Kamis, 16 Desember 2010

Perbandingan Model masyarakat Sipil di Lingkungan Kraton

Ketika melihat model masyarakat sipil di dalam, di lingkungan dan di luar Kraton, maka akan terlihat kecenderungan warna yang berbeda. Beberapa contoh kasus dalam studi ini setidaknya bisa mewakili warna masyarakat sipil di tiga ranah tersebut. paguyuban Semar Sembogo atau perkumpulan dukuh se-DIY misalnya. Paguyuban ini dengan bebas dapat menyuarakan aspirasinya terkait dengan isu-isu keistimewaan DIY. Di luar itu, peguyuban ini tetap melakukan kegiatan dan pertemuan rutin seperti arisan dan sebagainya. Relasinya dengan Kraton sukup jelas, namun terbatas pada dukungan mereka terhadap penetapan Sultan sebagai gubernur. Di luar itu, kelompok ini tidak berelasi dengan Kraton secara langsung. Beberapa nilai dari masyarakat sipil dapat dilihat dari dinamika paguyuban ini. Mereka memiliki keterlibatan dan komitmen warga negara dalam proses politik (civic engagement) ketika berusaha untuk terlibat dalam pembahasan RUUK. Kehidupan asosiasional yang kuat juga diperlihatkan, meskipun derajatnya kadang bersifat temporal tergantung pada naik turunnya isu pembahasan RUUK di DPR. Partisipasi mereka melalui berbagai event yang melibatkan massa secara luas, khususnya masyarakat Jogja dapat dibaca sebagai proses demokratiasi masyarakat. Dinamika terhadap paguyuban ini apabila ditelisik lebih dalam tentu tidak sesederhana penjelasan di atas. Banyak elemen lain yang masih bisa diungkap melalui pendalaman studi labih lanjut.

Berbeda halnya dengan masyarakat sipil di lingkungan Kraton. tipe ini dicirikan dengan berbagai paguyuban dan asosiasi yang juga banyak direproduksi di daerah lain dengan bantuan program pemerintah. Relasinya lebih banyak ke pemerintah daerah daripada ke Kraton sendiri. Meskipun demikian, struktur Kraton masih mewarnai paguyuban-paguyuban tersebut. struktur ini di satu sisi bisa mendorong berkembangnya masyarakat sipil seperti budaya toleransi, gotong royong, tingginya tingkat kepercayaan antar anggota, dan sebagainya melalui falsafah dan budaya Jawa yang diwariskan. Namun di sisi lain, struktur ini bisa dikatakan seperti mengambil jarak terhadap masyarakat sendiri. Posisi Sultan, sebagai Raja sekaligus Gubernur DIY tidak serta merta berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat sipil di lingkungan Kraton. sebagian besar dari paguyuban yang ada hanya menjadi agen pemerintah untuk menjalankan program-progamnya. Sebut saja Kelompok Tani Wanita Sri Rejeki, asosiasi ini terasa kurang memiliki ruh masyarakat sipil yang seharusnya hadir di dalamnya. Hal ini sedikit berbeda dengan paguyuban Genthong 13, pemerintah dalam hal ini hanya menjadi fasilitator sedangkan nilai-nilai masyarakat sipil tersebut dapat berkembang dalam paguyuban ini. Mereka memiliki pengaturan tersendiri dalam pengelolaan air dengan pelibatan yang intensif dari para anggotanya.

Warna yang sama sekali lain tampak pada paguyuban abdi dalem Kraton. data sementara yang terkumpul menggambarkan bahwa meskipun mereka menyebut dirinya sebagai paguyuban, namun mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Aspirasi mereka tidak memiliki wadah yang representatif. Struktur Kraton yang terlalu kuat telah mengungkung mereka sampai untuk menyampaikan pendapat saja mereka tidak memiliki keberanian. Menarik melihat bagaimana kelompok ini bisa melakukan demontrasi terkait keistimewaan DIY. Pun demikian, inisiatif untuk melakukan protes tersebut tidak muncul dari diri mereka melainkan berdasarkan amanat para Pengageng di atasnya. Kuat dugaan bahwa proses ini bisa dikatakan sebagai bentuk mobiliasasi. Para abdi dalem tersebut memiliki logika tersendiri ketika mereka mau habis-habisan mengabdikan diri untuk Kraton. padahal, apabila melihat latarbelakang mereka, beberapa diantaranya pernah bekerja sebagai pegawai bank, angkatan laut, bahkan seorang profesor. Ada semacam karakter dan habitus tersendiri yang membentuk mereka yang kemudian digunakan untuk merasionalisasi apa yang mereka lakukan.

Dalam perspektif nilai, Kraton bisa dikatakan menyumbang banyak terhadap hadirnya relasi-relasi masyarakat yang masih memegang bentuk toleransi, kepercayaan, sebagai basis dari terbentuknya masyarakat sipil. Namun dari sisi struktur, Kraton dengan kuat mencengkeram model-model partisipasi dan keterbukaan untuk menjaga legitimasinya dengan kewibawaan dan eksistensi yang selama ini terus dipertahankan dengan berbagai cara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar