Sabtu, 21 Januari 2017

00:04

I take my broken heart and turn it into fart. Preeeeeetttttt... tidak kurang panjang, kan? Beberapa waktu lalu saya menonton Carrie, film karya Brian De Palma yang dibikin tahun 1976. Plotnya tidak terlalu ruwet, seorang gadis remaja dibully teman-temannya di sekolah saat mendapatkan menstruasi pertama selepas pelajaran olahraga. Perbuatan teman-teman Carrie ketika ramai-ramai melemparkan pembalut membuat mereka harus menjalani hukuman sebagai syarat mengikuti prom night menjelang kelulusan. Carrie memiliki kekuatan telekinesis, kemampuan menggerakkan benda-benda. Ibunya begitu mengekangnya dengan dalil-dalil agama ketat. Teman-temannya kemudian membuat rencana untuk mencelakainya saat prom night berlangsung dengan menumpahkan darah babi yang digantung tepat di atasnya. Kemarahan Carrie manjadi begitu mengerikan. Tragedi berlangsung dari awal hingga akhir. Begitu mengerikan hingga sebenarnya terkesan aneh. Bagaimana menjelaskan aneh, silakan tonton sendiri.

Apa menariknya filem ini hingga sempat dibuat ulang beberapa kali dengan sutradara berbeda dan tentu dengan penerjemahan mereka masing-masing. Naskah filem diadaptasi dari novel Stephen King yang terbit tahun 1974. Adegan-adegan Carrie punya De Palma terasa dramatis, diperankan tokoh dengan karakter-karakter kuat seperti Sissy Spacek sebagai Carrie dan Piper Laurie sebagai Margaret, ibunya. Mereka mampu membuat beberapa scene menjadi iconic dengan bantuan bunyi seperti yang terdepat dalam film Psycho. Bunyian nyaring bernada tinggi yang diulang-ulang untuk menambah efek menegangkan.

Saya tak hendak membandingkan dua buah karya, hanya mencatat saja beberapa hal yang cukup menjadi perhatian. Hampir empat puluh tahun kemudian, Kimberly Peirce membuat filem dengan judul sama, dengan plot yang hampir sama pula, namun dengan beberapa tambahan detail dan perubahan-perubahan. Bukan ingin membandingkan mana yang lebih baik tapi lebih melihat bagaimana sebuah novel diadaptasi menjadi filem kemudian direproduksi dalam rentang jaman yang berbeda.

Para kritikus film bisa melihatnya dari kacamata feminisme hingga maxisme, tapi saya tak hendak menjadi kritikus di sini. Saya hanya ingin membuang sesuatu yang memenuhi otak. Kayak judul album mum, yesterday was dramatic today is okay. Menulis ini semoga saja bisa menghilangkan efek drama dari masa lalu saya yang pahit itu. Kalian tahu, kan? Persoalan melihat adalah persoalan memilih jadi ya begitulah, saya akan tanggung akibat dari pilihan penglihatan saya yang ternyata berdampak buruk pada bubrahnya rasa selama lebih dari dua hari untuk kemudian bisa normal kembali.

Kadang memang kita tak bisa memilih apa yang kita lihat. Kita disuguhi begitu saja dan dengan tanpa sengaja kita melihatnya begitu saja. Seperti efek melihat poto seseorang berjaket merah dan bercelana coklat pendek di sebuah social media. Bukan salah siapa yang mengaplodnya, bukan salah aplikasinya dan memang bukan salah siapa-siapa. Melihatnya membukakan pintu pada sebuah momen tertentu ketika jaket itu berbau gpu. Bersamaan dengan itu pula segala macam hal lalu berhamburan keluar tanpa bisa dikontrol. Persoalan kontrol ini pula yang cukup menyebalkan.

Di seberang sungai dekat tempat saya tinggal konon katanya ada kuburan pki. Banyak hal menarik yang tentu tidak ilmiah tapi semacam bisa menjadi informasi penting untuk mengungkap masa lalu. Kenapa masih senang mengorek masa lalu yang penuh sakit? Tapi begitulah, kuburan itu menyimpan hawa panas dan punya energi tersendiri bagi yang bisa merasakan. Para hantu pki adalah mereka yang sampai sekarang masih menyimpan dendam. Tumuse daya katika memang ada manusia yang bisa mengambilnya, jadinya daya yang berangasan dan pemarah—untuk tidak terjebak pada stereotip tapi memang begitulah adanya. Cocok bagi yang pengen punya ilmu kebal bacok dan sebangsanya. Ceritanya, orang-orang itu dimasukkan dalam kranji, semacam tempat untuk mengurung ayam. Satu kranji diiisi tiga orang. Dan begitulah mereka dieksekusi. Tidak hanya dari tempat ini, orang-orang yang dieksekusi banyak pula yang berasal dari luar daerah, termasuk dari Jawa Tengah. Ada pula satu orang yang memang masih kerabat salah satu petinggi negara. Darimana saya mendapat cerita ini memang akan terdengar konyol kalau diceritakan, juga bisa membahayakan. Maka dari itu, lebih baik tidak perlu saya ceritakan. Toh ini bukan sebuah cerita ilmiah yang bisa dibuktikan kebenarannya. Bisa jadi saya cuma ngarang saja akibat masih kena efek jaket merah itu.

Kembali pada Carrie. Sebagai penikmat masa lalu, saya bisa menyimpan adegan-adegan Brian de Palma lebih lama dalam kepala daripada remake-nya. Warna darah yang terlalu merah di akhir filem memang bisa membuat lebih membara, menganga dan yah, itu barangkali gambaran neraka dalam konstruksi pikiran kita. Sementara remake-nya memakai warna darah yang lebih gelap, dan mengubah tokoh utama menjadi semacam pahlawan super yang nggak banget jadinya.

Rasanya susah menjadi manusia bahagia ketika masih punya lingering feeling terhadap seseorang. Meski sudah dibegitukan, tetap itu belum bisa hilang. Barangkali nanti, saya akan datang dengan menggemgam sebuah pistol dan menodongkannya tepat dikepalanya. Mungkin 15 atau 20 tahun kemudian. Orang itu akan kaget dan ketakutan. Lalu saya dengan tenang menurunkan pistol itu tanpa menambakkannya, memandang matanya sesaat lalu berpaling dan meninggalkannya begitu saja tanpa berkata-kata.

Tidak bisa dibilang juga kalau saya sekarang tidak bahagia. Beginilah saya sudah memilih,  mengambil jalan yang benar-benar berlainan dari kalian-kalian semua. Di sini begitu sepi. Tapi silakan diamati bagi mereka para pembaca alam. Ada yang merangkak diam-diam di bawah kalian. Alam sudah berubah. Ular-ular sudah mulai keluar. Alam bernubuat. Di sini angin berhembus pelan. Hampir hujan. Sebentar lagi. Barangkali. Jadi, mari kita menonton lagi Eternal Sunshine of The Spotless Mind.



21 Januari 2017  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar