29 November
Sejak kedatangan pertama di rumah
sakit, patung punakawan yang dikelilingi taman dan air mancur menyambut saya. Semar
tampak ramah dengan dandanan menor, tubuh sedikit bongkok, mengacungkan
jempolnya tanda mempersilakan masuk. Penampilan Semar menjadi lain karena ia
mengenakan jubah putih seperti punya para dokter. Senyum semar dan anak-anaknya
adalah jeda bagi anak-anak kecil yang merengek minta susu dalam gendongan.
Anak-anak yang kelelahan karena harus ikut menjaga si sakit di tempat yang sama
sekali tak ramah bagi mereka.
Saya mulai mengakrabi selasar dan
lorong-lorong khas bangunan tua rumah sakit. Di sebelahnya, sebentar lagi
arsitektur berupa lorong-lorong itu akan berubah menjadi bangunan berbentuk
gedung. Suara pekerja bangunan terdengar riuh. Debu-debu terbang menghinggapi
apa saja, menari bersama virus dan bakteri di udara.
Saya datang bersama Bebeb (dulunya disebut teman sebelah) malam itu. Laki-laki brengsek yang sedikit berbaik hati mangantar saya.
Pemandangan yang tak saya sukai mau tak mau melintas juga di hadapan mata.
Orang sakit itu menyedihkan. Para penunggu kelelahan. Mereka tidur di mana
saja. Ibuk tergeletak di ruang ICU sehabis operasi patah tulang. Hanya satu
orang yang diperbolehkan masuk dengan mengenakan seragam khusus. Di ruangan
yang cukup luas itu, sekitar lima orang pasien tergolek tak berdaya.
Selang-selang menempel di tangan dan menyuruk ke dalam hidung mereka.
Monitor-monitor menyala. Dingin dan desis oksigen membaur dengan suara bisikan,
sesekali rintih kesakitan. Para penunggu harus bersiap sedia di luar kalau
sewaktu-waktu pasien membutuhkan sesuatu dan itu tentu sangat melelahkan.
Sejak minggu pagi, saya serasa sudah
membaui darah. Pada sawah-sawah, pada tubuh orang-orang yang menguapkan aroma
kretek dan jerami. Apa yang saya alami di Minggu itu barangkali akan menjadi
cerita sendiri yang saat ini sudah buyar karena berita kecelakaan Bapak dan
Ibuk. Sama sekali tak menyangka kalau kematangan saya akan diuji sehebat ini.
Sekitar seminggu saya menunggui Ibuk di rumah sakit itu. Begitu banyak hal yang
bisa dituliskan tapi entah hanya berapa yang saya ingat dan bisa ceritakan. Ibuk
selanjutnya akan disebut si pasien dalam tulisan ini.
*
Ketika harus dirawat di rumah sakit,
si pasien tentu tahu bahwa keluarga adalah lingkaran pertama tempatnya
bersandar. Di mulai dari kakaknya yang dianggap bisa mengurus segala sesuatu
karena memang si pasien sudah tak punya orang tua. Lalu anak-anaknya bertugas
untuk menjaga, memenuhi segala keperluannya. Suaminya sendiri sedang tekapar di
rumah sakit yang lain, ditunggui adik-adiknya. Si pasien mempercayakan
perawatan suaminya kepada mereka. Terlebih karena salah satu kerabatnya adalah
perawat di rumah sakit itu. Memiliki orang dalam
ternyata mampu menimbulkan sebentuk rasa aman ketika si sakit harus bergantung
sepenuhnya kepada orang lain.
Pasien itu kebetulan mendapat
jaminan Askes karena dia adalah pegawai negeri bergolongan tinggi. Kau tahu,
mengurus Askes itu lebih mudah daripada mengurus Jamkesmas. Sementara
perawat-perawat rumah sakit hanya menjadi orang-orang yang dicurigai. Ketika
tiba waktu menyuntik, para perawat akan mengambil obat dari kamarnya dan
membawanya keluar. Obat yang disuntikkan tidak sebanding dengan obat yang
dibawa keluar. Itulah yang menimbulkan kecurigaan bagi si pasien.
Para Punakawan sudah tak terlihat
dari lorong deretan kamar VIP. Dindingnya ganti dihias dengan sosok wayang
ksatria. Tentu saja saya tak hafal siapa saja yang berbaris di dinding itu.
Kemungkinan besar tentu Pandawa. Lorong VIP cukup bersih dengan fasilitas
televisi, air hangat dan tentu saja AC. Namun fasilitas macam apapun tak akan
mampu membuat nyaman si sakit. Ia ingin segera pulang, meninggalkan sakitnya di
sana seandainya bisa.
Para pengunjung mengalir deras.
Waktu kunjungan tidak dibatasi di kamar VIP itu. Mereka adalah keluarga jauh
dan yang paling sering adalah teman sejawat. Kadang membawa buah-buahan, roti,
makanan lain atau amplop berisi uang sekadar bantuan. Pasien akan
mengidentifikasi siapa mereka. Orang-orang itu ada yang datang dengan tulus,
tapi juga ada yang cuma lamis, ada yang datang dengan maksud-maksud tertentu
(menjual obat misalnya), ada yang merasa harus datang
karena mendengar beritanya, ada juga yang mendengar berita tapi tak sempat-sempat
datang. Semua terbaca dengan mudah oleh si pasien.
Setiap pengunjung yang datang akan
meminta pasien mengulang cerita seputar kronologis kejadian. Secara umum,
obrolan akan berlanjut pada saling tukar pengalaman. Entah apakah pengunjung
itu pernah mengalami hal yang sama, atau pengetahuannya tentang kenalan yang
bernasib mirip pasien. Bisa dibayangkan berapa kali pasien akan mengulang ceritanya.
Sepertinya ia juga tak bosan-bosannya bercerita. Orang-orang yang mendengar
ceritanya akan bersimpati dengan ungkapan-ungkapan khas bernada kasihan, ngeri
atau sambil mengelus perut dan mengucap amit-amit jabang bayi, tanda bahwa hal
serupa jangan sampai terjadi pada diri mereka.
Pasien akan merasa dikasihani.
Sebagai tanda bahwa ia tabah menghadapi cobaan, kalimat-kalimat seperti;
menerima hal itu sebagai ujian, ada hikmah di balik setiap peristiwa, laku
hidup yang memang harus dijalani—pun terlontar. Dan begitulah seterusnya.
9 Desember
Jika bisa disebut surat, bacalah! Jika sampah, buanglah!
Tenggorokanku selalu gatal akhir-akhir ini, terasa
parah pada pagi hari setelah bangun tidur. Percakapan kita semalam lumayan
melegakan meski tak pernah cukup. Akhirnya aku bisa mendengar suara sumbangmu
melagukan Pulang dan Surrender dari Float, dengan permaian
kunci yang masih salah-salah. Memang sengaja aku menelepon terus meski tahu ada
siapa di dekatmu. Hehe... lama rasanya aku tak bicara hal-hal gak penting seperti itu. Tapi aku memang
peduli padamu, Beb... peduli setan! Kau juga merasa lebih baik pastinya...
lebih baik kalau gak ada aku? Fak!
Sepagi ini aku sudah menolong Ibuk untuk pipis
lalu mengganjal kakinya dengan guling sebagai latihan menekuk lutut. Aku tak
pernah bilang kalau apa yang kulakukan di rumah tak sebanding dengan minggu-minggumu
yang sibuk. Kau bertemu banyak orang, mengobrol dengan mereka, menyiapkan acara
diskusi dalam tiga hari, bertemu narasumber hingga berjam-jam. Sementara aku
sibuk mencuci, menyapu lantai, merawat Bapak dan Ibuk. Ah, ya, minggu ini aku
menyiapkan acara arisan keluarga, menata kursi-kursi dan berbasi-basi. Sekian
banyak orang itu seperti ingin meletakkan segalanya di pundakku. Aku harus
menjadi anak yang berbakti, gak boleh
mengeluh, menerimanya sebagai ujian, dan blah..blah...blah...
Beb, aku takut kau tak menyukaiku lagi. Aku
jarang membaca dan sangat sedikit menonton film. Satu film bisa kuhabiskan
dalam dua hari. Itupun tanpa pengalaman menonton yang berkesan. Film-film sisa
hanya sekadar dihabiskan untuk sebentar lari dari rutinitas yang membunuh. Sebentar,
nanti kulanjutkan lagi. Ibuk memanggil karena kebelet.
*
Membuka pintu depan, daun-daun Mangga dan
Matoa sudah bertebaran di halaman, sisa gerimis semalam merontokkan mereka yang
sudah kekuning-kuningan. Itu artinya pekerjaan lagi. Aku tak ingin
menjadikannya beban tapi betapa ingin aku bisa seenak-enaknya ngapain aja melakukan
kesenangan-kesenangan yang tak pernah cukup. Iya, aku akui, isih penak jamanmu, Beb.
Bapak mendengkur dalam posisi miring yang
terlihat sangat tidak nyaman. Bunyi langkah kaki dan suara-suara Ibuk sama
sekali tak menggangu tidurnya. Bapak tak lebih cerewet kalau mau apa-apa. Beda
dengan Ibuk. Kakinya dicokoti semut, seprei tidak rapi, sedikit ada bau di
kolong tempat tidur, bau tai kucing, bau ayam yang ngeker-eker daun busuk di selokan luar bawah jendela, kelambu yang
sedikit terbuka. Ibuk rewel sekali soal remeh temeh begitu.
Pagi-pagi aku sudah membuang tai di pawuhan (pembuangan akhir di kebun dekat
rumpun bambu). Melewati beranda belakang, embun-embun menggantung di pucuk
daun, bergelantungan pada wangi melati, kantil, mawar dan kaca piring. Kembali
ke halaman depan, sengaja kubiarkan daun-daun jatuh itu. Ayam jantan, betina
dan anak-anak mereka sudah berkeliaran, mematuki segala yang ditemukannya lalu nelek sembarangan begitu saja.
Ibuk memanggil lagi. Memintaku menyiapakan
makan pagi. Kau tak usah berpikir bahwa aku akan sempat memasak. Aku hanya
memasak untukmu, Beb, meski hanya membuatkan mie rebus jam dua pagi dan itupun
cuma sekali. Ahai. Prek...
*
Tetanggaku mati kemarin pagi. Persis ketika
acara arisan keluarga di rumah. Kenapa cerita ini akhirnya kuceritakan padamu?
Setidaknya ini yang terlewat dari cerita-cerita semalam dan aku ingin menulis
meski tak punya bahan. Tetanggaku ini fenomenal. Ia terkenal sebagai kepala
preman terminal. Istrinya tak tahan dengan kelakuan kasarnya tiap kali mabuk, lari
mencari uang ke negeri orang, meningglkan dua anaknya. Kisah kematiannya terus
saja diulang orang-orang sejak kemarin.
Kalau sedang baik dan tak mabuk, ia bisa jadi
ayah yang baik. Anaknya yang besar sudah SMA, cukup pintar untuk tidak
mengikuti jejak ayahnya, dan diterima di salah satu sekolah keren di kota ini.
Kalau sedang ditinggal anaknya sekolah, sang ayah biasa mencuci baju, bahkan
memasak. Tapi pagi menjelang kematiannya menjadi lain.
Sebelumnya ia memang sempat mengalami
kecelakaan hingga matanya yang sebelah melotot terus sebesar telur angsa
(beginilah anak-anak kampung ini membuat persamaan untuk kejadian di matanya
itu, seringkali malah jadi bahan guyonan). Barangkali karena sakit kepala yang
tak tertahankan, ia minum puyer sebelum sarapan, lalu mengerjakan pekerjaan
rumah seperti biasa. Sampai pada akhirnya, ia muntah, mulutnya berbuih. Anaknya
yang kecil tidak tahu bahwa ayahnya sedang sekarat. Dikiranya hanya mabuk
seperti biasa. Sesampainya kakaknya pulang, ia mendapati badan ayahnya sudah
kaku. Kaki dan tangannya sudah mlungker.
Almarhum tetanggaku itu sempat dilarikan ke rumah sakit. Sempat dirujuk harus
operasi ke Madiun tapi nyawanya sudah tak tertolong lagi.
Ada lagi tambahan cerita. Malam sebelum
kematiannya, ia sempat menelepon sang istri, memintanya untuk pulang. Istrinya tak
ingin pulang kalau sampai di rumah hanya akan disakiti lagi seperti yang
sudah-sudah. Cerita-cerita kampung ini kadang memang dangdut sekali, Beb.
Ibu memanggil lagi. Shit! Ups, Astaghfirullah...
bahkan berkata “ah” saja ketika
mendengar perintah dari Ibuk itu dilarang dalam Al Quran. Orang tua kita memang
selalu benar. Anak harus patuh. Katamu, kita kan dibesarkan dalam keluarga
Orba. Paviliun tempat Bapak dirawat saja namanya Cendana.
*
Perintah Ibuk sudah dijalankan. Aku lupa akan
bercerita apa lagi. Baiklah, akan kulanjutkan saja cerita soal kematian
tetanggaku. Keluarganya memang seringkali menjadi sasaran kemarahan ketika ia
kumat, mabuk dan jadi tidak waras. Ia pernah mengacungkan arit dan memburu
anaknya sendiri. Anak itu lari bersembunyi di rumah saudara terdekat sampai
reda kemarahan bapaknya. Ibunya sendiri pernah diacungi arit pula. Ya, arit
memang banyak sekali ditemukan di kampung ini. Sasaran kemarahannya seringkali
memang lingkungan keluarganya sendiri. Ia tak pernah menggangu atau berurusan
dengan keluargaku. Bahkan Ibuk sendiri mengesankan ia sebagai seorang yang
sopan. Selalu menyapa ketika lewat, juga membalas senyum ibuk ketika saling
berpapasan.
Yang jadi bahan cerita kemarin adalah begini.
Saudaraku datang dari Madiun untuk arisan keluarga di rumah. Ia turun di
terminal Ngawi kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bentor (becak motor yang
sudah mulai marak di kota kecil ini). Ketika di tanya tukang becak dan menjawab
bahwa tujuannya adalah ke kampungku, si tukang becak langsung saja menebak
apakah tujuannya adalah untuk melayat. Saudaraku itu langsung kaku di tempat,
dikiranya bahwa berita kematian itu terkait dengan keluargaku. Masuk ke gang,
saudara jauh ini semakin terkejut karena bendera putih dikibarkan di jalan
sebelum masuk ke gang. Lega ternyata bahwa berita itu bukan berasal dari rumah
ini.
Menariknya lagi begini, keluarga tetanggaku
yang mati itu tampak demikian ikhlas, meskipun anggota keluarga mereka yang
mati itu tak sempat tobat. Terakhir ia menelepon istrinya dan mengabarkan bahwa
baru saja ia mengadakan perpisahan dengan teman-teman preman, minum-minum juga
tentu saja. Anaknya memangku jenazah bapaknya ketika dimandikan, memanggul
jenazahnya seolah-olah apa yang dilakukan bapaknya itu telah sangat
dimaafkannya. Ah, aku tak bisa menjelaskan kemenarikan ini dalam satu paragraf,
jadinya kok tidak terkesan menarik sama
sekali.
Pak Modin yang bertugas memimpin upacara dari
memandikan hingga penguburan, adatnya memang harus menanyakan kepada para
pelayat apakah almarhum adalah orang baik. Tapi tak semua orang menjawab.
Antara bingung mau menjawab ya dan tidak. Ada yang menjawab spontan, “baik....”
karena biasanya memang otomatis dijawab demikian. Lalu mereka menyembunyikan
senyum masing-masing. Tentu kau tahu maksud senyum itu. Bu Bayan sedikit
menyesal karena sempat melarang suaminya ketika hendak menguruskan Jamkesmas
untuk almarhum, “ngopo to, Pak, wong kaya
ngono wae kok diurusi,” maka menangislah ia barangkali ketika mengingat
perkataannya itu.
Suara burung yang dimiripkan dengan sobekan
kain kafan kali ini tetap menjadi penanda kematian, sebuah tanda yang tak
pernah ketinggalan untuk diceritakan orang. Kisah yang kuceritakan padamu ini
hanya kudengar dari orang-orang. Aku sama sekali tak sempat melayat karena acara
keluarga di rumah. Kadang cerita-cerita begini ada yang ditambah-tambahi.
Banyak orang berspekulasi kalau almarhum
mencampur puyer dengan arak. Ada pula cerita yang menyangkalnya ketika almarhum
ditemukan hanya dengan muntahan, tanpa bau arak. Yang diingat orang adalah juga
perutnya yang buncit. Gambaran cerita mereka itu mirip dengan model-model sinema
pintu taubat atau pintu hidayah yang dulu sempat marak di televisi kita,
mungkin juga sampai sekarang. Tubuh kakunya yang mengejang dibaca akibat
aktifitas malaikat yang mempermainkan nyawanya, tak langsung mencabutnya tetapi
ketika hampir dicabut lalu dikembalikan lagi, terus begitu berulang-ulang
hingga tampak mayak sekali si
malaikat pencabut nyawa ini.
Aku memang bukan pencerita yang baik. Hanya
sampah macam begini yang sempat aku tuliskan di tengah ritme rutinitas yang
membuatku semakin membusuk. Lebai
memang, padahal baru beberapa minggu saja. Sudah jam delapan, Beb. Saatnya
mencuci. Lain kali akan kuceritakan tentang surat-suratan antara Devuskhin dan
Varvara atau tentang The Mirror dari
Tarkovsky.
10 Desember
Mmmh... Seharian aku belum makan, Beb. Kau
adalah orang yang paling cerewet soal makan. Bahkan menyuruh-nyuruh perempuan
itu untuk tidak telat makan juga. Dasar, kamu brengsek! Hari ini sangat
mendung. Setelah memandikan Ibuk dan Bapak, memberi mereka sarapan dan minum
obat, rumah kembali sepi. Saat-saat begini, Ibuk akan memangis dan diam-diam
aku menangis pula. Sumpek dan bosan senang sekali mengikutiku akhir-akhir ini.
Aku butuh menangis. Ibuk juga tak sekuat seperti perkataannya pada orang-orang.
Hari ini aku tak sempat membaca ataupun
menonton. Segalanya mendung. Teman Bapak datang lagi dan menanyakan uang hasil
penjualan pohon jati dari sekolah yang dibawanya sebelum kecelakaan. Bapak lupa
dimana menaruh uang itu. Ditanya hanya bisa menjawab, “kakakakaka....”. Ibuk
sempat muntab lalu mengeraskan volume
radio lokal yang tak pernah punya koleksi lagu bagus. Bapak masih belum bisa
ditanyai, bahkan hanya untuk menjawab ya atau tidak pun masih sulit. Bapak
seperti ingin menjelaskan banyak hal. Aku tak tahu bagaimana rasanya ketika
kita ingin bicara sesuatu tapi tak bisa keluar. Nggondhok di dalam, mbededeg
dalam hati dan pikiran.
Bapak sering minta ke rumah belakang untuk
mencari uang itu meski tak pernah ketemu. Laci yang ditunjuknya sudah
diobrak-abrik puluhan kali. Tas yang biasa digunakan kerja juga masih tetap
kosong. Tak ada uang di sana. Entahlah, memang harus menunggu sampai Bapak bisa
bicara agar uang itu bisa ketemu. Kapan? Semoga tak terlalu lama.
Siangnya datang berita dari Budhe bahwa KTP
Bapak dan Ibuk, juga dua buah buku tabungan tak ketemu, ketlisut entah dimana. Seingat Ibuk, Budhe sudah meminjam
barang-barang itu demi mengurus Jasa Raharja dan belum mengembalikannya. Tapi
Budhe ingat kalau sudah mengembalikannya. Ah, ruwet. Tidak ada orang yang
mengingat sesuatu dengan benar. Demi mendapat asuransi Jasa Raharja yang memang
sudah jadi hak, uang tak seberapa itu harus ditebus dengan ruwetnya birokrasi,
juga pelicin untuk polisi-polisi.
Orang yang mau membantu merawat Bapak dan Ibuk
datang juga. Dia minta sehari digaji empat puluh ribu, jadi sebulan satu koma
dua juta. Memang terhitung tinggi untuk ukuran gaji pembantu di desa. Ibuk sudah
mencoba menawar satu juta saja. Tapi dia bilang kalau Ibuk nggondheli duit segitu, dia akan berangkat ke Jakarta. Di sana
sudah ada yang menunggunya jadi pembantu dengan gaji satu koma enam juta.
Posisi tawarnya memang tinggi mengingat susahnya cari pembantu di sini. Aku
sendiri merasa tak sanggup kalau harus berada di rumah terlalu lama. Bukan
karena aku tak ingin merawat Bapak dan Ibuk tapi ya, begitulah. Bolehlah kalau
kau mau menyebutku durhaka.
Entah kenapa aku sama sekali tak terbiasa
dengan kehadiran orang asing di rumah. Sambil menunggu Ibuk menerima tamu lain,
orang itu bercerita tentang latar belakang keluarganya. Sumianya minggat demi
perempuan lain. Ketika melihat-lihat sampai ke rumah belakang dan melihat pohon
kanthil sedang kembang, orang itu memetik setangkai. Siapa tahu suminya bisa
kembali, kembali terkanthil-kanthil. Ah, anaknya juga pernah mengalami
kecelakaan, patah pula kakinya. Ia sudah terbiasa merawat orang sakit. Tapi
entahlah, tidak semua orang dalam waktu dekat bisa mengerti bagaimana merawat
Ibuk. Aku sendiri agak gimana gitu ketika membayangkan Ibuk atau Bapak dirawat
orang lain. Ibuk akhirnya menyetujui tawarannya, setidaknya sampai Ibuk bisa
kembali berjalan. Aku tak betah di sini, Beb tapi juga tak bisa meninggalkan
rumah apalagi dengan satu orang asing dan dua orang sakit.
Tulisanku semata cuma sampah, Beb. Maka aku
tak ingin membuang waktumu yang berharga untuk membaca ini. Maka akupun tak
pernah mengirimkannya. Sama sekali bukan untuk dibandingkan dengan surat panjang
berupa novel berjudul panjang yang masuk nominasi KLA.
Bebeb, jerawatku bermunculan di dahi. Banyak
banget. Kamu tahu kan, perawatan dan obat apa yang bisa mengahaluskan lagi
kulit wajahku. I really miss you,
Beb. Langit
masih mendung. Satu-satunya hal yang membuat lega hari ini adalah ditemukannya
buku tabungan dan KTP yang hilang. Oh, thank,
God.
11 Desember
Tidak ada yang istimewa hari ini. Aku hanya
akan mengulang peristiwa dan cerita tak penting lainnya. Seharian perutku hanya
menggiling sebungkus rujak petis. Makanan yang kubeli di tempat yang sama
sewaktu kita masih bisa makan berdua di kota ini. Rasanya memang tak sama lagi.
Itu karena aku tak memakannya denganmu, Beb. Prek! Tulisanku yang demikian semakin menegaskan kecengengan, bahwa
aku terlalu rapuh, demikian bahasa pun tak mampu membuat sesuatu yang terjadi
menjadi hal yang tampak lain dalam tulisan. Meski setidaknya ini membuatku
lega.
Pagi tadi Pak Puh datang. Ibuk mencurahkan isi
hatinya. Aku tak paham bagaimana Ibuk mengatur kebutuhan dan ekonomi rumah
tangga sebelum kecelakaan. Yang aku tahu bahwa kami tak pernah kekurangan,
bahkan selalu ada tabungan. Ibuk rajin mengirim makanan ke panti asuhan.
Katanya, Allah akan melipat gandakan rejekinya. Sayang sekali kalau aku tak
pernah mendengar ceramah Yusuf Mansyur dan belum pernah pula membuktikan
perkataan-perkataan seperti itu.
Sehari-hari duit mengalir mbanyu mili. Meskipun Ibuk dan Bapak tetap menerima gajinya,
pengeluaran beberapa bulan ke depan akan sedikit berat. Tabungan Ibuk juga
tipis. Aku sendiri sama sekali tak yakin bisa lulus semester ini, siap-siap
juga harus membayar uang semesteran lagi.
Ibuk tak pernah bisa mendengar sambatan orang untuk meminjam uang.
Siapapun yang perlu pinjaman, kalau Ibuk ada uang pasti dipinjami. Kalau duit
itu balik ya memang duit itu masih rejekinya. Kalau tidak, berarti duit itu
menjadi rejeki orang yang meminjam. Kemurahan hati, ikhlas kehilangan,
pikirian-pikiran seperti itu kadang belum bisa aku pahami sepenuhnya. Budhe sempat
melihat buku tabungan lalu bertanya kenapa Ibuk mengambil uang begitu banyak,
Ibuk berusaha berpikir keras. Berusaha menyelamatkan muka si peminjam, yang
kata Ibuk adalah orang yang telah mengentaskannya dari jurang penderitaan.
Aku tak memintamu untuk memahami apa yang aku
tuliskan. Sungguh maafkan ketidakramahanku padamu.
Berapa banyak perbedaanku dengan orang-orang
malang itu. Orang-orang yang digambarkan Dostoevsky hidup dengan pinjaman,
ingin membahagiakan orang lain dengan mengorbankan dirinya sendiri. Kau tahu
apa yang dikatakan orang malang itu kepada kekasihnya, “Manisku! Ketika aku
memikirkan kamu, seakan-akan aku mengusapkan balsam yang menyembuhkan jiwaku
yang sakit, dan walau aku menderita bagimu, aku menemukan bahwa menderita
bagimu itu mudah,” Beb, manis sekali bukan? Taek!
Jadi, apa menurutmu yang membuat penderitaanku ini—seharusnya aku tak boleh
berkata demikian—menjadi mudah?
Kau punya satu kata mutiara buatku: lebih baik
menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Berapa banyak lagi yang kau
punya, Beb? Aku kehilangan sesuatu untuk bisa tergugah dengan kata-kata.
Temanku bisa demikian cepat baik-baik saja setelah diputus pacarnya hanya
dengan mencari kata-kata bijak di internet. Kenapa aku tak bisa?
Pagi ini seorang pengamen datang. Ia sosok
perempuan dengan gaya pesindhen,
lengkap mulai dari sanggul, make up,
kebaya dan jarik. Aku tak membayangkan berapa biaya untuk melengkapi
dandanannya dan berapa yang didapatnya dari hasi mengamen. Apakah ia punya
anak? Masih sekolahkan anaknya? Jadi apakah suaminya? Sejak kapan ia mengamen?
Darimana ia mendapatkan sitar tak bernada itu? Tiap malam, apa saja yang yang
muncul dalam mimpinya? Apakah ia bermimpi menjadi sindhen terkenal?
Pengamen itu memang beberapa kali muncul
dengan sitarnya. Tapi kurasa itu bukan sitar. Hanya sebentuk kayu dengan
bentangan-bentangan kawat yang berbeda panjangnya, berurutan dari yang panjang
hingga pendek. Bagian tertentu memang menghasilkan nada yang berbeda dengan
bagian lain ketika dipetik, namun tak jelas tangga nadanya.
Ia membawakan langgam jawa, “Upama sliramu sekar melati, aku kumbang
nyidam sari...” Aku meraih receh sekenanya dari meja. Setelah menerima
uang, ia masih terus melanjutkan lagunya. Cengkok nadanya sedikit berbeda dari
lagu asli dan sama sekali tidak sambung dengan petikan sitarnya. Perempuan itu
mencoba membawakan musik avant garde
gaya Jawa, barangkali. Suaranya memang keras dan meliuk. Ibuk suka. Tiba-tiba lagunya
berhenti ketika Mak Lampir menghampirinya.
Mak Lampir adalah tetangga depan rumah kami.
Nenek-nenek itu tinggal di belakang rumah anaknya, rumah yang lebih mirip
kandang. Mak Lampir biasa hidup dengan kucing dan ayam-ayam. Ia sering
berbicara dengan binatang-binatang itu. Orang-orang kampung menganggapnya
sinting. Bicaranya keras dan kadang-kadang ngawur. Hal yang paling khas adalah
tawanya, itu pula yang membuatnya mendapat julukan sebagai Mak Lampir.
Seringkali ia memetik bunga-bunga kenanga dan mawar yang hidup di halaman rumah
anaknya lalu menjualnya ke pasar dengan berjalan kaki sejauh hampir 5 km. Uang
yang didapatkannya dari menjual bunga tentu tak seberapa. Mungkin hanya cukup
untuk membeli lembaran gerih abang,
ikan kering yang biasanya dipakai sebagai makanan kucing. Sering Ibuk
membawakan lauk untuknya. Mungkin itu pula yang membuatnya sayang dengan
keluarga ini. Apakah yang diimpikan Mak Lampir tiap malam? Mungkin ia hanya
sanggup memimpikan ayam-ayam dan kucingnya.
Mak Lampir berusaha memperingatkan pengamen
itu supaya pergi. Rupanya pengamen itu tidak mendengar suara Mak Lampir dan
tetap melanjutkan lagunya. Mak Lampir tampak tak sabar lalu menghampirinya.
Dengan suara seraknya yang khas, Mak Lampir bilang jangan menggangu di sini,
dua orang di rumah ini sedang sakit, dua-duanya kecelakaan dan tak bisa jalan.
Mak Lampir juga bercerita tentang kematian tetangga yang pernah kuceritakan padamu
namun dengan tambahan kalimat yang cukup mengerikan kedengarannya, “Wis ngaleh kana, wong sak lurung iki mati
kabeh,” yang kira-kira berarti begini: sudah, pergilah, orang satu gang ini
sedang mati semua.
Beb, aku berada dalam kondisi yang mengerikan
pula. Aku hampir kehilangan ketertarikanku terhadap apapun. Aku membacai
tulisan orang yang lagi suka nyinyir-nyinyiran. Biasanya aku akan bilang padamu
sedikit pendapatku tentang mereka, tapi kali ini tidak. Aku tak punya pendapat
apapun. Satu tulisan menghadirkan data-data objektif, lalu direspon dengan menghadirkan
pengalaman subjektif seolah-olah data dalam tulisan pertama itu tidak
menggambarkan apa-apa karena penemu data tidak bersinggungan langsung dengan
konteks dan hal yang terjadi waktu itu. Anehnya, respon itu sendiri bahkan tak
menjelaskan apapun tentang temuan objektif dari tulisan pertama, tentang
surat-surat itu. Tulisan respon itu bercerita tentang suatu hal yang mungkin
hanya dia dan tuhan yang tahu. Aku hanya bisa tersenyum, dan tentu saja aku tak
akan pernah bisa menulis seperti mereka. Tulisanku bahkan tak punya gaya, gak mutu dan bukan tentang apa-apa.
Aku ingin keluar sebentar saja. Melihat orang
berlalu lalang adalah hal sederhana yang bisa membuatku senang. Kau tahu bukan,
ketika melihat orang-orang, kita biasa mengarang cerita soal mereka. Apakah mereka
pasangan yang baru jadian, sepasang teman yang sedang dalam proses pendekatan,
juga cerita aneh-aneh lain yang mungkin mereka alami. Toh akhirnya aku hanya di rumah saja malam ini. Ada guntur yang
terdengar menggelegar di langit jauh. Gerimis sudah tidak tampak.
Rasanya ingin menelan sesuatu yang dingin. Di
rumah ini tidak ada kulkas, Beb. Sumpah, sumpek banget. Aku ingin menelanmu
mentah-mentah, sekarang, tidak perlu menunggu hujan hingga basah.
12 Desember
Hujan tidak memperlakukan kami dengan benar.
Dia datang terlalu sering dan lama. kelelahan semakin menggerogotiku, Beb.
Kelelahan tidak sanggup membaringkan tubuhku dengan baik. Tidurku tak pernah
nyenyak. Mungkin karena sekarang aku tak menggunakan dipan, hanya menggelar
kasur beralas karpet dan tikar plastik. Seharian aku belum mandi. Belum juga
kemasukan nasi. Perutku hanya sanggup menggiling roti atau makanan-makanan
kecil lainnya. Selain itu, rasanya ingin muntah.
Pikiranku sering kosong. Seperti pagi ini, aku
ke pasar untuk membeli masakan jadi. Aku mengambil masakan-masakan yang
dibungkus plastik itu tanpa berpikir. Tiba di rumah, aku baru sadar banyak
sekali makanan yang kubeli, beragam, masing-masing satu, seribuan; sayur nangka
dibumbu lodeh, sayur asem, oseng tempe, oseng kembang pisang, oseng pare, bothok lamtoro dan tempe, sepuluh biji tahu (kata sebuah lagu: siapa bilang bapak dari Blitar, bapak kita dari Prambanan, siapa bilang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan).
Entah dari jam berapa si penjual mulai memasak masakan-masakan itu. Jam tujuh
pagi aku ke pasar, masakan-masakan yang dijualnya sudah hampir habis saja.
Bersyukurlah orang-orang yang malas memasak.
Sebagai satu-satunya orang yang sehat di rumah
ini, pekerjaan rumah dan merawat dua orang itu membuatku benar-benar ingin
menghilang, kemudian muncul seolah-olah kecelakaan itu tidak pernah terjadi.
Dunia kecilku mendadak sangat riuh, mendadak kembali sunyi. Aku bahkan tak
mampu membedakannya lagi.
Keriuhan kadang datang dari orang-orang asing.
Aku selalu khawatir ketika ada teman Bapak atau Ibuk, dengan masih berseragam
datang pagi-pagi ke rumah ini. Mereka selalu membawa persoalan baru yang
membuatku jengah. Selalu ada dokumen yang diminta. Mau tak mau aku harus
mencarinya. Bapak tidak bisa ditanyai. Ibuk sering marah dan kesal sendiri.
Bagi orang sakit, birokrasi yang terkait
dengan dunia pendidikan kedua orang tuaku selalu punya toleransi. Apalagi
mereka sudah menjadi abdi negara selama puluhan tahun lamanya. Ibuku sudah
menjadi guru selama tiga puluh dua tahun, sama lamanya dengan masa Soeharto
berkuasa. Sejauh manakah toleransi itu bekerja? Tugas-tugas bapak diambil alih
anak buahnya, tapi tetap saja mereka masih datang ke sini untuk menanyakan ini
dan itu, hal-hal yang sama sekali tak kumengerti. Ujung-ujungnya adalah usaha
untuk mencari, dan jarang sekali bisa menemukan apa yang dicari karena Bapak
tak pernah rajin menata dokumen-dokumen pentingnya dalam satu tempat.
Sore hari, penjual emas di depan pasar datang
menjenguk Bapak dan Ibuk. Adik dari penjual emas itulah yang mengenal Sinsei
penjual ramuan seharga satu juta demi mempercepat kesembuhan Bapak. Ia pula
yang akan mengantarkan Budhe mengambil ramuannya. Ia datang membawa dua buah roll tart rasa coklat dan vanila dalam
bungkus kardus besar berwarna putih. Bicaranya lugas dan entah darimana ia
tiba-tiba bercerita tentang ayahnya yang didatangi tentara setelah Gestok.
Rasaya cukup untuk hari ini. Aku sudah tidak
tahu akan menuliskan apalagi. Kau menonton pameran ilustrasi cerpen malam ini.
Aku baru saja meminumkan ramuan sejuta untuk Bapak, berusaha agar seduhan dalam
gelas itu tak menyisa. Satu tetesnya begitu berharga. Hahaha. Entahlah, Beb. Kaki
kiri Bapak memar. Baru ketahuan malam ini.
Tidak ada yang tahu sebabnya. Kemungkinan terantuk dipan ketika mau
pindah dari kursi roda. Dia tak pernah bilang juga kalau mau pindah-pindah, seperti
tak ingin merepotkanku.
Bapak tak bisa tidur. Ia menghidupkan lagi
televisi, satu-satunya kesenangannya menonton tayangan tak bermutu yang betapa
aku ingin menangis ketika kisah Arok Dedes dibuat dengan begitu menjijikan.
Aku lelah dengan keluhan-keluhanku sendiri. Bahuku pegal sekali rasanya. Lengan
kanan atasku sedikit njarem pula, entah karena mengangkat apa. Beb, aku
ingin meneleponmu tapi tampaknya kamu cukup sibuk. Yasudahlah.
13 Desember
Aku tak bisa menjangkaumu seharian. Kau sangat
sibuk? Pada akhirnya, Beb, setelah mereka saling berkirim surat sejak bulan
April hingga September, Varenka meninggalkan Devushkin demi menerima pinangan
Tuan Bykov. Aku tak menyukai akhir cerita novel itu. Selalu begitu. Akhir cerita
yang tak bahagia adalah suatu hal yang menyebalkan. Bahkan dalam cerita pun,
orang pada akhirnya tak bisa bahagia. Bagaimanakah kemudian Varenka atau
Varvara atau siapapun namanya itu akan memperlakukan Devuskhin, sebagai masa
lalunya? Aku sendiri tak bisa membayangkan. Masa depan kita terlalu buram.
Bisakah aku menghapusmu seperti dalam Eternal
Sunshine of The Spotless Mind?
Tiba-tiba Ibuk bertanya bagaimana kalau
akhirnya kita menikah? Aku bilang kita akan menikah di luar negeri. Lalu ia
bertanya lagi, bagaimana dengan anak kalian? Dia akan memilih setelah dewasa.
Ibuk sendiri tak mampu membayangkannya, menginginkan cucu yang bisa diasuhnya,
betapa tak mungkin bukan?
Perutku tak pernah menginginkan nasi. Rasanya
penuh. Seperti saat kita terlalu banyak minum kopi. Aku tak bisa tidur lagi.
Gelisah dengan detak jantung yang sedikit cepat.
Orang yang akan membantu di sini sudah datang.
Aku tak suka bau keringatnya. Seharian dia bercerita soal nasib buruk karena
ditinggal suaminya. Aku tak bisa tidur siang. Beb,
kamu dimana? Hapemu mati. Huft.
14 Desember
Ada perasaan sedikit terbebas ketika orang
yang mau membantu merawat kedua orang tuaku sudah ada di sini. Seumur hidup
kami tak pernah punya pembantu. Kehadiran orang asing di rumah ini memberikan
satu kesan yang aneh. Sudah kubilang kalau aku tak suka bau keringatnya. Ibuk
merasa pusing juga ketika orang itu membantunya pipis atau mandi. Baunya bertebaran
di rumah ini. Sungguh aku tak bermaksud apa-apa, sekadar ingin memberitahumu
meskipun mungkin kau tak mau tahu.
Kami tak boleh bilang terus terang, apalagi
menyuruhnya memakai deodorant. Aku dan Ibuk terus saja berbisik-bisik di
belakang, berusaha menemukan bahasa terbaik untuk memberitahukan
keberatan-keberatan kami. Lantai rumah ini tak disapunya dengan benar. Bau
bekas memasak di dapur membuatku semakin tak berselera makan. Ada bau-bauan
baru di rumah ini, bergentayangan sejak pagi.
Setiap orang di rumah ini punya kamar
sendiri-sendiri. Orang itu tak diperlakukan sebagai tamu. Dia tak diperlakukan
juga sebagai anggota keluarga. Dia orang lain, yang berdiri di ambang pintu,
berkeliaran seharian, lalu tertidur lelah di sebuah sudut tak bernama di rumah
ini. Matanya terpejam tapi dia tetap mendengar detak jarum jam. Dingin
mengerubutinya dan kami tidak berbuat apa-apa, sama sekali tak berniat membelikannya
selembar kasur.
Suaranya keras, berbicara lugas dengan
ungkapan-ungkapan yang menurut Ibuk bisa dibilang kasar. Ia mengumpat
seleganya, ketika bercerita betapa sakit ia ditinggal suami. Bagaimana ia
menghadapi perempuan lain yang mencari suaminya, sampai ke pintu rumahnya sendiri. Aku tidak
tahu kenapa ceritanya itu tidak mengundang simpati. Dia perempuan bernasib
malang, menderita, mungkin itu benar. Ia duduk di depan ketika para tamu
datang, ikut mendengarkan pembicaraan. Menurut Ibuk itu tidak sopan. Ia orang
belakang, wong pawon yang seharusnya
hanya berada di belakang. Yah, barangkali ini tidak manusiawi. Semoga orang itu juga membaca tulisan ini lalu menuntut kami. Aku tidak membencinya, sungguh kami sangat berterima kasih karena kesediaannya membantu keluarga kami. Hanya saja kami belum terbiasa.
Aku tak bisa menulis lebih banyak lagi. Dimana
aku bisa menemukanmu malam ini? Kau jarang sekali muncul dalam mimpi. Aku tak
yakin pula bisa menulis begini setiap hari. Semoga kau selalu baik-baik saja.
Menulislah, musnahkanlah in the mood for
killing mu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar