Kamis, 16 Desember 2010

Gerakan Civil Society dalam Diskursus Penetapan Sultan DIY

Revitalisasi civil society menjadi prakondisi untuk menguatkan demokrasi di Indonesia. Sejak Orde Baru, gerakan masyarakat sipil muncul sebagai ekpresi dari otoritarianisme negara. Gerakan ini sebagian besar merupakan resistensi terhadap berbagai kebijakan negara. Pemerintah menjadi common enemy bagi gerakan masyarakat sipil sehingga di satu sisi hal ini menjadi hal yang bisa menjadi arah tujuan bagi gerakan-gerakan tersebut. Pasca Orde Baru, pintu demokrasi mulai terbuka. Pemilu sebagai salah satu tiang demokrasi prosedural dapat dilaksanakan dengan lebih demokratis. Gerakan masyarakat sipil kembali mencari bentuk ketika kehilangan common enemy-nya. Beberapa diantaranya bergerak untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan advokasi. Beberapa lagi masih setia sebagai gerakan untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Sedangkan yang lainnya, terfokus pada isu-isu seperti lingkungan, kebudayaan, pendidikan, dan sebagainya.

Dalam hubungan dialektika antara negara dan masyarakat, civil society menempati suatu posisi yang menentukan. Ketika masyarakat mampu melampaui pengawasan dominasi negara dan menjadi lebih mandiri, maka prospek demokratisasi dapat lebih terbuka. Dalam situasi saat ini, hubungan antara negara dan masyarakat cenderung lebih simetris. Bahkan, untuk beberapa kasus menunjukkan bahwa hubungan antara weak state and strong society, negara lemah dan masyarakat lebih kuat. Hal ini membuka peluang masyarakat untuk mengontrol persoalan-persoalan politik mereka. Negara pada saat ini telah mengalami krisis legitimasi sebagai akibat kebijakan-kebijakan yang tidak dapat mengakomodasi kepentingan rakyat banyak. Negara selalu mendapat kritikan untuk banyak masalah yang berhubungan dengan hak-hal asasi, partisipasi masyarakat, perwakilan, keadilan, pemerataan ekonomi dan sebagainya. Semakin jauh negara mengabaikan permasalahn-permasalahn tersebut, keabsahannya akan dipertanyakan dari waktu ke waktu (Hikam, 1996:123).


Diskursus penetapan Sultan di DIY sebagai runtutan dari tahapan pembahasan RUUK menjadi salah satu kasus menarik untuk melihat bagaimana perkembangan civil society dalam pembangunan demokrasi. Eksistensi Yogyakarta sebagai daerah istimewa salah satunya disimbolkan dengan Sultan yang sekaligus ditetapkan sebagai Gubernur. Wacana mekanisme pemilihan Gubernur DIY sebagai salah satu bagian dari RUUK menuai protes dibanyak kalangan. Tensi politik cenderung memanas di DIY dengan banyaknya gerakan demontrasi dari berbagai elemen masyarakat yang mendukung penetapan.

Kasus ini dapat dibaca sebagai bentuk menguatakan civil society di aras lokal. Pisau analisis Chandoke terkait dengan persyaratan munculnya civil society pada saat ini relatif sudah terpenuhi. Keterkaitan fungsional antar elemen yang menyusun sistem politik di aras lokal sudah mulai tampak. Forum-forum representatif dari civil society yang menjadi ajang diskursus kritis yang bersifat sebagai counter balance terhadap negara telah ada (Suwondo, 2003: 182).

Isu penetapan Sultan sebagai gubernur DIY merupakan suatu pemantik bagi kebangkitan civil society di Yogyakarta. Lingkungan Kraton dengan pola-pola kekuasaan patront-klien di dalamnya ternyata justru bisa membangkitkan model demokrasi yang partisipatif di kalangan masyarakat. Nilai dan kesetiaan masyarakat Jogja terhadap eksistensi Kraton dalam hal ini dapat membentuk suatu gerakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini memberikan suatu nilai positif bagi perkembangan dan pembangunan demokrasi di lingkungan Kraton Yogyakarta.

Aksi masyarakat Jogja untuk mendukung Penetapan Sultan didukungg oleh berbagai elemen masyarakat. Berbagai elemen yang mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur antara lain adalah Paguyuban Kepala Desa se-Yogyakarta, Paguyuban Kepala Dusun se Yogyakarta, Paguyuban Tukang Becak dan Wisata se Yogyakarta, Forum Komunikasi Seniman se-DIY. Paguyuban Tri Dharma, Pemalni, Komunitas Juru Parkir, Patma, Handayani, Pamarta, Paguyuban Pedagang Lesehan Maliboro (PPLM), Paguyuban Pengusaha Malioboro (PPM), dan Paguyuban Pengusaha Ahmad Yani (PPAY) tak mau ketinggalan beraksi. Para pedagang, tukang becak, juru parkir hingga mahasiswa juga akan memenuhi kantor DPRD. Bahkan, janda-janda yang tergabung dalam Persaudaraan Janda-janda Indonesia (PJJI) pun berdemonstrasi.

Selebihnya, apabila menilik berbagai unsur masyarakat yang terlibat dalam aksi menuntut penetapan Sultan sebagai Gubernur DIY, dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari mereka adalah elemen masyarakat di aras lokal. Sebut saja Paguyuban Kepala Desa dan Dusun se-DIY. Munculnya dua paguyuban tersebut dapat menjadi refleksi bahwa sistem politik di tingkat lokal dapat berjalan secara fungsional. Meskipun belum dilacak lebih jauh bagaimana pengorganisasian dua bentuk paguyuban ini, setidaknya aspirasi masyarakat di aras lokal sudah berani muncul dipermukaan. Sangat memungkinkan masih adanya elite capture dalam pengorganisasian dua paguyuban tersebut. Namun, ketatnya kontrol dari masyarakat dapat membuka peluang peluang mekanisme pengorganisasian yang lebih terbuka dan partisipatif.

Salah satu kasus yang tampak adalah bentuk dukungan berupa pengibaran sekitar kurang lebih 15.000 bendera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dikibarkan di sepanjang ruas jalan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bendera tersebut dikibarkan oleh masyarakat setempat sebagai dukungan klausal penetapan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bendera tersebut berlatar kain warna putih dengan lambang kraton `Hanggobo berwarna kuning yang pada bagian bawahnya tertera tulisan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ukuran sekitar 70 centimeter kali 40 centimeter yang dipasang diujung bambu runcing sebagai tiang pengibarnya.

Ketua Paguyuban Lurah Gunung Kidul, Suparno menyampaikan bahwa bendera-bendera tersebut berasal dari swadaya masyarakat dan sudah mulai didistribusikan untuk dipasang sejak Senin, 12 Desember 2010. Suparno mengatakan, jika pemerintah pusat tetap ingin mengubah keistimewaan DIY yang salah satunya dengan tidak menetapkan Sri Sultan Hamengkuwono X dan Sri Paduka Pakualam IX sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, dirinya bersama dengan elemen masyarakat lain siap melakukan penetapan sendiri. Sementara itu salah satu warga Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Bambang Waluyo mengatakan mendapatkan bendera Kraton dari kepala dusun sebagai bentuk dukungan untuk penetapan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dari Kasus di atas, dapat dikatakan bahwa elit politik lokal mempunyai peranan penting untuk menggerakan inisiatif warga dalam rangka ikut ambil bagian dalam partisipasi politik. Di aras lokal dengan warna masyarakat yang masih kental dengan budaya Jawa, munculnya elite lokal sebagian besar merupakan tokoh yang dapat diteladani oleh masyarakat. Oleh karena itu, elit lokal dituntut untuk terus menerus menjadi wadah bagi masyarakat sekaligus menjalankan fungsi intermediari untuk menyalurkan aspirasi tersebut. Seorang Kepala Dusun ataupun Kepala Desa di Gunung Kidul mampu menggerakkan warganya untuk secara swadaya menunjukkan dukungan mereka terhadap penetapan Sultan melalui pengibaran bendera Kraton. Sebaliknya, proses ini juga perlu diwaspadai karena keberadaan elite lokal juga sangat rentan ketika ia justru menggunakan basis legitimasinya dimasyarakat untuk melakukan mobilisasi demi kepentingan pribadi.

Gerakan civil society melalui aksi masyarakat Jogja mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur dalam kacamata demokrasi bukan berarti tidak mendukung bentuk demokrasi prosedural melalui pemilihan. Namun, hal ini justru telah menunjukkan bentuk demokrasi karena merupakan kehendak sebagian besar masyarakat Yogyakarta. Demokrasi dalam kasus ini dapat dilihat secara lebih dalam sebagai bagian dari demokrasi substansial.

Permasalahan yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana melakukan pelembagaan terhadap potensi civil society yang cenderung menguat seperti yang terjadi di Yogyakarta. Gerakan mereka pada tingkat tertentu telah berhasil membuat DPRD DIY sebagai representasi rakyat Jogja untuk menyetujui mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur. Menguatnya civil society di DIY dikhawatirkan hanya menjadi aksi yang akan terjadi dalam kasus-kasus tertentu saja dan bersifat temporal. Sangat memungkinkan ketika gerakan masyarakat tersebut kemudian menghilang apabila Pemerintah Pusat sudah mengakomodasi keinginan mereka dalam pembahasan RUUK.

Civil society dalam hal ini tidak hanya harus menguat pada masa atau untuk kasus-kasus tertentu saja. Segala unsur yang dapat membangkitkan atau menguatkan civil society perlu memikirkan mekanisme untuk melakukan pelembagaan agar potensi demokrasi dalam masyarakat dapat dikembangkan dalam segala kondisi. Aktor-aktor seperti elit politik lokal, dukungan dari para intelektual, LSM, bahkan pemerintah sendiri diperlukan untuk mengawal potensi civil society agar tetap menjadi pilar bagi pembangunan demokrasi.

Tujuan akhir dari pemberdayaan politik arus bawah adalah untuk memperkuat rasa kemandirian dan mendorong pengembangan diri masyarakat, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk lebih menyadari akan hak-hak budaya, ekonomi, dan politik mereka. Kesadaran politik semacam ini sangat penting dalam mengarahkan perjuangan mereka pada pemenuhan pertisipasi politik secara penuh sebagai warga negara (Hikam, 1996: 130). Proses yang terjadi di Yogyakarta dapat ditindaklanjuti dengan melakukan pemberdayaan politik arus bawah. Fenomena ini jangan sampai hanya menjadi semacam euforia politik sesaat dari masyarakat. Meskipun berada di bawah struktur Kraton, masyarakat Yogyakarta memiliki potensi untuk menjadi bagian dari civil society dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar