Saya mendengar nama Jean Anouilh pertama kali dari naskah
teaternya berjudul Thieves’ Carnival yang diterjemahkan Asrul Sani. Dan
beberapa waktu yang lalu saya kembali menemukan naskahnya yang lain berjudul Eurydice menjadi bagian dari film Alain
Resnais: You Aint’t Seen Nothing Yet.
Film ini menarik bagi saya karena bisa mendengar naskah Anouilh diucapkan
dengan bahasa aslinya. Aktifitas menulis naskah menemukan realisasinya dalam
pertunjukan dan pertunjukan menemukan dirinya lewat kehadiran penonton,
sementara penonton juga bukan ujung akhir dari rangkaian tersebut melainkan
menjadi awal dari suatu proses resiprokal yang terus berkesinambungan. Demikian
halnya dengan Resnais yang melihat naskah tersebut dipentaskan kemudian
menciptakannya kembali dalam filmnya kali ini.
Eurydice
ditampilkan sebagai subjek cerita dimana narasi film hanya menjadi pembungkus
yang menonjol di bagian awal dan akhir. Anouilh menulis naskah tersebut pada
awal 1940-an ketika Jerman menduduki Prancis. Sebuah kisah tragis yang bernada
pesimis memang. Begitu dekatnya cinta dan kematian yang ternyata hanya
dibedakan oleh satu huruf vokal saja: l'amour dan la mort. Tahun
1950, Jean Cocteau membuat film berdasarkan mitos serupa. Namun, ia hanya
menggunakan mitos tersebut untuk mengungkapkan perangkat simbolnya sendiri. Lewat
kamera dan lingkupnya, penonton diajak menembus cermin Cocteau sebagai pintu
menuju dunia kematian, sebuah adegan dan simbol yang bisa dimaknai apapun. Lantas
apa yang menarik dari Resnais?
Resnais selalu memiliki perlakuan unik terhadap teks sastra sebagai
salah satu bagian dasar dari filmnya, termasuk naskah drama. Setelah Hiroshima Mon Amour (1959), karena saya
belum sempat menikmati film-film Resnais yang dibuat belakangan, saya
menantikan film-film serupa yang tidak hanya melakukan adaptasi terhadap karya
sastra tetapi juga menambahkan citraan-citraan baru di dalamnya. Tak terkecuali
dengan film ini, Resnais menunjukkan bagaimana gambar-gambar diproduksi dengan
rangkaian teks sastra di kepala. Dalam tujuh dekade karirnya, Resnais masih
setia bermain-main di wilayah ingatan manusia yang kali ini melibatkan sebuah nasakah
drama dan ingatan para aktornya.
You Ain’t Seen Nothing
Yet diawali dengan rangkaian adegan paralel yang dipercepat. Para aktor
diminta berkumpul di sebuah rumah untuk mendengarkan pesan terakhir dari
sahabat sekaligus orang yang pernah menyutradarai pertunjukan teater mereka. Di
rumah besar itu, orang yang dikabarkan telah meninggal tersebut muncul dalam
rekaman video dan meminta para aktor untuk menyaksikan pertunjukan ulang Eurydice yang dulu pernah mereka
perankan. Dari sinilah lapis-lapis struktur dalam film ini mulai dimainkan.
Naskah Eurydice ditulis
Anouilh dengan menulis kembali mitos Orpheus yang digambarkannya sebagai
seorang pemain violin di restoran pinggir stasiun, sementara Eurydice sebagai
salah satu aktris kelompok teater. Lapis pertama dalam film memperlihatkan
video pertunjukan yang ditonton oleh aktor-aktor yang pernah memerankan
karakter-karakter tersebut. Sepanjang menonton video, masing-masing
aktor menyusuri kembali ingatan dalam dialog-dialog yang dulu pernah mereka
ucapkan.
Lapis kedua merupakan transposisi citra sinematik yang lebih
kompleks. Latar rumah besar dimana para aktor duduk menonton video,
dengan pelan dan lembut berubah menjadi latar dalam naskah drama: restoran
pinggir stasiun dan sebuah kamar hotel. Aktor-aktor yang menonton video
tersebut memerankan kembali karakter-karakter yang dulu pernah mereka mainkan. Ingatan
aktor tidak hanya akan bercerita tentang dialog seperti apa yang pernah mereka
ucapkan melainkan dengan seluruh proses pembentukan karakter mereka berikut naskah,
latar, panggung dan peran-perannya.
Gambaran ingatan aktor benar-benar diwujudkan Resnais dalam
rangkaian adegan panjang. Resnais membuat khayalan kolektif sekelompok aktor
yang duduk menonton di tempatnya masing-masing, seolah-olah sedang berdialog
satu sama lain tetapi sebenarnya mereka hanya berdialog dengan layar yang
menampilkan video pertunjukan. Sedangkan bagi penonton film itu sendiri,
seberapapun banyaknya dimensi ruang yang dihadirkan dalam film, penonton hanya
dapat menikmati layar dua dimensi yang tak dapat ditembus. Meskipun demikian,
setiap karakter berikut cerita yang membentuknya akan selalu menjadi penghubung
ruang, waktu dan psikologis antara film dan penontonnya.
Resnais menghadirkan tiga pasang karakter Orpheus dan
Eurydice yang bisa jadi mewakili tiga generasi. Dalam video yang diperlihatkan,
naskah Eurydice ditampilkan dengan
latar berbeda. Para aktor menggulingkan drum besar yang kemudian ditata menjadi
meja-meja restauran. Sebuah bandul dilepaskan sebagai pengganti jam besar yang
terletak di stasiun dalam naskah aslinya. Mise-en-scene
dalam video tersebut sudah mampu membangkitkan ketertarikan terhadap film ini,
apalagi saya yang menyukai teater. Naskah yang sama bisa jadi ditampilkan
dengan sangat berbeda di tiap zaman. Orang akan selalu menerjemahkan, membaca
dan menulis ulang sesuai dengan zamannya. Bahkan, gaya akting pun bisa kita
saksikan perbedaannya dalam tiga generasi yang memerankan Orpheus dan Eurydice.
Di beberapa bagian, Resnais membuat dua wilayah antara aktor
dalam video dan para aktor yang menontonnya bisa saling menembus, saling
berdialog. Wilayah-wilayah cermin dimainkan dengan capaian teknis film yang
memperlihatkan keterlibatan spasial dan emosional antara penonton video dan
layar di hadapan mereka. Resnais dengan cantik mendekatkan kamera, membuat
lingkaran di seputar wajah para aktor dan menggelapkan sisi luarnya. Ekspresi
aktor tampak kuat dengan teknik ini, ekspresi yang memperlihatkan wajah-wajah
yang larut menatap layar, menatap diri dengan peran masing-masing dalam
video. Para aktor tidak hanya mengingat, melainkan juga memaknai sambil
memandang pertunjukan dalam video sebagai persona, semacam topeng-topeng yang
sempat dikenakan dan mungkin masih tersisa dalam diri mereka.
Resnais bahkan membelah layar menjadi dua atau empat bagian
untuk menghadirkan adegan yang sama, namun diperankan oleh aktor yang berbeda. Di
beberapa bagian, Resnais menggunakan trik-trik sulap yang sekilas terlihat
naif. Seorang aktor bisa tiba-tiba menghilang dan muncul perlahan. Teknik
tersebut barangkali dapat dibaca sebagai suatu cara untuk menguatkan surealitas
naskah aslinya. Namun bisa jadi Resnais ingin mengatakan bahwa keajaiban dalam
film memang tidak dapat bertahan selamanya, sebagaimana panggung teater bagi
seorang aktor. Menjadi Eurydice hanya akan bertahan dalam hitungan jam dan selebihnya,
seorang aktor akan memerankan peran-perannya yang lain.
Cerita film ini pun sebenarnya tidak terlalu jauh dengan
kisah cinta Opheus dan Eurydice. Di awal film, penonton sudah diberi tahu kalau
sutradara yang meninggal tersebut adalah orang yang kerap gagal dalam kisah
percintaannya di dunia nyata. Di akhir film, sang sutradara memang dikabarkan
tak jadi meninggal. Ia muncul setelah video pertunjukan selesai diputar. Namun
tak lama kemudian, pada sebuah pagi, sang sutradara terlihat menceburkan diri
ke kolam dan ditemukan meninggal. Lalu film pun ditutup dengan adegan seorang gadis muda yang muncul sembunyi-sembunyi
di pemakaman. Sang sutradara terkesan seperti Eurydice yang kembali ke dunia
nyata namun tetap berakhir di dunia kematian, wilayah yang digambarkan Resnais
sebagai hutan gelap berwarna kebiruan dengan selimut kabut dan asap-asap tipis.
Dalam naskah drama maupun filmnya, kisah ini memang
diselimuti adegan-adegan sureal yang ironisnya justru bisa dicapai dengan
sempurna lewat perangkat kamera dan mode penyuntingan gambar film. Mitos
Orpheus adalah cerita masa lalu yang dalam sekian tahun telah dipelintir,
digarisbawahi bahkan disalahartikan oleh sekian banyak penulis maupun pembuat
film. Lewat Anouilh, dan yang kita saksikan sekarang adalah film Alain Resnais,
cerita ini menjadi milik masa kini, bahkan menarik rasa ingin tahu seseorang
untuk menelusurinya kembali, jauh ke belakang. Mitos atau apapun sebutannya
akan selalu menyediakan diri untuk ditafsir ulang sekaligus menyusun sendiri
petualangannya dari zaman ke zaman.
Apa yang kita saksikan dalam film Resnais memang belum
memperlihatkan apapun, sebagaimana judul film itu berusaha untuk mengajak
penonton menziarahi kembali, menemukan metafor dan alegori tentang cinta dan
kematian yang telah dituturkan lewat begitu banyak cerita. Satu hal yang nyata
dari film Resnais maupun naskah drama Anouilh adalah: perempuan akan bertemu
dengan laki-laki, lalu berpisah, entah oleh kematian atau cinta yang selalu
kalah dengan kenyataan.
Ditulis ketika hujan
deras dan berniat membuat pengantar untuk Bab 2. Sebuah niat yang urung karena
saya terlalu merindukan seseorang. Jadi, salahkan saja orang itu kalau saya malah
menulis hal-hal semacam ini. Huft.
22 Febuari 2014