Pada akhirnya, setelah kemarin, kita bisa sejalan lagi.
Hanya begitu saja. Tapi lega. Setelah sekian lama kita menunda demi bulan madu
yang lebih lama. Sudah selesai? Berakhir? Dengan seperti apa? Sakit pastinya.
Sebelum aku memenuhi permintaanmu untuk mengabstraksikan Pahlawan-Pahlawan Belia, izinkan aku
sedikit bercerita. Buku itu sudah selesai kubaca. Tapi kau tahu, aku bukan
pembaca yang baik. Aku hanya menelannya begitu saja. Mana bisa sepertimu yang
pelan-pelan mengupas, memamah, mencerna, membanding-bandingkan dengan
indeks-indeks bacaanmu yang tak terbilang jumlahnya. Aku tak bisa seperti itu.
Akan kulakukan sebisanya.
Sebelumnya, ini lagi-lagi bukan tentang apa-apa. Hanya
penambah deretan kisah sedih yang pernah kukabarkan kepadamu. Senin pagi,
setelah mengurus Jasa Raharja Bapak dan Ibuk, aku iseng pergi ke perpustakaan
daerah di kota kecilku. Perpustakaan itu lebih mirip seperti rumah kontrakan. Sebuah
rumah tanpa halaman. Motor dan kendaraan pengunjung masuk dan diparkir di
samping bangunan.
Ketika menginjakkan kaki pertama kali, perpustakaan itu
memang ramai, bukan oleh pengunjung melainkan ramai oleh pegawai-pegawainya
sendiri. Bangunan sekecil itu berisi kurang lebih sepuluh orang pegawai
berpakaian dinas. Satu-satunya pengunjung yang terlihat mengisi buku tamu
adalah seorang anak kecil yang sedang menuliskan namanya sendiri. Ia datang
bersama ibunya. Untuk bisa menuliskan namanya itu, si anak harus berdiri di
atas papan yang mungkin memang sudah disediakan. Anak itu hendak mengembalikan
sebuah buku cerita bergambar. Sampai di sini aku masih bisa tersenyum.
Aku meletakkan tasku dalam loker yang kuncinya sudah tidak
bisa dipakai lagi. Tanpa bertanya, aku langsung masuk ruang koleksi. Luasnya
tidak lebih dari ruang tamu rumahku. Koleksi yang ada mungkin tidak mencapai
sepuluh rak buku berukuran besar. Dua rak buku besar memanjang berhimpitan
dengan dinding. Dua baris buku diletakkan dalam posisi berdiri dan berjajar.
Jajaran buku yang belakang tentu saja sangat susah untuk dilihat. Judul dan
sampulmya sama sekali tak terbaca.
Buku-buku itu disusun berdasarkan bidang ilmu; bahasa, seni,
olahraga, peternakan, geografi, dan sebagainya. Aku langsung menghampiri rak bagian
kesusastraan. Susunan bukunya sangat rapat dan berhimpitan. Susah sekali
mengambil buku-buku yang sekiranya menarik untuk kulihat isinya sepintas lalu. Aku
tak bisa mencerna bagaimana buku-buku itu dikelompokkan. Awalnya aku masih bisa
tersenyum melihat beberapa koleksinya.
Aku menjumpai karya klasik Sir Walter Scott. Bukunya tipis
dan berbahasa Inggris. Aku mendengar nama pengarang itu dari Borges. Borges sendiri
baru kubaca beberapa cerita pendeknya beberapa hari lalu. Seorang pengarang
yang bisa memecah fokus pembaca lewat lapis-lapis teks, menggiring untuk
mengenali aku pengarang dan aku dalam cerita secara bersamaan. Aku tertidur
membaca ceritanya. Tentang semesta. Teksnya mengaliriku hampir tanpa perlawanan
yang berarti. Suatu kali kau harus berkenalan dengan Dunraven.
Mari kembali pada Scott dan sejumlah koleksi lain. Salah
satu novelnya yang berjudul Ivanhoe
sudah pernah difilmkan pada tahun 1952. Ia bercerita juga tentang keluarga
Skotlandia yang ingin menggulingkan tahta kerajaan Inggris. Ada pula Tumbangnya Seorang Diktator dari Gabriel
Garcia Marquez. Sampulnya sudah rusak. Halamannya menguning dengan bau khas
buku lama. Kutemukan pula Godot di
Amerika dan di Indonesia: Suatu Studi Banding karangan Bakdi Soemanto. Sekilas
daftar isinya memuat bagaimana Mbah Bakdi mengulas teks dramatik karya Beckett
itu, lalu membandingkan respon atas naskah itu di Indonesia dan Amerika,
membandingkan pula pementasan naskah itu selama perang dingin. Hmmm...
Koleksi lain sebagian besar diisi oleh buku-buku lawas Balai
Pustaka, pujangga baru, dan lain-lain. Nama-nama pengarang seperti Nh. Dini,
Achdiat Karta Miharja, dan teman-teman lainnya sangat mudah dijumpai di sini.
Novel-novel tahun 90-an sampai 2000-an kebanyakan adalah terbitan Grasindo.
Beberapa koleksinya sangat kukenali karena biasa dijual obral seharga lima ribu
sampai sepuluh ribuan dalam pameran-pameran. Aku tidak mengenali koleksi di
rak-rak lain. Bagian pojok terlihat awut-awutan, buku-buku tidak dikembalikan
pada tempatnya dengan benar.
Satu lagi rak yang berhimpitan dengan dinding, isinya adalah
buku-buku berlabel sejarah umum. Satu lapis rak tetap diisi dengan dua larik
buku hingga larik kedua tak bisa terlihat. Kau tau kenapa aku bersedih? Dalam
satu baris, buku The Secret of Super
Junior disusun berhimpitan dengan memoar Sobron Aidit, salah satu buku
Soekarno yang aku lupa judulnya, dan buku-buku sejarah lain. Masih sebaris juga
dengan Kebudayaan Jawa dari
Koentjaraningrat yang kemudian kupinjam untuk pertama kalinya di perpustakaan
itu.
Ruang sebelah adalah ruang baca. Para pengunjung wajib
melepas alas kaki kalau hendak memasuki ruangan itu. Di dalam tidak ada apa-apa
kecuali susunan meja dan kursi. Rak-rak yang bersandar pada dinding sebagian
berisi buku anak-anak. Buku-buku yang diletakan sembarangan. Mungkin karena
terlalu seringnya dibaca. Di dindingnya dipajang poster-poster bergambar organ
tubuh manusia. Aku hanya mengintip ruangan itu lalu kembali.
Bau busuk tiba-tiba menyergap. Debu-debu menyerang. Bagian
ruang depan terdengar berisik. Kau tahu apa yang terjadi? Para petugas sedang
membersihkan bagian belakang loker yang ternyata berisi sobekan-sobekan kertas
sisa tikus. Tempat itu jadi sarang tikus. Sungguh busuk baunya. Plastik-plastik
entah darimana nyumpel di sana. Aku
tak tahan lalu keluar sebentar.
Segera setelah debu-debu sedikit reda, aku bertanya kepada
salah satu petugas tentang prosedur cara menjadi anggota. Mudah dan gratis.
Cukup mengisi formulir, lalu difoto di salah satu ruangan pengap dan sumpek.
Kartu anggotanya tidak langsung jadi. Katanya akan diberikan bersamaan dengan
pengembalian buku. Pinjaman pertama hanya boleh meminjam satu buku.
Aku bertanya barangkali ada kajian-kajian tentang kotaku
sendiri. Ternyata tak ada. Aku hanya disodori sebuah buku berisi sangat sedikit
keterangan tentang kotaku. Informasi itu sangat mudah didapatkan dan dapat
diakses gratis lewat web. Buku itu pun tak boleh dipinjam. Hanya boleh
difotokopi. Aku sama sekali tak menemukan suatu kajian yang mirip-mirip
deskripsi Geertz. Padahal, mungkin saja sudah banyak hal yang digali dari kota
ini. Sekian banyak anak bersekolah di perguruan tinggi dari kota ini, masak tak
ada dari mereka yang mencoba menuliskan sejarah kotanya sendiri. Payah! Aku
juga, payah!
Aku sudahi saja ceritaku daripada hanya berkeluh kesah.
Sekarang, akan kucoba menuliskan permintaanmu. Sungguh ini hanya sekadarnya.
Demi kamu. Apa toh yang gak buat kamu? Kecuali; 1) Masuk Hindu,
2) Masuk Hindu, 3) Masuk Hindu. Hahaha... aku yakin tuhanku tak akan marah. Kau
tahu ini bukan soal tuhan, sama sekali bukan, melainkan berbagai kondisi
objektif yang tak memungkinkan: kultur, keluarga. Ah!
Saya Sasakhi Shiraisi ingin mengkaji makna menjadi orang
Indonesia, dan apakah ada sesuatu yang disebut sebagai masyarakat Indonesia.
Begitulah yang tertulis dalam kata pengantarnya. Ia lalu memulai dengan konsep
keluarga Indonesia, produk sejarah pendidikan nasional yang menjadi salah satu
tema utama dalam buku-buku pelajaran sekolah, mencerminkan gambaran yang
membantu perumusan identitas Indonesia sebagai bangsa yang besar. Gagasan ini
secara konstan teruji oleh reproduksi harian jaringan perluasan keluarga-semu,
yang berperan penting dalam skenario nasional Orde Baru. Inipun bisa kau cari
di kata pengantarnya.
Pendahuluan buku ini berisi kutipan otobiografi Soeharto
yang menggunakan kata anak untuk
menyebut para menteri kabinetnya. Dari otobiografi itulah Shiraishi melihat
hubungan yang erat antara politik dan keluarga di Indonesia. Hubungan antara
guru sekolah dan muridnya, pimpinan militer dan pasukannya, serta Presiden dan
bangsanya bisa dibikin isomorfis satu sama lain. Prinsip-prinsip kepemimpinan
Soeharto kemudian ditarik ke belakang, pada 1920-an ketika Dewantara merumuskan
prinsip kepemimpinan dan demokrasi bagi gerakan pendidikankanya yang
bersemangat nasionalis (Dewantara menyebut lembaga pendidikan Taman Siswa sebagai “keluarga” (hal. 5).
Sistem kekeluargaan Indonesia Orde Baru kemudian dikenal
dengan istilah “Jawanisasi politik Indonesia” ataupun “Indonesianisasi Tradisi
Jawa”. “Jawa” dan “Indonesia oleh karenya merupakan konstruksi sejarah dan
budaya (Kenji Tsuchiya dan Pemberton menyatakan tradisi “Jawa” merupakan
kreasiBelanda-Jawa (hal.6)). Mengkaji budaya politik Indonesia masa Orde Baru
dapat dilihat melalui bagaimana keluarga “Indonesia” dibentuk dalam bahasa
Indonesia secara historis, budaya, dan politik.
Uraian di bab-bab selanjutnya merupakan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana Indonesia dapat dibayangkan sebagai
keluarga? Bagaimana berbagai pengertian seperti bapak, ibu dan anak jadi
memiliki arti politik yang penting di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia?
Bagaimana masa kanak-kanak dan keluarga dibentuk di Indonesia? Deretan
pertanyaan tersebut digunakan untuk mengkaji keluarga Indonesia, gagasan
tentang keluarga, dan bahasa politik-kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari
dan berbagai tulisan (hal. 9).
Shiraishi memulai ilustrasinya sejak kedatangannya di
bandara. Kau pasti mengingat bagian ini. Lalu dimulailah deskripisinya tentang
datangnya Bapak Orde Baru lewat
abstarksi peristiwa 65. Istilah-istilah penangkapan, pemanggilan, dan
penculikan dibaca sebagai bagian jaringan antar-jemput keluarga yang sudah
dilukiskan pada bab sebelumnya. Datangnya bapak
Orde Baru berarti tidak ada penculikan. Keluarga kembali aman.
Bab selanjutnya adalah deskripsi relasi ibu dan anak yang
digambarkan penuh sensasi kebahagiaan dan hangat. Hal ini terlihat lewat
contoh-contoh yang dihadirkankannya melalui buku-buku pelajaran atau majalah
anak-anak. Di bagian akhir, Shiraishi kembali lagi ke belakang dan menarik refleksi
lewat penggambaran film G30S/PKI yang dinovelkan oleh Arswendo, bahwa kudeta
pun menyerang keluarga.
Bagian berikutnya memuat silsilah Bapak. Konsep kekeluargaan
dan famili-isme—bentuk abstrak
keluarga atau famili—keberadaannya dalam masyarakat Indonesia Indonesia modern
sangat amat kokoh, bahkan berkekuatan ideologis, demikian menurut McVey. Konsep
ini dikaitkan dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia pada kurun 1910-1920. Karena
Mohammadijah dan sekolah rakyat Tan Malaka yang bernasib buruk, Taman Siswa
menjadi salah satu sekolah yang dapat berkembang dengan jaringan yang menyebar
luas baik di Jawa maupun luar Jawa. Pada masa inilah konsep famili-isme mulai berkembang lewat
pidato-pidato dalam kongres nasional Taman Siswa.
Hubungan bapak-anak
merupakan satu-satunya hubungan hierarkis yang berlaku di kalangan nasionalis
Indonesia. maka tak heran jika revolusi Indonesia dimulai dari peristiwa anak menentang bapak (peristiwa Rengasdengklok). Selama masa revolusi, sebutan
yang lebih setara seperti saudara dan
bung, lebih disukai ketimbang bapak dan ibu. Namun, pada masa kemerdekaan, bapak dan ibu kembali
menampakkan diri di kantor-kantor pemerintah. Lalu muncullah Soeharto sebagai bapak baru pada Oktober 1965, mengakhiri
tradisi Peristiwa Rengasdengklok, tidak ada lagi anak yang berbeda pendapat atau menentang bapak.
Shiraishi melukiskan pula kehadiran potret-potret bapak Orde Baru lewat relasi di
perusahaan-perusahaan, antara atasan dan bawahan. Bapak adalah kepala keluarga yang dengan gampang bilang semua bisa diatur. Toleransi dan
kesewenang-wenangan mulai tumbuh subur. Skandal bisa dimaklumi: maaf, bapak khilaf. Bahasa dipakai untuk
menegakkan kekosongan yang mengerikan, malarang anak untuk menentang bapak
dan memperbolehkan bapak bilang, begitulah!
Bab-bab akhir menjelaskan proses belajar mengajar dalam
kelas. Shiraishi mendeskripsikan ruang kelas Orde Baru, hubungan guru dan murid
yang kalau kita membacanya, maka yang terjadi adalah kemunculan wajah-wajah
seram guru-guru yang mengajari anak-anak membaca sekaligus membangun keluarga
dalam kelas lewat caranya mengeja: Ini
bapak budi. Ini ibu budi. Suara anak-anak adalah keramaian yang tak
dihiraukan sedangkan suara guru wajib dipatuhi dan didengar dengan seksama. Hasilnya
adalah remaja-remaja Indonesia yang dalam istilah Shiraishi disebut sebagai
remaja ambivalen. Remaja yang jinak, bukan pemuda yang revolusioner.
Begitulah, apa yang
bisa kutuliskan untukmu. Aku hanya bisa meringkas. Untuk tulisan lebih kerennya kau baca ini saja:http://c2o-library.net/2010/06/pahlawan-pahlawan-belia/.
Pagi yang dingin dan sesekali gerimis. Salam hangat.
Kamar Kost, 25 Desember 2013
"...masak tak ada dari mereka yang mencoba menuliskan sejarah kotanya sendiri. Payah! Aku juga, payah!"
BalasHapusYang nulis ttg keluarga politik Indonesia juga bukan orang Indonesia :)