Kamis, 16 Desember 2010

Hasil wawancara Abdi Dalem Kraton, 21 Oktober 2010

Salah satu abdi dalem yang kami temui adalah KMT CB atau Bupati Kliwon. Ia menjabat sebagai Bupati Kliwon sejak tahun 2000 sampai sekarang. Jenjang kepangkatan ini sudah yang paling tinggi untuk abdi dalem yang tidak bisa menjadi Pengageng. Jabatan pengageng biasanya dimiliki oleh keturunan Sultan, seperti yang saat ini menjabat adalah wayah kaping 8 (cucu ke-delapan). Pengageng merupakan istilah lain dari pimpinan sedangkan tepas adalah istilah lain dari Kraton. Mbah Buyut dari KMT CB dulunya adalah seorang abdi dalem, sedangkan kakek dan ayahnya hanya petani dan kusir andong biasa. KMT CB juga tidak memiliki tanah magersari yang biasanya bisa diwariskan secara turun temurun. Dalam hal ini ia memang tidak minta, tuturnya, “nyuwun menawi mboten diagem rak nggih malah muspro.”

Baginya, menjadi abdi dalem memiliki motif tersendiri. Pertama, ia ingin melestarikan budaya Jawa sebagai budaya adiluhung. Selain itu, ia juga bisa srawung dengan para abdi dalem lain dan bersama-sama mengabdi pada Sultan. Motifnya yang lain adalah harapannya untuk mendapat berkah dari apa yang ia lakukan. “Ngiyup sak ngisore ringin rak nggih langkung iyup,” ujarnya terkait dengan kesediannya menjadi abdi dalem.

Jumlah abdi dalem punakawan kurang lebih adalah 1200. Dari jumlah tersebut, kira-kira 100 orang bekerja di Tepas, dan yang lain adalah abdi dalem caosan atau hanya sowan dalam waktu 12 hari sekali. Jenjang gaji yang diterima abdi dalem masing-masing adalah sebagai berikut:
Abdi dalem caosan : 10.0000
Abdi dalem yang bekerja di Tepas: 20.0000
Bekel enom : 30.000
Bekel Sepuh : 40.000
Lurah : 50.000
Kliwon : 70.000
Wedana : 80.000
Riyo Bupati Anom : 90.000
Bupati Anom : 100.000
Bupati Sepuh : 110.000
Bupati Kliwon : 120.000
Bupati Nayaka : 140.000
Bupati Sentana : 160.000

Selain gaji, para abdi dalem juga mendapatkan tunjangan kesehatan yang besarannya disesuaikan dengan jenjang kepangkatan.

Setiap harinya, mereka bekerja setiap pukul 09.00-13.30 WIB. Namun, untuk KMT CB, ia meminta untuk tidak sowan setiap hari Jum’at. Hari itu dikhususkannya untuk beribadah, juga membersihkan masjid dekat rumahnya. Jarak rumahnya ke Kraton kira-kira adalah delapan kilometer yang ditempuh dengan sepeda motor setiap harinya. Saat ini, ia sudah berusia 67 tahun dan dikaruniai 6 orang putra. Anaknya yang paling tua sudah jadi sarjana, sedangkan yang paling kecil sudah lulus SMA dan menikah.

Di Kraton, terdapat paguyuban yang bernama ‘Budi Wadu Narendra’. Paguyuban ini dapat diistilahkan sebagai korps-nya abdi dalem Kraton. Pada awal berdirinya, paguyuban ini mengadakan pertemuan setiap satu tahun sekali untuk semua anggota, namun saat ini pertemuan itu sudah jarang dilakukan. Untuk masing-masing Tepas, pertemuan rutin para abdi dalem dilakukan setiap dua bulan sekali. Pertemuan ini dihadiri oleh Pengageng 2 (wakil Pengageng) beserta cariknya. Jumlah keseluruhan abdi dalem yang mengikuti pertemuan ini biasanya hanya 20 orang.

Pertemuan tersebut membahas tentang berbagai persoalan terkait administrasi. Pernah sekali waktu para abdi dalem tersebut dipanggil oleh Gusti Joyo dan diberi pengarahan seputar persoalan di Kraton, bisanya dilakukan pada hari Jum’at. Pelibatan abdi dalem ternyata sangat terbatas. Untuk persoalan pembangunan fisik di Kraton, abdi dalem tidak pernah dilibatkan sama sekali.

Pada saat ini, Kraton sedang mengadakan pawiyatan atau sekolah untuk abdi dalem. Lama pendidikan untuk satu angkatan diselesaikan dalam jangka waktu satu bulan. Meskipun demikian, saluran aspirasi untuk para abdi dalem tersebut ternyata sangat sedikit. Mereka tidak bisa menyalurkan ide-ide hanya karena tidak berani. “Menawi abdi dalem, mboten wonten ingkang wantun,” demikian ungkap KMT CB. Mereka bahkan merasa tidak membutuhkan hak untuk menyalurkan aspirasi tersebut. Bagi mereka, cukup bendara-bendara saja yang bersuara. Hak tanah yang dimiliki para abdi dalem sebagian besar juga tidak diminta. Mereka biasanya diberi tanah di daerah-daerah yang jauh seperti di Selarong, sedangkan tanah-tanah di lingkungan Kraton adalah hak bagi keluarga Sultan. Untuk KMT CB, ia memilih untuk tidak meminta haknya tersebut karena saat ini ia sendiri sudah punya rumah dan tanah, meskipun hanya di dusun.

Ketika merebak isu RUUK DIY, terkait penetapan Sultan sebagai Gubernur. Para abdi dalem ini terlihat berdemo untuk mendukung Sultan. Ini pun dilakukan demi kepentingan Sultan. Demontrasi belum pernah sekalipun dilakukan untuk kepentingan pribadi atau ngaturaken panyuwunan. Mereka sekali lagi merasa benar-benar tidak berani. Inisiatif untuk melakukan demontrasi terkait RUUK juga bukan berasal dari abdi dalem sendiri. Dari perkataan KMT CB, terlihat bahwa ada upaya mobilisasi dari para Pengageng untuk menggerakkan abdi dalem.

Melompat ke peristiwa Gempa Jogja, abdi dalem ternyata tidak mendapat bantuan dari Kraton secara langsung. Bantuan didapatkan dari pribadi seperi Gusti Pembayun yang menyumbangkan kasur, bahan makanan pokok dan peralatan rumah tangga kepada KMT CB. Padahal, pada saat itu beliau kehilangan rumah dan satu orang anaknya.

KMT CB menjadi sesepuh di Kanayan Bumi Sewu atau perkumpulan abdi dalem yang bertugas mengurusi apabila ada yang meninggal dunia. Paguyuban ini lebih dinamis karena memiliki kegiatan rutin seperti arisan setiap bulan. Apabila ada gelar budaya, mereka biasanya juga diundang untuk menyaksikan sebagai tamu, mendampingi rombongan Sultan. Mereka pernah akan dilibatkan dalam suatu pawai budaya, hanya saja kegiatan ini batal dilaksanakan karena peserta dari Muntilan ternyata sudah banyak jumlahnya. Untuk Kanayakan lain, KMT CB mengaku tidak tahu karena memang jarang berkumpul. Sepertinya masing-masing Tepas memang di setting untuk tidak saling mengetahui urusan masing-masing.

Mereka juga diperbolehkan untuk ketemu Sultan setiap Lebaran. Sowan seperti ini sudah dijadwalkan dan dikoordinasikan dengan rapi. Untuk pagi, yang diperkenankan untuk sowan adalah abdi dalem dengan pangkat Riyo Bupati ke atas. Di bawah pangkat itu, masih diperbolehkan hanya saja dengan waktu yang berbeda, atau mungkin hari yang berbeda.

Para abdi dalem biasa mengenakan beskap yang juga menunjukkan identitasnya. Misalnya untuk warna merah, adalah abdi dalem pekerja kasar, seperti tukang memotong rumput atau bersih-bersih. Semua pakaian tersebut diusahakan secara mandiri. Hanya saja untuk abdi dalem yang bertugas di bidang pariwisata, akan mendapat jatah sragam dari kraton. bekerja di Parentah Hageng sebenarnya rekasa atau berat, sering lembur tapi tidak mendapatkan gaji tambahan. Berbeda dengan abdi dalem atau pihak luar yang menyajikan uyon-uyon di Bangsal Sri Manganti. Mereka mendapatkan sekitar lima sampai sepuluh ribu setiap kali sowan. Mereka menyajikan uyon-uyon setiap hari Senin, Selasa dan Minggu. Pada hari Rabu biasanya digelar pertunjukan Wayang Golek. Pada hari Jum’at terdapat acara Macapatan dan hari Sabtu digelar pertunjukan Wayang Kulit.

Salah satu pegawai di Parentah Hageng yang kami temui, khususnya yang menjabat sebagai carik bernama MA. Beliau ternyata adalah seorang pensiunan pegawai Bank Mandiri, bagian audit. Sebagai abdi dalem, beliau berpikir bahwa hidupnya akan lebih bermanfaat ketika kemampuannya masih bisa digunakan untuk kepentingan Kraton meskipun sudah pensiun.

Mekanisme reward dan punishment dalam Kraton dilaksanakan dengan cara sederhana. Abdi dalem yang sudah bekerja selama delapan tahun akan mendapatkan lencana bernama ‘Setyo Aji Nugraha’. Lencana ini diberikan secara periodik dalam jangka waktu tersebut. hal ini menjadi satu-satunya reward bagi abdi dalem yang sudah dengan setia menjalankan tugasnya. Kraton tidak memberikan reward dalam bentuk tunjangan atau yang lain. Sedangkan mekanisme sanksi dikenakan pada abdi dalem yang selama 6 bulan tidak sowan. Sanksi yang diberikan adalah dikeluarkan setelah sebelumnya diberi surat peringatan.

Beberapa cerita yang didapat dari para abdi dalem ini kadang terasa berada di luar logika. Misalnya saja KMT CB yang rela dengan gaji 120 ribu tiap bulan untuk mengabdi ke Kraton setiap pagi. Demikian halnya dengan cerita dati Dwijo Soesilo Atmojo yang menjadi salah satu abdi dalem keprajan. Beliau adalah seorang pensiunan Kepala Sekolah SMP I Pandak, Bantul yang sowan setiap kamis minggu pertama, tiap bulan. Selain itu, terdapat cerita dari YJ, S.H. M.M. Ia menjadi abdi dalem atas wasiat dari ayahnya. Pangkatnya adalah Raden Wedana yang sowan setiap Kamis minggu pertama dan keempat. Ia adalah pensiunan angkatan laut yang juga pernah mengajar di Akademi Sekretaris Don Boscho, Jakarta. Rumah dinasnya saat ini adalah di Jakarta. Jadi untuk setiap bulannya, ia harus nglaju dari Jakarta dengan Kereta hanya untuk sowan. Keluarganya sempat keberatan. Setiap kali habis duduk bersila, ia juga sering merasakan sakit. Tapi sekarang karena sudah terbiasa, sudah tidak merasakan sakit lagi. Dan keluarga akhirnya juga bisa menerima keputusannya.

Sebagai abdi dalem, masing-masing pribadi pasti punya motif tersendiri. Di satu sisi, mereka kemungkinan akan merasa bangga diakui sebagai orang njero Kraton. posisi ini memiliki prestise tersendiri secara sosiologis di masyarakat. Para abdi dalem ini memang sedikit banyak memiliki karakter yang hampir mirip. Kalau melihat dari perspektif Bourdieu (sosiolog Prancis) mereka memang hidup dalam suatu struktur terlembaga, yang dalam prosesnya telah terinternalisasi sekian lama dalam masing-masing pribadi sehingga membentuk suatu habitus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar