Jumat, 24 Februari 2017

Wiji Thukul dan Saya

Di kota kecil tempat saya membusuk sekarang ini, konon ada harapan dibangunnya sebuah bioskop. Entah jadi atau tidak, proposalnya baru masuk dan masih nego harga. Kalau memang benar ada bioskop di kota ini, belum tentu juga saya diijinkan untuk menikmati sajian film layar lebar. Kesenangan-kesenangan yang semakin berkurang memang sudah menjadi konsekuensi dari pilihan jalan hidup yang sekarang sedang saya jalani.

Biarlah orang ribut-ribut soal film Istirahatlah Kata-Kata. Di sini saya hanya bisa menikmati tulisan dan komentar-komentar atasnya, berikut meme-meme terkait yang bertebaran di media sosial, mulai dari sekian banyak plesetan judulnya sampai bertaburannya puisi-puisi Wiji Thukul yang kadang bisa menyejukkan tapi kadang pula begitu kering, begitu saja dipakai, dan begitu saja dilepaskan dari konteksnya.

Istirahatlah Kata-Kata mengundang beragam komentar. Dari yang memuji hingga yang nyinyir. Ada yang membandingkannya dengan Motorcycle Diaries, ada pula yang menuliskannya dengan begitu politis. Sosok Wiji Thukul pun memang sudah sedemikian politis. Banyak yang menilai pendekatan film yang lebih menonjolkan sisi keseharian sang penyair bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. Tentu saya tidak akan membahas detail film itu karena saya belum menontonya. Apa yang akan saya ungkapkan adalah sesuatu yang dekat-dekat saja dengan pribadi saya.

Film biografis memang telah banyak bermunculan. Mulai dari Tjut Nya’ Dien, Sang Pencerah, Sang Kyai, Soegija, Soekarno, sampai Habibie dan Ainun, sampai Jokowi. Memfilmkan sosok besar memang beresiko, apalagi kalau meleset dari pengetahuan awal para penontonnya sebelum mereka melihat film. Mungkin banyak yang kecewa tapi bisa jadi juga bayak yang suka. Dan memang film bukan arena yang netral dimana berbagai pertarungan ide, kepentingan, hingga pesanan berkumpul jadi satu di dalamnya. Bagaimana dengan Wiji Thukul?

Saya mengenal sosok Wiji Thukul semenjak es em a. Jalan perkenalan saya pun bisa dibilang unik. Di es em a, saya dikenal sebagai penyair liris, bisanya bikin puisi yang indah-indah tentang langit, hujan, daun-daun jatuh, dan apalah itu. Bagi saya, puisi-puisi bagus saat itu adalah puisi-puisi yang dimuat di majalah Horison di mana saya mengenal Opa Taufik Ismail yang sudah dibikin memenya jadi Istirahatlah Kakek-Kakek itu. Ragam diksi dan pertalian kata yang saya gunakan saat itu sama sekali tidak repolusioner. Saya sudah menamatkan Tirani dan Benteng dan cukup menikmatinya. Saya hanya mengenal Chairil lewat Aku dan beberapa karya Leon Agusta yang saya bacakan saat lomba porseni tingkat es de.

Pertemuan dengan Wiji Thukul memang cukup mengejutkan. Pada waktu itu saya mendadak diminta mengikuti lomba baca puisi yang salah satu puisi pilihannya adalah Nyanyian Abang Becak. Sungguh girang saya menemukan sebuah puisi yang bisa begitu nandhes dan lugas. Dalam lomba itu, saya cuma jadi juara 2 karena saya tidak memenuhi kriteria membaca puisi yang baik dan benar. Kata jurinya, saya terlalu teatrikal dalam membawakannya. Ini lomba baca puisi, bukan pentas monolog, katanya. Mungkin saya perlu membacakannya sambil mengisap rokok, di depan stand mic, diiringi musik genjrang-genjreng yang berirama semakin cepat ketika semakin cepat pula kata-kata diucapkan sang penyair.

Saya tidak begitu fasih bicara politik meski sedikit-sedikit tahu soal kejamnya pemerintah Orde Baru dan sekompi kacang ijonya. Nyanyian Abang Becak adalah keseharian yang tampak di hadapan saya pada saat itu, terlepas dari pengetahuan tentang persoalan struktural yang memungkinkannya terjadi. Nalar remaja saya belum mampu menggapai bagaimana nasib bisa menjadi persoalan kekuasaan. Sampai sekarang, Nyanyian Abang Becak terus berevolusi dalam diri saya. Sedikit demi sedikit puisi itu tumbuh dan menubuh. Ah, tapi mungkin saya terlalu berlebihan. Puisi Wiji Thukul memang terus mengendap meskipun tidak mempengaruhi proses saya menulis puisi selanjutnya. Puisi-puisi saya tetap cuma onani sia-sia. Masih saja liris, tidak politis, manikebuis, hingga pada akhirnya saya jengah dan merasa cukup dengan puisi.


Nyanyian Abang Becak memang dekat dengan saya karena memang seperti itulah yang dirasakan orang-orang di kampung saya. Dari rasan-rasan mereka di bawah pohon matoa di halaman rumah, berbagai sambat terlontar dengan riangnya. Saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya harga-harga bisa mempengaruhi sedikit banyaknya beras dan lauk yang terhidang di meja. Hidup seolah tak pernah merasa kekurangan meskipun saya cuma anak guru es de. Sampai pada akhirnya saat ini saya tahu bagaimana susahnya ngubetne duit yang ada untuk memenuhi kebutuhan. Mungkin belum bisa dikatakan kekurangan tapi memang nyaris-nyaris. Begitulah soal pemenuhan kebutuhan yang tentu jadinya sangat personal.

Wiji Thukul digambarkan sebagai sosok yang terasing dimana saya juga tidak tahu keterasingan dari sudut mana yang coba dijelajahi. Menjadi asing. Saya secara sadar memang sedang mengasingkan diri. Hidup dalam sunyi. Tidak banyak berinteraksi dengan dunia luar. Suatu kondisi yang mungkin sama tapi begitu kontra produktif dari apa yang dilakukan Wiji Thukul. Dua keterasingan yang sama sekali berbeda.

Dan begitulah. Saya kembali tenggelam dan rebah dalam alunan soundtrack In the Mood for Love.



24 Februari

Sabtu, 21 Januari 2017

00:04

I take my broken heart and turn it into fart. Preeeeeetttttt... tidak kurang panjang, kan? Beberapa waktu lalu saya menonton Carrie, film karya Brian De Palma yang dibikin tahun 1976. Plotnya tidak terlalu ruwet, seorang gadis remaja dibully teman-temannya di sekolah saat mendapatkan menstruasi pertama selepas pelajaran olahraga. Perbuatan teman-teman Carrie ketika ramai-ramai melemparkan pembalut membuat mereka harus menjalani hukuman sebagai syarat mengikuti prom night menjelang kelulusan. Carrie memiliki kekuatan telekinesis, kemampuan menggerakkan benda-benda. Ibunya begitu mengekangnya dengan dalil-dalil agama ketat. Teman-temannya kemudian membuat rencana untuk mencelakainya saat prom night berlangsung dengan menumpahkan darah babi yang digantung tepat di atasnya. Kemarahan Carrie manjadi begitu mengerikan. Tragedi berlangsung dari awal hingga akhir. Begitu mengerikan hingga sebenarnya terkesan aneh. Bagaimana menjelaskan aneh, silakan tonton sendiri.

Apa menariknya filem ini hingga sempat dibuat ulang beberapa kali dengan sutradara berbeda dan tentu dengan penerjemahan mereka masing-masing. Naskah filem diadaptasi dari novel Stephen King yang terbit tahun 1974. Adegan-adegan Carrie punya De Palma terasa dramatis, diperankan tokoh dengan karakter-karakter kuat seperti Sissy Spacek sebagai Carrie dan Piper Laurie sebagai Margaret, ibunya. Mereka mampu membuat beberapa scene menjadi iconic dengan bantuan bunyi seperti yang terdepat dalam film Psycho. Bunyian nyaring bernada tinggi yang diulang-ulang untuk menambah efek menegangkan.

Saya tak hendak membandingkan dua buah karya, hanya mencatat saja beberapa hal yang cukup menjadi perhatian. Hampir empat puluh tahun kemudian, Kimberly Peirce membuat filem dengan judul sama, dengan plot yang hampir sama pula, namun dengan beberapa tambahan detail dan perubahan-perubahan. Bukan ingin membandingkan mana yang lebih baik tapi lebih melihat bagaimana sebuah novel diadaptasi menjadi filem kemudian direproduksi dalam rentang jaman yang berbeda.

Para kritikus film bisa melihatnya dari kacamata feminisme hingga maxisme, tapi saya tak hendak menjadi kritikus di sini. Saya hanya ingin membuang sesuatu yang memenuhi otak. Kayak judul album mum, yesterday was dramatic today is okay. Menulis ini semoga saja bisa menghilangkan efek drama dari masa lalu saya yang pahit itu. Kalian tahu, kan? Persoalan melihat adalah persoalan memilih jadi ya begitulah, saya akan tanggung akibat dari pilihan penglihatan saya yang ternyata berdampak buruk pada bubrahnya rasa selama lebih dari dua hari untuk kemudian bisa normal kembali.

Kadang memang kita tak bisa memilih apa yang kita lihat. Kita disuguhi begitu saja dan dengan tanpa sengaja kita melihatnya begitu saja. Seperti efek melihat poto seseorang berjaket merah dan bercelana coklat pendek di sebuah social media. Bukan salah siapa yang mengaplodnya, bukan salah aplikasinya dan memang bukan salah siapa-siapa. Melihatnya membukakan pintu pada sebuah momen tertentu ketika jaket itu berbau gpu. Bersamaan dengan itu pula segala macam hal lalu berhamburan keluar tanpa bisa dikontrol. Persoalan kontrol ini pula yang cukup menyebalkan.

Di seberang sungai dekat tempat saya tinggal konon katanya ada kuburan pki. Banyak hal menarik yang tentu tidak ilmiah tapi semacam bisa menjadi informasi penting untuk mengungkap masa lalu. Kenapa masih senang mengorek masa lalu yang penuh sakit? Tapi begitulah, kuburan itu menyimpan hawa panas dan punya energi tersendiri bagi yang bisa merasakan. Para hantu pki adalah mereka yang sampai sekarang masih menyimpan dendam. Tumuse daya katika memang ada manusia yang bisa mengambilnya, jadinya daya yang berangasan dan pemarah—untuk tidak terjebak pada stereotip tapi memang begitulah adanya. Cocok bagi yang pengen punya ilmu kebal bacok dan sebangsanya. Ceritanya, orang-orang itu dimasukkan dalam kranji, semacam tempat untuk mengurung ayam. Satu kranji diiisi tiga orang. Dan begitulah mereka dieksekusi. Tidak hanya dari tempat ini, orang-orang yang dieksekusi banyak pula yang berasal dari luar daerah, termasuk dari Jawa Tengah. Ada pula satu orang yang memang masih kerabat salah satu petinggi negara. Darimana saya mendapat cerita ini memang akan terdengar konyol kalau diceritakan, juga bisa membahayakan. Maka dari itu, lebih baik tidak perlu saya ceritakan. Toh ini bukan sebuah cerita ilmiah yang bisa dibuktikan kebenarannya. Bisa jadi saya cuma ngarang saja akibat masih kena efek jaket merah itu.

Kembali pada Carrie. Sebagai penikmat masa lalu, saya bisa menyimpan adegan-adegan Brian de Palma lebih lama dalam kepala daripada remake-nya. Warna darah yang terlalu merah di akhir filem memang bisa membuat lebih membara, menganga dan yah, itu barangkali gambaran neraka dalam konstruksi pikiran kita. Sementara remake-nya memakai warna darah yang lebih gelap, dan mengubah tokoh utama menjadi semacam pahlawan super yang nggak banget jadinya.

Rasanya susah menjadi manusia bahagia ketika masih punya lingering feeling terhadap seseorang. Meski sudah dibegitukan, tetap itu belum bisa hilang. Barangkali nanti, saya akan datang dengan menggemgam sebuah pistol dan menodongkannya tepat dikepalanya. Mungkin 15 atau 20 tahun kemudian. Orang itu akan kaget dan ketakutan. Lalu saya dengan tenang menurunkan pistol itu tanpa menambakkannya, memandang matanya sesaat lalu berpaling dan meninggalkannya begitu saja tanpa berkata-kata.

Tidak bisa dibilang juga kalau saya sekarang tidak bahagia. Beginilah saya sudah memilih,  mengambil jalan yang benar-benar berlainan dari kalian-kalian semua. Di sini begitu sepi. Tapi silakan diamati bagi mereka para pembaca alam. Ada yang merangkak diam-diam di bawah kalian. Alam sudah berubah. Ular-ular sudah mulai keluar. Alam bernubuat. Di sini angin berhembus pelan. Hampir hujan. Sebentar lagi. Barangkali. Jadi, mari kita menonton lagi Eternal Sunshine of The Spotless Mind.



21 Januari 2017  

Rabu, 04 Januari 2017

Persoalan-Persoalan Rumah Tangga Masjarakat di Pedesaan Jawa

Judul di atas tidak dimaksudkan untuk menggambarkan isi tulisan pendek ini. Sebuah cerita yang tersusun dari kisah-kisah acak orang-orang yang kebetulan entah dengan sengaja atau tidak saya dengar ceritanya dari orang kedua atau ketiga atau dari sumbernya secara langsung. Mereka menanggung hidup yang tidak sederhana. Desa bukan tempat yang hijau permai penuh damai. Kedamaian dapat dirasakan dari cara mereka menyikapi hidup, tetapi tidak dengan hidup itu sendiri.

Ketertarikan saya dengan manusia-manusia ladang membuyarkan lamunan. Mereka tidak sederhana. Mereka orang-orang yang bertanggung jawab untuk hidup dan terus hidup dengan segala daya upaya yang bisa dilakukan. Saat ini musim panen kacang. Para peladang sambat bahwa para pengebas itu tak punya perasaan. Mereka menentukan harga seenak udelnya. Sama sekali tak sebanding dengan harga benih dan biaya pemeliharaaan. Sebagian peladang menyerah. Menjual kacangnya dengan harga murah. Sebagian memutar otak dengan mencari penjual dan memanen kacang dengan tenaganya sendiri untuk mengirit biaya tenaga. Seluruh anggota keluarga dikerahkan untuk memanen hasil yang tak seberapa.

Perputaran uang di sini berjalan lambat. Sambil menunggu waktu, orang-orang ladang sibuk mencari pinjaman. Sehari belum tentu bisa makan kenyang. Beberapa orang memelihara sapi atau kambing. Sehari-hari mereka mencari pakan di ladang-ladang dan dipanggul hingga ke rumah. Semenderita-deritanya saya, tak sebanding dengan kerja dan keringat mereka. Hanya untuk terus bertahan hidup dan hidup dan keluarga dan biaya sekolah anak-anak mereka.

Pak J tak punya rumah lagi karena diusir istrinya. Hidupnya terpaksa menumpang kesana kemari. Mantan istrinya yang dulu sudah tak mau menerimanya lagi. Hingga pernah ia menumpang hidup sebagai penjaga kandang ayam. Tak terbayangkan bau busuk yang harus ditanggungnya setiap hari. Tak kuat bertahan, ia pun pergi dari kampung ini. Entah kemana sekarang.
Mbak W adalah janda dengan empat orang anak. Ia keluar dari pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga. Seminggu yang lalu anaknya yang pertama meninggal. Dan saat ini mbak W masih berduka namun terus berjualan makanan keliling. Kenapa tidak ada kisah yang bahagia? Tentu saja ada. Bahagia itu cuma soal cara pandang yang tak semua orang bisa melihatnya dari sisi yang sama.

Hidup di tengah ladang, di pinggir sungai, yang jika tak ada yang dimasak tinggal memetik daun-daun singkong ternyata juga tak buruk-buruk amat. Di sini saya tetap bisa membaca buku selama yang saya mau, menonton film-film yang tak lagi menarik. Ketertarikan yang dinikmati seorang diri menjadi sama sekali tak menarik. Itulah kenapa manusia sudah semestinya berbagi.

Di sini terlalu banyak kisah cinta. Dari remaja hingga soal perselingkuhan khas masa-masa puber kedua. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika cinta orang-orang ini bisa begitu dasyat, bahkan membunuh. Saya kira soal-soal begini hanya menimpa orang-orang dalam adegan sinetron, antara pak bos dan sekretarisnya, antar teman sekantor dan segala bentuk hubungan bias perkotaan yang begitu membanjir lewat cerita-cerita tak masuk akal di televisi. Di sini cinta begitu nyata dengan segala bentuk hubungan sebab akibatnya. Semua menjadi masuk nalar dan mudah sekali dicerna. Kadang begitu ruwet tapi juga bisa menjadi sangat sederhana. Kadang dengan sekian banyak alasan, kadang bisa sama sekali tanpa alasan.

Sudah, terlalu banyak cerita hingga cuma jadi menyentuh permukaan-permukaannya saja. Bahkan permukaan pun sebenarnya belum bisa dikatakan tersentuh. Pak H beserta istri dan tiga orang anaknya memang terbiasa hidup susah. Pekerjaannya sebagai tukang dekorasi acara pernikahan sama sekali tak menjanjikan. Ia bercerita kalau pernah mengalami seminggu hanya makan nasi dengan garam. Dan sampai sekarang mereka tetap hidup dan bahagia.


Sudah, kapan-kapan saja saya lanjutkan lagi kalau mau. Buat para pembaca semua, mohon maaf sebesar-besarnya karena sudah menyita waktu kalian yang berharga untuk hal tak penting ini. Daaadaaa...


4 Januari 2017