Kamis, 14 Februari 2013

Kematian dan Kereta yang Mengapung di Dunia Apu


Sudah beberapa hari ini saya mengapung di dunia Apu, sebuah film yang efeknya bisa tertinggal lumayan lama. Pertama kali saya mengenal Satyajit Ray ketika menonton Pather Panchali (1955). Kala itu saya tak jadi pulang dari kontrakan teman sebelah karena tertawan oleh pesona gambar Pather Panchali yang diputar lewat You Tube. Pertanyaan pertama yang langsung terlontar dari pikiran ketika menonton film itu adalah: sejak kapan film India berisi nyanyi-nyanyi dan nari-nari antar sepasang kekasih, saling mengintip dari balik pohon, sambil berkejaran di padang rumput luas atau taman bunga yang indah? Kesan pertama pada Satyajit Ray (selanjutnya akan saya panggilm Om Ray) akhirnya mengantarkan saya pada Trilogi Apu: tiga film Om Ray tentang biografi kehidupan seorang anak di Bengali, India.  

Pather Pancali bagi saya memiliki efek kejut tersendiri. Setidaknya karena itu adalah film India pertama yang saya tonton dengan kesan sangat berbeda. Dari dulu saya mengenal film India yang dipenuhi oleh pertentangan h­ero dan anti-hero, antara inspektur Vijay dan Tuan Takur, kisah-kisah cinta penuh drama, serta lagu dan tarian-tarian mereka, sepasang kekasih menari di bawah hujan dan di taman-taman. Selebihnya, kita mengenal film-film epos seperti Mahabharata, itu juga dari televisi kita tercinta.

Sejarah film India tercatat sejak Lumiere bersaudara memperkenalkan film mereka pada tahun 1896. Dengan demikian, film India telah melewati jalan panjang sampai meledaknya Bollywood dengan film-film yang sering sekali diputar dan diulang-ulang di televisi kita. Lagu-lagu dan tarian mulai muncul sejak adanya film bicara sekitar tahun 1930-an, dibuat sebagai eskapisme depresi pasca Perang Dunia II. Film-film pada masa itu dibuat penuh melodrama nan romantis dengan lagu dan tarian penuh harapan. Kondisi ini masih lebih baik daripada sebagian besar film Bollywood yang kita tonton saat ini, murni sebagai mesin komersial.

Tahun 1950-an merupakan bagian dari era keemasan perjalanan film India. Selain Om Ray, beberapa sutradara India banyak membuat film sebagai respon atas perubahan sosial seperti modernisasi, tekanan industrialisasi dan urbanisasi. Lewat Pather Panchali, Om Ray berhasil menarik perhatian dunia dengan meraih penghargaan festival film Cannes untuk kategori Best Human Document. Dalam Trilogi Apu, Pather Panchali/ the Song of the Little Road (1955) dan Aparajito/ The Unvanguished (1956) dibuat dengan mengambil narasi novel Bibhutibhusan Banerji (Bandopadhyay). Sedangkan film ketiga, Apur Sansar/ The World of Apu (1959) dibuat dengan mengambil nukilan novel serta pengembangan cerita oleh sang sutradara.

Trilogi Apu bagi saya mampu menempatkan materi lewat bentuk rangkaian gambar yang terkesan eksotis. Pather Panchali bercerita tentang seorang pendeta Brahmin, Harihar yang membawa keluarganya kembali ke desa dengan seorang istri hamil dan anak perempuannya bernama Durga. Pather Panchali dengan Apu kecil yang berlari-lari adalah efek kejut pertama dimana dari mata seorang anak laki-laki itu, dapat ditangkap bagaimana Om Ray membincang realitas lewat citra. Dengan menggunakan aktor non-profesional, latar-latar yang mengeksplorasi alam dan kultur Bengali, rangkaian gambar dalam film ini membuat kesan-kesan menancap kuat tetapi dengan caranya yang halus.

Tragedi hampir dengan seenaknya mengaduk-aduk kehidupan keluarga kecil itu. Hantu-hantu kematian bergentayangan. Trilogi Apu satu demi satu merekam kematian. Pather Panchali membawa kita pada kematian Indir, Sang Bibi yang tergeletak lemah di bawah semak pohon bambu. Lalu rangkaian gambar serangga di permukaan kolam dan Durga yang menari di antara hujan. Alunan musik meninggi seperti jeritan semakin menghidupkan kesan dramatis pada kematian. Durga pun mati sebelum film berakhir.

Aparajito menampilkan kesan berbeda dari film sebelumnya. Keluarga Harihar pindah ke Benares dengan berbagai kesulitan mereka. Harihar menjadi pendeta yang membacakan kitab di pinggir sungai Gangga. Untuk menjadi seorang pendeta tentu harus menjadi Brahmin dan saya baru tahu kalau di India seorang Brahmin bisa begitu miskin. Sang Ibu merasa tidak aman dengan pandangan tetangga laki-lakinya. Apu kecil dulu menemukan guru yang mengajar sambil berjualan di pasar tetapi ketika di kota, ia hanya belajar lewat apa saja yang dilihatnya di jalan dan orang-orang sepanjang Sungai Gangga. Film kedua mengantarkan kita pada tragedi kematian Harihar yang mengharuskan Sang Istri dan Apu harus kembali ke desa.

Apu kecil masih tetap memesona. Kemudian Apu dewasa membawa kita pada hubungan antara Ibu yang kesepian dengan seorang anak yang berambisi untuk belajar di kota. Apu menolak menjadi pendeta dan berniat melanjutkan studinya. Berbeda dengan film pertama yang memanjakan mata dengan gambar-gambar liris, film kedua terasa lebih kuat mengekplorasi sisi-sisi psikologis tokoh-tokohnya. Peralihan antara latar desa dan kota mampu direkam dengan manis, berikut dengan manusia-manusianya. Apu muda yang tidak betah lagi tinggal berlama-lama di sebuah desa yang sepi dan seorang ibu yang mengkhawatirkan masa tuanya, sendirian dan menunggu. Film kedua ini pun diakhiri dengan tragedi kematian Sang Ibu.

Film ketiga sepenuhnya milik Apu. Dunia Apu adalah segala macam kesusahan hidup di kota. Apu tinggal di kamar sempit dengan mimpinya menjadi seorang penulis. Ia hidup sebagai guru les dengan pendapatan hampir tak mencukupi kebutuhan. Dalam film ini, saya tertawan dengan salah satu adegan ketika Apu melamar pekerjaan. Di sebuah pabrik yang mempekerjakan orang untuk memasang label pada botol, para pekerja memandang sosok Apu. Sorot mata mereka bercerita lebih banyak daripada kata-kata. Bagi Apu, pekerjaan itu dapat merusak jiwanya, sementara adegan ini seperti mampu menembus sistem seperti apa yang bekerja di balik orang-orang yang sepanjang hari menempelkan label pada botol.

Perjalanannya ke desa dengan karibnya membawa Apu pada pernikahan tak disengaja. Ia pulang ke kota dengan seorang gadis cantik bernama Aparna dari keluarga kaya. Apu yang miskin dan istrinya yang kaya. Perasaan Aparna ketika pertama kali tiba di kamar Apu digambarkan lewat shot pendek, kamera mendekat pada wajah diikuti shot panjang, kamera menggantikan mata Aparna yang mengintip dunia luar lewat kelambu penutup jendela yang sobek. Pengantin baru ini akhirnya dapat hidup bahagia sampai akhirnya kita dipaksa kembali menemui kematian. Sang istri meninggal ketika melahirkan anak laki-lakinya. Apu mengalami depresi sampai ia tak bisa mendekati anaknya sendiri karena bayangan kematian istrinya. Separuh film ini gelap meski di akhir Apu mampu bangkit dan menerima keberadaan anak laki-lakinya.

Satu lagi hal menarik yang muncul dalam film ini adalah keberadaan kereta. Di setiap film, kereta hadir menemani peristiwa, peradeganan dan kisah dengan sangat berbeda. Dalam film pertama, setelah Apu dan Durga bertengkar karena kertas perak milik sang kakak digunakan Apu untuk membuat mahkota yang terilhami oleh pertunjukan drama yang semalam disaksikannya, Durga membawa adiknya ke sebuah padang rumput sambil menyesap batang tebu. Mereka bermain di bawah tiang listrik. Tak lama kemudian, kereta api tiba dengan gagahnya sambil mengepulkan asap. Om Ray dengan keren menghadirkan ketegangangan antara anak-anak desa yang tak pernah melihat kereta dengan modernitas yang sedang terjadi.

Dalam film kedua, kereta dihadirkan dalam relasi antara Apu yang tinggal di kota dan ibunya yang sendirian di Desa. Bagi sang ibu, kereta adalah harapan yang akan membanya anaknya kembali pulang. Rangkaian gambar ketika sang ibu sering menggelar tikar di bawah pohon menunggu kedatangan Apu dan kembali pulang setelah kereta melintas tanpa anaknya menggambarkan hal itu. Kesendirian sang ibu menjadi semakin nestapa, cahaya meredup, menjelang malam, dan Apu tak datang. Tetapi bagi Apu, kereta menjadi perantara yang membawanya keluar dari kesunyian desa menuju keriuhan kota.

Kehadiran kereta dalam film ketiga sama sekali lain. Apu sudah tinggal di kota dengan kamar yang menghadap bentangan rel. Kereta menjadi musik hidupnya. Suara kereta menjadi bagian kehidupannya bersama Aparna. Kemiripan bunyi seruling Apu dan suara kereta itu terasa dekat dan menyatukan keduanya. Dalam film ketiga, kereta membawa Aparna pulang ke desa yang sekaligus ikut mengantarkan kematiannya, sedangkan apu setia membaca surat-surat dari istrinya sampai berita tragis itu tiba.

Trilogi Apu adalah hidup manusia yang terang dan gelap, naik dan turun. Dari dulu cerita bernuansa biografis selalu menimbulkan ikatan, entah dari novel maupun film. Rangkaian gambar Om Ray memang menawan. Para pengkritiknya bilang kalau film Om Ray banyak mendapat penghargaan internasional karena orang Barat ingin melihat India sebagai abjek. India yang miskin dengan tradisi mereka, orang-orang dan kondisi sosialnya. Barangkali film Om Ray tidak dapat menjadi representasi India, tetapi film-film Bollywood itu tampaknya juga bukan representasi India, dalam hal ini adalah konteks di luar film. Tapi bukankah sudah sejak lama realitas dalam film menjadi realitas dalam dirinya sendiri. Dari cara mengada baru ini, tidak serta merta dapat ditarik premis-premis realitas dari apa yang ada dalam film.

Orang bilang film Om Ray itu neo-realis dan terpengaruh oleh de Sica. Maka saya pun kemudian tertarik untuk melihat Voleur de bicyclette. Tidak berlebihan kalau saya bilang bahwa film ini adalah film terbaik yang pernah saya tonton. Film itu mempunyai makna bahkan ketika konteks dan pemaknaan sosialnya diabaikan. Pesan dalam film tidak dieksplisitkan sebagai pesan. Tesisnya pun sederhana bahkan kata Bazin sampai terasa kejam: di dunia buruh itu, untuk dapat bertahan hidup kaum papa harus saling mencuri. Realitas sosial ditempatkan sebagai latar dari drama moral dan psikologi. Fenomena yang dihadirkan memang sangat konkret. Seorang ayah yang kehilangan sepeda sebagai satu-satunya alat produksi, berusaha menemukan kembali sepeda itu dengan dikuntit sang anak laki-laki. Film itu membangun realitas dalam tontonan, bukan membuat sebuah tontonan menjadi tampak nyata. Sebuah jalinan fenomena yang berada pada tataran kronologi kebetulan. Ilusi atas realitas dapat ditampilkan dengan sempurna bahkan tanpa satupun adegan yang terkesan terlalu dramatis ekstrim.

Pada periode yang sama, di tahun 1950-an tentunya, Indonesia punya Usmar Ismail dan Bactiar Siagian. Begitulah. Dua orang itu bernasib sangat berbeda. Usmar tumbuh menjadi artis besar sedang Bachtiar dikutuk menjadi propagandis komunis. Film-film mereka menggambarkan kondisi masyarakat pasca perang kemerdekaan yang belum menemukan wajahnya. Saya sendiri baru menonton film Usmar yang judulnya Lewat Jam Malam dan Tamu Agung. Sepertinya menarik kalau bisa dibandingkan dengan karya Bactiar Siagian yang sayang sekali tak bisa diakses dengan mudah. Apa yang terjadi di India dan Indonesia pada periode yang sama tentu bisa jadi sangat berbeda. Dengan bahasa sinematografisnya, film mampu mengikat sesuatu di luar dirinya. Rasanya masih ingin mengapung di dunia Apu, dimana gagasan-gagasan merasuki materi, dibaca dalam bentuk dan dinikmati sambil minum kopi. Ah, hari ini saya mau makan coklat sebanyak-banyaknya meskipun harus beli sendiri.  


Kamar Kost Ketika Hujan, 14 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar