Judul di atas tidak dimaksudkan untuk menggambarkan isi
tulisan pendek ini. Sebuah cerita yang tersusun dari kisah-kisah acak
orang-orang yang kebetulan entah dengan sengaja atau tidak saya dengar
ceritanya dari orang kedua atau ketiga atau dari sumbernya secara langsung.
Mereka menanggung hidup yang tidak sederhana. Desa bukan tempat yang hijau
permai penuh damai. Kedamaian dapat dirasakan dari cara mereka menyikapi hidup,
tetapi tidak dengan hidup itu sendiri.
Ketertarikan saya dengan manusia-manusia ladang membuyarkan
lamunan. Mereka tidak sederhana. Mereka orang-orang yang bertanggung jawab
untuk hidup dan terus hidup dengan segala daya upaya yang bisa dilakukan. Saat
ini musim panen kacang. Para peladang sambat
bahwa para pengebas itu tak punya perasaan. Mereka menentukan harga seenak
udelnya. Sama sekali tak sebanding dengan harga benih dan biaya pemeliharaaan.
Sebagian peladang menyerah. Menjual kacangnya dengan harga murah. Sebagian
memutar otak dengan mencari penjual dan memanen kacang dengan tenaganya sendiri
untuk mengirit biaya tenaga. Seluruh anggota keluarga dikerahkan untuk memanen
hasil yang tak seberapa.
Perputaran uang di sini berjalan lambat. Sambil menunggu
waktu, orang-orang ladang sibuk mencari pinjaman. Sehari belum tentu bisa makan
kenyang. Beberapa orang memelihara sapi atau kambing. Sehari-hari mereka
mencari pakan di ladang-ladang dan dipanggul hingga ke rumah.
Semenderita-deritanya saya, tak sebanding dengan kerja dan keringat mereka.
Hanya untuk terus bertahan hidup dan hidup dan keluarga dan biaya sekolah
anak-anak mereka.
Pak J tak punya rumah lagi karena diusir istrinya. Hidupnya
terpaksa menumpang kesana kemari. Mantan istrinya yang dulu sudah tak mau
menerimanya lagi. Hingga pernah ia menumpang hidup sebagai penjaga kandang
ayam. Tak terbayangkan bau busuk yang harus ditanggungnya setiap hari. Tak kuat
bertahan, ia pun pergi dari kampung ini. Entah kemana sekarang.
Mbak W adalah janda dengan empat orang anak. Ia keluar dari
pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga. Seminggu yang lalu anaknya yang
pertama meninggal. Dan saat ini mbak W masih berduka namun terus berjualan
makanan keliling. Kenapa tidak ada kisah yang bahagia? Tentu saja ada. Bahagia
itu cuma soal cara pandang yang tak semua orang bisa melihatnya dari sisi yang
sama.
Hidup di tengah ladang, di pinggir sungai, yang jika tak ada
yang dimasak tinggal memetik daun-daun singkong ternyata juga tak buruk-buruk
amat. Di sini saya tetap bisa membaca buku selama yang saya mau, menonton
film-film yang tak lagi menarik. Ketertarikan yang dinikmati seorang diri
menjadi sama sekali tak menarik. Itulah kenapa manusia sudah semestinya
berbagi.
Di sini terlalu banyak kisah cinta. Dari remaja hingga soal
perselingkuhan khas masa-masa puber kedua. Tak pernah terbayangkan sebelumnya
jika cinta orang-orang ini bisa begitu dasyat, bahkan membunuh. Saya kira
soal-soal begini hanya menimpa orang-orang dalam adegan sinetron, antara pak
bos dan sekretarisnya, antar teman sekantor dan segala bentuk hubungan bias
perkotaan yang begitu membanjir lewat cerita-cerita tak masuk akal di televisi.
Di sini cinta begitu nyata dengan segala bentuk hubungan sebab akibatnya. Semua
menjadi masuk nalar dan mudah sekali dicerna. Kadang begitu ruwet tapi juga
bisa menjadi sangat sederhana. Kadang dengan sekian banyak alasan, kadang bisa
sama sekali tanpa alasan.
Sudah, terlalu banyak cerita hingga cuma jadi menyentuh
permukaan-permukaannya saja. Bahkan permukaan pun sebenarnya belum bisa
dikatakan tersentuh. Pak H beserta istri dan tiga orang anaknya memang terbiasa
hidup susah. Pekerjaannya sebagai tukang dekorasi acara pernikahan sama sekali
tak menjanjikan. Ia bercerita kalau pernah mengalami seminggu hanya makan nasi
dengan garam. Dan sampai sekarang mereka tetap hidup dan bahagia.
Sudah, kapan-kapan saja saya lanjutkan lagi kalau mau. Buat para
pembaca semua, mohon maaf sebesar-besarnya karena sudah menyita waktu kalian
yang berharga untuk hal tak penting ini. Daaadaaa...
4 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar