Mata begitu berat. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tak
bisa terpejam. Gonggong anjing di pagi hari. Roti tawar dan susu coklat. Mandi.
Makan siang murah. Lalu hujan. Lalu petang. Lalu malam. Siapa yang ingin
terpejam ketika semakin segera kita akan berjauhan. Betapa bodoh membicarakan
orang-orang itu selepas percintaan yang tak begitu enak dan perih. Tambah perih
dalam tawa yang tiba-tiba tangis.
Mendadak semuanya menjadi mendung. Pembicaraan-pembicaraan
kita sambil menunggu pesanan makanan tiba atau setelahnya, juga tentang
orang-orang di sekitar yang tak pernah kita kenal, sebelumnya tak pernah
mengarah kemanapun. Namun akhir-akhir ini, semua seperti sudah jelas akhirnya.
Hahaha. Kita masih ragu. Sangat.
Dua helai rambut tumbuh pada tahi lalat di perutmu. Kau tahu
apa artinya? Tidak ada. Aku sedang tidak paham dengan tulisan yang baru saja kubaca.
Penulisnya seperti ingin menumpahkan banyak hal dalam artikel yang cuma lima
puluh halaman saja. Suka sekali ia tak menyelesaikan penjelasannya dan meloncat
ke hal lain. Utang penjelasan di depan banyak yang tak terbayarkan sampai
tulisan selesai. Orang Jawa itu menyedihkan. Ngawurnya, kalau boleh dibilang, dengan kebudayaan meraka yang
sudah banyak dijelaskan para ahli, Bagaimanakah mereka bisa bertahan di tengah
jaman amburadul macam begini?
Sementara itu, Paolo Sorrentino sudah membuat film seperti The Great Beauty. Saya sendiri begitu
kesulitan membayangkan keberadaan orang-orang yang digambarkan dalam film.
Sekumpulan penulis, pelukis, yang setiap malam kerjaannya adalah berpesta. Kosong
di dalamnya. Seorang seniman menampilkan sebuah pertunjukan di atas panggung
yang menyerupai jalan dengan ujungnya berdiri sebuah tembok. Perempuan itu
telanjang, mengecat merah kemaluannya dengan aksen palu arit kecil di sudutnya.
Ia mengenakan selendang putih transparan membelit longgar kepalanya. Berteriak,
berlari, menabrak tembok hingga kepalanya terluka. Begitu saja. Para penonton
bertepuk tangan. Katanya kemudian, begitulah cara dia menangkap vibrasi dunia. Entah
apa maksudnya. Tambah aneh-aneh saja kelakukan manusia. Seorang anak bisa
tiba-tiba muncul di hadapan ibunya. Telanjang dan mengecat merah seluruh
tubuhnya. “Ibu, pipiku selalu bersemu merah ketika melihatmu,” begitu kira-kira
katanya. Sudah bisa ditebak, seperti katamu, orang-orang seperti itu pun sudah
membusuk. Ah, lawas. Tapi kita juga
tak bisa menemukan penjelasan lain. Seperti khayalan yang tak bisa terjangkau.
Menonton Pina juga
demikian. Kalau kesemuanya dikatakan sebagai seni tinggi, kebudayaan adiluhung
(seandainya itu masih ada), yang ngEropah begitu, bandingan seperti apakah yang
bisa kita temukan di sini? Hihihi. Mana berani saya melanjutkan. Lha wong saya ini cuma penonton ludruk,
penggemarnya Kartolo yang suka sekali saya kutip dialognya. “Kowe arep opo?” dan dijawablah, “opo-opo arep.”
Orang itu menyebut seni tinggi hanya karena ketika ia datang
mengunjungi galeri, atau pameran misalnya, lukisan-lukisan digantung terlalu
tinggi. Kita-kita yang pendek ini jadi harus sedikit mendongakkan kepala untuk
bisa melihatnya. Begitulah asal mula kenapa suatu seni bisa disebut seni
tinggi. Percayalah, cerita ini bukan karangan saya melainkan berasal dari
sumber yang heibat sekali.
Menyeruput kopi sambil mendengarkan Faith No More melantunan
I Started a Joke. Pada awalmya cuma
bercanda. Pada akhirnya, beginilah, seperti yang telah kita duga sebelumnya. Karena
kita seringkali menertawakan sesuatu, kita pun boleh jadi sedang ditertawakan,
entah oleh siapa dan karena apa.
Hei, apa kau sudah bangun? Jum’atan lho. Eh ya, kamu ndak
Islam jadi ya ndak Jum’atan.
Kamar Kost, 15 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar