Senin, 25 Maret 2013

Sebatas Nggosip Film-Film Kim Ki Duk: Manusia-Manusia Diam dalam Kegelapan


Saya mengenal Kim Ki Duk dari Arirang (2011). Wah, ini kok ada sutradara nggatheli dari Korea Selatan. Arirang adalah semacam dokumenter atas kontemplasi dan ungkapan perasaan—bahkan dengan cucuran airmata—yang dibuatnya sendiri selama menyepi setelah salah satu artis filmnya bunuh diri. Film itu membuat saya tertarik untuk menonton film Kim Ki Duk yang lain. Memang tidak semua filmnya saya tonton, tapi dari beberapa itu rasanya cukup memberi gambaran bahwa sutradara itu cukup gila dalam mengambil posisi untuk estetika filmnya dengan konsekuensi bahwa filmnya tidak akan ditonton banyak orang. Ia menentang kanon film Korea Selatan lewat rangkaian gambar yang mempertontonkan manusia-manusia terasing dan kesepian berperilaku aneh, manampakkan sisi-sisi lain Korea yang selama ini selalu tersamar dengan kesan gegap gempita industri budaya pop: musik, serial drama maupun filmnya sendiri.

Kim Ki Duk memilih mengangkat sisi gelap manusia ketimbang menambah pemanis dalam filmnya dengan fantasi atau kisah cinta romantis. Maka jangan coba menonton film-filmnya kalau anda mengharapkan hiburan pelepas penat setelah seharian bekerja, kecuali bagi yang suka. Film-film Kim Ki Duk cenderung mengerikan, penuh kekerasan bahkan mendapat kecaman dari para feminis-feminisan ketika mereka terganggu melihat kerakter dan representasi perempuan yang muncul dalam film. Kalau orang membaca sedikit biografinya, maka dia akan tahu darimanakah bentuk film-film anehnya berasal. Caranya memandang, mempertanyakan kehidupan dan pengalaman memiliki andil besar dalam tema cerita film yang dipilihnya.

Karakter-karater dalam filmnya adalah orang-orang terasing. Mereka hidup jauh dari sisi terang masyarakat Korea yang sangat kelas menengah seperti sering kita bayangkan saat menonton serial dramanya. Film-film Kim Ki Duk minim dialog. Karakter-karakter diam yang diciptakan lebih menonjolkan ekspresi bahasa tubuh. Beberapa menggambarkan betapa keterasingan dan kesepian mampu mengubah manusia menjadi sinting dan berkelakukan aneh, jauh dari yang biasa disebut sebagai manusia normal.

Apakah karakter-karakter itu adalah wajah lain sebagian orang Korea yang selama ini tak tampak? Saya sendiri tidak tahu. Mari kita mulai dengan The Isle (2000), kisah tentang perempuan tak bernama yang hidup di sebuah danau dimana terdapat rumah-rumah kecil yang mengapung sebagai tempat pemancingan. Para pemancing tinggal di rumah-rumah itu sementara perempuan tak bernama datang berkeliling dengan perahunya, menjual cacing sebagai umpan, kopi, bahkan tubuhnya sendiri untuk menyambung hidup.

Cinta dalam film ini jauh sekali dari kesan romantis. Perempuan tak bernama dikisahkan tertarik dengan salah satu penghuni rumah apung, laki-laki dengan bayangan masa lalu buruk: seorang pembunuh yang lari dari kejaran polisi. Suasana terasing dan putus asa yang dialami tokoh menumbuhkan dorongan bunuh diri sedemikian kuat. Si Lelaki menelan mata pancing dan Si Perempuan menenggelamkan mata pancing itu ke dalam kemaluannya sendiri. Kim Ki Duk memang tampak sengaja ingin mengganggu pikiran dan emosi para penontonnya. Adegan mata pancing itu mengerikan.

The Bow (2005) adalah kisah cinta aneh selanjutnya. Kali ini tentang kakek tua dan gadis innocent yang ditemukannya sejak umur enam tahun. Si Kakek merawat gadis itu dan menunggu untuk bisa menikahinya sampai umurnya cukup. Mereka tinggal di sebuah kapal di tengah laut, hidup dengan mengangkut para pemancing dari kota ke kapalnya. Lagi-lagi ekspresi dan bahasa tubuhlah yang ditonjolkan dalam film ini. Hubungan antara Si Kakek dan gadis kecil, juga antara gadis kecil dengan laki-laki muda yang tiba-tiba datang ke kapal mereka. Si Kakek hampir bunuh diri ketika melihat Sang Gadis memilih pergi. Lalu gadis itu kembali, mau menikah dengan kakek di atas sebuah perahu. Adegan percintaan menjadi surealis di sini. Setelah menikah, Si Kakek menceburkan diri ke laut dan gadis itu masturbasi, sendirian di atas perahu.

Diam pun adalah bahasa. Mereka yang diam dari awal hingga akhir cerita, demikianlah tokoh-tokoh yang tidak revolusioner tersesat dalam labirin-labirin kisah sunyi Kim Ki Duk. Bahasa diam dalam The Bow tentu tidak selamanya harus diterjemahkan sebagai melankoli. Senyum gadis innocent itu manis sekali meskipun tak selamanya juga senyum bisa diterjemahkan sebagai ungkapan kebahagiaan. Hanya dengan melihat dan menjadikannya sebagai pengalaman menonton, orang akan paham maksud dari setiap bahasa tubuh para tokoh.

Gadis dalam The Bow diperankan oleh aktris yang sama yang juga berperan dalam film Kim Ki Duk berjudul Samaritan Girl. Ia juga memukau dengan bahasa senyumnya. Seperti mengguratkan tanda bahwa para penonton tidak akan cepat lupa dengan ekspresi tanpa dosa itu. Alih-alih menggunakan artis ganteng dan cantik khas muka plastik Korea, Kim Ki Duk memperkenalkan aktor-aktor yang tidak begitu terkenal. Walaupun begitu, aktor yang dipilih selalu mampu mengeluarkan kekuatan karakter dari tokoh cerita. Wajah mengerikan perempuan dalam The Isle atau wajah sendu perempuan dalam Amen boleh jadi bisa menjadi signature bagi para aktris itu. Orang akan mengenal mereka sebagai karakter di film Kim Ki Duk meski selanjutnya mereka bisa main dalam film siapa saja. Tapi katanya, film Kim Ki Duk itu tidak laku di negaranya sendiri.

Tidak ada ungkapan “aku mencintaimu” dalam film Kim Ki Duk, kata dari lidah yang banyak tidak dimaksudkan sebagaimana dikatakan. Retorika Kim Ki Duk adalah tubuh, bahasa yang lebih jujur. Orang bicara dengan senyum, dengan ekspresi, gestur, dan penonton tetap bisa paham apa yang dirasakan para tokoh. Sebagian besar emosi tokoh yang muncul bukan kemurahan dan kebaikan hati tetapi kemarahan, hasrat untuk menyakiti diri sendiri, gairah menghancurkan, membunuh orang dan segala kejahatan yang selama ini ditekan kuat-kuat dalam diri manusia. Lewat tokoh-tokoh anehnya, Kim Ki Duk menggambarkan tingkat absurditas manusia dalam keterasingan mereka, memberikan makna terhadap gambaran hidup yang tak bermakna itu.

Mari kita kembali pada kisah cinta yang aneh-aneh bentuknya. Film 3-Iron (2004) mengisahkan seorang laki-laki seperti hantu, memasuki rumah orang tanpa diketahui, menjadi penghuninya satu atau dua malam, mengembalikan semua barang seperti semula lalu pergi untuk mencari rumah kosong selanjutnya. Awalnya saya menonton potongan-potongan film ini dari sebuah video musik boyband pop Korea berjudul Tik Tok. Setelah menonton film utuhnya, ungkapan cinta dalam diam itupun semakin jelas. Kali ini memang ada ungkapan saranghaeyo yang berati juga aku mencintaimu. Seorang perempuan menyatakannya untuk lelaki yang berdiri di belakang suaminya. Sebuah adegan yang merujuk pada arketip lama yang sudah banyak bertebaran dimana-mana: seorang perempuan berpelukan dengan seorang laki-laki sambil mencium laki-laki lain di belakang orang yang dipeluknya. Laki-laki penyusup dalam film ini adalah gambaran paradok keberadaan dan ketiadaan, bahwa menjadi tidak terlihat barangkali lebih baik daripada manusia-manusia dengan keberadaannya yang serba menyedihkan.

Dalam Spring, Summer, Fall, Winter, and... Spring (2003), dikisahkan sebuah kuil sunyi di tengah danau dikurung pegunungan. Film ini mempertemukan kemuliaan hati Sang Guru dan kejahatan Si Murid. Ketika kecil, Si Murid suka menyiksa binatang. Beranjak dewasa, ia bercinta dengan gadis yang sedang sakit dan ingin menyembuhkan diri di kuil itu. Penyakit Si Gadis langsung sembuh setelah bercinta. Si Murid meninggalkan kuil untuk menikahi gadis itu dan kembali setelah membunuhnya karena dikhianati. Ada kemarahan dari Si Murid yang meledak dan wajah datar tanpa emosi dari Sang Guru dalam sebuah adegan di film ini. Kalau cintanya kepada Si Gadis dianggap dosa, maka Si Murid berharap bisa menebusnya dengan bunuh diri (Bukan khilafah solusinya, tapi Bunuh diri solusinya! Halah). Film ini seperti mengajak menikmati kontras pemandangan indah dan anak kecil yang menyiksa binatang. Kim Ki Duk tampak berhasil menjadikan gambar sebagai pertemuan dua titik sublim dari kejahatan manusia dan sense lirisisme yang ditekankan oleh alam. Di akhir cerita, Sang Guru membakar dirinya sendiri di atas perahu.

Beberapa filmnya tak jauh dari perempuan dan prostitusi. Dua yang saya tonton adalah Birdcage Inn (1998) dan Samaritan Girl (2004). Film yang terakhir disebut sempat mendapat penghargaan dari Berlin Film Festival pada tahun 2004. Banyak kritik dari para feminis ketika Kim Ki Duk merepresentasikan perempuan sedemikian rupa. Dalam Samaritan Girl, siapa yang bisa membayangkan ada pelajar memilih menjadi pelacur untuk mengumpulkan uang bekal perjalanan ke Eropa. Keinginan itu berangkat dari legenda Vasumitra, perempuan yang bisa mengangkat laki-laki menjadi Budha setelah bercinta. Jauh dari kesan seorang pelacur yang menderita, Si Gadis justru dengan senyum mengembang melayani setiap laki-laki, sampai akhirnya ia mati.

Demikian juga dalam Birdcage Inn, masih tentang pelacur dalam keterasingannya, perempuan yang tidak diterima di masyarakat, juga keluarga yang menampungnya. Birdcage Inn memang sedikit berakhir lebih baik—dibanding kalau kita kembali—perempuan tak bernama dalam The Isle yang lebih mengerikan nasibnya. Sosok perempuan tak bernama dalam The Isle seperti menanggung akar sejarah panjang objektifikasi tubuh perempuan. Bahasa diam perempuan itu mengatakan dengan jelas mulai dari cinta, marah sampai semua penderitaannya. Di akhir film, perempuan itu mengambang di atas perahu dengan tubuh telanjang. Sebaik apapun nasib seorang pelacur, itu tetap buruk. Para feminis boleh saja marah, tapi darimanakah jejak adegan itu berasal? Siapa yang mau mereka kritik selanjutnya? Dan barangkali Kim Ki Duk pun merasa bersalah sudah menyiksa binatang dan memperlakukan perempuan begitu rupa untuk filmnya. Siapa saja bisa salah, bahkan penonton, apalagi saya yang ngomong tidak ada aturannya begini.

Kim Ki Duk tentu tidak menciptakan tokoh-tokoh perempuannya dari ruang kosong. Ia menyentuh banyak hal yang tak berani disentuh orang. Perempuan yang menguliti seekor katak memang tampak lebih kejam ketika sudah berada dalam film. Padahal, hal semacam itu bisa saja sering terjadi di sekitar kita. Ada banyak sisi dari perempuan-perempuan menyedihkan itu yang ingin diungkap, lebih kepada merangsang sense penonton terhadap sesuatu yang asing ketimbang menjejali banyak orang dengan budaya Korea yang selama ini selalu dikesankan penuh sopan santun dan segudang ajaran moral.

Sedikit berbeda dari dua film tadi, Amen (2011) menceritakan perjalanan sorang perempuan berkeliling Eropa mencari kekasihnya yang hilang. Perempuan itu sedang hamil pula. Hampir tak ada dialog juga dalam film ini. Kecuali ketika perempuan itu mengetuk pintu dan menanyakan keberadaan laki-laki yang dicarinya di sembarang rumah yang ia temui. Perjalananya menjadi misterius ketika barang-barangnya dicuri dan dikembalikan satu demi satu oleh seseorang berbaju tentara dan menggunakan masker.

Film ini bagi sebagian besar orang mungkin akan terasa sangat membosankan. Tapi ya begitulah film, tidak harus melulu dengan cerita canggih. Film ini terkesan datar dan tentu sulit diputar di luar festival. Lewat pria misterius bermasker, mata penonton dipaksa mengikuti mata kamera, gambar yang bergoyang ketika kamera dibawa berlari, melihat patung-patung sedih di pekuburan dan suasana sendu gereja katedral, juga latar kota-kota di Eropa, kereta dan bangku taman.

Cinta di film ini adalah perjuangan Sang Gadis menemukan pria yang dicintainya. Gadis itu berteriak di atas gunung, menelepon hanya untuk mendengarkan suara tut yang berulang, menangis keras-keras, menari balet di kerumunan untuk makan ketika barangnya dicuri. Sementara filmnya sendiri menjadi suatu transformasi. Kita tahu kualitas gambar seperti itu pasti dibuat dengan bugdet rendah, bahkan bisa dikerjakan oleh satu orang yang merangkap menjadi sutradara, kameramen sekaligus editor film. Tetapi dengan film-film dan gambar sederhana, ada transformasi yang terlihat jelas. Kadang film tidak memerlukan gambar yang indah melainkan gambar yang perlu. Saya lupa ini kata-kata siapa, Bazin atau siapa. Satu gambar tidak akan bercerita banyak tanpa dirangkai dengan gambar lain. Sedangkan suara tidak digunakan untuk menekankan suasana tertentu melainkan memperjelas transformasi itu. Maka, di sini film bisa dikembalikan dalam fungsi transformatifnya, bukan fungsi reproduksinya yang berasal dari bentuk seni lain seperti teater.

Film-film Kim Ki Duk mengingatkan kita bahwa diam mengandung lebih banyak kata-kata, tentu apabila ini berkaitan soal relasi antar manusia. Namun dengan diam itu pula, tokoh-tokohnya tidak mampu memberontak akan nasibnya, semakin tenggelam dalam kegelapan. Ada juga gurat warna berbeda di film lain, meski tetap bercerita tentang orang-orang yang terpinggirkan dengan dunia kecil mereka. Ada sesuatu yang menarik dalam Pieta (2012), sebuah potret gelap Korea di tengah perkembangan industrinya saat ini. Cerita dalam film ini asli menggambarkan manusia-manusia yang tercerabut sampai ke jiwa oleh kejahatan kapitalisme (Halah, rasanya kok nggak enak banget ya saya ngomong begini. Haha).

Settingnya adalah pabrik-pabrik penuh peralatan dari besi-besi tua. Seorang laki-laki berkeliaran menjalankan bisnis asuransi. Laki-laki itu memotongi tangan dan kaki orang-orang yang ingin mendapatkan ganti rugi dari perusahaan asuransi atas klaim kecelakaan kerja. Mesin-mesin tampak sangat berkuasa dalam film ini, justru karena digambarkan dengan shot yang sederhana tanpa efek grafis berlebih. Kamera menjelajah sebuah wilayah penuh pabrik-pabrik tua lalu semakin mendekat pada mesin-mesin yang bersuara seperti detak jantung kita sendiri.

Betapa menyedihkan bahwa mesin-mesin itu justru dikendalikan oleh manusia sebagaimana manusia mengendalikan hidupnya atau justru dikendalikan hidupnya oleh mesin-mesin itu. Saya jadi teringat sebuah film karya Elio Petri berjudul The Working Class Goes to Heaven (1971). Film itu dari awal sampai akhir berisi dialog-dialog dengan tone tinggi. Berkisah tentang seorang workaholic yang kemudian terpotong jarinya dan memimpin protes melawan perusahaan tempatnya bekerja. Mesin-mesin itu membuat sang tokoh cerita hampir menjadi gila, memberikan ilustrasi betapa ritme kerja mesin yang teratur dan berulang itu mempengruhi otak dan jiwanya.

Kembali Kim Ki Duk mengaduk kekejaman dengan drama paling menyentuh dalam Pieta. Setelah memainkan sebuah lagu yang indah dengan gitarnya, seorang laki-laki rela memotong tangan untuk biaya kelahiran anaknya. Inti ceritanya terletak pada dendam seorang perempuan atas kematian anaknya yang menjadi korban laki-laki pemotong tangan. Perempuan itu menyamar sebagai ibu bagi pembunuh anaknya sendiri. Ia muncul menjadi ibu yang telah menelantarkan anaknya. Laki-laki pemotong tangan menjelma kanak-kanak kembali, meringkuk dalam kehangatan selimut ibunya dan tak ingin kehilangannya.

Film ini juga diakhiri dengan bunuh diri. Sang Ibu memilih melompat dari sebuah gedung agar laki-laki yang membunuh anaknya tahu rasa kehilangan seperti apa yang akan dibawanya seumur hidup. Adegan terakhir dalam film memperlihatkan gambar ketika Sang Ibu memeluk mayat anaknya dan Si Pemotong Tangan berada di sampingnya. Sebuah gambar penutup yang indah yang dipinjam dari Pieta, Perawan Maria yang memeluk anaknya. Pada akhirnya, kesan atas film ini menjadi berubah. Kim Ki Duk seperti tidak ingin bercerita tentang pembalasan dendam, tetapi sosok ibu dengan dua anak. Cinta yang lain lagi bentuknya.

Gaya shot yang sedikit mirip dengan Pieta dapat ditemukan dalam The Coast Guard (2002). Film ini banyak mengingatkan pada konteks politik Korea setelah sekian lama berseteru dengan saudara sedarah sampai sebuah negara bisa terbagi. Pasca perang dengan Korea Utara, para tentara di perbatasan adalah gambaran orang-orang yang terasing. Film ini bercerita tentang seorang tentara penjaga pantai yang sangat terobsesi untuk membela negaranya. Tentara itu kemudian menembak penduduk sipil yang sedang bercinta di atas pasir karena dianggap mata-mata. Perempuan yang kehilangan kekasihnya itu menjadi gila, yang menembak pun akhirnya ikut menjadi gila. Kisah ini tragis. Tentara gila berkeliaran di tengah kota, menjadi lelucon dan menusukkan bayonetnya ke perut salah satu orang yang tertawa dan mengerumuninya. Betapa asyiknya Kim Ki Duk bercerita soal cinta tanah air dalam film ini.

Tulisan ini akan ditutup dengan Real Fiction (2000), sebuah film yang sangat kentara dibuat dengan budget rendah. Mengambil setting di sebuah taman, seorang pelukis potret membunuh satu demi satu orang-orang yang sangat dibencinya. Banyak sudut pandang dalam film ini. Dari kamera sutradara, juga gadis tak bernama yang mengikuti Si Lelaki Pelukis dengan membawa kamera pula. Yang fiksi dan yang nyata diramu menjadi satu sampai penonton tak bisa membedakannya, juga sang tokoh sendiri. Kejutan datang di akhir ketika terdengar suara teriakan, “cut,” lalu semua orang yang berada di taman itu bertepuk tangan dan membubarkan diri. Sutradara ini mayak sekali, membangunkan para penontonnya dan seolah-olah berkata, “hello... anda hanya sedang sedang menonton film, kenapa begitu pusing-pusing berpikir mana yang nyata dan yang tidak.” Demikian keduanya semakin susah dibedakan dalam masyarakat yang sakit seperti sekarang.

Subjek-subjek simptomatik pengidap neurosis, histeria dan kegilaan bergentayangan dalam film-film Kim Ki Duk. Mereka menghantui kita dengan kelambatan ritme, sosok-sosok kejam, teror bunuh diri, dan adegan penyiksaan binatang. Suatu sisi dimana manusia ingin menyiksa dan membunuh kebinatangannya sendiri. Kenapa subjek-subjek seperti ini bisa muncul dalam film korea? Mereka pun bisa muncul di mana saja atau barangkali kita sendiri. Ah, saya tidak tahu jalan seperti apa yang telah dilalui Korea. Seperti apakah sejarah filmnya ketika yang banyak sekali bisa ditemui hanya film-film dari tahun 1990-an sampai sekarang. Dalam film-film itu ada cinta, beraneka macam paradok, perang, konteks industrialisasi, subjektifikasi perempuan sebagai pekerja murah dan pelacur, entah apalagi.

Dalam film-film Kim Ki duk, kadang kita menjumpai gambar-gambar kasar seperti gurat lukisan dalam gua, kadang kita juga dipertemukan dengan shot-shot panjang dari keindahan alam. Film-filmnya adalah visualisasi dari perasaan-perasaan orang-orang pinggiran, termarginalkan, yang menggigil dan bergetar menahan keinginan untuk menyakiti diri sendiri. Subjek-subjek yang terasing mengenalkan kita pada fantasi lain, jauh dari cerita cinta romatis kelas menengah, tambah terasing dari cinta sekolah rendah kalau kata Chairil.

Subjek dalam film Kim Ki Duk adalah mereka yang diam dan tak bisa berontak pada dunia besar yang menekan dan mencekik, tapi di sisi lain mereka otonom dalam dunia kecilnya. Subjek-subjek diam itu bebas untuk bunuh diri, sedikit berharap kalau mau, atau tetap pasrah menjalani hidup yang asing itu. Sisi gelap jiwa manusia dihadirkan menjadi bahasa sebagaimana konstruksi-konstuksi hubungan yang penuh kepatuhan, bujuk rayu, dominasi dan pemberontakan. Kim Ki Duk sudah menjajal batas sense kita terhadap visualisasi parade atas kekerasan dan kekejaman. Daripada sekian bentuk kritik soal moral, penonton yang baik tentu bisa memilih apakah akan tetap menonton atau meninggalkan ruangan sebelum film selesai diputar. Gawatnya, sekarang saya kehabisan kopi. Kim Ki Duk lagi asyik mancing sama temannya di pinggir kali ditemani perempuan telanjang. Gawatnya lagi, kumis temannya tanggal dan dimakan ikan. Sekian.

Kamar Kost, 23 Maret 2013