Sabtu, 22 Januari 2011

Sekadar Bercerita: Babad Kamanegara dari Mata Seorang Penonton Buta

Malam ini di Purna Budaya UGM, setelah sekian lama tak menonton pertunjukan macam begini, akhirnya saya kembali bisa menikmati pertunjukan kethoprak futuristik dari Sastra Budaya FIB. Yang beda, kali ini saya berangkat dengan sepeda motor, bukan ngonthel seperti yang sudah-sudah. Yang sama, saya tetap sendirian. Tapa ngrame, tak kenal satu orang pun dan tak ada seorangpun yang mengenal saya. Menikmati keterasingan di tengah tawa, dengung mereka yang bicara sebelum pertunjukan dimulai dan perasaan-perasaan aneh yang begitu saja muncul tanpa diketahui macamnya. Pertunjukan kembali menggali tema tentang kekuasaan. Kali ini disajikan dalam bungkus humor segar dan konsep kethoprak modern.

Seorang sinden berkerudung dan berkebaya merah hati memasuki panggung. Duduk bersimpuh di tangga pertama sebelum mencapi panggung. Ini sudah terasa aneh. Lalu dimulailah tembang. Sebuah suluk pembuka entah apa namanya. Damar menyala berkedip-kedip. Bayangan wayang yang saya tidak tahu itu tokoh siapa muncul di layar. Tembang terus terlantun dan damar pun perlahan padam. Panggung kembali gelap. Beberapa saat kemudian, musik yang hingar bingar dari band pengiring pertunjukan diperdengarkan. Katanya ini adalah Kethoprak Lesung, tapi hanya ada satu lesung yang ditabuh dan tak terdengar. Bunyi kayu yang saling beradu tenggelam dalam deru pukulan drum dan petikan gitar elektrik. Jujur saya sedikit kecewa, berharap akan ada gemelan yang menyertai. Tembang yang tadi terlantun tak juga terasa menggetarkan sebagai sebuah pembuka pertunjukan. Dan berikutnya akan lebih banyak lagi yang terasa aneh.

Ki dalang, seorang bertubuh besar yang memakai rompi merah itu duduk bersila di samping para pemain musik. Dengan mikropon di dekat bibirnya, mulailah ia bercerita. Inilah kisah tentang para penguasa. Para penguasa yang hanya bisa saling berebut kekuasaan tanpa memperhatikan rakyatnya. Konon, masa depan akan kembali sepertihalnya masa lalu dengan banyak kerajaan-kerajaan berdiri. Inilah sebuah cerita tentang Kerajaan bernama Kamanegara.

Kerajaan Kamanegara berdiri tepatnya di tahun 2222, kalau saja dunia tidak keburu hilang ditelan kiamat. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja bernama Garuda Wuruk. Seorang raja yang hanya mementingkan kesenangan dirinya. Negaranya telah digadaikan kepada para pengusaha untuk dibangun mal, banyak pabrik, perusahaan, apartemen, dan sebagainya. Bahkan, penggunaan lahan untuk pemakanan sangat dilarang di negara ini. Rakyat digusur, sengsara tiada tara. Mereka tinggal di area pemakaman yang sebentar lagi juga akan digusur.

Sementara itu, para pejabat kerajaan justru merancang sebuah konspirasi untuk menggulingkan raja, tepat di ulang tahun kerajaan ke-500. Mereka berencana untuk memfinah Patih Gajah Agni. Setelah Si Patih mati, maka mereka dengan mudah akan dapat menggantikan posisi raja. Di lain pihak, rakyat sudah tidak tahan dengan kepemimpinan raja dan terus saja melakukan demonstrasi menentang kebijakan-kebijakan raja.

Kira-kira begitulah ceritanya. Tema kekuasaan memang tak pernah dingin, selalu hangat untuk dibicarakan. Para mahasiswa ini dengan lihai menggunakan tema ini untuk diangkat sebagai sebuah seni pertunjukan. Pada bagian awal memang sedikit membosankan dan terasa aneh. Melihat kethoprak tapi dengan gaya penampilan para pemainnya yang aneh. Make up-nya aneh-aneh pula, dengan mengenakan asesoris yang juga aneh. Musiknya juga tidak terlalu mendukung pertunjukan. Musik dari band modern ini kurang bisa ikut menjadi bagian dalam menciptakan suasana. Hal menarik yang justru saya perhatikan adalah komentar orang-orang di belakang saya. Aneh-aneh saja pokoknya celetukan yang terdengar dari mereka.

Setting panggungnya cukup menarik, digambarkan gedung-gedung bertingkat. Sebuah singgasana berwarna coklat muda, lebih mirip seperti kursi pak bos yang bisa berputar-putar itu. Ada kursi panjang di tepi. Kotak kayu mirip loker terpasang juga di tepi panggung dengan warna-warni. Loker itu katanya adalah penyimpan jenazah karena memang jenazah tak boleh lagi dikuburkan di dalam tanah. Katanya ada arwah gayus yang mati karena disengat lebah, lalu Bakri yang mati karena tersedak dawet, juga beberapa jenazah yang saat ini masih menjadi orang penting di negeri ini.

Meski masih menggunakan fondasi cerita yang berkisah tentang kerajaan, pertunjukan kali ini banyak kehilangan unsur tradisi. Unsur yang lekat dengan kethoprak sebenarnya tidak perlu dihilangkan sebanyak itu dan diganti dengan banyak sekali unsur modern. Ada tarian break dance dari para mahasiswi cantik di adegan ulang tahuan kerajaan. Dialek Jawa memang masih kental muncul dari dialog para pemian tapi tentu tidak semua. Humor yang dilontarkan dan mengundang tawa sebagian adalah humor yang saru, sebagian adalah yang mengkritik pemerintah dan hanya itu. Jayus tapi kadang lucu.

Dari segi keaktoran, memang tidak terlalu terlihat total seperti dalam sebuah teater. Beberapa aktor mampu memainkan karakternya dengan cukup baik. Salah satunya adalah penjaga makam, seorang laki-laki yang berperan sebagai perempuan paruh baya. Fotonya dipasang di nisan-nisan kuburan yang dijaganya dan menjadi bahan membuat guyonan. Kemudian adalah istri raja. Dengan cukup baik ia mampu menjalankan peran sebagai perempuan yang berkuasa dan terlihat tidak canggung di atas panggung. Dandanan anehnya pas dengan karakternya yang culas itu. Sayang sekali pesta ulang tahun kerajaan yang telah dipersiapkannya selama tiga bulan harus batal karena demontrasi.

Tokoh yang paling saya sukai di pertunjukan ini adalah Patih Gajah Agni. Dari celetukan penonton dan juga beberapa pemain, katanya dia ini anaknya Marwoto, pemain srimulat dan kethoprak itu. Benar tidaknya saya juga tidak tahu. Barangkali juga benar karena; satu, bakat bapaknya kemungkinan besar memang menurun ke anaknya. Dua, karena gigi mereka sama-sama selonjor-nya. Beberapa pemain kadang jayus membuat lelucon tapi Patih gajah Agni ini benar-benar bisa membuat saya terpingkal. Juga, kacamata dan sedikit gesturnya yang mengingatkan saya pada seseorang. Ah, di sini hanya ada banyak anak muda. Kisanak itu tidak ada di sini.

Selalu beginilah kisah kekuasaan. Para penguasa saling berperang, rakyat kecil tak dihiraukan. Negara hanya menjadi sebuah istilah saja. Orang-orang sibuk dengan kepentingannya. Dan saya malah bermimpi ketika duduk melihat pertunjukan ini. Para pemain berganti rupa. Para pemain berubah wujud. Para pengusaa itu menjadi raksasa menelan rakyatnya. Keributan dan kerusuhan mewujud dimana-mana. Dan di dalam chaos seperti apapun bentuknya tentu masih ada cosmos (keteraturan). Seperti di telan jauh ke kedalaman suluk. Saya tenggelam. Tenggelam begitu dalam. Barulah saya tersadar setelah seseorang dengan kamera mahal di tanganya mendesak saya untuk sedikit minggir agar ia bisa membidik gambar dengan tepat. Saya terbangun di tengah keramaian dan huruk-pikuk tawa para penonton. Semula, saya mengira telah menghilang begitu saja.

Adegan terakhir yang saya nikmati adalah ketika Patih Gajah Agni berperang melawan orang-orang yang menfitnahnya. Karena bernama Agni yang berarti adalah api, maka ia akan kalah apabila terkena air. Dimulailah adegan konyol sembur-semburan air antara mereka yang berperang. Semua penonton terbahak. Hujan diluar tak terdengar dan terasakan. Ternyata telah reda. Saya harus segera kembali ke kost sebelum tak dapat pintu. Maaf bisa saya tak bisa melanjutkan ini cerita. Barangkali, cerita ini akan berakhir dengan munculnya seseorang yang bisa Mbabad kembali Kamanegara. Meletakkannya kembali dalam pusaran Cakra Manggilingan. Menemui kejayaan kemudian setelah kejatuhannya. Barangkali semua akan berakhir menjadi sebuah cerita sederhana, berakhir bahagia.

Apa yang saya tulisakan ini adalah kesan, dari seorang penikmat pertunjukkan buta. Tak tau mana yang benar-benar baik atau kurang baik. Ketika saya mengatakan aneh atau apapun tentang para pemain, sekali lagi ini adalah kesan. Semoga tidak ada yang tersinggung. Toh, aneh juga adalah bagian dari kreativitas yang saya sungguh sangat apresiasi. Masih lebih baik daripada saya yang hanya bisa menikmati kemudian mengomel tak jelas begini. Terimakasih telah menghibur saya malam ini.

Purna Budaya, 21 Januari 2011

1 komentar:

  1. hehehehe pengamat yang buta, tp bisa mehulis dengan leluasa.....

    keren.....

    BalasHapus