Rabu, 25 Desember 2013

Mari Menulis Selagi Gerimis

Pada akhirnya, setelah kemarin, kita bisa sejalan lagi. Hanya begitu saja. Tapi lega. Setelah sekian lama kita menunda demi bulan madu yang lebih lama. Sudah selesai? Berakhir? Dengan seperti apa? Sakit pastinya.

Sebelum aku memenuhi permintaanmu untuk mengabstraksikan Pahlawan-Pahlawan Belia, izinkan aku sedikit bercerita. Buku itu sudah selesai kubaca. Tapi kau tahu, aku bukan pembaca yang baik. Aku hanya menelannya begitu saja. Mana bisa sepertimu yang pelan-pelan mengupas, memamah, mencerna, membanding-bandingkan dengan indeks-indeks bacaanmu yang tak terbilang jumlahnya. Aku tak bisa seperti itu. Akan kulakukan sebisanya.

Sebelumnya, ini lagi-lagi bukan tentang apa-apa. Hanya penambah deretan kisah sedih yang pernah kukabarkan kepadamu. Senin pagi, setelah mengurus Jasa Raharja Bapak dan Ibuk, aku iseng pergi ke perpustakaan daerah di kota kecilku. Perpustakaan itu lebih mirip seperti rumah kontrakan. Sebuah rumah tanpa halaman. Motor dan kendaraan pengunjung masuk dan diparkir di samping bangunan.

Ketika menginjakkan kaki pertama kali, perpustakaan itu memang ramai, bukan oleh pengunjung melainkan ramai oleh pegawai-pegawainya sendiri. Bangunan sekecil itu berisi kurang lebih sepuluh orang pegawai berpakaian dinas. Satu-satunya pengunjung yang terlihat mengisi buku tamu adalah seorang anak kecil yang sedang menuliskan namanya sendiri. Ia datang bersama ibunya. Untuk bisa menuliskan namanya itu, si anak harus berdiri di atas papan yang mungkin memang sudah disediakan. Anak itu hendak mengembalikan sebuah buku cerita bergambar. Sampai di sini aku masih bisa tersenyum.  

Aku meletakkan tasku dalam loker yang kuncinya sudah tidak bisa dipakai lagi. Tanpa bertanya, aku langsung masuk ruang koleksi. Luasnya tidak lebih dari ruang tamu rumahku. Koleksi yang ada mungkin tidak mencapai sepuluh rak buku berukuran besar. Dua rak buku besar memanjang berhimpitan dengan dinding. Dua baris buku diletakkan dalam posisi berdiri dan berjajar. Jajaran buku yang belakang tentu saja sangat susah untuk dilihat. Judul dan sampulmya sama sekali tak terbaca.

Buku-buku itu disusun berdasarkan bidang ilmu; bahasa, seni, olahraga, peternakan, geografi, dan sebagainya. Aku langsung menghampiri rak bagian kesusastraan. Susunan bukunya sangat rapat dan berhimpitan. Susah sekali mengambil buku-buku yang sekiranya menarik untuk kulihat isinya sepintas lalu. Aku tak bisa mencerna bagaimana buku-buku itu dikelompokkan. Awalnya aku masih bisa tersenyum melihat beberapa koleksinya.

Aku menjumpai karya klasik Sir Walter Scott. Bukunya tipis dan berbahasa Inggris. Aku mendengar nama pengarang itu dari Borges. Borges sendiri baru kubaca beberapa cerita pendeknya beberapa hari lalu. Seorang pengarang yang bisa memecah fokus pembaca lewat lapis-lapis teks, menggiring untuk mengenali aku pengarang dan aku dalam cerita secara bersamaan. Aku tertidur membaca ceritanya. Tentang semesta. Teksnya mengaliriku hampir tanpa perlawanan yang berarti. Suatu kali kau harus berkenalan dengan Dunraven.  

Mari kembali pada Scott dan sejumlah koleksi lain. Salah satu novelnya yang berjudul Ivanhoe sudah pernah difilmkan pada tahun 1952. Ia bercerita juga tentang keluarga Skotlandia yang ingin menggulingkan tahta kerajaan Inggris. Ada pula Tumbangnya Seorang Diktator dari Gabriel Garcia Marquez. Sampulnya sudah rusak. Halamannya menguning dengan bau khas buku lama. Kutemukan pula Godot di Amerika dan di Indonesia: Suatu Studi Banding karangan Bakdi Soemanto. Sekilas daftar isinya memuat bagaimana Mbah Bakdi mengulas teks dramatik karya Beckett itu, lalu membandingkan respon atas naskah itu di Indonesia dan Amerika, membandingkan pula pementasan naskah itu selama perang dingin. Hmmm...

Koleksi lain sebagian besar diisi oleh buku-buku lawas Balai Pustaka, pujangga baru, dan lain-lain. Nama-nama pengarang seperti Nh. Dini, Achdiat Karta Miharja, dan teman-teman lainnya sangat mudah dijumpai di sini. Novel-novel tahun 90-an sampai 2000-an kebanyakan adalah terbitan Grasindo. Beberapa koleksinya sangat kukenali karena biasa dijual obral seharga lima ribu sampai sepuluh ribuan dalam pameran-pameran. Aku tidak mengenali koleksi di rak-rak lain. Bagian pojok terlihat awut-awutan, buku-buku tidak dikembalikan pada tempatnya dengan benar.

Satu lagi rak yang berhimpitan dengan dinding, isinya adalah buku-buku berlabel sejarah umum. Satu lapis rak tetap diisi dengan dua larik buku hingga larik kedua tak bisa terlihat. Kau tau kenapa aku bersedih? Dalam satu baris, buku The Secret of Super Junior disusun berhimpitan dengan memoar Sobron Aidit, salah satu buku Soekarno yang aku lupa judulnya, dan buku-buku sejarah lain. Masih sebaris juga dengan Kebudayaan Jawa dari Koentjaraningrat yang kemudian kupinjam untuk pertama kalinya di perpustakaan itu.  

Ruang sebelah adalah ruang baca. Para pengunjung wajib melepas alas kaki kalau hendak memasuki ruangan itu. Di dalam tidak ada apa-apa kecuali susunan meja dan kursi. Rak-rak yang bersandar pada dinding sebagian berisi buku anak-anak. Buku-buku yang diletakan sembarangan. Mungkin karena terlalu seringnya dibaca. Di dindingnya dipajang poster-poster bergambar organ tubuh manusia. Aku hanya mengintip ruangan itu lalu kembali.

Bau busuk tiba-tiba menyergap. Debu-debu menyerang. Bagian ruang depan terdengar berisik. Kau tahu apa yang terjadi? Para petugas sedang membersihkan bagian belakang loker yang ternyata berisi sobekan-sobekan kertas sisa tikus. Tempat itu jadi sarang tikus. Sungguh busuk baunya. Plastik-plastik entah darimana nyumpel di sana. Aku tak tahan lalu keluar sebentar.

Segera setelah debu-debu sedikit reda, aku bertanya kepada salah satu petugas tentang prosedur cara menjadi anggota. Mudah dan gratis. Cukup mengisi formulir, lalu difoto di salah satu ruangan pengap dan sumpek. Kartu anggotanya tidak langsung jadi. Katanya akan diberikan bersamaan dengan pengembalian buku. Pinjaman pertama hanya boleh meminjam satu buku.

Aku bertanya barangkali ada kajian-kajian tentang kotaku sendiri. Ternyata tak ada. Aku hanya disodori sebuah buku berisi sangat sedikit keterangan tentang kotaku. Informasi itu sangat mudah didapatkan dan dapat diakses gratis lewat web. Buku itu pun tak boleh dipinjam. Hanya boleh difotokopi. Aku sama sekali tak menemukan suatu kajian yang mirip-mirip deskripsi Geertz. Padahal, mungkin saja sudah banyak hal yang digali dari kota ini. Sekian banyak anak bersekolah di perguruan tinggi dari kota ini, masak tak ada dari mereka yang mencoba menuliskan sejarah kotanya sendiri. Payah! Aku juga, payah!

Aku sudahi saja ceritaku daripada hanya berkeluh kesah. Sekarang, akan kucoba menuliskan permintaanmu. Sungguh ini hanya sekadarnya. Demi kamu. Apa toh yang gak buat kamu? Kecuali; 1) Masuk Hindu, 2) Masuk Hindu, 3) Masuk Hindu. Hahaha... aku yakin tuhanku tak akan marah. Kau tahu ini bukan soal tuhan, sama sekali bukan, melainkan berbagai kondisi objektif yang tak memungkinkan: kultur, keluarga. Ah!

Saya Sasakhi Shiraisi ingin mengkaji makna menjadi orang Indonesia, dan apakah ada sesuatu yang disebut sebagai masyarakat Indonesia. Begitulah yang tertulis dalam kata pengantarnya. Ia lalu memulai dengan konsep keluarga Indonesia, produk sejarah pendidikan nasional yang menjadi salah satu tema utama dalam buku-buku pelajaran sekolah, mencerminkan gambaran yang membantu perumusan identitas Indonesia sebagai bangsa yang besar. Gagasan ini secara konstan teruji oleh reproduksi harian jaringan perluasan keluarga-semu, yang berperan penting dalam skenario nasional Orde Baru. Inipun bisa kau cari di kata pengantarnya.

Pendahuluan buku ini berisi kutipan otobiografi Soeharto yang menggunakan kata anak untuk menyebut para menteri kabinetnya. Dari otobiografi itulah Shiraishi melihat hubungan yang erat antara politik dan keluarga di Indonesia. Hubungan antara guru sekolah dan muridnya, pimpinan militer dan pasukannya, serta Presiden dan bangsanya bisa dibikin isomorfis satu sama lain. Prinsip-prinsip kepemimpinan Soeharto kemudian ditarik ke belakang, pada 1920-an ketika Dewantara merumuskan prinsip kepemimpinan dan demokrasi bagi gerakan pendidikankanya yang bersemangat nasionalis (Dewantara menyebut lembaga pendidikan Taman Siswa sebagai “keluarga” (hal. 5).

Sistem kekeluargaan Indonesia Orde Baru kemudian dikenal dengan istilah “Jawanisasi politik Indonesia” ataupun “Indonesianisasi Tradisi Jawa”. “Jawa” dan “Indonesia oleh karenya merupakan konstruksi sejarah dan budaya (Kenji Tsuchiya dan Pemberton menyatakan tradisi “Jawa” merupakan kreasiBelanda-Jawa (hal.6)). Mengkaji budaya politik Indonesia masa Orde Baru dapat dilihat melalui bagaimana keluarga “Indonesia” dibentuk dalam bahasa Indonesia secara historis, budaya, dan politik.

Uraian di bab-bab selanjutnya merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana Indonesia dapat dibayangkan sebagai keluarga? Bagaimana berbagai pengertian seperti bapak, ibu dan anak jadi memiliki arti politik yang penting di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia? Bagaimana masa kanak-kanak dan keluarga dibentuk di Indonesia? Deretan pertanyaan tersebut digunakan untuk mengkaji keluarga Indonesia, gagasan tentang keluarga, dan bahasa politik-kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari dan berbagai tulisan (hal. 9).

Shiraishi memulai ilustrasinya sejak kedatangannya di bandara. Kau pasti mengingat bagian ini. Lalu dimulailah deskripisinya tentang datangnya Bapak Orde Baru lewat abstarksi peristiwa 65. Istilah-istilah penangkapan, pemanggilan, dan penculikan dibaca sebagai bagian jaringan antar-jemput keluarga yang sudah dilukiskan pada bab sebelumnya. Datangnya bapak Orde Baru berarti tidak ada penculikan. Keluarga kembali aman.

Bab selanjutnya adalah deskripsi relasi ibu dan anak yang digambarkan penuh sensasi kebahagiaan dan hangat. Hal ini terlihat lewat contoh-contoh yang dihadirkankannya melalui buku-buku pelajaran atau majalah anak-anak. Di bagian akhir, Shiraishi kembali lagi ke belakang dan menarik refleksi lewat penggambaran film G30S/PKI yang dinovelkan oleh Arswendo, bahwa kudeta pun menyerang keluarga.

Bagian berikutnya memuat silsilah Bapak. Konsep kekeluargaan dan famili-isme—bentuk abstrak keluarga atau famili—keberadaannya dalam masyarakat Indonesia Indonesia modern sangat amat kokoh, bahkan berkekuatan ideologis, demikian menurut McVey. Konsep ini dikaitkan dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia pada kurun 1910-1920. Karena Mohammadijah dan sekolah rakyat Tan Malaka yang bernasib buruk, Taman Siswa menjadi salah satu sekolah yang dapat berkembang dengan jaringan yang menyebar luas baik di Jawa maupun luar Jawa. Pada masa inilah konsep famili-isme mulai berkembang lewat pidato-pidato dalam kongres nasional Taman Siswa.

Hubungan bapak-anak merupakan satu-satunya hubungan hierarkis yang berlaku di kalangan nasionalis Indonesia. maka tak heran jika revolusi Indonesia dimulai dari peristiwa anak menentang bapak (peristiwa Rengasdengklok). Selama masa revolusi, sebutan yang lebih setara seperti saudara dan bung, lebih disukai ketimbang bapak dan ibu. Namun, pada masa kemerdekaan, bapak dan ibu kembali menampakkan diri di kantor-kantor pemerintah. Lalu muncullah Soeharto sebagai bapak baru pada Oktober 1965, mengakhiri tradisi Peristiwa Rengasdengklok, tidak ada lagi anak yang berbeda pendapat atau menentang bapak.

Shiraishi melukiskan pula kehadiran potret-potret bapak Orde Baru lewat relasi di perusahaan-perusahaan, antara atasan dan bawahan. Bapak adalah kepala keluarga yang dengan gampang bilang semua bisa diatur. Toleransi dan kesewenang-wenangan mulai tumbuh subur. Skandal bisa dimaklumi: maaf, bapak khilaf. Bahasa dipakai untuk menegakkan kekosongan yang mengerikan, malarang anak untuk menentang bapak dan memperbolehkan bapak bilang, begitulah!

Bab-bab akhir menjelaskan proses belajar mengajar dalam kelas. Shiraishi mendeskripsikan ruang kelas Orde Baru, hubungan guru dan murid yang kalau kita membacanya, maka yang terjadi adalah kemunculan wajah-wajah seram guru-guru yang mengajari anak-anak membaca sekaligus membangun keluarga dalam kelas lewat caranya mengeja: Ini bapak budi. Ini ibu budi. Suara anak-anak adalah keramaian yang tak dihiraukan sedangkan suara guru wajib dipatuhi dan didengar dengan seksama. Hasilnya adalah remaja-remaja Indonesia yang dalam istilah Shiraishi disebut sebagai remaja ambivalen. Remaja yang jinak, bukan pemuda yang revolusioner.

Begitulah, apa yang bisa kutuliskan untukmu. Aku hanya bisa meringkas. Untuk tulisan lebih kerennya kau baca ini saja:http://c2o-library.net/2010/06/pahlawan-pahlawan-belia/. Pagi yang dingin dan sesekali gerimis. Salam hangat.   


Kamar Kost, 25 Desember 2013

1 komentar:

  1. "...masak tak ada dari mereka yang mencoba menuliskan sejarah kotanya sendiri. Payah! Aku juga, payah!"
    Yang nulis ttg keluarga politik Indonesia juga bukan orang Indonesia :)

    BalasHapus