Warung makan pinggir jalan itu sepi. Ketika saya tiba, hanya
ada dua laki-laki yang makan malam di sana. Satu laki-laki sudah beranjak
pergi. Satu lagi langsung menyita perhatian saya. Di depannya tampak segelas
air putih yang tinggal dua per tiga tersisa. Tak ada lagi makanan. Mungkin dia
sudah menghabiskannya dan menyuruh si penjual untuk membersihkan meja. Benda yang
tampak di depannya adalah dua buah buku. Satu buku sedang dibuka-bukanya. Satu lagi
tergeletak di meja, agak ke samping. Bersamaan dengan saat makanan saya tiba,
pemuda itu meletakkan buku yang dibacanya lalu mengambil buku tulis bersampul
kartun burung-burung marah (angry birds). Ia
mulai menulis.
Pemuda itu memakai kaos oranye warna jeruk bertuliskan Qur’anic Writing. Hmmm... ini pasti
metode menulis mutakhir yang bisa membuat penggunanya disayang tuhan dan masuk
surga. Karena warna kaosnya itulah saya kemudian memanggilnya Pemuda Jeruk
Keprok. Malam ini terang benderang, tapi rambut dan wajah Pemuda Jeruk Keprok
tampak basah. Ia tentu saja tidak habis kehujanan, mungkin ia habis mencuci
muka atau bisa jadi wajahnya basah karena keringat kelelahan, efek sehabis
makan atau satu bidang di otaknya sedang kebakaran sehinga harus segera diselamatkan
dengan menulis.
Barangkali ia merasa kalau saya perhatikan. Mungkin juga
tidak karena begitu asyiknya ia menulis. Kadang-kadang bibirnya seperti
menggumamkan sesuatu. Sekilas memandang ke depan tapi pikirannya tak pernah
melayang-layang. Saya seperti melihat tokoh-tokoh cerita sedang berloncatan
dari tinta penanya. Alur-alur berkelok-kelok dan bercabang-cabang menganak
sungai. Lancar sekali ia menulis, batin saya. Ia hanya pernah berhenti beberapa
detik untuk kemudian melanjutkan menulis lagi.
Wajah pemuda itu sebenarnya tak asing. Ingatan saya tentang
wajah orang cukup lumayan meski sampai sekarang keadaannya tetap demikian: saya
mengingat banyak wajah yang tidak pernah mengingat wajah saya. Haha. Kemarin malam, saya melihat pemuda dengan gaya kemayu itu
datang bersama temannya yang penulis di sebuah acara yang isinya juga
kebanyakan penulis. Dengan temannya itu, Pemuda Jeruk Keprok membicarakan
sebuah buku yang sudah diterbitkan beberapa kali dan membandingkan penyuntingannya.
Pemuda Jeruk Keprok masih saja menemukan dua kata ‘dan’ dalam satu kalimat di
buku itu. Entah sudah cetakan keberapa, buku itu masih juga jelek suntingannya.
Tentu saja ingatan dan kuping saya ini tidak akurat. Jadi apa
yang saya tuliskan di sini sebatas reka-reka belaka. Saya tak menghitung berapa
sendok nasi yang sudah masuk ke mulut. Dan Pemuda Jeruk Keprok masih saja
menulis. Huruf-hurufnya berjejer kecil-kecil dan rapi. Satu halaman penuh ia isi hanya
dengan beberapa kali jeda, sesekali melihat ke depan atau meneguk air putih. Beberapa
waktu berselang, ia terlihat membuka halaman sebelumnya dan di sana sudah pula
penuh dengan tulisan. Entah sudah berapa lama Pemuda Jeruk Keprok berapa di
warung makan itu. Ia sekilas membacai lagi tulisannya yang kelihatan hampir
tanpa coretan. Sesekali ia juga membukai halaman belakang buku bersampul burung-burung marah itu. Di sana pun sudah ada tulisannya. Otak saya sungguh penuh ide usil
dan iseng. Ah, tapi tetap saja saya hanya duduk di tempat dan membayang-bayangkan
sendiri apa yang sedang ditulisnya.
Pemuda Jeruk Keprok bagi saya menjadi pemandangan ganjil
karena biasanya orang mengobrol atau memainkan gadget sembari makan. Ia duduk sendirian. Saya pun demikian. Mata kami
tak pernah bertemu. Tampaknya ia sungguh sibuk dengan pikirannya. Sesekali ia
menulis sambil memegang dahi. Sementara saya senang-senang saja melihatnya
menulis begitu. Lancar sekali ia menulis. Pasti sebelum memulai ia membaca bismillah dulu. Pemuda Jeruk Keprok juga
membuat saya iri. Ia bisa menulis di mana saja. Beda dengan saya yang cuma jadi
manusia kamar tapi juga gak
nulis-nulis, yang ketika berada di keramaian terlalu asyik memandangi banyak
hal dengan pikiran mengembara entah sampai di mana.
Sudah satu setengah halaman, ia tiba-tiba membuka tutup
bawah pena birunya. Ada satu bagian dari pena itu yang jatuh ke meja. Pemuda
Jeruk Keprok memungut dan memasangnya kembali. Saya tidak tahu apakah penanya
bermasalah. Karena tak lama setelah itu, Pemuda Jeruk Keprok mengambil jaket
yang dari awal berada di pangkuannya. Ia membalik jaket itu dan mengenakannya. Dalam
hati saya merasa sedih karena Pemuda Jeruk Keprok pasti akan segera pergi
sehingga saya akan kehilangan kesenangan kecil malam ini.
Ketika ia berdiri dan membayar, saya segera menyusul si Pemuda
Jeruk Keprok. Siapa tahu saya bisa mengintip buku apa yang sedang dibawanya
itu. Pada akhirnya saya bisa melihat judul salah satu buku yang ia bawa, The Secret karangan Rondha Byrne. Njegleg sudah bayangan saya tentang Pemuda
Jeruk Keprok. Meskipun tentu ada banyak kemungkinan kenapa Pemuda Jeruk Keprok
membawa buku itu. Bisa jadi ia akan mengkritisi buku itu secara Qur’an-ni atau
bisa pula ia tak sengaja menemukan buku itu di pinggir jalan (kemungkinan ini
sungguh kecil. Buku-buku tak pernah berceceran di jalanan). Mungkin juga ia
sedang memunguti kata-kata mutiara dari buku itu untuk mengejek orang-orang
yang sudah tidak berpikir soal makan hari ini, yang percaya bahwa kaya dan sukses
itu akan terwujud dengan berpikir positif dan membayangkannya setiap saat (orang
miskin kemungkinan tidak akan percaya dengan buku ini). Bisa juga ia sedang
menuliskan jalan menuju kesuksesannya yang akan dia baca ketika bangun tidur
sebelum memulai hari. Entahlah. Dan tentu saja masih banyak kemungkinan lain. Pemuda
Jeruk Keprok cepat sekali menghilang. Saya sama sekali tak bisa menemukan
jejaknya sesaat setelah membayar makanan yang berlangsung hanya beberapa detik.
Tulisan ini mungkin sangat terkesan diselesaikan dengan
paksa, sudah pasti tidak sebanding dengan judulnya yang panjang. Menceritakan kembali ingatan saya tentang Pemuda
Jeruk Keprok ternyata tak menghabiskan halaman sebanyak apa yang ia tuliskan
sepanjang saya makan malam. Tentu karena saya bukan Funes si Memorius, tokoh
dalam cerita Borges yang digambarkan bisa mengingat segalanya. Kalau saja saya
adalah Funes (meskipun saya sangat tidak menginginkan punya ingatan sepertinya),
maka saya akan mengingat berapa kali Pemuda Jeruk Keprok melihat ke depan,
masing-masing pada pukul berapa, berapa kali ia menghentikan penanya, berapa kali
ia menggumam, atau kendaraan apa saja yang lewat ketika Pemuda Jeruk Keprok
menuliskan satu huruf di atas kertasnya. Betapa cukup menyenangkannya ketemu Pemuda
Jeruk Keprok malam ini. Salam hangat dari saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar