Ini ceritanya Genduk baru dapat transferan dari Pak De. Si Mboknya ingin bisa merasakan rejeki anaknya. Tapi dasar si Genduk ini memang pelit. Padahal, meski cuma sebatang gincu pun Si Mbok sudah senang. Ia ingin bibirnya merekah merah sambil tersenyum untuk menyambut Genduknya jika pulang sewaktu-waktu. Suatu malam, Si Mbok mengirimkan SMS kepada Genduk.
Si Mbok: Nduk, Si Mbok sudah membelikanmu sprei, handuk, dan beberapa keperluanmu yang lain. Si Mbok senang kau sudah punya rejeki sendiri. Kali ini Si Mbok mau kau belikan apa?
Genduk: Mbok, apa to artinya hadiah dariku. Eling, Mbok. Materi itu hanya kosong.
Si Mbok: Si Mbok ingin kau mengerti diriku...
Genduk: Aku juga ingin Si Mbok mengerti diriku. Bekti iku ora kudu sarana materi.
Si Mbok: Aku ngerti, tapi bukankah selama hidup manusia masih butuh materi. Hidup tanpa materi itu mustahil.
Genduk: Makane, ora kleru to yen aku ngomong rasah njaluk materi saka aku. Njaluk kui neng Gusti Allah yo, Mbok...
Si Mbok: Dasar medit...dit....dit....dit...dit...dit....
Minggu, 20 Februari 2011
Laporan Sepasang Mata: Pertunjukan Tumirah Sang Mucikari, Ada Teror dari Dalam Diri
Saya datang lagi membawa serangkaian cerita. Kali ini tentang sebuah pertunjukan Teater Koin FE UII Yogyakarta. Malam minggu masih kurang kerjaan. Akhirnya keluyuran sendirian dan berakhir di Taman Budaya seperti biasa. Tempat yang selalu memberikan energi bagi hati. Saya butuh seni untuk terus hidup.
Hujan deras sekali. Kata poster yang terpasang, pertunjukan akan dimulai jam tujuh malam. Sampai di sana masih sepi. Para aktor terdengar masih latihan di dalam. Saya celingukan sendirian mencari orang yang bisa ditanyai. Meja untuk tiket dan buku tamu masih kosong tanpa panitia yang menjaga. Wah, ini niat mau ada pertunjukan atau gak ya? Sampai akhirnya mereka muncul, eh aktornya ada yang ikut keluar juga. Aneh. Dan ternyata, panitia berkata bahwa tiket sudah terjual semua untuk pertunjukan malam ini. Kalau mau nanti ada tiket lesehan setelah semua penonton bertiket masuk dan harganya tetap sama. Apa mau dikata. Saya akan mencoba menunggu saja.
Ternyata ada pameran fiber art di gedung sebelah. Sekalian mampir saya pun melihat-lihat. Hujan masih deras. Sepertinya karya-karya di pemeran ini sudah ada yang pernah ditampilkan sebelumnya karena saya ingat betul masih menyimpan fotonya. Berkeliling sambil mengguman-gumam sendirian. Berkomentar tentang gambar-gambar unik yang mampu ditangkap mata. Salah satu karya yang menarik adalah Eruption. Jangan bertanya mengapa menarik, itu rahasia. Beberapa anak muda tiba. Berdiri di depan karya berwarna hitam seperti bayangan yang menempel tembok tampak dari belakang. Imajinasi mereka sampai pada sesosok bayangan yang dengan cepat bisa bergerak melompat-lompati dahan pohon seperti dalam cerita ninja. Anak muda itu pun berfoto sambil menirukan jurus ninja di komik Naruto. Jurus yang bisa mengendalikan bayang itu.
Sudah hampir jam delapan. Saya menerobos tirai hujan, pindah lagi ke gedung pertunjukan sebelah. Kata panitia lima menit lagi pertunjukan akan dimulai. Ternyata tiketnya masih ada. Cukup sepuluh ribu untuk tiket lesehan. Harga normalnya dua belas ribu lima ratus rupiah. Beruntung karena setelah masuk saya bisa tetap duduk di kursi. Memang masih banyak yang kosong. Siapa yang tahu kalau saya beli tiket lebih murah.
Sebelumnya, saya tak tahu apa dan darimana itu Teater Koin. Jujur saya tertarik nonton karena kepengen tahu bagaimana naskah Seno Gumiro Ajidarmo, Tumirah Sang Mucikari ini dipentaskan. Saya juga berkepentingan untuk menunggu Sukab muncul di panggung. Bertanya-tanya mau jadi apa dia kali ini karena saya belum pernah membaca naskah ini sebelumnya. Tapi, saya mengenal Sukab. Akhirnya, pertunjukan dimulai dengan setting sebuah rumah bordil di pinggir hutan. Setting waktu mungkin sekitar tahun delapan puluhan. Ketika (mungkin) pemerintah Orde Baru sibuk menghadapi pemberontakan dari daerah-daerah. Di rumah bordil inilah biasanya para tentara singgah, entah itu tentara pemerintah atau para gerilyawan. Tumirah nama mucikari di tempat itu. Di awal pertunjukan, para penonton pria sudah menelan ludah disuguhi gadis-gadis cantik berbusana seksi. Gadis sibelah beberapa kali membaca Istighfar, melihat anak-anak Tumirah berdialog sambil memamerkan pahanya. Total sekali meraka berakting sampai mungkin lupa dimana mereka kuliah. Hehehe...
Cerita berlanjut dengan munculnya sepasukan ninja. Mereka bertugas untuk menebar teror dan mengandu domba. That’s the politics. Saya tak akan banyak membahas ini karena mungkin sudah banyak yang membahasnya. Seni maupaun sastra yang mencoba untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan, kata Hidden Transcript-nya James Scott. Seni yang menyamarkan kejadian dan fakta. Tapi sayang, kemungkinan pesan penting ini kurang sampai. Sutradaranya belum terlalu lihai untuk menjelmakan naskah menjadi sebuah pertunjukan. Tumirah banyak juga melakukan monolog tapi mungkin juga tak sampai. Jangan tanya alasanya karena saya juga tidak tahu. Mungkin karena intonasi dialognya, atau cara penyampaiannya. Saya mengira pertunjukan ini akan lebih menarik kalau sutradara bisa menyelipkan lelucon yang bersifat menyindir. Ini bisa disampaikan oleh salah satu aktor. Pusat dari pertunjukan ini adalah Tumirah. Sementara Tumirah sendiri menurut saya kurang menarik perhatian. Maaf kalau saya terlalu banyak omong, padahal juga gak ngerti apa-apa.
Cerita detailnya bisa anda baca sendiri di naskah Seno. Saya sedang menunggu Sukab. Dan muncullah dia sebagai tukang obat kekasih Tumirah. Saya suka Sukab. Sayang ia hanya muncul sebentar kemudian ditangkap ninja. Suatu malam ia dibuang begitu saja di suatu kampung. Warga kampung itu langsung menggelar sidang rakyat dan membalas dendam terhadap Sukab. Badannya disilet-silet (pakai bolpoin bertinta cair berwarna merah). Lalu ditaburi garam dan jeruk nipis. Sukab mati. Tumirah menangis. Bermonolog. Dan begitulah ceritanya berakhir. Segala kejadian lewat. Intel bodoh datang. Mau ngamar sekaligus memata-matai para pelacur yang lebih pintar dari si intel. Segala kejadian lewat kembali. Rumah bordil tetap ramai dikunjungi, tentara pemerintah dan gerilyawan. Terbakar dalam pelukan Tumirah dan anak-anaknya. Aktor dan tokoh terbaik bagi saya tetap Sukab. Sekian.
Saya tak ingin banyak ngelantur tentang pertunjukan ini. Saya mau membuat cermin saja. Mata saya yang tadi menonton pertunjukan sudah selesai melaporkan hasil penglihatannya. Di setiap jeda, panggung gelap dan penata setting sibuk menggotong properti. Di jeda ini saya menerima laporan dari mata yang lain.
Begini laporannya. Di dalam diri saya sedang ada orang yang menebar teror juga. Orang ini sibuk juga mencari kambing hitam. Aksinya sudah lama dilakukan tapi begitu rapi hingga saya tak bisa merasakan perubahan apa-apa. Sering kemudian saya menyalahkan diri sendiri. Dengan begini, misi dari si penebar teror ini telah berhasil. Diri saya sudah menjadi kambing hitam atas apa yang dia lakukan. Kata mata yang lain itu, ini soal cinta. Tapi kenapa saya yang jadi korbannya. Berarti ini bukan soal cinta. Si mata yang lain salah melakukan identifikasi dan analisis.
Lelah sudah saya jadi kambing hitam. Si penebar teror ini bekerja dengan jaringan yang mungkin lebih kuat dari diri saya. Saya tahu mereka banyak. Penebar teror itu juga diri saya sendiri, yang menjadikan saya seperti dikejar-kejar dosa. Saya tahu saya lemah dan begitu kecil, ringkih. Meraka itu kuat. Saya adalah sepasang mata buta yang harus digendong kemana-mana. Saya yang menunjukkan jalan dan merekalah yang berjalan. Tapi, kadang mereka ini bisa menindas saya meskipun seharusnya sayalah penguasa sebenarnya. Dengan kejam mereka bisa menindas saya sampi tandas. Habis sudah tak bersisa. Menjadi redup. Kehilangan jalan.
Si penebar teror itu. Dia juga yang menjadikan saya sering merasa lelah tapi tak bisa melepaskan sesuatu itu dari dalam sini. Baiklah. Saya mengaku saja. Saya takut tidak dicintai. Sampai saya mengorbankan diri saya sendiri agar tetap dicintai. Ini salah, bukan? Saya suka sekaligus takut sendiri. Saya tenang sekaligus gelisah dalam diam. Membunuh peneror itu tidak akan ada artinya. Mungkin saya bisa mengendalikannya, tapi bagaimana caranya? Itu akan saya pikirkan nanti.
Hal yang lebih penting sekarang adalah mencari Sukab. Barangkali dia tahu jawabannya. Dia sudah banyak melakoni hidup menjadi apapun dalam cerita. Dimana saya bisa menemukan Sukab? Apakah ada yang tahu? Di pertunjukan ini dia sudah mati di pangkuan Tumirah. Saya mau mencari Sukab. Di luar masih gerimis. Sengaja saya pulang dengan memanggul titik-titik hujan. Sukab bisa siapa saja. Siapa saja bisa memberi jawaban yang sudah disiapkan untuk saya. Kemudian, semua akan dikembalikan pada saya. Saya tak mungkin bisa membunuh peneror itu selama saya hidup. Tapi mengerikan kalau peneror itu sampai melahirkan Sarpakenaka dalam diri saya. Akan ada perang yang tak pernah berakhir. Saya harus menemukan Sukab.
Hujan deras sekali. Kata poster yang terpasang, pertunjukan akan dimulai jam tujuh malam. Sampai di sana masih sepi. Para aktor terdengar masih latihan di dalam. Saya celingukan sendirian mencari orang yang bisa ditanyai. Meja untuk tiket dan buku tamu masih kosong tanpa panitia yang menjaga. Wah, ini niat mau ada pertunjukan atau gak ya? Sampai akhirnya mereka muncul, eh aktornya ada yang ikut keluar juga. Aneh. Dan ternyata, panitia berkata bahwa tiket sudah terjual semua untuk pertunjukan malam ini. Kalau mau nanti ada tiket lesehan setelah semua penonton bertiket masuk dan harganya tetap sama. Apa mau dikata. Saya akan mencoba menunggu saja.
Ternyata ada pameran fiber art di gedung sebelah. Sekalian mampir saya pun melihat-lihat. Hujan masih deras. Sepertinya karya-karya di pemeran ini sudah ada yang pernah ditampilkan sebelumnya karena saya ingat betul masih menyimpan fotonya. Berkeliling sambil mengguman-gumam sendirian. Berkomentar tentang gambar-gambar unik yang mampu ditangkap mata. Salah satu karya yang menarik adalah Eruption. Jangan bertanya mengapa menarik, itu rahasia. Beberapa anak muda tiba. Berdiri di depan karya berwarna hitam seperti bayangan yang menempel tembok tampak dari belakang. Imajinasi mereka sampai pada sesosok bayangan yang dengan cepat bisa bergerak melompat-lompati dahan pohon seperti dalam cerita ninja. Anak muda itu pun berfoto sambil menirukan jurus ninja di komik Naruto. Jurus yang bisa mengendalikan bayang itu.
Sudah hampir jam delapan. Saya menerobos tirai hujan, pindah lagi ke gedung pertunjukan sebelah. Kata panitia lima menit lagi pertunjukan akan dimulai. Ternyata tiketnya masih ada. Cukup sepuluh ribu untuk tiket lesehan. Harga normalnya dua belas ribu lima ratus rupiah. Beruntung karena setelah masuk saya bisa tetap duduk di kursi. Memang masih banyak yang kosong. Siapa yang tahu kalau saya beli tiket lebih murah.
Sebelumnya, saya tak tahu apa dan darimana itu Teater Koin. Jujur saya tertarik nonton karena kepengen tahu bagaimana naskah Seno Gumiro Ajidarmo, Tumirah Sang Mucikari ini dipentaskan. Saya juga berkepentingan untuk menunggu Sukab muncul di panggung. Bertanya-tanya mau jadi apa dia kali ini karena saya belum pernah membaca naskah ini sebelumnya. Tapi, saya mengenal Sukab. Akhirnya, pertunjukan dimulai dengan setting sebuah rumah bordil di pinggir hutan. Setting waktu mungkin sekitar tahun delapan puluhan. Ketika (mungkin) pemerintah Orde Baru sibuk menghadapi pemberontakan dari daerah-daerah. Di rumah bordil inilah biasanya para tentara singgah, entah itu tentara pemerintah atau para gerilyawan. Tumirah nama mucikari di tempat itu. Di awal pertunjukan, para penonton pria sudah menelan ludah disuguhi gadis-gadis cantik berbusana seksi. Gadis sibelah beberapa kali membaca Istighfar, melihat anak-anak Tumirah berdialog sambil memamerkan pahanya. Total sekali meraka berakting sampai mungkin lupa dimana mereka kuliah. Hehehe...
Cerita berlanjut dengan munculnya sepasukan ninja. Mereka bertugas untuk menebar teror dan mengandu domba. That’s the politics. Saya tak akan banyak membahas ini karena mungkin sudah banyak yang membahasnya. Seni maupaun sastra yang mencoba untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan, kata Hidden Transcript-nya James Scott. Seni yang menyamarkan kejadian dan fakta. Tapi sayang, kemungkinan pesan penting ini kurang sampai. Sutradaranya belum terlalu lihai untuk menjelmakan naskah menjadi sebuah pertunjukan. Tumirah banyak juga melakukan monolog tapi mungkin juga tak sampai. Jangan tanya alasanya karena saya juga tidak tahu. Mungkin karena intonasi dialognya, atau cara penyampaiannya. Saya mengira pertunjukan ini akan lebih menarik kalau sutradara bisa menyelipkan lelucon yang bersifat menyindir. Ini bisa disampaikan oleh salah satu aktor. Pusat dari pertunjukan ini adalah Tumirah. Sementara Tumirah sendiri menurut saya kurang menarik perhatian. Maaf kalau saya terlalu banyak omong, padahal juga gak ngerti apa-apa.
Cerita detailnya bisa anda baca sendiri di naskah Seno. Saya sedang menunggu Sukab. Dan muncullah dia sebagai tukang obat kekasih Tumirah. Saya suka Sukab. Sayang ia hanya muncul sebentar kemudian ditangkap ninja. Suatu malam ia dibuang begitu saja di suatu kampung. Warga kampung itu langsung menggelar sidang rakyat dan membalas dendam terhadap Sukab. Badannya disilet-silet (pakai bolpoin bertinta cair berwarna merah). Lalu ditaburi garam dan jeruk nipis. Sukab mati. Tumirah menangis. Bermonolog. Dan begitulah ceritanya berakhir. Segala kejadian lewat. Intel bodoh datang. Mau ngamar sekaligus memata-matai para pelacur yang lebih pintar dari si intel. Segala kejadian lewat kembali. Rumah bordil tetap ramai dikunjungi, tentara pemerintah dan gerilyawan. Terbakar dalam pelukan Tumirah dan anak-anaknya. Aktor dan tokoh terbaik bagi saya tetap Sukab. Sekian.
Saya tak ingin banyak ngelantur tentang pertunjukan ini. Saya mau membuat cermin saja. Mata saya yang tadi menonton pertunjukan sudah selesai melaporkan hasil penglihatannya. Di setiap jeda, panggung gelap dan penata setting sibuk menggotong properti. Di jeda ini saya menerima laporan dari mata yang lain.
Begini laporannya. Di dalam diri saya sedang ada orang yang menebar teror juga. Orang ini sibuk juga mencari kambing hitam. Aksinya sudah lama dilakukan tapi begitu rapi hingga saya tak bisa merasakan perubahan apa-apa. Sering kemudian saya menyalahkan diri sendiri. Dengan begini, misi dari si penebar teror ini telah berhasil. Diri saya sudah menjadi kambing hitam atas apa yang dia lakukan. Kata mata yang lain itu, ini soal cinta. Tapi kenapa saya yang jadi korbannya. Berarti ini bukan soal cinta. Si mata yang lain salah melakukan identifikasi dan analisis.
Lelah sudah saya jadi kambing hitam. Si penebar teror ini bekerja dengan jaringan yang mungkin lebih kuat dari diri saya. Saya tahu mereka banyak. Penebar teror itu juga diri saya sendiri, yang menjadikan saya seperti dikejar-kejar dosa. Saya tahu saya lemah dan begitu kecil, ringkih. Meraka itu kuat. Saya adalah sepasang mata buta yang harus digendong kemana-mana. Saya yang menunjukkan jalan dan merekalah yang berjalan. Tapi, kadang mereka ini bisa menindas saya meskipun seharusnya sayalah penguasa sebenarnya. Dengan kejam mereka bisa menindas saya sampi tandas. Habis sudah tak bersisa. Menjadi redup. Kehilangan jalan.
Si penebar teror itu. Dia juga yang menjadikan saya sering merasa lelah tapi tak bisa melepaskan sesuatu itu dari dalam sini. Baiklah. Saya mengaku saja. Saya takut tidak dicintai. Sampai saya mengorbankan diri saya sendiri agar tetap dicintai. Ini salah, bukan? Saya suka sekaligus takut sendiri. Saya tenang sekaligus gelisah dalam diam. Membunuh peneror itu tidak akan ada artinya. Mungkin saya bisa mengendalikannya, tapi bagaimana caranya? Itu akan saya pikirkan nanti.
Hal yang lebih penting sekarang adalah mencari Sukab. Barangkali dia tahu jawabannya. Dia sudah banyak melakoni hidup menjadi apapun dalam cerita. Dimana saya bisa menemukan Sukab? Apakah ada yang tahu? Di pertunjukan ini dia sudah mati di pangkuan Tumirah. Saya mau mencari Sukab. Di luar masih gerimis. Sengaja saya pulang dengan memanggul titik-titik hujan. Sukab bisa siapa saja. Siapa saja bisa memberi jawaban yang sudah disiapkan untuk saya. Kemudian, semua akan dikembalikan pada saya. Saya tak mungkin bisa membunuh peneror itu selama saya hidup. Tapi mengerikan kalau peneror itu sampai melahirkan Sarpakenaka dalam diri saya. Akan ada perang yang tak pernah berakhir. Saya harus menemukan Sukab.
Dialog Nglantur
H: Ketika akhir hari sampai pada hitungan menit. Dan perkenankan Heru untuk berpamit dalam kelelahan diri. Moga esok kita bisa bersahabat dengan hari. “met bubuk sweety”
R: Hey, ada berapa wanita yang kau kirimi sms macam begitu? Lama sudah aku tak bikin puisi. akhir-akhir ini begitu banyak sesak memenuhi otak. Dan kau tahu, aku ingin membunuh seseorang di kepala ku. Dari dulu dia itu tak mau pergi-pergi juga. Kalau kau tahu cara membunuhnya, tolong beritahu aku ya...
H: Karya ini terlalu mubadzir untuk kunikmati sendiri, maka biar para wanita mencicipi colekan puisi penghantar mereka terlelap senyap. Diriku juga lama koma dari berimajinasi dengan puisi, karena hati ini sudah beku oleh luka-luka baru. Kau tanya aku tentang menghapus orang yang ada di kepalamu, sedangkan orang di kepalaku memaksaku untuk bisu.
R: Aku tanya kau betulan. Kenapa jawabanmu seperti itu? Aku benar-benar ingin membunuhnya. Atau aku harus meminta orang di kepalamu agar tak membisukanmu?
H: Karena aku tak berpengalaman melupakan seseorang. Membunuh perasaan saja butuk waktu yang tak singkat. Tapi intinya sebuah proses, ya pelan-pelan saja!
R: Ah, kalau cuma nasihat begitu sudah sangat sering kudengar. Aku butuh cara cepat dan instan. Tapi ya sudahlah, selamat malam saja. Selamat tidur juga. Itu ada seseorang di kepalamu yang sedang menanti kau selimuti dengan puisi.
H: Met tidur kembali
Setelah percakapan bodoh ini. Orang di kepalaku semakin menjengkelkan. Sudah lama dia seenaknya tinggal dikepalaku tanpa uang sewa. Dia itu bisa saja sekali waktu bersantai di cabang-cabang neuron otakku. Menganggapnya cabang pohon, dia bisa duduk sambil memainkan game dalam telepon genggamnya. Bersandar dengan menekuk ke atas kaki kirinya dan kaki kanannya akan dinaikkan ke atas lutut kaki kiri. Begitu setiap hari sambil bersiul-siul tak jelas, sambil asyik mendengarkan musik. Bahkan seenaknya saja meminum cairan otakku ketika haus. Suatu kali pernah juga hampir menghancurkan otak kiriku sampai aku tak bisa berpikir dengan logika. Seperti orang bodoh aku menuruti maunya meski semua menentang apa yang kulakukan. Suatu kali pernah juga ia begitu saja membuka pakaiannya dan berbaring di atas lobus optical sampai aku hampir membentur pintu ketika berjalan. Dia malah dengan santainya mengipas-ngipas badannya yang kepanasan, berjalan mondar-mandir sibuk menukar isi otak kecil dan menggantinya dengan rekaman suaranya.
Aku tak bisa mengusirnya. Setiap ia pergi justru aku yang kebingungan mencari. Ia sering mencuri sedikit demi sedikit bagian di otak kananku. Aku sampai beberapa hari tak bisa berimajinasi. Ini seperti membunuhku perlahan-lahan. Lebih menyakitkan ketika sedikit demi sediikit otakku hancur. Ia mencecap sungsum di medula oblongata. Aku hampir tak bisa bergerak lagi. Seperti orang bodoh tak bisa berpikir apa-apa selain dia. Tapi aku tak bisa mengusirnya. Dan karena itu aku ingin membunuhnya. Sekarang dan saat ini juga. Tapi bukankah ketika aku membunuhnya aku akan mati juga. Entahlah. Aku hanya butuh cara paling tepat. Bantu aku kalau kau bisa.
R: Hey, ada berapa wanita yang kau kirimi sms macam begitu? Lama sudah aku tak bikin puisi. akhir-akhir ini begitu banyak sesak memenuhi otak. Dan kau tahu, aku ingin membunuh seseorang di kepala ku. Dari dulu dia itu tak mau pergi-pergi juga. Kalau kau tahu cara membunuhnya, tolong beritahu aku ya...
H: Karya ini terlalu mubadzir untuk kunikmati sendiri, maka biar para wanita mencicipi colekan puisi penghantar mereka terlelap senyap. Diriku juga lama koma dari berimajinasi dengan puisi, karena hati ini sudah beku oleh luka-luka baru. Kau tanya aku tentang menghapus orang yang ada di kepalamu, sedangkan orang di kepalaku memaksaku untuk bisu.
R: Aku tanya kau betulan. Kenapa jawabanmu seperti itu? Aku benar-benar ingin membunuhnya. Atau aku harus meminta orang di kepalamu agar tak membisukanmu?
H: Karena aku tak berpengalaman melupakan seseorang. Membunuh perasaan saja butuk waktu yang tak singkat. Tapi intinya sebuah proses, ya pelan-pelan saja!
R: Ah, kalau cuma nasihat begitu sudah sangat sering kudengar. Aku butuh cara cepat dan instan. Tapi ya sudahlah, selamat malam saja. Selamat tidur juga. Itu ada seseorang di kepalamu yang sedang menanti kau selimuti dengan puisi.
H: Met tidur kembali
Setelah percakapan bodoh ini. Orang di kepalaku semakin menjengkelkan. Sudah lama dia seenaknya tinggal dikepalaku tanpa uang sewa. Dia itu bisa saja sekali waktu bersantai di cabang-cabang neuron otakku. Menganggapnya cabang pohon, dia bisa duduk sambil memainkan game dalam telepon genggamnya. Bersandar dengan menekuk ke atas kaki kirinya dan kaki kanannya akan dinaikkan ke atas lutut kaki kiri. Begitu setiap hari sambil bersiul-siul tak jelas, sambil asyik mendengarkan musik. Bahkan seenaknya saja meminum cairan otakku ketika haus. Suatu kali pernah juga hampir menghancurkan otak kiriku sampai aku tak bisa berpikir dengan logika. Seperti orang bodoh aku menuruti maunya meski semua menentang apa yang kulakukan. Suatu kali pernah juga ia begitu saja membuka pakaiannya dan berbaring di atas lobus optical sampai aku hampir membentur pintu ketika berjalan. Dia malah dengan santainya mengipas-ngipas badannya yang kepanasan, berjalan mondar-mandir sibuk menukar isi otak kecil dan menggantinya dengan rekaman suaranya.
Aku tak bisa mengusirnya. Setiap ia pergi justru aku yang kebingungan mencari. Ia sering mencuri sedikit demi sedikit bagian di otak kananku. Aku sampai beberapa hari tak bisa berimajinasi. Ini seperti membunuhku perlahan-lahan. Lebih menyakitkan ketika sedikit demi sediikit otakku hancur. Ia mencecap sungsum di medula oblongata. Aku hampir tak bisa bergerak lagi. Seperti orang bodoh tak bisa berpikir apa-apa selain dia. Tapi aku tak bisa mengusirnya. Dan karena itu aku ingin membunuhnya. Sekarang dan saat ini juga. Tapi bukankah ketika aku membunuhnya aku akan mati juga. Entahlah. Aku hanya butuh cara paling tepat. Bantu aku kalau kau bisa.
Langganan:
Postingan (Atom)