Minggu, 15 Desember 2013

Maaf, Buang Sampah Sembarangan

29 November

Sejak kedatangan pertama di rumah sakit, patung punakawan yang dikelilingi taman dan air mancur menyambut saya. Semar tampak ramah dengan dandanan menor, tubuh sedikit bongkok, mengacungkan jempolnya tanda mempersilakan masuk. Penampilan Semar menjadi lain karena ia mengenakan jubah putih seperti punya para dokter. Senyum semar dan anak-anaknya adalah jeda bagi anak-anak kecil yang merengek minta susu dalam gendongan. Anak-anak yang kelelahan karena harus ikut menjaga si sakit di tempat yang sama sekali tak ramah bagi mereka.

Saya mulai mengakrabi selasar dan lorong-lorong khas bangunan tua rumah sakit. Di sebelahnya, sebentar lagi arsitektur berupa lorong-lorong itu akan berubah menjadi bangunan berbentuk gedung. Suara pekerja bangunan terdengar riuh. Debu-debu terbang menghinggapi apa saja, menari bersama virus dan bakteri di udara.

Saya datang bersama Bebeb (dulunya disebut teman sebelah) malam itu. Laki-laki brengsek yang sedikit berbaik hati mangantar saya. Pemandangan yang tak saya sukai mau tak mau melintas juga di hadapan mata. Orang sakit itu menyedihkan. Para penunggu kelelahan. Mereka tidur di mana saja. Ibuk tergeletak di ruang ICU sehabis operasi patah tulang. Hanya satu orang yang diperbolehkan masuk dengan mengenakan seragam khusus. Di ruangan yang cukup luas itu, sekitar lima orang pasien tergolek tak berdaya. Selang-selang menempel di tangan dan menyuruk ke dalam hidung mereka. Monitor-monitor menyala. Dingin dan desis oksigen membaur dengan suara bisikan, sesekali rintih kesakitan. Para penunggu harus bersiap sedia di luar kalau sewaktu-waktu pasien membutuhkan sesuatu dan itu tentu sangat melelahkan.

Sejak minggu pagi, saya serasa sudah membaui darah. Pada sawah-sawah, pada tubuh orang-orang yang menguapkan aroma kretek dan jerami. Apa yang saya alami di Minggu itu barangkali akan menjadi cerita sendiri yang saat ini sudah buyar karena berita kecelakaan Bapak dan Ibuk. Sama sekali tak menyangka kalau kematangan saya akan diuji sehebat ini. Sekitar seminggu saya menunggui Ibuk di rumah sakit itu. Begitu banyak hal yang bisa dituliskan tapi entah hanya berapa yang saya ingat dan bisa ceritakan. Ibuk selanjutnya akan disebut si pasien dalam tulisan ini.
*
Ketika harus dirawat di rumah sakit, si pasien tentu tahu bahwa keluarga adalah lingkaran pertama tempatnya bersandar. Di mulai dari kakaknya yang dianggap bisa mengurus segala sesuatu karena memang si pasien sudah tak punya orang tua. Lalu anak-anaknya bertugas untuk menjaga, memenuhi segala keperluannya. Suaminya sendiri sedang tekapar di rumah sakit yang lain, ditunggui adik-adiknya. Si pasien mempercayakan perawatan suaminya kepada mereka. Terlebih karena salah satu kerabatnya adalah perawat di rumah sakit itu. Memiliki orang dalam ternyata mampu menimbulkan sebentuk rasa aman ketika si sakit harus bergantung sepenuhnya kepada orang lain.

Pasien itu kebetulan mendapat jaminan Askes karena dia adalah pegawai negeri bergolongan tinggi. Kau tahu, mengurus Askes itu lebih mudah daripada mengurus Jamkesmas. Sementara perawat-perawat rumah sakit hanya menjadi orang-orang yang dicurigai. Ketika tiba waktu menyuntik, para perawat akan mengambil obat dari kamarnya dan membawanya keluar. Obat yang disuntikkan tidak sebanding dengan obat yang dibawa keluar. Itulah yang menimbulkan kecurigaan bagi si pasien.

Para Punakawan sudah tak terlihat dari lorong deretan kamar VIP. Dindingnya ganti dihias dengan sosok wayang ksatria. Tentu saja saya tak hafal siapa saja yang berbaris di dinding itu. Kemungkinan besar tentu Pandawa. Lorong VIP cukup bersih dengan fasilitas televisi, air hangat dan tentu saja AC. Namun fasilitas macam apapun tak akan mampu membuat nyaman si sakit. Ia ingin segera pulang, meninggalkan sakitnya di sana seandainya bisa.

Para pengunjung mengalir deras. Waktu kunjungan tidak dibatasi di kamar VIP itu. Mereka adalah keluarga jauh dan yang paling sering adalah teman sejawat. Kadang membawa buah-buahan, roti, makanan lain atau amplop berisi uang sekadar bantuan. Pasien akan mengidentifikasi siapa mereka. Orang-orang itu ada yang datang dengan tulus, tapi juga ada yang cuma lamis, ada yang datang dengan maksud-maksud tertentu (menjual obat misalnya), ada yang merasa harus datang karena mendengar beritanya, ada juga yang mendengar berita tapi tak sempat-sempat datang. Semua terbaca dengan mudah oleh si pasien.

Setiap pengunjung yang datang akan meminta pasien mengulang cerita seputar kronologis kejadian. Secara umum, obrolan akan berlanjut pada saling tukar pengalaman. Entah apakah pengunjung itu pernah mengalami hal yang sama, atau pengetahuannya tentang kenalan yang bernasib mirip pasien. Bisa dibayangkan berapa kali pasien akan mengulang ceritanya. Sepertinya ia juga tak bosan-bosannya bercerita. Orang-orang yang mendengar ceritanya akan bersimpati dengan ungkapan-ungkapan khas bernada kasihan, ngeri atau sambil mengelus perut dan mengucap amit-amit jabang bayi, tanda bahwa hal serupa jangan sampai terjadi pada diri mereka.

Pasien akan merasa dikasihani. Sebagai tanda bahwa ia tabah menghadapi cobaan, kalimat-kalimat seperti; menerima hal itu sebagai ujian, ada hikmah di balik setiap peristiwa, laku hidup yang memang harus dijalani—pun terlontar. Dan begitulah seterusnya.

Saya sebenarnya ingin bekerja keras menguraikan detailnya. Banyak sekali jaringan yang tampak dan bisa diuraikan. Hasilnya bisa dibaca macam-macam. Sungguh saya ingin menguraikannya, tapi susah sekali ternyata. Tulisan ini dipaksa untuk berhenti di sini.


9 Desember

Jika bisa disebut surat, bacalah! Jika sampah, buanglah!
Tenggorokanku selalu gatal akhir-akhir ini, terasa parah pada pagi hari setelah bangun tidur. Percakapan kita semalam lumayan melegakan meski tak pernah cukup. Akhirnya aku bisa mendengar suara sumbangmu melagukan Pulang dan Surrender dari Float, dengan permaian kunci yang masih salah-salah. Memang sengaja aku menelepon terus meski tahu ada siapa di dekatmu. Hehe... lama rasanya aku tak bicara hal-hal gak penting seperti itu. Tapi aku memang peduli padamu, Beb... peduli setan! Kau juga merasa lebih baik pastinya... lebih baik kalau gak ada aku? Fak!

Sepagi ini aku sudah menolong Ibuk untuk pipis lalu mengganjal kakinya dengan guling sebagai latihan menekuk lutut. Aku tak pernah bilang kalau apa yang kulakukan di rumah tak sebanding dengan minggu-minggumu yang sibuk. Kau bertemu banyak orang, mengobrol dengan mereka, menyiapkan acara diskusi dalam tiga hari, bertemu narasumber hingga berjam-jam. Sementara aku sibuk mencuci, menyapu lantai, merawat Bapak dan Ibuk. Ah, ya, minggu ini aku menyiapkan acara arisan keluarga, menata kursi-kursi dan berbasi-basi. Sekian banyak orang itu seperti ingin meletakkan segalanya di pundakku. Aku harus menjadi anak yang berbakti, gak boleh mengeluh, menerimanya sebagai ujian, dan blah..blah...blah...

Beb, aku takut kau tak menyukaiku lagi. Aku jarang membaca dan sangat sedikit menonton film. Satu film bisa kuhabiskan dalam dua hari. Itupun tanpa pengalaman menonton yang berkesan. Film-film sisa hanya sekadar dihabiskan untuk sebentar lari dari rutinitas yang membunuh. Sebentar, nanti kulanjutkan lagi. Ibuk memanggil karena kebelet.

*

Membuka pintu depan, daun-daun Mangga dan Matoa sudah bertebaran di halaman, sisa gerimis semalam merontokkan mereka yang sudah kekuning-kuningan. Itu artinya pekerjaan lagi. Aku tak ingin menjadikannya beban tapi betapa ingin aku bisa seenak-enaknya ngapain aja melakukan kesenangan-kesenangan yang tak pernah cukup. Iya, aku akui, isih penak jamanmu, Beb.

Bapak mendengkur dalam posisi miring yang terlihat sangat tidak nyaman. Bunyi langkah kaki dan suara-suara Ibuk sama sekali tak menggangu tidurnya. Bapak tak lebih cerewet kalau mau apa-apa. Beda dengan Ibuk. Kakinya dicokoti semut, seprei tidak rapi, sedikit ada bau di kolong tempat tidur, bau tai kucing, bau ayam yang ngeker-eker daun busuk di selokan luar bawah jendela, kelambu yang sedikit terbuka. Ibuk rewel sekali soal remeh temeh begitu.

Pagi-pagi aku sudah membuang tai di pawuhan (pembuangan akhir di kebun dekat rumpun bambu). Melewati beranda belakang, embun-embun menggantung di pucuk daun, bergelantungan pada wangi melati, kantil, mawar dan kaca piring. Kembali ke halaman depan, sengaja kubiarkan daun-daun jatuh itu. Ayam jantan, betina dan anak-anak mereka sudah berkeliaran, mematuki segala yang ditemukannya lalu nelek sembarangan begitu saja.

Ibuk memanggil lagi. Memintaku menyiapakan makan pagi. Kau tak usah berpikir bahwa aku akan sempat memasak. Aku hanya memasak untukmu, Beb, meski hanya membuatkan mie rebus jam dua pagi dan itupun cuma sekali. Ahai. Prek...

*

Tetanggaku mati kemarin pagi. Persis ketika acara arisan keluarga di rumah. Kenapa cerita ini akhirnya kuceritakan padamu? Setidaknya ini yang terlewat dari cerita-cerita semalam dan aku ingin menulis meski tak punya bahan. Tetanggaku ini fenomenal. Ia terkenal sebagai kepala preman terminal. Istrinya tak tahan dengan kelakuan kasarnya tiap kali mabuk, lari mencari uang ke negeri orang, meningglkan dua anaknya. Kisah kematiannya terus saja diulang orang-orang sejak kemarin.

Kalau sedang baik dan tak mabuk, ia bisa jadi ayah yang baik. Anaknya yang besar sudah SMA, cukup pintar untuk tidak mengikuti jejak ayahnya, dan diterima di salah satu sekolah keren di kota ini. Kalau sedang ditinggal anaknya sekolah, sang ayah biasa mencuci baju, bahkan memasak. Tapi pagi menjelang kematiannya menjadi lain.

Sebelumnya ia memang sempat mengalami kecelakaan hingga matanya yang sebelah melotot terus sebesar telur angsa (beginilah anak-anak kampung ini membuat persamaan untuk kejadian di matanya itu, seringkali malah jadi bahan guyonan). Barangkali karena sakit kepala yang tak tertahankan, ia minum puyer sebelum sarapan, lalu mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Sampai pada akhirnya, ia muntah, mulutnya berbuih. Anaknya yang kecil tidak tahu bahwa ayahnya sedang sekarat. Dikiranya hanya mabuk seperti biasa. Sesampainya kakaknya pulang, ia mendapati badan ayahnya sudah kaku. Kaki dan tangannya sudah mlungker. Almarhum tetanggaku itu sempat dilarikan ke rumah sakit. Sempat dirujuk harus operasi ke Madiun tapi nyawanya sudah tak tertolong lagi.

Ada lagi tambahan cerita. Malam sebelum kematiannya, ia sempat menelepon sang istri, memintanya untuk pulang. Istrinya tak ingin pulang kalau sampai di rumah hanya akan disakiti lagi seperti yang sudah-sudah. Cerita-cerita kampung ini kadang memang dangdut sekali, Beb.

Ibu memanggil lagi. Shit! Ups, Astaghfirullah... bahkan berkata “ah” saja ketika mendengar perintah dari Ibuk itu dilarang dalam Al Quran. Orang tua kita memang selalu benar. Anak harus patuh. Katamu, kita kan dibesarkan dalam keluarga Orba. Paviliun tempat Bapak dirawat saja namanya Cendana. 

*

Perintah Ibuk sudah dijalankan. Aku lupa akan bercerita apa lagi. Baiklah, akan kulanjutkan saja cerita soal kematian tetanggaku. Keluarganya memang seringkali menjadi sasaran kemarahan ketika ia kumat, mabuk dan jadi tidak waras. Ia pernah mengacungkan arit dan memburu anaknya sendiri. Anak itu lari bersembunyi di rumah saudara terdekat sampai reda kemarahan bapaknya. Ibunya sendiri pernah diacungi arit pula. Ya, arit memang banyak sekali ditemukan di kampung ini. Sasaran kemarahannya seringkali memang lingkungan keluarganya sendiri. Ia tak pernah menggangu atau berurusan dengan keluargaku. Bahkan Ibuk sendiri mengesankan ia sebagai seorang yang sopan. Selalu menyapa ketika lewat, juga membalas senyum ibuk ketika saling berpapasan.

Yang jadi bahan cerita kemarin adalah begini. Saudaraku datang dari Madiun untuk arisan keluarga di rumah. Ia turun di terminal Ngawi kemudian melanjutkan perjalanan dengan Bentor (becak motor yang sudah mulai marak di kota kecil ini). Ketika di tanya tukang becak dan menjawab bahwa tujuannya adalah ke kampungku, si tukang becak langsung saja menebak apakah tujuannya adalah untuk melayat. Saudaraku itu langsung kaku di tempat, dikiranya bahwa berita kematian itu terkait dengan keluargaku. Masuk ke gang, saudara jauh ini semakin terkejut karena bendera putih dikibarkan di jalan sebelum masuk ke gang. Lega ternyata bahwa berita itu bukan berasal dari rumah ini.

Menariknya lagi begini, keluarga tetanggaku yang mati itu tampak demikian ikhlas, meskipun anggota keluarga mereka yang mati itu tak sempat tobat. Terakhir ia menelepon istrinya dan mengabarkan bahwa baru saja ia mengadakan perpisahan dengan teman-teman preman, minum-minum juga tentu saja. Anaknya memangku jenazah bapaknya ketika dimandikan, memanggul jenazahnya seolah-olah apa yang dilakukan bapaknya itu telah sangat dimaafkannya. Ah, aku tak bisa menjelaskan kemenarikan ini dalam satu paragraf, jadinya kok tidak terkesan menarik sama sekali.

Pak Modin yang bertugas memimpin upacara dari memandikan hingga penguburan, adatnya memang harus menanyakan kepada para pelayat apakah almarhum adalah orang baik. Tapi tak semua orang menjawab. Antara bingung mau menjawab ya dan tidak. Ada yang menjawab spontan, “baik....” karena biasanya memang otomatis dijawab demikian. Lalu mereka menyembunyikan senyum masing-masing. Tentu kau tahu maksud senyum itu. Bu Bayan sedikit menyesal karena sempat melarang suaminya ketika hendak menguruskan Jamkesmas untuk almarhum, “ngopo to, Pak, wong kaya ngono wae kok diurusi,” maka menangislah ia barangkali ketika mengingat perkataannya itu.

Suara burung yang dimiripkan dengan sobekan kain kafan kali ini tetap menjadi penanda kematian, sebuah tanda yang tak pernah ketinggalan untuk diceritakan orang. Kisah yang kuceritakan padamu ini hanya kudengar dari orang-orang. Aku sama sekali tak sempat melayat karena acara keluarga di rumah. Kadang cerita-cerita begini ada yang ditambah-tambahi.

Banyak orang berspekulasi kalau almarhum mencampur puyer dengan arak. Ada pula cerita yang menyangkalnya ketika almarhum ditemukan hanya dengan muntahan, tanpa bau arak. Yang diingat orang adalah juga perutnya yang buncit. Gambaran cerita mereka itu mirip dengan model-model sinema pintu taubat atau pintu hidayah yang dulu sempat marak di televisi kita, mungkin juga sampai sekarang. Tubuh kakunya yang mengejang dibaca akibat aktifitas malaikat yang mempermainkan nyawanya, tak langsung mencabutnya tetapi ketika hampir dicabut lalu dikembalikan lagi, terus begitu berulang-ulang hingga tampak mayak sekali si malaikat pencabut nyawa ini.

Aku memang bukan pencerita yang baik. Hanya sampah macam begini yang sempat aku tuliskan di tengah ritme rutinitas yang membuatku semakin membusuk. Lebai memang, padahal baru beberapa minggu saja. Sudah jam delapan, Beb. Saatnya mencuci. Lain kali akan kuceritakan tentang surat-suratan antara Devuskhin dan Varvara atau tentang The Mirror dari Tarkovsky. 


10 Desember

Mmmh... Seharian aku belum makan, Beb. Kau adalah orang yang paling cerewet soal makan. Bahkan menyuruh-nyuruh perempuan itu untuk tidak telat makan juga. Dasar, kamu brengsek! Hari ini sangat mendung. Setelah memandikan Ibuk dan Bapak, memberi mereka sarapan dan minum obat, rumah kembali sepi. Saat-saat begini, Ibuk akan memangis dan diam-diam aku menangis pula. Sumpek dan bosan senang sekali mengikutiku akhir-akhir ini. Aku butuh menangis. Ibuk juga tak sekuat seperti perkataannya pada orang-orang.

Hari ini aku tak sempat membaca ataupun menonton. Segalanya mendung. Teman Bapak datang lagi dan menanyakan uang hasil penjualan pohon jati dari sekolah yang dibawanya sebelum kecelakaan. Bapak lupa dimana menaruh uang itu. Ditanya hanya bisa menjawab, “kakakakaka....”. Ibuk sempat muntab lalu mengeraskan volume radio lokal yang tak pernah punya koleksi lagu bagus. Bapak masih belum bisa ditanyai, bahkan hanya untuk menjawab ya atau tidak pun masih sulit. Bapak seperti ingin menjelaskan banyak hal. Aku tak tahu bagaimana rasanya ketika kita ingin bicara sesuatu tapi tak bisa keluar. Nggondhok di dalam, mbededeg dalam hati dan pikiran.

Bapak sering minta ke rumah belakang untuk mencari uang itu meski tak pernah ketemu. Laci yang ditunjuknya sudah diobrak-abrik puluhan kali. Tas yang biasa digunakan kerja juga masih tetap kosong. Tak ada uang di sana. Entahlah, memang harus menunggu sampai Bapak bisa bicara agar uang itu bisa ketemu. Kapan? Semoga tak terlalu lama. 

Siangnya datang berita dari Budhe bahwa KTP Bapak dan Ibuk, juga dua buah buku tabungan tak ketemu, ketlisut entah dimana. Seingat Ibuk, Budhe sudah meminjam barang-barang itu demi mengurus Jasa Raharja dan belum mengembalikannya. Tapi Budhe ingat kalau sudah mengembalikannya. Ah, ruwet. Tidak ada orang yang mengingat sesuatu dengan benar. Demi mendapat asuransi Jasa Raharja yang memang sudah jadi hak, uang tak seberapa itu harus ditebus dengan ruwetnya birokrasi, juga pelicin untuk polisi-polisi.

Orang yang mau membantu merawat Bapak dan Ibuk datang juga. Dia minta sehari digaji empat puluh ribu, jadi sebulan satu koma dua juta. Memang terhitung tinggi untuk ukuran gaji pembantu di desa. Ibuk sudah mencoba menawar satu juta saja. Tapi dia bilang kalau Ibuk nggondheli duit segitu, dia akan berangkat ke Jakarta. Di sana sudah ada yang menunggunya jadi pembantu dengan gaji satu koma enam juta. Posisi tawarnya memang tinggi mengingat susahnya cari pembantu di sini. Aku sendiri merasa tak sanggup kalau harus berada di rumah terlalu lama. Bukan karena aku tak ingin merawat Bapak dan Ibuk tapi ya, begitulah. Bolehlah kalau kau mau menyebutku durhaka.

Entah kenapa aku sama sekali tak terbiasa dengan kehadiran orang asing di rumah. Sambil menunggu Ibuk menerima tamu lain, orang itu bercerita tentang latar belakang keluarganya. Sumianya minggat demi perempuan lain. Ketika melihat-lihat sampai ke rumah belakang dan melihat pohon kanthil sedang kembang, orang itu memetik setangkai. Siapa tahu suminya bisa kembali, kembali terkanthil-kanthil. Ah, anaknya juga pernah mengalami kecelakaan, patah pula kakinya. Ia sudah terbiasa merawat orang sakit. Tapi entahlah, tidak semua orang dalam waktu dekat bisa mengerti bagaimana merawat Ibuk. Aku sendiri agak gimana gitu ketika membayangkan Ibuk atau Bapak dirawat orang lain. Ibuk akhirnya menyetujui tawarannya, setidaknya sampai Ibuk bisa kembali berjalan. Aku tak betah di sini, Beb tapi juga tak bisa meninggalkan rumah apalagi dengan satu orang asing dan dua orang sakit.

Tulisanku semata cuma sampah, Beb. Maka aku tak ingin membuang waktumu yang berharga untuk membaca ini. Maka akupun tak pernah mengirimkannya. Sama sekali bukan untuk dibandingkan dengan surat panjang berupa novel berjudul panjang yang masuk nominasi KLA.
Bebeb, jerawatku bermunculan di dahi. Banyak banget. Kamu tahu kan, perawatan dan obat apa yang bisa mengahaluskan lagi kulit wajahku. I really miss you, Beb. Langit masih mendung. Satu-satunya hal yang membuat lega hari ini adalah ditemukannya buku tabungan dan KTP yang hilang. Oh, thank, God

11 Desember

Tidak ada yang istimewa hari ini. Aku hanya akan mengulang peristiwa dan cerita tak penting lainnya. Seharian perutku hanya menggiling sebungkus rujak petis. Makanan yang kubeli di tempat yang sama sewaktu kita masih bisa makan berdua di kota ini. Rasanya memang tak sama lagi. Itu karena aku tak memakannya denganmu, Beb. Prek! Tulisanku yang demikian semakin menegaskan kecengengan, bahwa aku terlalu rapuh, demikian bahasa pun tak mampu membuat sesuatu yang terjadi menjadi hal yang tampak lain dalam tulisan. Meski setidaknya ini membuatku lega. 

Pagi tadi Pak Puh datang. Ibuk mencurahkan isi hatinya. Aku tak paham bagaimana Ibuk mengatur kebutuhan dan ekonomi rumah tangga sebelum kecelakaan. Yang aku tahu bahwa kami tak pernah kekurangan, bahkan selalu ada tabungan. Ibuk rajin mengirim makanan ke panti asuhan. Katanya, Allah akan melipat gandakan rejekinya. Sayang sekali kalau aku tak pernah mendengar ceramah Yusuf Mansyur dan belum pernah pula membuktikan perkataan-perkataan seperti itu.

Sehari-hari duit mengalir mbanyu mili. Meskipun Ibuk dan Bapak tetap menerima gajinya, pengeluaran beberapa bulan ke depan akan sedikit berat. Tabungan Ibuk juga tipis. Aku sendiri sama sekali tak yakin bisa lulus semester ini, siap-siap juga harus membayar uang semesteran lagi.  
Ibuk tak pernah bisa mendengar sambatan orang untuk meminjam uang. Siapapun yang perlu pinjaman, kalau Ibuk ada uang pasti dipinjami. Kalau duit itu balik ya memang duit itu masih rejekinya. Kalau tidak, berarti duit itu menjadi rejeki orang yang meminjam. Kemurahan hati, ikhlas kehilangan, pikirian-pikiran seperti itu kadang belum bisa aku pahami sepenuhnya. Budhe sempat melihat buku tabungan lalu bertanya kenapa Ibuk mengambil uang begitu banyak, Ibuk berusaha berpikir keras. Berusaha menyelamatkan muka si peminjam, yang kata Ibuk adalah orang yang telah mengentaskannya dari jurang penderitaan.

Aku tak memintamu untuk memahami apa yang aku tuliskan. Sungguh maafkan ketidakramahanku padamu.

Berapa banyak perbedaanku dengan orang-orang malang itu. Orang-orang yang digambarkan Dostoevsky hidup dengan pinjaman, ingin membahagiakan orang lain dengan mengorbankan dirinya sendiri. Kau tahu apa yang dikatakan orang malang itu kepada kekasihnya, “Manisku! Ketika aku memikirkan kamu, seakan-akan aku mengusapkan balsam yang menyembuhkan jiwaku yang sakit, dan walau aku menderita bagimu, aku menemukan bahwa menderita bagimu itu mudah,” Beb, manis sekali bukan? Taek! Jadi, apa menurutmu yang membuat penderitaanku ini—seharusnya aku tak boleh berkata demikian—menjadi mudah?

Kau punya satu kata mutiara buatku: lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Berapa banyak lagi yang kau punya, Beb? Aku kehilangan sesuatu untuk bisa tergugah dengan kata-kata. Temanku bisa demikian cepat baik-baik saja setelah diputus pacarnya hanya dengan mencari kata-kata bijak di internet. Kenapa aku tak bisa?

Pagi ini seorang pengamen datang. Ia sosok perempuan dengan gaya pesindhen, lengkap mulai dari sanggul, make up, kebaya dan jarik. Aku tak membayangkan berapa biaya untuk melengkapi dandanannya dan berapa yang didapatnya dari hasi mengamen. Apakah ia punya anak? Masih sekolahkan anaknya? Jadi apakah suaminya? Sejak kapan ia mengamen? Darimana ia mendapatkan sitar tak bernada itu? Tiap malam, apa saja yang yang muncul dalam mimpinya? Apakah ia bermimpi menjadi sindhen terkenal?

Pengamen itu memang beberapa kali muncul dengan sitarnya. Tapi kurasa itu bukan sitar. Hanya sebentuk kayu dengan bentangan-bentangan kawat yang berbeda panjangnya, berurutan dari yang panjang hingga pendek. Bagian tertentu memang menghasilkan nada yang berbeda dengan bagian lain ketika dipetik, namun tak jelas tangga nadanya.

Ia membawakan langgam jawa, “Upama sliramu sekar melati, aku kumbang nyidam sari...” Aku meraih receh sekenanya dari meja. Setelah menerima uang, ia masih terus melanjutkan lagunya. Cengkok nadanya sedikit berbeda dari lagu asli dan sama sekali tidak sambung dengan petikan sitarnya. Perempuan itu mencoba membawakan musik avant garde gaya Jawa, barangkali. Suaranya memang keras dan meliuk. Ibuk suka. Tiba-tiba lagunya berhenti ketika Mak Lampir menghampirinya.

Mak Lampir adalah tetangga depan rumah kami. Nenek-nenek itu tinggal di belakang rumah anaknya, rumah yang lebih mirip kandang. Mak Lampir biasa hidup dengan kucing dan ayam-ayam. Ia sering berbicara dengan binatang-binatang itu. Orang-orang kampung menganggapnya sinting. Bicaranya keras dan kadang-kadang ngawur. Hal yang paling khas adalah tawanya, itu pula yang membuatnya mendapat julukan sebagai Mak Lampir. Seringkali ia memetik bunga-bunga kenanga dan mawar yang hidup di halaman rumah anaknya lalu menjualnya ke pasar dengan berjalan kaki sejauh hampir 5 km. Uang yang didapatkannya dari menjual bunga tentu tak seberapa. Mungkin hanya cukup untuk membeli lembaran gerih abang, ikan kering yang biasanya dipakai sebagai makanan kucing. Sering Ibuk membawakan lauk untuknya. Mungkin itu pula yang membuatnya sayang dengan keluarga ini. Apakah yang diimpikan Mak Lampir tiap malam? Mungkin ia hanya sanggup memimpikan ayam-ayam dan kucingnya.

Mak Lampir berusaha memperingatkan pengamen itu supaya pergi. Rupanya pengamen itu tidak mendengar suara Mak Lampir dan tetap melanjutkan lagunya. Mak Lampir tampak tak sabar lalu menghampirinya. Dengan suara seraknya yang khas, Mak Lampir bilang jangan menggangu di sini, dua orang di rumah ini sedang sakit, dua-duanya kecelakaan dan tak bisa jalan. Mak Lampir juga bercerita tentang kematian tetangga yang pernah kuceritakan padamu namun dengan tambahan kalimat yang cukup mengerikan kedengarannya, “Wis ngaleh kana, wong sak lurung iki mati kabeh,” yang kira-kira berarti begini: sudah, pergilah, orang satu gang ini sedang mati semua.

Beb, aku berada dalam kondisi yang mengerikan pula. Aku hampir kehilangan ketertarikanku terhadap apapun. Aku membacai tulisan orang yang lagi suka nyinyir-nyinyiran. Biasanya aku akan bilang padamu sedikit pendapatku tentang mereka, tapi kali ini tidak. Aku tak punya pendapat apapun. Satu tulisan menghadirkan data-data objektif, lalu direspon dengan menghadirkan pengalaman subjektif seolah-olah data dalam tulisan pertama itu tidak menggambarkan apa-apa karena penemu data tidak bersinggungan langsung dengan konteks dan hal yang terjadi waktu itu. Anehnya, respon itu sendiri bahkan tak menjelaskan apapun tentang temuan objektif dari tulisan pertama, tentang surat-surat itu. Tulisan respon itu bercerita tentang suatu hal yang mungkin hanya dia dan tuhan yang tahu. Aku hanya bisa tersenyum, dan tentu saja aku tak akan pernah bisa menulis seperti mereka. Tulisanku bahkan tak punya gaya, gak mutu dan bukan tentang apa-apa. 

Aku ingin keluar sebentar saja. Melihat orang berlalu lalang adalah hal sederhana yang bisa membuatku senang. Kau tahu bukan, ketika melihat orang-orang, kita biasa mengarang cerita soal mereka. Apakah mereka pasangan yang baru jadian, sepasang teman yang sedang dalam proses pendekatan, juga cerita aneh-aneh lain yang mungkin mereka alami. Toh akhirnya aku hanya di rumah saja malam ini. Ada guntur yang terdengar menggelegar di langit jauh. Gerimis sudah tidak tampak.

Rasanya ingin menelan sesuatu yang dingin. Di rumah ini tidak ada kulkas, Beb. Sumpah, sumpek banget. Aku ingin menelanmu mentah-mentah, sekarang, tidak perlu menunggu hujan hingga basah. 


12 Desember

Hujan tidak memperlakukan kami dengan benar. Dia datang terlalu sering dan lama. kelelahan semakin menggerogotiku, Beb. Kelelahan tidak sanggup membaringkan tubuhku dengan baik. Tidurku tak pernah nyenyak. Mungkin karena sekarang aku tak menggunakan dipan, hanya menggelar kasur beralas karpet dan tikar plastik. Seharian aku belum mandi. Belum juga kemasukan nasi. Perutku hanya sanggup menggiling roti atau makanan-makanan kecil lainnya. Selain itu, rasanya ingin muntah.

Pikiranku sering kosong. Seperti pagi ini, aku ke pasar untuk membeli masakan jadi. Aku mengambil masakan-masakan yang dibungkus plastik itu tanpa berpikir. Tiba di rumah, aku baru sadar banyak sekali makanan yang kubeli, beragam, masing-masing satu, seribuan; sayur nangka dibumbu lodeh, sayur asem, oseng tempe, oseng kembang pisang, oseng pare, bothok lamtoro dan tempe, sepuluh biji tahu (kata sebuah lagu: siapa bilang bapak dari Blitar, bapak kita dari Prambanan, siapa bilang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan). Entah dari jam berapa si penjual mulai memasak masakan-masakan itu. Jam tujuh pagi aku ke pasar, masakan-masakan yang dijualnya sudah hampir habis saja. Bersyukurlah orang-orang yang malas memasak.

Sebagai satu-satunya orang yang sehat di rumah ini, pekerjaan rumah dan merawat dua orang itu membuatku benar-benar ingin menghilang, kemudian muncul seolah-olah kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Dunia kecilku mendadak sangat riuh, mendadak kembali sunyi. Aku bahkan tak mampu membedakannya lagi.

Keriuhan kadang datang dari orang-orang asing. Aku selalu khawatir ketika ada teman Bapak atau Ibuk, dengan masih berseragam datang pagi-pagi ke rumah ini. Mereka selalu membawa persoalan baru yang membuatku jengah. Selalu ada dokumen yang diminta. Mau tak mau aku harus mencarinya. Bapak tidak bisa ditanyai. Ibuk sering marah dan kesal sendiri.

Bagi orang sakit, birokrasi yang terkait dengan dunia pendidikan kedua orang tuaku selalu punya toleransi. Apalagi mereka sudah menjadi abdi negara selama puluhan tahun lamanya. Ibuku sudah menjadi guru selama tiga puluh dua tahun, sama lamanya dengan masa Soeharto berkuasa. Sejauh manakah toleransi itu bekerja? Tugas-tugas bapak diambil alih anak buahnya, tapi tetap saja mereka masih datang ke sini untuk menanyakan ini dan itu, hal-hal yang sama sekali tak kumengerti. Ujung-ujungnya adalah usaha untuk mencari, dan jarang sekali bisa menemukan apa yang dicari karena Bapak tak pernah rajin menata dokumen-dokumen pentingnya dalam satu tempat.

Sore hari, penjual emas di depan pasar datang menjenguk Bapak dan Ibuk. Adik dari penjual emas itulah yang mengenal Sinsei penjual ramuan seharga satu juta demi mempercepat kesembuhan Bapak. Ia pula yang akan mengantarkan Budhe mengambil ramuannya. Ia datang membawa dua buah roll tart rasa coklat dan vanila dalam bungkus kardus besar berwarna putih. Bicaranya lugas dan entah darimana ia tiba-tiba bercerita tentang ayahnya yang didatangi tentara setelah Gestok.  

Rasaya cukup untuk hari ini. Aku sudah tidak tahu akan menuliskan apalagi. Kau menonton pameran ilustrasi cerpen malam ini. Aku baru saja meminumkan ramuan sejuta untuk Bapak, berusaha agar seduhan dalam gelas itu tak menyisa. Satu tetesnya begitu berharga. Hahaha. Entahlah, Beb. Kaki kiri Bapak memar. Baru ketahuan malam ini.  Tidak ada yang tahu sebabnya. Kemungkinan terantuk dipan ketika mau pindah dari kursi roda. Dia tak pernah bilang juga kalau mau pindah-pindah, seperti tak ingin merepotkanku. 

Di langit-langit kamar, seekor cecak berhasil memangsa capung yang sedari tadi berkeliaran di sekitar lampu. Cecak lain yang lebih kecil ukurannya mengintai di belakang, hendak merebut capung yang sudah berada di mulut temannya. Sudah hampir separuh tubuh capung masuk ke mulut cecak. Sayap capung tak kelihatan lagi. Tenggelam sepenuhnya dalam mulut cecak. Cecak lain hanya bisa melihat dengan kepingin. Cecak di sekitar lampu tinggal satu. Perutnya sudah gembung tapi ia tetap menunggu mangsanya, serangga-serangga kecil yang malang.

Bapak tak bisa tidur. Ia menghidupkan lagi televisi, satu-satunya kesenangannya menonton tayangan tak bermutu yang betapa aku ingin menangis ketika kisah Arok Dedes dibuat dengan begitu menjijikan.

Aku lelah dengan keluhan-keluhanku sendiri. Bahuku pegal sekali rasanya. Lengan kanan atasku sedikit njarem pula, entah karena mengangkat apa. Beb, aku ingin meneleponmu tapi tampaknya kamu cukup sibuk. Yasudahlah. 


13 Desember

Aku tak bisa menjangkaumu seharian. Kau sangat sibuk? Pada akhirnya, Beb, setelah mereka saling berkirim surat sejak bulan April hingga September, Varenka meninggalkan Devushkin demi menerima pinangan Tuan Bykov. Aku tak menyukai akhir cerita novel itu. Selalu begitu. Akhir cerita yang tak bahagia adalah suatu hal yang menyebalkan. Bahkan dalam cerita pun, orang pada akhirnya tak bisa bahagia. Bagaimanakah kemudian Varenka atau Varvara atau siapapun namanya itu akan memperlakukan Devuskhin, sebagai masa lalunya? Aku sendiri tak bisa membayangkan. Masa depan kita terlalu buram. Bisakah aku menghapusmu seperti dalam Eternal Sunshine of The Spotless Mind?

Tiba-tiba Ibuk bertanya bagaimana kalau akhirnya kita menikah? Aku bilang kita akan menikah di luar negeri. Lalu ia bertanya lagi, bagaimana dengan anak kalian? Dia akan memilih setelah dewasa. Ibuk sendiri tak mampu membayangkannya, menginginkan cucu yang bisa diasuhnya, betapa tak mungkin bukan?

Perutku tak pernah menginginkan nasi. Rasanya penuh. Seperti saat kita terlalu banyak minum kopi. Aku tak bisa tidur lagi. Gelisah dengan detak jantung yang sedikit cepat.

Orang yang akan membantu di sini sudah datang. Aku tak suka bau keringatnya. Seharian dia bercerita soal nasib buruk karena ditinggal suaminya. Aku tak bisa tidur siang. Beb, kamu dimana? Hapemu mati. Huft.  


14 Desember

Ada perasaan sedikit terbebas ketika orang yang mau membantu merawat kedua orang tuaku sudah ada di sini. Seumur hidup kami tak pernah punya pembantu. Kehadiran orang asing di rumah ini memberikan satu kesan yang aneh. Sudah kubilang kalau aku tak suka bau keringatnya. Ibuk merasa pusing juga ketika orang itu membantunya pipis atau mandi. Baunya bertebaran di rumah ini. Sungguh aku tak bermaksud apa-apa, sekadar ingin memberitahumu meskipun mungkin kau tak mau tahu.

Kami tak boleh bilang terus terang, apalagi menyuruhnya memakai deodorant. Aku dan Ibuk terus saja berbisik-bisik di belakang, berusaha menemukan bahasa terbaik untuk memberitahukan keberatan-keberatan kami. Lantai rumah ini tak disapunya dengan benar. Bau bekas memasak di dapur membuatku semakin tak berselera makan. Ada bau-bauan baru di rumah ini, bergentayangan sejak pagi.

Setiap orang di rumah ini punya kamar sendiri-sendiri. Orang itu tak diperlakukan sebagai tamu. Dia tak diperlakukan juga sebagai anggota keluarga. Dia orang lain, yang berdiri di ambang pintu, berkeliaran seharian, lalu tertidur lelah di sebuah sudut tak bernama di rumah ini. Matanya terpejam tapi dia tetap mendengar detak jarum jam. Dingin mengerubutinya dan kami tidak berbuat apa-apa, sama sekali tak berniat membelikannya selembar kasur.

Suaranya keras, berbicara lugas dengan ungkapan-ungkapan yang menurut Ibuk bisa dibilang kasar. Ia mengumpat seleganya, ketika bercerita betapa sakit ia ditinggal suami. Bagaimana ia menghadapi perempuan lain yang mencari suaminya, sampai ke pintu rumahnya sendiri. Aku tidak tahu kenapa ceritanya itu tidak mengundang simpati. Dia perempuan bernasib malang, menderita, mungkin itu benar. Ia duduk di depan ketika para tamu datang, ikut mendengarkan pembicaraan. Menurut Ibuk itu tidak sopan. Ia orang belakang, wong pawon yang seharusnya hanya berada di belakang. Yah, barangkali ini tidak manusiawi. Semoga orang itu juga membaca tulisan ini lalu menuntut kami. Aku tidak membencinya, sungguh kami sangat berterima kasih karena kesediaannya membantu keluarga kami. Hanya saja kami belum terbiasa. 

Aku tak bisa menulis lebih banyak lagi. Dimana aku bisa menemukanmu malam ini? Kau jarang sekali muncul dalam mimpi. Aku tak yakin pula bisa menulis begini setiap hari. Semoga kau selalu baik-baik saja. Menulislah, musnahkanlah in the mood for killing mu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar