Rabu, 05 Februari 2014

Merekam Pemuda Jeruk Keprok yang Menemani Saya Makan Malam Sambil Menulis Sepanjang Satu Setengah Halaman

Warung makan pinggir jalan itu sepi. Ketika saya tiba, hanya ada dua laki-laki yang makan malam di sana. Satu laki-laki sudah beranjak pergi. Satu lagi langsung menyita perhatian saya. Di depannya tampak segelas air putih yang tinggal dua per tiga tersisa. Tak ada lagi makanan. Mungkin dia sudah menghabiskannya dan menyuruh si penjual untuk membersihkan meja. Benda yang tampak di depannya adalah dua buah buku. Satu buku sedang dibuka-bukanya. Satu lagi tergeletak di meja, agak ke samping. Bersamaan dengan saat makanan saya tiba, pemuda itu meletakkan buku yang dibacanya lalu mengambil buku tulis bersampul kartun burung-burung marah (angry birds). Ia mulai menulis.

Pemuda itu memakai kaos oranye warna jeruk bertuliskan Qur’anic Writing. Hmmm... ini pasti metode menulis mutakhir yang bisa membuat penggunanya disayang tuhan dan masuk surga. Karena warna kaosnya itulah saya kemudian memanggilnya Pemuda Jeruk Keprok. Malam ini terang benderang, tapi rambut dan wajah Pemuda Jeruk Keprok tampak basah. Ia tentu saja tidak habis kehujanan, mungkin ia habis mencuci muka atau bisa jadi wajahnya basah karena keringat kelelahan, efek sehabis makan atau satu bidang di otaknya sedang kebakaran sehinga harus segera diselamatkan dengan menulis.

Barangkali ia merasa kalau saya perhatikan. Mungkin juga tidak karena begitu asyiknya ia menulis. Kadang-kadang bibirnya seperti menggumamkan sesuatu. Sekilas memandang ke depan tapi pikirannya tak pernah melayang-layang. Saya seperti melihat tokoh-tokoh cerita sedang berloncatan dari tinta penanya. Alur-alur berkelok-kelok dan bercabang-cabang menganak sungai. Lancar sekali ia menulis, batin saya. Ia hanya pernah berhenti beberapa detik untuk kemudian melanjutkan menulis lagi.

Wajah pemuda itu sebenarnya tak asing. Ingatan saya tentang wajah orang cukup lumayan meski sampai sekarang keadaannya tetap demikian: saya mengingat banyak wajah yang tidak pernah mengingat wajah saya. Haha.  Kemarin malam, saya melihat pemuda dengan gaya kemayu itu datang bersama temannya yang penulis di sebuah acara yang isinya juga kebanyakan penulis. Dengan temannya itu, Pemuda Jeruk Keprok membicarakan sebuah buku yang sudah diterbitkan beberapa kali dan membandingkan penyuntingannya. Pemuda Jeruk Keprok masih saja menemukan dua kata ‘dan’ dalam satu kalimat di buku itu. Entah sudah cetakan keberapa, buku itu masih juga jelek suntingannya.

Tentu saja ingatan dan kuping saya ini tidak akurat. Jadi apa yang saya tuliskan di sini sebatas reka-reka belaka. Saya tak menghitung berapa sendok nasi yang sudah masuk ke mulut. Dan Pemuda Jeruk Keprok masih saja menulis. Huruf-hurufnya berjejer kecil-kecil dan rapi. Satu halaman penuh ia isi hanya dengan beberapa kali jeda, sesekali melihat ke depan atau meneguk air putih. Beberapa waktu berselang, ia terlihat membuka halaman sebelumnya dan di sana sudah pula penuh dengan tulisan. Entah sudah berapa lama Pemuda Jeruk Keprok berapa di warung makan itu. Ia sekilas membacai lagi tulisannya yang kelihatan hampir tanpa coretan. Sesekali ia juga membukai halaman belakang buku bersampul burung-burung marah itu. Di sana pun sudah ada tulisannya. Otak saya sungguh penuh ide usil dan iseng. Ah, tapi tetap saja saya hanya duduk di tempat dan membayang-bayangkan sendiri apa yang sedang ditulisnya.

Pemuda Jeruk Keprok bagi saya menjadi pemandangan ganjil karena biasanya orang mengobrol atau memainkan gadget sembari makan. Ia duduk sendirian. Saya pun demikian. Mata kami tak pernah bertemu. Tampaknya ia sungguh sibuk dengan pikirannya. Sesekali ia menulis sambil memegang dahi. Sementara saya senang-senang saja melihatnya menulis begitu. Lancar sekali ia menulis. Pasti sebelum memulai ia membaca bismillah dulu. Pemuda Jeruk Keprok juga membuat saya iri. Ia bisa menulis di mana saja. Beda dengan saya yang cuma jadi manusia kamar tapi juga gak nulis-nulis, yang ketika berada di keramaian terlalu asyik memandangi banyak hal dengan pikiran mengembara entah sampai di mana.

Sudah satu setengah halaman, ia tiba-tiba membuka tutup bawah pena birunya. Ada satu bagian dari pena itu yang jatuh ke meja. Pemuda Jeruk Keprok memungut dan memasangnya kembali. Saya tidak tahu apakah penanya bermasalah. Karena tak lama setelah itu, Pemuda Jeruk Keprok mengambil jaket yang dari awal berada di pangkuannya. Ia membalik jaket itu dan mengenakannya. Dalam hati saya merasa sedih karena Pemuda Jeruk Keprok pasti akan segera pergi sehingga saya akan kehilangan kesenangan kecil malam ini.

Ketika ia berdiri dan membayar, saya segera menyusul si Pemuda Jeruk Keprok. Siapa tahu saya bisa mengintip buku apa yang sedang dibawanya itu. Pada akhirnya saya bisa melihat judul salah satu buku yang ia bawa, The Secret karangan Rondha Byrne. Njegleg sudah bayangan saya tentang Pemuda Jeruk Keprok. Meskipun tentu ada banyak kemungkinan kenapa Pemuda Jeruk Keprok membawa buku itu. Bisa jadi ia akan mengkritisi buku itu secara Qur’an-ni atau bisa pula ia tak sengaja menemukan buku itu di pinggir jalan (kemungkinan ini sungguh kecil. Buku-buku tak pernah berceceran di jalanan). Mungkin juga ia sedang memunguti kata-kata mutiara dari buku itu untuk mengejek orang-orang yang sudah tidak berpikir soal makan hari ini, yang percaya bahwa kaya dan sukses itu akan terwujud dengan berpikir positif dan membayangkannya setiap saat (orang miskin kemungkinan tidak akan percaya dengan buku ini). Bisa juga ia sedang menuliskan jalan menuju kesuksesannya yang akan dia baca ketika bangun tidur sebelum memulai hari. Entahlah. Dan tentu saja masih banyak kemungkinan lain. Pemuda Jeruk Keprok cepat sekali menghilang. Saya sama sekali tak bisa menemukan jejaknya sesaat setelah membayar makanan yang berlangsung hanya beberapa detik.

Tulisan ini mungkin sangat terkesan diselesaikan dengan paksa, sudah pasti tidak sebanding dengan judulnya yang panjang. Menceritakan kembali ingatan saya tentang Pemuda Jeruk Keprok ternyata tak menghabiskan halaman sebanyak apa yang ia tuliskan sepanjang saya makan malam. Tentu karena saya bukan Funes si Memorius, tokoh dalam cerita Borges yang digambarkan bisa mengingat segalanya. Kalau saja saya adalah Funes (meskipun saya sangat tidak menginginkan punya ingatan sepertinya), maka saya akan mengingat berapa kali Pemuda Jeruk Keprok melihat ke depan, masing-masing pada pukul berapa, berapa kali ia menghentikan penanya, berapa kali ia menggumam, atau kendaraan apa saja yang lewat ketika Pemuda Jeruk Keprok menuliskan satu huruf di atas kertasnya. Betapa cukup menyenangkannya ketemu Pemuda Jeruk Keprok malam ini. Salam hangat dari saya.

Kamar Kost, 5 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar