Di kota kecil tempat saya membusuk sekarang ini, konon ada
harapan dibangunnya sebuah bioskop. Entah jadi atau tidak, proposalnya baru
masuk dan masih nego harga. Kalau memang benar ada bioskop di kota ini, belum
tentu juga saya diijinkan untuk menikmati sajian film layar lebar.
Kesenangan-kesenangan yang semakin berkurang memang sudah menjadi konsekuensi
dari pilihan jalan hidup yang sekarang sedang saya jalani.
Biarlah orang ribut-ribut soal film Istirahatlah Kata-Kata. Di sini saya hanya bisa menikmati tulisan
dan komentar-komentar atasnya, berikut meme-meme terkait yang bertebaran di
media sosial, mulai dari sekian banyak plesetan judulnya sampai bertaburannya
puisi-puisi Wiji Thukul yang kadang bisa menyejukkan tapi kadang pula begitu
kering, begitu saja dipakai, dan begitu saja dilepaskan dari konteksnya.
Istirahatlah Kata-Kata
mengundang beragam komentar. Dari yang memuji hingga yang nyinyir. Ada yang
membandingkannya dengan Motorcycle
Diaries, ada pula yang menuliskannya dengan begitu politis. Sosok Wiji
Thukul pun memang sudah sedemikian politis. Banyak yang menilai pendekatan film
yang lebih menonjolkan sisi keseharian sang penyair bisa menjadi kekuatan
sekaligus kelemahan. Tentu saya tidak akan membahas detail film itu karena saya
belum menontonya. Apa yang akan saya ungkapkan adalah sesuatu yang dekat-dekat
saja dengan pribadi saya.
Film biografis memang telah banyak bermunculan. Mulai dari
Tjut Nya’ Dien, Sang Pencerah, Sang Kyai, Soegija, Soekarno, sampai Habibie dan
Ainun, sampai Jokowi. Memfilmkan sosok besar memang beresiko, apalagi kalau
meleset dari pengetahuan awal para penontonnya sebelum mereka melihat film.
Mungkin banyak yang kecewa tapi bisa jadi juga bayak yang suka. Dan memang film
bukan arena yang netral dimana berbagai pertarungan ide, kepentingan, hingga
pesanan berkumpul jadi satu di dalamnya. Bagaimana dengan Wiji Thukul?
Saya mengenal sosok Wiji Thukul semenjak es em a. Jalan
perkenalan saya pun bisa dibilang unik. Di es em a, saya dikenal sebagai
penyair liris, bisanya bikin puisi yang indah-indah tentang langit, hujan, daun-daun
jatuh, dan apalah itu. Bagi saya, puisi-puisi bagus saat itu adalah puisi-puisi
yang dimuat di majalah Horison di mana saya mengenal Opa Taufik Ismail yang
sudah dibikin memenya jadi Istirahatlah Kakek-Kakek itu. Ragam diksi dan
pertalian kata yang saya gunakan saat itu sama sekali tidak repolusioner. Saya
sudah menamatkan Tirani dan Benteng
dan cukup menikmatinya. Saya hanya mengenal Chairil lewat Aku dan beberapa
karya Leon Agusta yang saya bacakan saat lomba porseni tingkat es de.
Pertemuan dengan Wiji Thukul memang cukup mengejutkan. Pada
waktu itu saya mendadak diminta mengikuti lomba baca puisi yang salah satu
puisi pilihannya adalah Nyanyian Abang
Becak. Sungguh girang saya menemukan sebuah puisi yang bisa begitu nandhes
dan lugas. Dalam lomba itu, saya cuma jadi juara 2 karena saya tidak memenuhi
kriteria membaca puisi yang baik dan benar. Kata jurinya, saya terlalu
teatrikal dalam membawakannya. Ini lomba baca puisi, bukan pentas monolog,
katanya. Mungkin saya perlu membacakannya sambil mengisap rokok, di depan stand
mic, diiringi musik genjrang-genjreng yang berirama semakin cepat ketika
semakin cepat pula kata-kata diucapkan sang penyair.
Saya tidak begitu fasih bicara politik meski sedikit-sedikit
tahu soal kejamnya pemerintah Orde Baru dan sekompi kacang ijonya. Nyanyian Abang Becak adalah keseharian
yang tampak di hadapan saya pada saat itu, terlepas dari pengetahuan tentang
persoalan struktural yang memungkinkannya terjadi. Nalar remaja saya belum
mampu menggapai bagaimana nasib bisa menjadi persoalan kekuasaan. Sampai
sekarang, Nyanyian Abang Becak terus
berevolusi dalam diri saya. Sedikit demi sedikit puisi itu tumbuh dan menubuh.
Ah, tapi mungkin saya terlalu berlebihan. Puisi Wiji Thukul memang terus
mengendap meskipun tidak mempengaruhi proses saya menulis puisi selanjutnya.
Puisi-puisi saya tetap cuma onani sia-sia. Masih saja liris, tidak politis,
manikebuis, hingga pada akhirnya saya jengah dan merasa cukup dengan puisi.
Nyanyian Abang Becak
memang dekat dengan saya karena memang seperti itulah yang dirasakan
orang-orang di kampung saya. Dari rasan-rasan mereka di bawah pohon matoa di
halaman rumah, berbagai sambat terlontar dengan riangnya. Saya tidak pernah
tahu bagaimana rasanya harga-harga bisa mempengaruhi sedikit banyaknya beras
dan lauk yang terhidang di meja. Hidup seolah tak pernah merasa kekurangan
meskipun saya cuma anak guru es de. Sampai pada akhirnya saat ini saya tahu
bagaimana susahnya ngubetne duit yang ada untuk memenuhi kebutuhan. Mungkin belum
bisa dikatakan kekurangan tapi memang nyaris-nyaris. Begitulah soal pemenuhan
kebutuhan yang tentu jadinya sangat personal.
Wiji Thukul digambarkan sebagai sosok yang terasing dimana
saya juga tidak tahu keterasingan dari sudut mana yang coba dijelajahi. Menjadi
asing. Saya secara sadar memang sedang mengasingkan diri. Hidup dalam sunyi. Tidak
banyak berinteraksi dengan dunia luar. Suatu kondisi yang mungkin sama tapi
begitu kontra produktif dari apa yang dilakukan Wiji Thukul. Dua keterasingan
yang sama sekali berbeda.
Dan begitulah. Saya kembali tenggelam dan rebah dalam alunan
soundtrack In the Mood for Love.
24 Februari