Sore yang kebetulan tak hujan. Dalam senja, mengayuh sepeda kembali setelah sekian lama tak dilakukan ternyata lumayan menyegarkan. Selalu banyak hal bisa dilihat sepanjang jalan. Kehidupan, keruwetan, kesumpekan dan sepanjang jalan Maliboro yang macet karena kelihatannya mau ada pawai budaya. Senang sekali Jogja akhir-akhir ini mengadakan kirab budaya. Pun begitu, sepeda saya bisa menyusup diantara para mobil angkuh, motor, dan bus kota. Akhirnya sampai juga di taman Budaya. Kabarnya sedang ada acara digelar. Benar saja. Sampai di sana para pemain Jaran Thek Ponorogo sedang beraksi. Menari-menari sampai kemudian ndadi alias kesurupan. Mereka makan beling dan arang kesukaan, dicambuki dan adegan-adegan mengerikan semacamnya.
Acara ini merupakan publikasi hasil penelitian “Revitalisasi Seni Tradisi dan Pertunjukan Lokal di Indonesia” dengan program “Anak Muda dan Seni Tradisi” yang digagas oleh Ford Foundation. Begitulah yang tertulis di bukletnya. Sementara mereka sedang asik makan arang, saya mencoba berkeliling sebentar. Sudah lama saya tak menyambangi tempat ini karena berbagai kesibukan yang sebenarnya tidak menyibukkan. Kembali bisa melihat wajah-wajah seniman Jogja. Rambut mereka masih gondrong saja. Terlihat beberapa wajah yang tak asing. Tapi saya mencoba untuk tak terlihat. Karena memang begitulah. Saya tak suka kelihatan. Saya selalu bisa mengenali mereka dan tak satu pun dari mereka yang mengenali saya.
Di pojokan ada tubuh mungil Gunawan Maryanto yang menggendong tas ransel besar di punggungnya. Ada pembaca puisi juga. Kalau tidak salah namanya Kedung Dharma Romansha. Dan yang kelihatan gelungannya itu pastilah Wangi Indriya, si penari topeng dari Indramayu itu. Saya pernah melihatnya nyinden dan menari di salah satu pertunjukkan teater Garasi. Bikin merinding melihat kombinasi gerakannya yang gagah dan suara khas tembang. Beberapa lagi saya tidak tahu namanya tapi sering muncul juga di acara-acara begini. Saya hanya sendirian jadi lebih baik menjadi tak kelihatan. Ini lebih mengasyikkan. Menjadi yang tak dikenali orang.
Para pemain yang kesurupan sudah kembali setelah raganya dipinjamkan. Acara dilanjutkan dengan pembukaan. Basa basi dari presenter yang kukenali dulu pernah mengisi acara juga. Berikutnya adalah pertunjukan Tari Topeng dari Indramayu. Saya kira akan kembali melihat Mbak Wangi Indriya menari. Eh, yang muncul ternyata dua keponakannya yang berumur sekitar 14 tahun, laki-laki bernama Viki dan perempuan bernama Dadem. Mengesankan lagi. Keduanya dengan gemulai membawakan karakter topeng berwarna merah itu. Setelah tarian selesai, para penonton dipersilakan untuk menonton film dokumenter dari kesenian yang telah dipertunjukkan. Saya cuma sempat melihat film dokumenter tentang Sanggar Mulya Bhakti pimpinan Pak Taham yang adalah bapaknya Mbak Wangi.
Seharusnya bisa melihat sendiri film dokumenternya. Kurang seru kalau saya yang bercerita. Tapi entah kenapa melihat kisah Sanggar Mulya Bhakti ini hampir menjebol bendungan di kelopak mata. Sanggar ini didirikan pada tahun 70-an. Mengalami banyak masa pasang surut hingga berdiri sampai sekarang. Bahkan, bangunannya pernah roboh untuk kemudian bisa berdiri kembali dengan bantuan dana kemanusiaan Kompas. Sanggar non profit inilah ladang tumbuhnya para seniman Indramayu yang dimotori Pak Taham, anak-anaknya sampai generasi ketiga yaitu para cucunya.
Melihat film ini seperti melihat mimpi. Mimpi saya sendiri. Saya pernah mimpi menari dikelilingi lilin-lilin menyala. Mabuk dengan aroma ratus dan dupa. Sering juga saya mimpi jadi penyair setengah gila yang melakukan perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan dalam kereta, bisa kota atau sekdar berjalan kaki menuju tenggelamnya matahari. Sebuah perjalanan untuk mencari. Keinginan ini tak pernah sampai. Saya terpenjara oleh rutinitas dan kenormalan hidup seperti sekarang. Terpenjara kefanaan dan nafsu sebagaimana kehidupan orang kebanyakan. Sekolah sampai lulus kuliah, tapi malah nganggur tanpa kerjaan. Ini seperti sisi kehidupan yang kuinginkan. Berjuang dalam berbagai kesulitan hidup hanya untuk menghidupkan seni.
Dari ladang pasangan seniman di Indramayu itu, tumbuhlah bibit-bibit seniman macam Mbak Wangi bersaudara, yang tak pernah layu sampai generasi ketiga. Keluarga ini ada yang menjadi dalang, sinden, pengrawit dan penari topeng. Semua bisa. Dan para seniman ini memang tak pernah manamatkan pendidikan formal mereka. Mbak Wangi juga ternyata tak tamat SMA. Seni adalah nasi buat mereka, menjadi menu makanan sehari-hari. Pagi ke sekolah, setelah itu masih harus ke ladang atau sawah untuk membantu orang tua. Malam baru mengecap latihan yang keras dari Pak Taham. Prestasi di sekolah menurun drastis dan akhirnya memutuskan untuk tak melanjutkan. Selain itu, tuntutan ekonomi para pekerja seni ini memaksa salah satu saudara Mbak Wangi menjadi TKW di Kuwait dan Abu Dhabi. Modernisasi juga menjadi salah satu lawan kuat dalam perkembangan seni di Indramayu. Hadirnya Orkes Musik Dangdut dan Organ Tunggal turut menggerus pendapatan para seniman.
Kalau dilihat foto jaman dulu ibu saya, kalau tak salah dia juga penari, sama dengan budhe. Di Foto itu, Ibu mengenakan kostum tarian “Gatotkaca Gandrung” dengan pose gerakan gagah. Tapi akhirnya mereka juga jadi pegawai negeri. Seninya dipakai untuk mengukir saya dan kehidupan kami sehari-hari. Ah, dia juga seniman. Berbeda sekali sama Viki dan Dadem, dua penari topeng yang sudah mempertontotan kebolehannya tadi. Sejak kecil mereka sudah bertekad untuk menjadi penari. Tak mau jadi pegawai negeri yang dibilangnya ruwet itu. Ketika mereka gemulai menarikan Tari Topeng itu, saya sendiri sibuk sembunyi di balik topeng. Kelana sendirian. Hidup makai topeng tak pernah lepas dari kemunafikan. Menjebakkan kehidupan pada segala yang hanya permukaan.
Seni tak akan pernah mati. Ada semacam dorongan kuat dari para orang tua untuk tetap memasukkan anak-anak mereka ke Sanggar. Inilah yang membuat semangat untuk berkesenian tak pernah padam. Ibu-ibu dari kalangan bawah merasa perlu memasukkan anaknya ke Sanggar karena dorongan bahwa dengan menari pun anak-anak mereka bisa ke luar negeri seperti Mbah Wangi. Bisa ke Jepang dan keliling ke berbagai kota di Indonesia. Mereka masih percaya bahwa seni bisa menjadi sandaran hidup untuk anak-anak mereka. Sedangkan para orang tua dari kalangan menengah ke atas merasa perlu membekali anaknya dengan seni sebagai suatu penyeimbang. Anak mereka tidak hanya disibukkan dengan berbagai les seperti bahasa Inggris, Matematika, dan sebagainya. Tapi, juga mengenalkannya pada seni untuk yang bisa menyentuh dan menjadi penyeimbang hati.
Kalau bisa terus diregenerasi macam begini tentu seni bisa kembali dihidupkan kembali. Lebih riuh dari sebelumnya. Berjuang melawan sekaligus mengalir bersama zaman yang semakin edan. Masih banyak yang bisa diceritakan dari seni indramayu ini. Tak cukup bila hanya dilukiskan lewat coretan pendek saya. Inilah kisah perjalanan yang dikemas dalam film berjudul “Years of Living Artistically”. Sebuah film tentang perjalanan, benturan nasib dan dan seni dengan segala bentuk proses menjadinya.
Gelap mulai turun. Saya tak bisa menamatkan pemutaran film berikutnya tentang komunitas Ho’e yang suka makan arang tadi. Katanya, mereka tak hanya berkesnian tapi anak muda di kampung mereka sudah berhasil menginisiasi berbagai macam kegiatan kreatif desa. Sudah ya, saya pulang dulu. Roda sepeda menggelinding berputar menekan jalanan. Hidup saya kembali menyala. Saya menikmati setiap keterasingan. Dan saya membenci kesunyian ketika tak sedang bersama tuhan. Ah, semoga besok bisa kembali ke sini dan bercerita hal lain lagi.
7 Januari 2011 @ TBY, Jogja Broadway
berarti sebenarnya kita ketemu waktu itu...
BalasHapussayangnya, aku adalah orang yg mengenal banyak orang tapi tak satupun yang mengenalku hehehe