan kultur
Bengali, rangkaian gambar dalam film ini membuat kesan-kesan menancap
kuat tetapi dengan caranya yang halus.
Tragedi hampir dengan seenaknya
mengaduk-aduk kehidupan keluarga kecil itu. Hantu-hantu kematian
bergentayangan. Trilogi Apu satu demi satu merekam kematian. Pather Panchali membawa kita pada
kematian Indir, Sang Bibi yang tergeletak lemah di bawah semak pohon bambu.
Lalu rangkaian gambar serangga di permukaan kolam dan Durga yang
menari di antara hujan. Alunan musik meninggi seperti jeritan semakin
menghidupkan kesan dramatis pada kematian. Durga pun mati sebelum film berakhir.
Aparajito
menampilkan kesan berbeda dari film sebelumnya. Keluarga Harihar pindah ke
Benares dengan berbagai kesulitan mereka. Harihar menjadi pendeta yang
membacakan kitab di pinggir sungai Gangga. Untuk menjadi seorang pendeta tentu
harus menjadi Brahmin dan saya baru tahu kalau di India seorang Brahmin bisa
begitu miskin. Sang Ibu merasa tidak aman dengan pandangan tetangga
laki-lakinya. Apu kecil dulu menemukan guru yang mengajar sambil berjualan di
pasar tetapi ketika di kota, ia hanya belajar lewat apa saja yang dilihatnya di
jalan dan orang-orang sepanjang Sungai Gangga. Film kedua mengantarkan kita pada tragedi
kematian Harihar yang mengharuskan Sang Istri dan Apu harus kembali ke desa.
Apu kecil masih tetap memesona.
Kemudian Apu dewasa membawa kita pada hubungan antara Ibu yang kesepian dengan
seorang anak yang berambisi untuk belajar di kota. Apu menolak menjadi pendeta
dan berniat melanjutkan studinya. Berbeda dengan film pertama
yang memanjakan mata dengan gambar-gambar liris, film kedua terasa lebih kuat
mengekplorasi sisi-sisi psikologis tokoh-tokohnya. Peralihan antara latar desa
dan kota mampu direkam dengan manis, berikut dengan manusia-manusianya. Apu
muda yang tidak betah lagi tinggal berlama-lama di sebuah desa yang sepi dan
seorang ibu yang mengkhawatirkan masa tuanya, sendirian dan menunggu. Film
kedua ini pun diakhiri dengan tragedi kematian Sang Ibu.
Film ketiga sepenuhnya milik Apu. Dunia
Apu adalah segala macam kesusahan hidup di kota. Apu tinggal di kamar sempit
dengan mimpinya menjadi seorang penulis. Ia hidup sebagai guru les dengan pendapatan hampir tak mencukupi kebutuhan. Dalam film ini, saya tertawan dengan salah satu adegan ketika Apu melamar pekerjaan. Di sebuah pabrik yang mempekerjakan orang untuk
memasang label pada botol, para pekerja memandang sosok Apu. Sorot mata mereka
bercerita lebih banyak daripada kata-kata. Bagi Apu, pekerjaan itu dapat
merusak jiwanya, sementara adegan ini seperti mampu menembus sistem seperti apa
yang bekerja di balik orang-orang yang sepanjang hari menempelkan label pada
botol.
Perjalanannya ke desa dengan
karibnya membawa Apu pada pernikahan tak disengaja. Ia pulang ke kota dengan seorang
gadis cantik bernama Aparna dari keluarga kaya. Apu yang miskin dan istrinya
yang kaya. Perasaan Aparna ketika pertama kali tiba di kamar Apu digambarkan lewat
shot pendek, kamera mendekat pada
wajah diikuti shot panjang, kamera
menggantikan mata Aparna yang mengintip dunia luar lewat kelambu penutup
jendela yang sobek. Pengantin baru ini akhirnya dapat hidup bahagia sampai
akhirnya kita dipaksa kembali menemui kematian. Sang istri meninggal ketika
melahirkan anak laki-lakinya. Apu mengalami depresi sampai ia tak bisa
mendekati anaknya sendiri karena bayangan kematian istrinya. Separuh film ini
gelap meski di akhir Apu mampu bangkit dan menerima keberadaan anak
laki-lakinya.
Satu lagi hal menarik yang muncul
dalam film ini adalah keberadaan kereta. Di setiap film, kereta hadir menemani
peristiwa, peradeganan dan kisah dengan sangat berbeda. Dalam film pertama,
setelah Apu dan Durga bertengkar karena kertas perak milik sang kakak digunakan
Apu untuk membuat mahkota yang terilhami oleh pertunjukan drama yang semalam
disaksikannya, Durga membawa adiknya ke sebuah padang rumput sambil menyesap
batang tebu. Mereka bermain di bawah tiang listrik. Tak lama kemudian, kereta
api tiba dengan gagahnya sambil mengepulkan asap. Om Ray dengan keren
menghadirkan ketegangangan antara anak-anak desa yang tak pernah melihat kereta
dengan modernitas yang sedang terjadi.
Dalam film kedua, kereta dihadirkan
dalam relasi antara Apu yang tinggal di kota dan ibunya yang sendirian di Desa.
Bagi sang ibu, kereta adalah harapan yang akan membanya anaknya kembali pulang.
Rangkaian gambar ketika sang ibu sering menggelar tikar di bawah pohon menunggu
kedatangan Apu dan kembali pulang setelah kereta melintas tanpa anaknya
menggambarkan hal itu. Kesendirian sang ibu menjadi semakin nestapa, cahaya
meredup, menjelang malam, dan Apu tak datang. Tetapi bagi Apu, kereta menjadi perantara
yang membawanya keluar dari kesunyian desa menuju keriuhan kota.
Kehadiran kereta dalam film ketiga
sama sekali lain. Apu sudah tinggal di kota dengan kamar yang menghadap bentangan
rel. Kereta menjadi musik hidupnya. Suara kereta menjadi bagian kehidupannya bersama
Aparna. Kemiripan bunyi seruling Apu dan suara kereta itu terasa dekat dan
menyatukan keduanya. Dalam film ketiga, kereta membawa Aparna pulang ke desa
yang sekaligus ikut mengantarkan kematiannya, sedangkan apu setia membaca surat-surat
dari istrinya sampai berita tragis itu tiba.
Trilogi Apu adalah hidup manusia
yang terang dan gelap, naik dan turun. Dari dulu cerita bernuansa biografis
selalu menimbulkan ikatan, entah dari novel maupun film. Rangkaian gambar Om Ray memang menawan. Para pengkritiknya
bilang kalau film Om Ray banyak mendapat penghargaan internasional karena orang
Barat ingin melihat India sebagai abjek. India yang miskin dengan tradisi
mereka, orang-orang dan kondisi sosialnya. Barangkali film Om Ray tidak dapat
menjadi representasi India, tetapi film-film Bollywood itu tampaknya juga bukan
representasi India, dalam hal ini adalah konteks di luar film. Tapi bukankah
sudah sejak lama realitas dalam film menjadi realitas dalam dirinya sendiri. Dari
cara mengada baru ini, tidak serta merta dapat ditarik premis-premis realitas
dari apa yang ada dalam film.
Orang bilang film Om Ray itu neo-realis
dan terpengaruh oleh de Sica. Maka saya pun kemudian tertarik untuk melihat Voleur de bicyclette. Tidak berlebihan
kalau saya bilang bahwa film ini adalah film terbaik yang pernah saya tonton. Film
itu mempunyai makna bahkan ketika konteks dan pemaknaan sosialnya diabaikan. Pesan
dalam film tidak dieksplisitkan sebagai pesan. Tesisnya pun sederhana bahkan
kata Bazin sampai terasa kejam: di dunia buruh itu, untuk dapat bertahan hidup
kaum papa harus saling mencuri. Realitas sosial ditempatkan sebagai latar dari
drama moral dan psikologi. Fenomena yang dihadirkan memang sangat konkret. Seorang ayah
yang kehilangan sepeda sebagai satu-satunya alat produksi, berusaha menemukan
kembali sepeda itu dengan dikuntit sang anak laki-laki. Film itu membangun
realitas dalam tontonan, bukan membuat sebuah tontonan menjadi tampak nyata. Sebuah
jalinan fenomena yang berada pada tataran kronologi kebetulan. Ilusi atas
realitas dapat ditampilkan dengan sempurna bahkan tanpa satupun adegan yang
terkesan terlalu dramatis ekstrim.
Pada periode yang sama, di tahun
1950-an tentunya, Indonesia punya Usmar Ismail dan Bactiar Siagian. Begitulah.
Dua orang itu bernasib sangat berbeda. Usmar tumbuh menjadi artis besar sedang
Bachtiar dikutuk menjadi propagandis komunis. Film-film mereka menggambarkan
kondisi masyarakat pasca perang kemerdekaan yang belum menemukan wajahnya. Saya
sendiri baru menonton film Usmar yang judulnya Lewat Jam Malam dan Tamu
Agung. Sepertinya menarik kalau bisa dibandingkan dengan karya Bactiar
Siagian yang sayang sekali tak bisa diakses dengan mudah. Apa yang terjadi di
India dan Indonesia pada periode yang sama tentu bisa jadi sangat berbeda. Dengan
bahasa sinematografisnya, film mampu mengikat sesuatu di luar dirinya. Rasanya masih
ingin mengapung di dunia Apu, dimana gagasan-gagasan merasuki materi, dibaca
dalam bentuk dan dinikmati sambil minum kopi. Ah, hari ini saya mau makan
coklat sebanyak-banyaknya meskipun harus beli sendiri.
Kamar Kost Ketika Hujan, 14 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar