H: Ketika akhir hari sampai pada hitungan menit. Dan perkenankan Heru untuk berpamit dalam kelelahan diri. Moga esok kita bisa bersahabat dengan hari. “met bubuk sweety”
R: Hey, ada berapa wanita yang kau kirimi sms macam begitu? Lama sudah aku tak bikin puisi. akhir-akhir ini begitu banyak sesak memenuhi otak. Dan kau tahu, aku ingin membunuh seseorang di kepala ku. Dari dulu dia itu tak mau pergi-pergi juga. Kalau kau tahu cara membunuhnya, tolong beritahu aku ya...
H: Karya ini terlalu mubadzir untuk kunikmati sendiri, maka biar para wanita mencicipi colekan puisi penghantar mereka terlelap senyap. Diriku juga lama koma dari berimajinasi dengan puisi, karena hati ini sudah beku oleh luka-luka baru. Kau tanya aku tentang menghapus orang yang ada di kepalamu, sedangkan orang di kepalaku memaksaku untuk bisu.
R: Aku tanya kau betulan. Kenapa jawabanmu seperti itu? Aku benar-benar ingin membunuhnya. Atau aku harus meminta orang di kepalamu agar tak membisukanmu?
H: Karena aku tak berpengalaman melupakan seseorang. Membunuh perasaan saja butuk waktu yang tak singkat. Tapi intinya sebuah proses, ya pelan-pelan saja!
R: Ah, kalau cuma nasihat begitu sudah sangat sering kudengar. Aku butuh cara cepat dan instan. Tapi ya sudahlah, selamat malam saja. Selamat tidur juga. Itu ada seseorang di kepalamu yang sedang menanti kau selimuti dengan puisi.
H: Met tidur kembali
Setelah percakapan bodoh ini. Orang di kepalaku semakin menjengkelkan. Sudah lama dia seenaknya tinggal dikepalaku tanpa uang sewa. Dia itu bisa saja sekali waktu bersantai di cabang-cabang neuron otakku. Menganggapnya cabang pohon, dia bisa duduk sambil memainkan game dalam telepon genggamnya. Bersandar dengan menekuk ke atas kaki kirinya dan kaki kanannya akan dinaikkan ke atas lutut kaki kiri. Begitu setiap hari sambil bersiul-siul tak jelas, sambil asyik mendengarkan musik. Bahkan seenaknya saja meminum cairan otakku ketika haus. Suatu kali pernah juga hampir menghancurkan otak kiriku sampai aku tak bisa berpikir dengan logika. Seperti orang bodoh aku menuruti maunya meski semua menentang apa yang kulakukan. Suatu kali pernah juga ia begitu saja membuka pakaiannya dan berbaring di atas lobus optical sampai aku hampir membentur pintu ketika berjalan. Dia malah dengan santainya mengipas-ngipas badannya yang kepanasan, berjalan mondar-mandir sibuk menukar isi otak kecil dan menggantinya dengan rekaman suaranya.
Aku tak bisa mengusirnya. Setiap ia pergi justru aku yang kebingungan mencari. Ia sering mencuri sedikit demi sedikit bagian di otak kananku. Aku sampai beberapa hari tak bisa berimajinasi. Ini seperti membunuhku perlahan-lahan. Lebih menyakitkan ketika sedikit demi sediikit otakku hancur. Ia mencecap sungsum di medula oblongata. Aku hampir tak bisa bergerak lagi. Seperti orang bodoh tak bisa berpikir apa-apa selain dia. Tapi aku tak bisa mengusirnya. Dan karena itu aku ingin membunuhnya. Sekarang dan saat ini juga. Tapi bukankah ketika aku membunuhnya aku akan mati juga. Entahlah. Aku hanya butuh cara paling tepat. Bantu aku kalau kau bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar