Civil society dalam konsep Chandoke yang berkorelasi dengan demokratisasi berusaha untuk menggeser perspektif state center ke society centre dimana masyarakat mampu mengorganisasi diri dan terbebas dari intervensi negara. Konsepsi Chandoke tersebut kemudian digunakan untuk melihat relasi antara masyarakat DIY dalam kaitannya dengan penggunaan Sultan Ground. Sultan Ground sendiri secara singkat merupakan tanah milik Sultan yang bisa digunakan oleh masyarakat dengan segala macam pengaturannya setelah menerima Surat Kekancingan dari Kraton.
Civil society di sini dapat dimaknai sebagai nilai maupun institusi. Sebagai nilai, dalam konsepsinya, civil society harus memiliki beberapa karakter, pertama adalah adanya partisipasi politik, pertanggungjawaban negara dan publisitas dari politik. Yogyakarta sendiri terkenal memiliki ciri khas budaya masyarakat yang masih dipengaruhi oleh tradisi mataraman. Budaya masyarakat tersebut telah terinternaliasasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan sebagian masih dipertahankan sampai sekarang. Struktur masyarakat di Yogyakarta masih pula dipengaruhi oleh paham kekuasaan Jawa dengan pelibatan Sultan sebagai sosok raja pengayom sekaligus penjaga kesejahteraan rakyatnya. Kekhasan tersebut juga menyangkut soal tanah dan penggunaannya.
Dalam perkembangannya, penggunaan Sultan Ground oleh masyarakat ternyata menuai banyak masalah. Selain karena hukum Kraton yang harus bersinggungan dengan hukum negara, beberapa aktor lain sempat masuk dalam ranah ini menyangkut penguasaan sumber daya alam, khususnya tanah. Masyarakat pengguna Sultan Ground dalam hal ini bisa diposisikan sebagai civil society. Dalam konsep Chandoke, syarat keberadaan civil society setidaknya bisa digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat pengguna Sultan Ground sebagai individu dengan hak-hak yang melekat di dalamnya serta harus dilindungi. Selain itu, Chandoke juga mengemukaan bahwa anggota civil society adalah semua individu yang dilindungi oleh hukum.
Perkembangan kasus yang terjadi belakangan menyorongkan fakta bahwa hak-hak masyarakat pengguna Sultan Ground tersebut ternyata banyak yang dirampas, baik itu oleh negara maupun oleh aktor lain. Kasus nyata yang pernah terjadi bisa dilihat bagaimana pemerintah Kabupaten Bantul merelokasi warga yang menempati daerah Mancingan, Parangtritis (2006) dalam rangka penataan kawasan. Persoalan pelik ini terkait dengan surat Kekancingan Magersari dari warga yang diterbitkan oleh Yayasan Sultan Hamengkubuwono VII, bukan oleh lembaga yang saat ini mengurusi urusan pertanahan yaitu Paniti Kismo. Surat yang dimiliki warga akhirnya tidak diakui sehingga masyarakat terpaksa pindah. Surat tersebut memang menyebutkan bahwa warga tidak berhak membangun bangunan permanen karena sewaktu-waktu tanah dapat diambil apabila diperlukan. Ketidakjelasan hukum dan aturan tersebut lebih jauh dapat merugikan masyarakt karena sewaktu-waktu mereka bisa digusur dari tempat tinggal.
Civil society dalam kasus tersebut menempati posisi marginal. Keberadaan mereka kurang mampu menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol negara. Mereka bahkan menjadi korban dari aturan hukum negara yang tidak mengatur secara jelas tentang hak tanah adat dan ulayat. Bila demikian yang terjadi, keberadaan civil society yang lemah belum mampu menjadi pilar bagi tegaknya demokrasi melalui bentuk partisipasi maupun representasi. Kasus-kasus sengketa Sultan Ground yang lain sebagian besar juga belum diselesaikan melalui keterlibatan masyarakat, baik pada sisi kedalaman maupun keluasannya.
Hal ini akan berbeda ketika civil society dimaknai sebagai institusi. Melalui bentuk asosisiasi maupun institusi, civil society lebih mampu mengambangkan dirinya sebagai alat kontrol negara. Fakta ini dapat dilihat dalam kasus dukungan masyarakat Pengok terhadap penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur dan Paku Alam IX sebagai wakil Gubernur (Maret, 2008). Masyarakat tersebut tergabung dalam Serikat Penghuni Rumah Negara Kereta Api (Sepur NKA). Dukungan ini dimaksudkan agar mereka dapat terus menghuni rumah dinas PT KA yang status tanahnya berupa Sultan Ground. Mereka berpendapat bahwa selama pemerintahan Sultan, rakyat dapat hidup tentram karena Sultan mampu menjadi penyayom bagi warganya. Kelompok masyarakat ini berharap dapat tetap menghuni rumah meraka dengan sistem sewa atau bagaimana baiknya.
Kasus ini memperlihatkan bahwa kehidupan asosiasional yang kuat dapat menguatkan civil society dalam posisi tawar meraka terhadap negara. Melalui asosiasi, masyarakat sadar akan haknya dan mampu mempertahankannya, misalnya dalam kasus ini adalah dengan mendatangi DPRD DIY untuk mendukung keistimewaan DIY dengan latar belakang mereka dapat terus menempati Sultan Ground. Meskipun tidak dapat disimpulkan secara gegabah, kehidupan civil society dalam bentuk institusi setidaknya telah mampu berpartisipasi dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka. Proses ini secara lebih jauh mampu mendorong masyarakat ke dalam iklim demokratisasi meskipun kehidupan mereka masih berada dalam lingkungan tradisi yang kuat atau bahkan bersifat constraining terhadap proses partisipasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar