Konon katanya, Festival Teater Yogyakarta 2013 yang
diselenggarakan tanggal 16-18 Oktober kemarin berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Kalau tahun lalu panitia mengajukan tema dan siapa saja boleh mengajukan
proposal untuk kemudian diseleksi menjadi peserta, tahun ini panitia memanggil
kembali sutradara-sutradara terbaik dari festival sebelumnya. Dari sini, para
juri dan pengamat akan melihat apakah pilihan mereka di tahun-tahun sebelumnya
memang tepat. Tidak akan ada pemenang dalam festival kali ini. Para juri dan pengamat
akan memberikan catatan tertulis sebagai bentuk apresiasi terhadap seluruh
peserta yang tampil.
Konsep ini memang terkesan tertutup karena tidak memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh kelompok teater untuk memanggungkan
karya mereka. Penggunaan konsep seperti ini tentu sudah dipertimbangkan dengan
matang dan mungkin tetap ada baiknya, ketika kita bisa melihat proses kreatif
dan perkembangan penyutradaraan dari mereka-mereka yang diberi kesempatan untuk
menampilkan karyanya.
Saya di sini hanya menjadi penonton yang kebetulan punya
banyak waktu luang sehingga bisa menonton semua kelompok yang tampil. Kalau
saja saat ini orang seperti Asrul Sani itu masih hidup. Barangkali ia bisa
melengkapi kertas kerja yang ditulisnya pada tahun 1973 soal pemikiran dan
saran-saran pengembangan seni pertunjukan kontemporer atau modern. Rasanya
sulit kita temui orang seperti Asrul di masa ini. Sedangkan saya cuma bisa
menuliskan omong kosong macam sampah begini.
Pada saat itu, Asrul meringkas bentuk-bentuk teater yang
muncul di Indonesia mulai dari teater yang lahir dari kehidupan masyarakat desa
sehari-hari, entah yang bersifat adat maupun agama sampai yang disebutnya
sebagai teater modern. Bentuk terakhir itulah yang dulu dikatakannya masih
mencari bentuk dan isi. Barangkali sampai sekarang pun teater modern kita masih
juga mencari bentuk dan isi. Lalu seperti apakah bentuk dan isi dari
teater-teater peserta festival tahun ini?
Di bandingkan dengan tahun lalu, sebagai penonton awam, saya
bisa melihat beberapa capaian meskipun saya tidak bisa membandingkan secara
utuh bagaimana perkembangan dan capaian dari masing-masing sutradara. Hal ini
tentu karena saya bukan orang yang mengamati hasil karya mereka dari waktu ke
waktu melainkan hanya cuilan-cuian kecil yang kebetulan melintas di benak saya
ketika menulis catatan ini.
Perihal Naskah dan Pementasan
Saya cukup senang ketika seluruh peserta festival teater
kali ini tidak ada yang mengadaptasi naskah dari luar secara utuh. Bukannya
saya anti sama naskah-naskah yang berbau Eropa atau Amerika melainkan kondisi
ini menggambarkan usaha mencari idiom-idiom baru dalam seni pertunjukan yang
dekat dengan masyakatnya sendiri. Saya cukup jenuh melihat banyaknya adaptasi
naskah-naskah asing yang justru gagal dibawakan karena kesenjangan konteks dan
latar cerita. Tentu saja ini tidak menafikan keberhasilan-keberhasilan yang
sudah ada, meskipun tidak dapat saya sebutkan karena keterbatasan pengalaman
menonton saya.
Hampir seluruh peserta menggunakan langgam Bahasa Jawa dalam
pertunjukan mereka. Dekor yang dipakai sebagian masih berbau naturalis dengan
usaha menghadirkan kondisi yang kita lihat sehari-hari di atas panggung. Cerita
yang dibangun memang cukup beragam, dari yang paling realis, eksperimentasi
menghadirkan cerita berlapis di atas panggung dengan men-Jawa-kan naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer, juga
usaha untuk membaurkan dua cerita yang berasal dari adaptasi cerpen Gabriel Garcia
Marquez dengan kehidupan petani garam di pesisir Pulau Jawa.
Saya akan memulai
dari
Kapai-Kapai (Atawa Gayuh) yang disutradarai oleh Ibed Surgana Yuga. Naskah
Kapai-Kapai sendiri bagi saya cukup
menarik dengan lapis-lapis ceritanya. Kalanari Theater Movement menampilkannya
di panggung terbuka dan mengadapatasinya dalam Bahasa
Jawa. Karakter Emak
diganti dengan Dhalang, tokoh yang membikin skenario untuk mempermainkan nasib
Abu, wong cilik yang malang. Dalam skenario asli, perpindahan babak ditandai
dengan penutupan layar. Namun, pertunjukan ini mampu mengalirkan perpindahan
babak tanpa layar, bahkan dengan pemain utama yang terus-menerus berada dalam
jangkauan mata penonton, tanpa mengurangi kadar penyampain pesan bagaimana
cerita yang berlapis tersebut dapat sampai dengan baik.
Pertunjukan panggung terbuka memang membawa masalah teknis
tersendiri. Beberapa kali dialog tokoh tidak terdengar jelas dan keruwetan
panggung yang hanya diterangi cahaya-cahaya kecil dari obor membuat penonton
seringkali kehilangan beberapa detail kecil pertunjukan. Pencahayaan dibantu
dengan kru yang membawa senter besar di beberapa sudut panggung. Saya cukup
terkesan dengan teknik ini. Bahkan, untuk menambah kesan dramatis, seorang kru
mengucurkan air lewat selang dari bagian atas panggung untuk mengguyur tubuh
Abu beserta istrinya yang kebingungan mencari “kaca tipu daya” (sebuah benda
yang dalam naskah bisa dibeli di toko Nabi Sulaiman dan mampu mewujudkan semua
impian Abu). Jujur saja saya baru pertama kali menyaksikan hujan buatan dalam
teater.
Terlalu muluk kalau dikatakan pencarian dan eksperimentasi
seperti ini akan berujung pada mitos total teater dimana usaha untuk
menyempurnakan kejanggalan-kejanggalan panggung demi menghadirkan efek hujan
misalnya, hanya bisa dilakukan oleh film. Namun, bangunan yang tampak di
panggung, maupun yang tak kelihatan, tata musik dari gamelan, dan peradeganan
memang bisa sedemikian mengalir dan sangat membantu membangun suasana sepanjang
pertunjukan.
Saya tak akan banyak membahas soal naskah dimana Arifin C.
Noer manghadirkan nasib Abu, mempertunjukkan mimpinya menjadi seorang pangeran,
tipu daya dan persekongkolan. Ah, kalian harus membaca naskah itu. Yang pasti,
Dhalang dalam cerita masih otoriter. Dia yang mengarang tipu daya dan akhirnya
membunuh Abu sekaligus mimpi-mimpinya. Butuh ruang khusus untuk membedah
naskah-naskah Arifin C. Noer, apalagi sebelumnya saya sempat menyaksikan Madekur dan Tarkeni dipentaskan. Kalau
saya boleh berlebihan, membaca naskah-naskah Arifin C. Noer itu serasa
menemukan permata dalam sajian makan malam di tanggal tua, yang murah dan
itu-itu saja.
Berikutnya, Citra Pratiwi adalah sutradara terbaik pada
festival teater tahun lalu. Citra punya ide-ide cemerlang namun terasa selalu
ada yang janggal dalam pengeksekusian panggungnya. Teaternya tahun lalu sudah
pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Dan kali ini, Citra tampil dengan
adaptasi cerpen Gabriel Garcia Marquez yang justru menjadi aneh ketika
dikontekskan dengan latar petani garam di pesisir Pulau Jawa dan Bali.
Kejanggalan utama terletak pada dekor yang memasang kincir angin besar di sisi
belakang panggung. Barangkali di Indonesia juga ada yang seperti itu, tetapi
ketika melihatnya pertama kali, pikiran saya langsung diarahkan ke negeri-negeri
Eropa sana. Sedangkan di hadapan kincir besar itu, pemain-pemain dengan memakai
kostum pakaian petani sehari-hari, properti seperti caping dan sebagainya berusaha
menggiring penonton bahwa peristiwa itu terjadi di Indonesia. Bentuk dekor
apapun sebenarnya sah dalam teater, namun kesatuan citraan dalam satu panggung
bagi saya tetap penting.
Dua kontras dari latar dan suasana yang ingin diciptakan
masih diperparah dengan gerak dan gestur yang tidak bisa sampai dengan mudah
kepada penonton. Kalau penonton tidak membaca cerpen yang dimaksud, juga dengan
bantuan sinopsis cerita, orang tidak akan tahu bahwa gerakan yang dilakukan
pemain adalah gerakan mengusir kepiting di musim hujan yang merajalela. Seorang
perempuan berselendang merah itu juga tidak jelas siapa. Barangkali memang saya
saja yang bodoh dan tidak jeli.
Citra menyisipkan nuansa pesisir yang ditandai dengan
permainan judi para petani sehabis panen dan ratapan seorang pemain perempuan
sambil menyanyikan lagu dangdut. Sayang sekali, musik dangdut yang digunakan
masih sangat Melayu, bukan dangdut pantura. Dialek Bahasa Jawa yang digunakan
sepertinya juga bukan pesisiran. Selebihnya, musik yang mengisi pertunjukan sebenarnya
cukup membantu mengangkat suasana. Kemampuan aktor dalam menampilkan teater
tubuh cukup mumpuni juga. Tetapi gerak-gerak itu ingin menampilkan apa? Apakah
demi menguatkan apa yang disebut dalam sinopsis sebagai sisi realis fantasi
dari cerpen yang diadaptasi?
Menerjemahkan ide dalam panggung memang bukan perkara mudah.
Perkara yang tak hanya berada di tangan sutradara melainkan juga melibatkan
tata panggung, musik dan aktor-aktornya. Dengan demikian, ide yang baik saja
jelas tidak cukup untuk bisa membuat pertunjukan yang baik. Baik di sini pun
menurut selera saya, sebuah pertunjukan yang dapat memuaskan saya sebagai penontonnya.
Satu kasus menarik hadir dalam lakon
Ora Isa Mati: Isih Akeh Wong Jujur Nang Ngisor Wit Jambu Air.
Jarang-jarang saya bisa menyaksikan dua lakon yang sama sebanyak dua kali.
Pertama kali saya menyaksikan naskah ini dipentaskan di Balai Budaya Samirana.
Konsep yang disuguhkan cukup menarik. Mempertunjukkan teater di tengah kampung
menjadi suatu cara untuk mendekatkan seni ke masyarakat. Sayang sekali pada
saat itu penonton teaternya lumayan sepi. Barangkali karena bersamaan dengan
acara pengajian yang digelar di masjid tak jauh dari tempat pertunjukan. Dua
kali pertunjukan itu saya saksikan dan dua kali pula saya masih tertawa-tawa
karena dialog dan adegan-adegan aktor yang dibawakan dalam Bahasa Jawa.
Lakon ini cukup komikal, demikian juga dekor yang dibuat
lebih sebagai penanda. Pertunjukan kedua dari lakon ini memang terasa lebih
matang, baik dari sisi pengolahan adegan (khususnya di akhir) dan penataan
musiknya. Pertunjukan pertama yang diadakan di tengah kampung terasa lebih
santai. Penonton dari Teater Teman-Temanmu kemungkinan juga dalah teman-teman
sendiri. Ketika tampil di gedung yang cukup representatif, jumlah penonton
memadati kursi, pertunjukanpun terasa lebih serius meski ia tak kehilangan
banyolan yang didukung oleh karikatural para pemainnya. Para aktor seperti menerima
energi dari banyaknya penonton yang datang, membantu memaksimalkan pemeranan
mereka di atas panggung.
Berbeda halnya dengan lakon Watara dari Teater Slenk, Ora
Isa Mati memiliki kedinamisan dialog dan karakter tokoh yang mampu
membangun suasana, konflik, hingga penyampaian pesan-pesannya. Sementara itu, Watara tampil dengan sangat datar,
sebagaimana hanya selingan di kala senggang. Dekor disajikan dengan memasang dua
rumah di atas panggung, yang satu mengesankan terbuat dari tembok, dan satunya
terbuat dari anyaman bambu. Pilihan kontras ini mengesankan bahwa kemungkinan
cerita akan berisi konflik sosial karena kesenjangan ekonomi. Tapi ternyata
tidak. Cerita mengalir dengan sangat datar. Konflik disajikan di akhir, tak
terduga dan terkesan dipaksakan. Nyanyian dan tarian memang menyampaikan
kehidupan masyarakat petani dengan gerakan-gerakan ketika mereka menanam dan
memelihara padi. Fungsinya tidak dilekatkan pada cerita melainkan sebagai
selingan yang memisahkan antar babak cerita. Bentuk seperti itu mengingatkan
saya pada uraian tentang model-model teater lama. Meskipun karena kemasannya,
lakon Watara kemudian bisa disebut
sebagai teater baru.
Demikian halnya dengan cerita Nggoleki Jimate Basiyo dari Kandangjaran Teater. Pertunjukannya
dibuka dengan tembang lalu mulailah monolog berlama-lama dari seorang tua yang
memegangi keris. Sebelumnya saya tidak membaca sinopsis cerita dan baru sadar
di bagian akhir bahwa para pemainnya adalah keluarga Basiyo. Bagi mereka yang
tidak mengenal Basiyo, teater ini kehilangkan ikatan dengan penontonnya.
Pertama karena dialog yang berlama-lama dan kedua karena guyonan yang tidak
bisa membuat saya tertawa. Kisah tentang tokoh Basiyo sebagai legenda
pertunjukan di Jogja memang menarik. Namun, cerita dan guyonan sepertinya hanya
berlaku bagi penonton yang mengerti konteks cerita.
Penonton Teater dan
Sawerannya
Keberadaan festival teater seperti ini tampaknya mampu
membuka kemungkinan perluasan publik teater. Pertunjukan teater kampus
misalnya, kadang hanya mampu menarik penonton yang terdiri dari teman-teman
sendiri. Di sini, saya bisa melihat bahwa penonton yang hadir tidak hanya
mereka yang setiap harinya bergelut dan akrab dengan teater. Para mahasiswa
yang baru datang ke Jogja, yang kemungkinan tak tahu apa-apa tentang teater
bisa datang dan ikut menyaksikan pertunjukan. Siapa saja boleh masuk ke gedung
pertunjukan. Bagi yang bersandal jepit juga dipersilakan. Kita tak pernah punya
budaya untuk mempermasalahkan siapa yang boleh menonton teater sebagaimana yang
di Barat sana, hanya mereka yang berjas dan bergaun rapi yang diperbolehkan
masuk ke gedung opera.
Festival teater ini kebetulan bersamaan dengan festival film
yang digelar di gedung yang bersebelahan. Acara ini masih bersamaan pula dengan
konser-konser musik dan sekian banyak peristiwa seni lainnya. Publik akhirnya
terpecah untuk menghadiri acara sesuai ketertarikan masing-masing. Meskipun
begitu, pengunjung festival teater tak pernah sepi. Kualitas teater tentu tak
ditentukan oleh banyaknya penonton. Namun, teater bisa ada karena ada yang
menontonnya. Satu orang penonton pun tetap bisa disebut sebagai penonton.
Sebab inilah mengapa teater tetap bisa bertahan. Sejelek-jeleknya
sebuah pertunjukan, ia akan tetap punya penontonnya sendiri. Teman saya pernah
bercerita. Kebetulan ia adalah mantan aktor teater. Katanya kemudian, teater
tak bisa memenuhi idealismenya dalam berkesenian, sepertinya hanya berputar di
situ-situ saja. Juga bahwa menjadi pemain teater itu tak bisa menghasilkan
uang. Tapi toh, teater tak mati juga. Para seniman teater tentu saja tak bisa
menggantungkan hidup dari pertunjukan. Lain soal dengan pentas teater
tradisional dimana para pemainnya hanya hidup dari hasil penjualan tiket.
Seniman teater, khususnya di Jogja mungin memang tak kehabisan akal untuk dapat
sekian proyek, sekian hibah seni, dan sekian-sekian lainnya. Mereka bisa juga
mengarang naskah sinetron atau bahkan aktor teater seringkali bisa menjadi
artis film. Rasanya hal ini sudah biasa dalam dunia perteateran.
Asalkan masih ada kelompok teater yang pentas, mereka tak
akan kekurangan penonton. Entah mereka yang hanya menonton atau yang punya
banyak waktu luang untuk sekadar menuliskan celaan dan pujian. Dua kelompok
teater yang pentas menyisipkan adegan minta saweran ke penonton. Sekadar buat
ongkos jalan, hal ini tentu sah untuk dilakukan karena semua pertunjukan teater
dibuka gratis. Saya tidak tahu juga apakah panitia ikut menyediakan ongkos
produksi bagi para peserta.
Sampai di sini, saya kehilangan arah untuk melanjutkan
tulisan. Seperti halnya pertunjukan-pertunjukan teater kita yang juga tidak
tahu mau kemana. Kadang ke sini, kadang ke sana. Kita sama sekali tidak punya
arah yang jelas soal yang satu itu. Tapi ya sudahlah. Akhirnya saya tetap bisa
bahagia hanya dengan menjadi penonton dan memulis omong kosong seperti ini.
Setidaknya bisa membuat lega ketika satu dari sekian banyak hal yang nyumpel bisa keluar dari kepala.
Oktober-November 2013