Malam ini di Purna Budaya UGM, setelah sekian lama tak menonton pertunjukan macam begini, akhirnya saya kembali bisa menikmati pertunjukan kethoprak futuristik dari Sastra Budaya FIB. Yang beda, kali ini saya berangkat dengan sepeda motor, bukan ngonthel seperti yang sudah-sudah. Yang sama, saya tetap sendirian. Tapa ngrame, tak kenal satu orang pun dan tak ada seorangpun yang mengenal saya. Menikmati keterasingan di tengah tawa, dengung mereka yang bicara sebelum pertunjukan dimulai dan perasaan-perasaan aneh yang begitu saja muncul tanpa diketahui macamnya. Pertunjukan kembali menggali tema tentang kekuasaan. Kali ini disajikan dalam bungkus humor segar dan konsep kethoprak modern.
Seorang sinden berkerudung dan berkebaya merah hati memasuki panggung. Duduk bersimpuh di tangga pertama sebelum mencapi panggung. Ini sudah terasa aneh. Lalu dimulailah tembang. Sebuah suluk pembuka entah apa namanya. Damar menyala berkedip-kedip. Bayangan wayang yang saya tidak tahu itu tokoh siapa muncul di layar. Tembang terus terlantun dan damar pun perlahan padam. Panggung kembali gelap. Beberapa saat kemudian, musik yang hingar bingar dari band pengiring pertunjukan diperdengarkan. Katanya ini adalah Kethoprak Lesung, tapi hanya ada satu lesung yang ditabuh dan tak terdengar. Bunyi kayu yang saling beradu tenggelam dalam deru pukulan drum dan petikan gitar elektrik. Jujur saya sedikit kecewa, berharap akan ada gemelan yang menyertai. Tembang yang tadi terlantun tak juga terasa menggetarkan sebagai sebuah pembuka pertunjukan. Dan berikutnya akan lebih banyak lagi yang terasa aneh.
Ki dalang, seorang bertubuh besar yang memakai rompi merah itu duduk bersila di samping para pemain musik. Dengan mikropon di dekat bibirnya, mulailah ia bercerita. Inilah kisah tentang para penguasa. Para penguasa yang hanya bisa saling berebut kekuasaan tanpa memperhatikan rakyatnya. Konon, masa depan akan kembali sepertihalnya masa lalu dengan banyak kerajaan-kerajaan berdiri. Inilah sebuah cerita tentang Kerajaan bernama Kamanegara.
Kerajaan Kamanegara berdiri tepatnya di tahun 2222, kalau saja dunia tidak keburu hilang ditelan kiamat. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja bernama Garuda Wuruk. Seorang raja yang hanya mementingkan kesenangan dirinya. Negaranya telah digadaikan kepada para pengusaha untuk dibangun mal, banyak pabrik, perusahaan, apartemen, dan sebagainya. Bahkan, penggunaan lahan untuk pemakanan sangat dilarang di negara ini. Rakyat digusur, sengsara tiada tara. Mereka tinggal di area pemakaman yang sebentar lagi juga akan digusur.
Sementara itu, para pejabat kerajaan justru merancang sebuah konspirasi untuk menggulingkan raja, tepat di ulang tahun kerajaan ke-500. Mereka berencana untuk memfinah Patih Gajah Agni. Setelah Si Patih mati, maka mereka dengan mudah akan dapat menggantikan posisi raja. Di lain pihak, rakyat sudah tidak tahan dengan kepemimpinan raja dan terus saja melakukan demonstrasi menentang kebijakan-kebijakan raja.
Kira-kira begitulah ceritanya. Tema kekuasaan memang tak pernah dingin, selalu hangat untuk dibicarakan. Para mahasiswa ini dengan lihai menggunakan tema ini untuk diangkat sebagai sebuah seni pertunjukan. Pada bagian awal memang sedikit membosankan dan terasa aneh. Melihat kethoprak tapi dengan gaya penampilan para pemainnya yang aneh. Make up-nya aneh-aneh pula, dengan mengenakan asesoris yang juga aneh. Musiknya juga tidak terlalu mendukung pertunjukan. Musik dari band modern ini kurang bisa ikut menjadi bagian dalam menciptakan suasana. Hal menarik yang justru saya perhatikan adalah komentar orang-orang di belakang saya. Aneh-aneh saja pokoknya celetukan yang terdengar dari mereka.
Setting panggungnya cukup menarik, digambarkan gedung-gedung bertingkat. Sebuah singgasana berwarna coklat muda, lebih mirip seperti kursi pak bos yang bisa berputar-putar itu. Ada kursi panjang di tepi. Kotak kayu mirip loker terpasang juga di tepi panggung dengan warna-warni. Loker itu katanya adalah penyimpan jenazah karena memang jenazah tak boleh lagi dikuburkan di dalam tanah. Katanya ada arwah gayus yang mati karena disengat lebah, lalu Bakri yang mati karena tersedak dawet, juga beberapa jenazah yang saat ini masih menjadi orang penting di negeri ini.
Meski masih menggunakan fondasi cerita yang berkisah tentang kerajaan, pertunjukan kali ini banyak kehilangan unsur tradisi. Unsur yang lekat dengan kethoprak sebenarnya tidak perlu dihilangkan sebanyak itu dan diganti dengan banyak sekali unsur modern. Ada tarian break dance dari para mahasiswi cantik di adegan ulang tahuan kerajaan. Dialek Jawa memang masih kental muncul dari dialog para pemian tapi tentu tidak semua. Humor yang dilontarkan dan mengundang tawa sebagian adalah humor yang saru, sebagian adalah yang mengkritik pemerintah dan hanya itu. Jayus tapi kadang lucu.
Dari segi keaktoran, memang tidak terlalu terlihat total seperti dalam sebuah teater. Beberapa aktor mampu memainkan karakternya dengan cukup baik. Salah satunya adalah penjaga makam, seorang laki-laki yang berperan sebagai perempuan paruh baya. Fotonya dipasang di nisan-nisan kuburan yang dijaganya dan menjadi bahan membuat guyonan. Kemudian adalah istri raja. Dengan cukup baik ia mampu menjalankan peran sebagai perempuan yang berkuasa dan terlihat tidak canggung di atas panggung. Dandanan anehnya pas dengan karakternya yang culas itu. Sayang sekali pesta ulang tahun kerajaan yang telah dipersiapkannya selama tiga bulan harus batal karena demontrasi.
Tokoh yang paling saya sukai di pertunjukan ini adalah Patih Gajah Agni. Dari celetukan penonton dan juga beberapa pemain, katanya dia ini anaknya Marwoto, pemain srimulat dan kethoprak itu. Benar tidaknya saya juga tidak tahu. Barangkali juga benar karena; satu, bakat bapaknya kemungkinan besar memang menurun ke anaknya. Dua, karena gigi mereka sama-sama selonjor-nya. Beberapa pemain kadang jayus membuat lelucon tapi Patih gajah Agni ini benar-benar bisa membuat saya terpingkal. Juga, kacamata dan sedikit gesturnya yang mengingatkan saya pada seseorang. Ah, di sini hanya ada banyak anak muda. Kisanak itu tidak ada di sini.
Selalu beginilah kisah kekuasaan. Para penguasa saling berperang, rakyat kecil tak dihiraukan. Negara hanya menjadi sebuah istilah saja. Orang-orang sibuk dengan kepentingannya. Dan saya malah bermimpi ketika duduk melihat pertunjukan ini. Para pemain berganti rupa. Para pemain berubah wujud. Para pengusaa itu menjadi raksasa menelan rakyatnya. Keributan dan kerusuhan mewujud dimana-mana. Dan di dalam chaos seperti apapun bentuknya tentu masih ada cosmos (keteraturan). Seperti di telan jauh ke kedalaman suluk. Saya tenggelam. Tenggelam begitu dalam. Barulah saya tersadar setelah seseorang dengan kamera mahal di tanganya mendesak saya untuk sedikit minggir agar ia bisa membidik gambar dengan tepat. Saya terbangun di tengah keramaian dan huruk-pikuk tawa para penonton. Semula, saya mengira telah menghilang begitu saja.
Adegan terakhir yang saya nikmati adalah ketika Patih Gajah Agni berperang melawan orang-orang yang menfitnahnya. Karena bernama Agni yang berarti adalah api, maka ia akan kalah apabila terkena air. Dimulailah adegan konyol sembur-semburan air antara mereka yang berperang. Semua penonton terbahak. Hujan diluar tak terdengar dan terasakan. Ternyata telah reda. Saya harus segera kembali ke kost sebelum tak dapat pintu. Maaf bisa saya tak bisa melanjutkan ini cerita. Barangkali, cerita ini akan berakhir dengan munculnya seseorang yang bisa Mbabad kembali Kamanegara. Meletakkannya kembali dalam pusaran Cakra Manggilingan. Menemui kejayaan kemudian setelah kejatuhannya. Barangkali semua akan berakhir menjadi sebuah cerita sederhana, berakhir bahagia.
Apa yang saya tulisakan ini adalah kesan, dari seorang penikmat pertunjukkan buta. Tak tau mana yang benar-benar baik atau kurang baik. Ketika saya mengatakan aneh atau apapun tentang para pemain, sekali lagi ini adalah kesan. Semoga tidak ada yang tersinggung. Toh, aneh juga adalah bagian dari kreativitas yang saya sungguh sangat apresiasi. Masih lebih baik daripada saya yang hanya bisa menikmati kemudian mengomel tak jelas begini. Terimakasih telah menghibur saya malam ini.
Purna Budaya, 21 Januari 2011
Sabtu, 22 Januari 2011
Sabtu, 08 Januari 2011
Tarian Kehidupan Para Seniman Indramayu
Sore yang kebetulan tak hujan. Dalam senja, mengayuh sepeda kembali setelah sekian lama tak dilakukan ternyata lumayan menyegarkan. Selalu banyak hal bisa dilihat sepanjang jalan. Kehidupan, keruwetan, kesumpekan dan sepanjang jalan Maliboro yang macet karena kelihatannya mau ada pawai budaya. Senang sekali Jogja akhir-akhir ini mengadakan kirab budaya. Pun begitu, sepeda saya bisa menyusup diantara para mobil angkuh, motor, dan bus kota. Akhirnya sampai juga di taman Budaya. Kabarnya sedang ada acara digelar. Benar saja. Sampai di sana para pemain Jaran Thek Ponorogo sedang beraksi. Menari-menari sampai kemudian ndadi alias kesurupan. Mereka makan beling dan arang kesukaan, dicambuki dan adegan-adegan mengerikan semacamnya.
Acara ini merupakan publikasi hasil penelitian “Revitalisasi Seni Tradisi dan Pertunjukan Lokal di Indonesia” dengan program “Anak Muda dan Seni Tradisi” yang digagas oleh Ford Foundation. Begitulah yang tertulis di bukletnya. Sementara mereka sedang asik makan arang, saya mencoba berkeliling sebentar. Sudah lama saya tak menyambangi tempat ini karena berbagai kesibukan yang sebenarnya tidak menyibukkan. Kembali bisa melihat wajah-wajah seniman Jogja. Rambut mereka masih gondrong saja. Terlihat beberapa wajah yang tak asing. Tapi saya mencoba untuk tak terlihat. Karena memang begitulah. Saya tak suka kelihatan. Saya selalu bisa mengenali mereka dan tak satu pun dari mereka yang mengenali saya.
Di pojokan ada tubuh mungil Gunawan Maryanto yang menggendong tas ransel besar di punggungnya. Ada pembaca puisi juga. Kalau tidak salah namanya Kedung Dharma Romansha. Dan yang kelihatan gelungannya itu pastilah Wangi Indriya, si penari topeng dari Indramayu itu. Saya pernah melihatnya nyinden dan menari di salah satu pertunjukkan teater Garasi. Bikin merinding melihat kombinasi gerakannya yang gagah dan suara khas tembang. Beberapa lagi saya tidak tahu namanya tapi sering muncul juga di acara-acara begini. Saya hanya sendirian jadi lebih baik menjadi tak kelihatan. Ini lebih mengasyikkan. Menjadi yang tak dikenali orang.
Para pemain yang kesurupan sudah kembali setelah raganya dipinjamkan. Acara dilanjutkan dengan pembukaan. Basa basi dari presenter yang kukenali dulu pernah mengisi acara juga. Berikutnya adalah pertunjukan Tari Topeng dari Indramayu. Saya kira akan kembali melihat Mbak Wangi Indriya menari. Eh, yang muncul ternyata dua keponakannya yang berumur sekitar 14 tahun, laki-laki bernama Viki dan perempuan bernama Dadem. Mengesankan lagi. Keduanya dengan gemulai membawakan karakter topeng berwarna merah itu. Setelah tarian selesai, para penonton dipersilakan untuk menonton film dokumenter dari kesenian yang telah dipertunjukkan. Saya cuma sempat melihat film dokumenter tentang Sanggar Mulya Bhakti pimpinan Pak Taham yang adalah bapaknya Mbak Wangi.
Seharusnya bisa melihat sendiri film dokumenternya. Kurang seru kalau saya yang bercerita. Tapi entah kenapa melihat kisah Sanggar Mulya Bhakti ini hampir menjebol bendungan di kelopak mata. Sanggar ini didirikan pada tahun 70-an. Mengalami banyak masa pasang surut hingga berdiri sampai sekarang. Bahkan, bangunannya pernah roboh untuk kemudian bisa berdiri kembali dengan bantuan dana kemanusiaan Kompas. Sanggar non profit inilah ladang tumbuhnya para seniman Indramayu yang dimotori Pak Taham, anak-anaknya sampai generasi ketiga yaitu para cucunya.
Melihat film ini seperti melihat mimpi. Mimpi saya sendiri. Saya pernah mimpi menari dikelilingi lilin-lilin menyala. Mabuk dengan aroma ratus dan dupa. Sering juga saya mimpi jadi penyair setengah gila yang melakukan perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan dalam kereta, bisa kota atau sekdar berjalan kaki menuju tenggelamnya matahari. Sebuah perjalanan untuk mencari. Keinginan ini tak pernah sampai. Saya terpenjara oleh rutinitas dan kenormalan hidup seperti sekarang. Terpenjara kefanaan dan nafsu sebagaimana kehidupan orang kebanyakan. Sekolah sampai lulus kuliah, tapi malah nganggur tanpa kerjaan. Ini seperti sisi kehidupan yang kuinginkan. Berjuang dalam berbagai kesulitan hidup hanya untuk menghidupkan seni.
Dari ladang pasangan seniman di Indramayu itu, tumbuhlah bibit-bibit seniman macam Mbak Wangi bersaudara, yang tak pernah layu sampai generasi ketiga. Keluarga ini ada yang menjadi dalang, sinden, pengrawit dan penari topeng. Semua bisa. Dan para seniman ini memang tak pernah manamatkan pendidikan formal mereka. Mbak Wangi juga ternyata tak tamat SMA. Seni adalah nasi buat mereka, menjadi menu makanan sehari-hari. Pagi ke sekolah, setelah itu masih harus ke ladang atau sawah untuk membantu orang tua. Malam baru mengecap latihan yang keras dari Pak Taham. Prestasi di sekolah menurun drastis dan akhirnya memutuskan untuk tak melanjutkan. Selain itu, tuntutan ekonomi para pekerja seni ini memaksa salah satu saudara Mbak Wangi menjadi TKW di Kuwait dan Abu Dhabi. Modernisasi juga menjadi salah satu lawan kuat dalam perkembangan seni di Indramayu. Hadirnya Orkes Musik Dangdut dan Organ Tunggal turut menggerus pendapatan para seniman.
Kalau dilihat foto jaman dulu ibu saya, kalau tak salah dia juga penari, sama dengan budhe. Di Foto itu, Ibu mengenakan kostum tarian “Gatotkaca Gandrung” dengan pose gerakan gagah. Tapi akhirnya mereka juga jadi pegawai negeri. Seninya dipakai untuk mengukir saya dan kehidupan kami sehari-hari. Ah, dia juga seniman. Berbeda sekali sama Viki dan Dadem, dua penari topeng yang sudah mempertontotan kebolehannya tadi. Sejak kecil mereka sudah bertekad untuk menjadi penari. Tak mau jadi pegawai negeri yang dibilangnya ruwet itu. Ketika mereka gemulai menarikan Tari Topeng itu, saya sendiri sibuk sembunyi di balik topeng. Kelana sendirian. Hidup makai topeng tak pernah lepas dari kemunafikan. Menjebakkan kehidupan pada segala yang hanya permukaan.
Seni tak akan pernah mati. Ada semacam dorongan kuat dari para orang tua untuk tetap memasukkan anak-anak mereka ke Sanggar. Inilah yang membuat semangat untuk berkesenian tak pernah padam. Ibu-ibu dari kalangan bawah merasa perlu memasukkan anaknya ke Sanggar karena dorongan bahwa dengan menari pun anak-anak mereka bisa ke luar negeri seperti Mbah Wangi. Bisa ke Jepang dan keliling ke berbagai kota di Indonesia. Mereka masih percaya bahwa seni bisa menjadi sandaran hidup untuk anak-anak mereka. Sedangkan para orang tua dari kalangan menengah ke atas merasa perlu membekali anaknya dengan seni sebagai suatu penyeimbang. Anak mereka tidak hanya disibukkan dengan berbagai les seperti bahasa Inggris, Matematika, dan sebagainya. Tapi, juga mengenalkannya pada seni untuk yang bisa menyentuh dan menjadi penyeimbang hati.
Kalau bisa terus diregenerasi macam begini tentu seni bisa kembali dihidupkan kembali. Lebih riuh dari sebelumnya. Berjuang melawan sekaligus mengalir bersama zaman yang semakin edan. Masih banyak yang bisa diceritakan dari seni indramayu ini. Tak cukup bila hanya dilukiskan lewat coretan pendek saya. Inilah kisah perjalanan yang dikemas dalam film berjudul “Years of Living Artistically”. Sebuah film tentang perjalanan, benturan nasib dan dan seni dengan segala bentuk proses menjadinya.
Gelap mulai turun. Saya tak bisa menamatkan pemutaran film berikutnya tentang komunitas Ho’e yang suka makan arang tadi. Katanya, mereka tak hanya berkesnian tapi anak muda di kampung mereka sudah berhasil menginisiasi berbagai macam kegiatan kreatif desa. Sudah ya, saya pulang dulu. Roda sepeda menggelinding berputar menekan jalanan. Hidup saya kembali menyala. Saya menikmati setiap keterasingan. Dan saya membenci kesunyian ketika tak sedang bersama tuhan. Ah, semoga besok bisa kembali ke sini dan bercerita hal lain lagi.
7 Januari 2011 @ TBY, Jogja Broadway
Acara ini merupakan publikasi hasil penelitian “Revitalisasi Seni Tradisi dan Pertunjukan Lokal di Indonesia” dengan program “Anak Muda dan Seni Tradisi” yang digagas oleh Ford Foundation. Begitulah yang tertulis di bukletnya. Sementara mereka sedang asik makan arang, saya mencoba berkeliling sebentar. Sudah lama saya tak menyambangi tempat ini karena berbagai kesibukan yang sebenarnya tidak menyibukkan. Kembali bisa melihat wajah-wajah seniman Jogja. Rambut mereka masih gondrong saja. Terlihat beberapa wajah yang tak asing. Tapi saya mencoba untuk tak terlihat. Karena memang begitulah. Saya tak suka kelihatan. Saya selalu bisa mengenali mereka dan tak satu pun dari mereka yang mengenali saya.
Di pojokan ada tubuh mungil Gunawan Maryanto yang menggendong tas ransel besar di punggungnya. Ada pembaca puisi juga. Kalau tidak salah namanya Kedung Dharma Romansha. Dan yang kelihatan gelungannya itu pastilah Wangi Indriya, si penari topeng dari Indramayu itu. Saya pernah melihatnya nyinden dan menari di salah satu pertunjukkan teater Garasi. Bikin merinding melihat kombinasi gerakannya yang gagah dan suara khas tembang. Beberapa lagi saya tidak tahu namanya tapi sering muncul juga di acara-acara begini. Saya hanya sendirian jadi lebih baik menjadi tak kelihatan. Ini lebih mengasyikkan. Menjadi yang tak dikenali orang.
Para pemain yang kesurupan sudah kembali setelah raganya dipinjamkan. Acara dilanjutkan dengan pembukaan. Basa basi dari presenter yang kukenali dulu pernah mengisi acara juga. Berikutnya adalah pertunjukan Tari Topeng dari Indramayu. Saya kira akan kembali melihat Mbak Wangi Indriya menari. Eh, yang muncul ternyata dua keponakannya yang berumur sekitar 14 tahun, laki-laki bernama Viki dan perempuan bernama Dadem. Mengesankan lagi. Keduanya dengan gemulai membawakan karakter topeng berwarna merah itu. Setelah tarian selesai, para penonton dipersilakan untuk menonton film dokumenter dari kesenian yang telah dipertunjukkan. Saya cuma sempat melihat film dokumenter tentang Sanggar Mulya Bhakti pimpinan Pak Taham yang adalah bapaknya Mbak Wangi.
Seharusnya bisa melihat sendiri film dokumenternya. Kurang seru kalau saya yang bercerita. Tapi entah kenapa melihat kisah Sanggar Mulya Bhakti ini hampir menjebol bendungan di kelopak mata. Sanggar ini didirikan pada tahun 70-an. Mengalami banyak masa pasang surut hingga berdiri sampai sekarang. Bahkan, bangunannya pernah roboh untuk kemudian bisa berdiri kembali dengan bantuan dana kemanusiaan Kompas. Sanggar non profit inilah ladang tumbuhnya para seniman Indramayu yang dimotori Pak Taham, anak-anaknya sampai generasi ketiga yaitu para cucunya.
Melihat film ini seperti melihat mimpi. Mimpi saya sendiri. Saya pernah mimpi menari dikelilingi lilin-lilin menyala. Mabuk dengan aroma ratus dan dupa. Sering juga saya mimpi jadi penyair setengah gila yang melakukan perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan dalam kereta, bisa kota atau sekdar berjalan kaki menuju tenggelamnya matahari. Sebuah perjalanan untuk mencari. Keinginan ini tak pernah sampai. Saya terpenjara oleh rutinitas dan kenormalan hidup seperti sekarang. Terpenjara kefanaan dan nafsu sebagaimana kehidupan orang kebanyakan. Sekolah sampai lulus kuliah, tapi malah nganggur tanpa kerjaan. Ini seperti sisi kehidupan yang kuinginkan. Berjuang dalam berbagai kesulitan hidup hanya untuk menghidupkan seni.
Dari ladang pasangan seniman di Indramayu itu, tumbuhlah bibit-bibit seniman macam Mbak Wangi bersaudara, yang tak pernah layu sampai generasi ketiga. Keluarga ini ada yang menjadi dalang, sinden, pengrawit dan penari topeng. Semua bisa. Dan para seniman ini memang tak pernah manamatkan pendidikan formal mereka. Mbak Wangi juga ternyata tak tamat SMA. Seni adalah nasi buat mereka, menjadi menu makanan sehari-hari. Pagi ke sekolah, setelah itu masih harus ke ladang atau sawah untuk membantu orang tua. Malam baru mengecap latihan yang keras dari Pak Taham. Prestasi di sekolah menurun drastis dan akhirnya memutuskan untuk tak melanjutkan. Selain itu, tuntutan ekonomi para pekerja seni ini memaksa salah satu saudara Mbak Wangi menjadi TKW di Kuwait dan Abu Dhabi. Modernisasi juga menjadi salah satu lawan kuat dalam perkembangan seni di Indramayu. Hadirnya Orkes Musik Dangdut dan Organ Tunggal turut menggerus pendapatan para seniman.
Kalau dilihat foto jaman dulu ibu saya, kalau tak salah dia juga penari, sama dengan budhe. Di Foto itu, Ibu mengenakan kostum tarian “Gatotkaca Gandrung” dengan pose gerakan gagah. Tapi akhirnya mereka juga jadi pegawai negeri. Seninya dipakai untuk mengukir saya dan kehidupan kami sehari-hari. Ah, dia juga seniman. Berbeda sekali sama Viki dan Dadem, dua penari topeng yang sudah mempertontotan kebolehannya tadi. Sejak kecil mereka sudah bertekad untuk menjadi penari. Tak mau jadi pegawai negeri yang dibilangnya ruwet itu. Ketika mereka gemulai menarikan Tari Topeng itu, saya sendiri sibuk sembunyi di balik topeng. Kelana sendirian. Hidup makai topeng tak pernah lepas dari kemunafikan. Menjebakkan kehidupan pada segala yang hanya permukaan.
Seni tak akan pernah mati. Ada semacam dorongan kuat dari para orang tua untuk tetap memasukkan anak-anak mereka ke Sanggar. Inilah yang membuat semangat untuk berkesenian tak pernah padam. Ibu-ibu dari kalangan bawah merasa perlu memasukkan anaknya ke Sanggar karena dorongan bahwa dengan menari pun anak-anak mereka bisa ke luar negeri seperti Mbah Wangi. Bisa ke Jepang dan keliling ke berbagai kota di Indonesia. Mereka masih percaya bahwa seni bisa menjadi sandaran hidup untuk anak-anak mereka. Sedangkan para orang tua dari kalangan menengah ke atas merasa perlu membekali anaknya dengan seni sebagai suatu penyeimbang. Anak mereka tidak hanya disibukkan dengan berbagai les seperti bahasa Inggris, Matematika, dan sebagainya. Tapi, juga mengenalkannya pada seni untuk yang bisa menyentuh dan menjadi penyeimbang hati.
Kalau bisa terus diregenerasi macam begini tentu seni bisa kembali dihidupkan kembali. Lebih riuh dari sebelumnya. Berjuang melawan sekaligus mengalir bersama zaman yang semakin edan. Masih banyak yang bisa diceritakan dari seni indramayu ini. Tak cukup bila hanya dilukiskan lewat coretan pendek saya. Inilah kisah perjalanan yang dikemas dalam film berjudul “Years of Living Artistically”. Sebuah film tentang perjalanan, benturan nasib dan dan seni dengan segala bentuk proses menjadinya.
Gelap mulai turun. Saya tak bisa menamatkan pemutaran film berikutnya tentang komunitas Ho’e yang suka makan arang tadi. Katanya, mereka tak hanya berkesnian tapi anak muda di kampung mereka sudah berhasil menginisiasi berbagai macam kegiatan kreatif desa. Sudah ya, saya pulang dulu. Roda sepeda menggelinding berputar menekan jalanan. Hidup saya kembali menyala. Saya menikmati setiap keterasingan. Dan saya membenci kesunyian ketika tak sedang bersama tuhan. Ah, semoga besok bisa kembali ke sini dan bercerita hal lain lagi.
7 Januari 2011 @ TBY, Jogja Broadway
Langganan:
Postingan (Atom)