Relasi Demokrasi dan Kesejahteraan
Dinamika politik dan demokrasi di Indonesia menyisakan pertanyaan besar yang sering diperdebatkan. Ketika demokratisasi direlasikan dengan kesejahteraan, maka perdebatan yang muncul akan terkait dengan apakah demokratisasi berkorelasi positif atau negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Banyak pendapat mengatakan bahwa demokratisasi yang berlangsung sejak 1998 tidak membawa kesejahteraan. Di lain kubu, banyak pula pendapat menyatakan bahwa demokrasi telah membawa angin baru perubahan dan bergerak menuju peningkatan kesejahteraan. Dari dua pendapat tersebut, tulisan ini memiliki posisi yang jelas dan sepakat terhadap pendapat pertama bahwa demokratisasi sampai saat ini belum mampu membawa kesejahteraan masyarakat.
Bangunan tulisan ini didasarkan pada tesis bahwa kesejahteraan masyarakat sampai pada saat ini belum mengalami peningkatan karena demokratisasi yang berlangsung baru sampai pada tataran prosedural. Tataran demokrasi prosedural yang dimaksud dalam bahasan tulisan ini adalah penguatan pilar-pilar dan lembaga demokrasi formal sebagai lanjutan dari demokrasi elektoral. Argumen tersebut akan dibangun dengan berbagai data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif melalui penelusuran berbagai referensi.
Uraian dalam tulisan ini tidak hanya melihat struktur-struktur yang mengungkung (constraining) sehingga demokrasi tidak dapat berjalan seiring dengan kesejahteraan. Dalam segi aktor, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana peran elit di satu sisi dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol atau bahkan mengakses sumber daya di sisi lain. Dua mekanisme besar inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam mengkerangkai relasi antara demokrasi dan kesejahteraan.
Hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan sebenarnya tidak bersifat linier dan kausalistik. Hubungan dua hal tersebut bersifat kondisional dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti struktur sosial masyarakat, pendidikan, kemantapan institusi politik, dan sebagainya. Lebih jauhnya, masih banyak pula prasayarat yang harus dipenuhi agar demokrasi dapat memuluskan jalan menuju kesejahteraan selain sekadar pemenuhan prasyarat formal-prosedural.
Demokrasi Elektoral dalam Distorsi
Ignas Kleden (2003:160) dalam salah satu analisisnya mengatakan bahwa dinamika politik Indonesia pasca reformasi 1998 masih didominasi oleh politik makro yang berfokus pada hubungan politik antaraktor. Substansi politik yang sedang berlangsung masih berat bertitik pada kepentingan negara daripada kepentingan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat tidak mengalami perubahan. Desentralisasi pun belum mampu menunjukkan sisi positifnya ketika sentralisme politik hanya berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Hal inilah yang membuat substansi demokrasi menjadi terabaikan ketika semua energi terpusat pada pembentukan instrumen-instrumen demokrasi dalam kerangka prosedural.
Proses elektoral menjadi salah satu syarat pelembagaan prosedur politik yang dianggap demokratis. Pilkada misalnya, sebenarnya memiliki tujuan positif untuk menghidupkan demokrasi di tingkat lokal, mengelola pemerintahan daerah dan mendorong bekerjanya institusi-institusi politik lokal. Namun, banyak realitas dan kajian yang memperlihatkan sisi gelap demokrasi elektoral dalam pemilu maupun pilkada seperti adanya money politics dan korupsi, konflik, black campaigne, kandidat yang miskin program, oligarki elit dan sebagainya (Lihat misalnya Supeno, 2009; Irtanto, 2008; Haris, 2005). Proses-proses elektoral dalam berbagai kajian di atas menunjukkan ketidakmampuannya memberikan kontribusi secara fundamental bagi konsolidasi demokrasi secara lebih substantif.
Pemilihan umum di Indonesia justru menjadi bukti empirik terjadinya krisis demokrasi elektoral dan politik biaya tinggi. Komisi Pemilihan Umum menghitung biaya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah 2010-2014 mencapai Rp 15 triliun. Ada lima komponen biaya Pilkada dilihat dari pengeluaran, yakni KPU, Panitia Pengawas Pemilu, Kepolisian, Calon Kepala Daerah dan Tim Kampanye. Khusus untuk KPU dan Panwas, KPU Kabupaten/Kota tahun 2010 menganggarkan sekitar Rp. 7 miliyar sampai Rp. 10 miliyar, sedangkan KPU Provinsi menganggarkan sekitar Rp. 50 miliyar sampai Rp. 70 miliyar. Fenomena mahalnya biaya politik dalam pilkada ini memperlihatkan demokrasi di Indonesia masih materialistis dan belum substansial (Kompas, 24 Juli 2010). Pilkada biaya tinggi kemudian sering diikuti dengan fenomena korupsi ketika para calon sudah mendapat legitimasi kuasa untuk mengembalikan modal mereka saat mencalonkan diri. Rentetan peristiwa pemilu dan berbagai persoalan yang melekat di dalamnya menunjukkan bhahwa perubahan politik di Indonesia sebenarnya tidak pernah mengikuti jalur formal-prosedural seperti disyaratkan dalam konsep demokrasi.
Demokrasi elektoral di Indonesia mengasilkan sejumlah patologi yang salah satunya ditandai dengan oligarki. Sutoro Eko (2004:53-56) mencatat beberapa kecenderungan oligarki yang muncul dalam konteks hubungan antara pemerintah, partai politik dan rakyat pasca reformasi. Rakyat hanya dilibatkan dalam proses pemilihan sementara ketika para minoritas telah memegang kekuasaan, ia terisolasi dari rakyat dan tidak lagi mewakili kepentingan mayoritas. Ketika berkuasa, mereka dibentengi oleh kostitusi sehingga rakyat tidak mudah menyentuhnya. Konstitusi dan aturan legal lainnya selalu merupakan hasil dominasi dan ekspliotasi terhadap massa.
Konsep demokrasi yang diadaptasi dari negara maju ternyata tidak dengan mudahnya bisa diterapkan di Indonesia. Kuatnya struktur patronase di Indonesia tidak dengan mudah dikikis dengan mekanisme demokrasi. Demokrasi elektoral di Indoneisa justru ditandai dengan crafting elit seperti birokrat untuk menentukan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Para elit justru mampu beradaptasi dengan mekanisme demokrasi dengan mempertahankan pola relasi lama mereka sehingga tetap dapat memenuhi kepentingannya. Menurut penelitian Demos (2009-2011) mengenai ‘Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial-Budaya’ dan mengenai ‘Politik Anggaran’ menunjukkan tiadanya niat negara menyejahterakan rakyatnya. Jikapun terdapat program-program pembangungan, kesejahteraan belum merupakan tujuan dari kebijakan tersebut.
Dari studi Demos (2009-2011), di tingkat yang paling keras, yaitu penganggaran dana publik, ternyata politik alokasi anggaran (APBD) mencerminkan tiga pilar kepentingan elit oligarkis tersebut: populisme semu, birokrasi, dan rente. Anggaran digunakan untuk ‘royal pada diri sendiri’. Kajian ini memperoleh data bahwa lebih dari 75% anggaran belanja lokal digunakan untuk membiayai keperluan birokrat. Di atas kertas memang anggaran daerah dikemas dalam skema anggaran kinerja yang menampakkan anggaran publik lebih besar daripada anggaran aparatur. Akan tetapi secara substantif dan struktrural, birokrasi daerah (yang sebelumnya menyedot anggaran rutin lebih besar) belum berubah, sehingga memaksa sebagian besar anggaran publik dialokasikan untuk Belanja Administrasi Umum (BAU) Dalam pos belanja publik, BAU dapat diserap dalam bentuk gaji dan tunjangan pegawai, biaya barang dan jasa, biaya makanan dan minuman, biaya perjalanan dinas, hingga biaya pemeliharaan bangunan gedung, alat angkutan, serta alat kantor dan rumah tangga.
Para elit yang mendapat legitimasi kekuasaan melalui proses pemilihan ternyata malah menghasilkan kebijakan yang berlawanan dengan tujuan kesejahteraan. Lahirnya kebijakan yang mempromosikan kesejahteraan sangat ditentukan oleh kemenangan koalisi pro-poor melawan koalisi pro-elite. Kenyataannya, sistem politik demokrasi di Indonesia dewasa ini masih dikuasai para elit-dominan. Hampir seluruh proses politik dimonopoli dan dikendalikan oleh meraka. Dalam konteks inilah pengertian demokrasi di Indonesia dapat dikatakan bersifat oligarkis. Ketika posisi elit lebih kuat dalam mengendalikan proses kebijakan, maka rakyat hanya bisa melihat dari jauh bagaimana kebebasan hak politik mereka tidak menghasilkan suatu kondisi di mana para pejabat publik dan lembaga-lembaga representasi dalam demokrasi menjadi responsif, akuntabel, kredibel, transparan, dan sebagainya.
Perubahan dan masifnya instalasi demokrasi modern melalui berbagai institusi seperti partai, parlemen, pemilu sebagaimana asumsi demokrasi Scumpeterian berbenturan dengan struktur lama yang bersifat patologis dan tidak berubah. Demokratisasi seperti berhenti pada proses intitusionalisasi dan cenderung abai terhadap tujuan penyejahteraan rakyat.
Ketidakberdayaan Rakyat: Jalan Panjang Menuju Kesejahteraan
Paparan di atas menggambarkan bahwa demokratisasi di Indonesia masih berfokus pada demokrasi politik dan belum merambah pada substansi demokrasi sosial dan ekonomi. Mekanisme demokrasi yang telah berkembang sampai saat ini belum mampu menjamin rakyat dalam voice, akses dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan maupun anggaran. Ruang partisipasi mungkin telah dibuka tetapi hal ini tidak sebanding dengan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan mereka dapat menikmati sumber-sumber daya politik dan ekonomi. Bagian ini setidaknya akan mengungkap beberapa penjelasan bagaimana posisi rakyat yang terjebak dalam ketidakberesan konsolidasi demokrasi yang masih terus berlanjut sampai saat ini. Ketidakberdayaan inilah yang membuat kesejahtraan masih jauh dari harapan.
Di Indonesia, istilah kesejahteraan sosial dapat ditemukan dalam UU No. 11 tahun 2009 terntang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan sosial dapat dimaknai sebagai terpenuhinya kondisi material, spiritual dan kebutuhan sosial masyarakat. Selain itu, kesejahteraan sosial juga dimaknai dalam aktivitas terorganisasi sebagai bentuk pembangunan atau penyelenggaraan sosial yang diimplementasikan dalam pelayanan sosial seperti rehabilitasi sosial, keamanan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial (Suharto, 2009). Dua ranah konsep kesejahteraan yang telah dijamin dalam undang-undang di atas sudah selayaknya menjadi kewajiban negara. Meskipun demikian, sampai saat ini Inodnesia masih menghadapi multifaset persoalan kesejahtraan sosial yang tak kunjung habis.
Salah satu indikator yang paling sering dibahas ketika membicarakan kesejahteraan rakyat adalah kemiskinan. Berbagai penelitian dan studi menunjukkan bahwa demokrasi tidak berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan. Angka kemiskinan yang menurun menurut BPS tidak semata-mata menjadi indikator peningkatan kesejahteraan. Walaupun BPS mengklaim pada 2010 lalu pemerintah berhasil mengurangi penduduk miskin hingga 1,5 Juta penduduk, tetapi di lapangan terungkap angka orang miskin yang berhak mendapatkan beras untuk rakyat miskin (raskin) tahun lalu jumlahnya masih berkisar 70 juta orang. Sementara, jika digunakan data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta, sedangkan apabila menggunakan data Bank Dunia, jumlahnya mendekati 100 juta orang atau sekitar 42 persen penduduk (Kompas, 10 Januari 2011).
Persoalan kemiskinan menjadi bagian kecil dari banyaknya indikator kesejahteraan yang tidak juga menunjukkan indikasi positif. Hasil riset Demos dalam Subono (2007) menunjukkan pandangan negatif terhadap instrumen pemenuhan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Lebih dari 80 persen informan mengatakan bahwa instumen yang mendukung pemenuhan hak tenaga kerja, kemanan sosial dan kebutuhan dasar lain menunjukkan performance buruk dan memiliki ruang jangkauan terbatas.
Berbagai kebijakan pro-poor maupun pro-jobs telah diimplementasikan dan diturunkan dalam skema desentralisasi ke daerah. Daerah bahkan memiliki lebih banyak lagi program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah pusat menjalankan program PNPM Mandiri yang digunakan sebagai program induk, BLT, sekolah gratis, ASKES-KIN, ketahanan pangan, kredit UMKM, akselerasi desa tertinggal, infrastruktur perdesaan, dan sebagainya. Guna menjamin sinergi antar kementerian, antar sektor, antar program pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK).
Sejumlah kebijakan ini didominasi oleh kebijakan yang berorientasi pada persoalan ad-hoc, parsial tanpa ada upaya pencegahan. Beberapa kalangan menilai bahwa sejumlah program tersebut cenderung sentralistis. Selain itu, program-program tersebut bersifat kuratif dan rehabilitatif. Kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak mampu mencegah rakyat menjadi miskin tetapi justru mengharuskan rakyat miskin terlebih dahulu agar dapat menikmati program anti-kemiskinan yang ditawarkan pemerintah.
Desentralisasi pun cenderung menunjukkan keterbatasan pemerintah daerah dalam kapasitas dan responsibilitas terkait dengan penyelesaian masalah sosial. Abbas dalam Suharto (2009) mengatakan bahwa dari 100 Perda yang dihasilkan daerah, 85 persen merupakan Perda yang berfungsi untuk meningkatkan PAD, 10 persen untuk melakukan klaim terhadap aset pemerintah lokal dan hanya 5 persen yang benar-benar merupakan kebijakan pro-poor.
Kemiskinan di Indonesia terjadi karena proses eksklusi, peminggiran yang mengabaikan partisipasi dan pada akhirnya melupakan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat. Lebih jauhnya, kemiskinan terjadi karena relasi kuasa yang tidak seimbang antara negara, masyarakat dan sektor privat. Dari tiga aktor tersebut, rakyatlah yang memiliki posisi tawar paling rendah dalam akses sumber daya.
Banyak kasus menunjukkan bagaimana ketidakberdayaan rakyat ketika mainstream pendekatan pembangunan nasional di Indonesia menitikberatkan pada intervensi kebijakan neoliberalisme dalam rangka mencapi pertumbuhan ekonomi. Sebut saja beberapa kasus seperti Blok Cepu, kasus PT Newmont, privatisasi air yang justru membuat air semakin mahal dan sulit diakses, dan sebagainya, sekadar menyebut contoh. Deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi mendorong terjadinya monopoli di berbagai sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Keuntungan hanya akan dinikmati para kapitalis yang berselingkuh dengan negara, sementara rakyat tetap saja miskin.
Dari berbagai data di atas, terlihat bahawa salah satu penyebab ketidakberdayaan rakyat dalam akses dan kontrol sumberdaya salah satunya disebabkan oleh rendahnya kualitas keterwakilan sedangkan kualitas keterwakilan itu sendiri ditentukan oleh proses elektoral. Partisipasi rakyat terhadap berbagai kebijakan tidak dapat berjalan secara maksimal karena persoalan keterwakilan. Mekanisme demokrasi elektoral yang bermasalah setali tiga uang dengan ketidakberdayaan rakyat membuat penyelenggaraan sistem pemerintahan dan implementasi kebijakan jauh dari kesan peningkatan kesejahteraan.
Sebuah Simpul
Demokrasi dan kesejahteraan memiliki hubungan non linier dengan berbagai faktor dan variabel yang melekat antar keduanya. Tulisan ini mungkin tidak dapat menjelaskan secara komprehensif kompleksitas hubungan antara demokrasi dan kesejahtaraan masyarakat. Namun setidaknya, paparan dalam tulisan ini menunjukkan semacam benang merah bahwa demokrasi elektoral gagal menjamin mekanisme representasi yang benar-benar mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Struktur patronase yang masih kuat, budaya korupsi yang semakin menggurita, tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan konsolidasi demokrasi yang hanya berhenti pada tahap institusional. Dari segi aktor, kemunculan elit yang mampu meng-crafting demokratisasi membuat pemenuhin subtansi demokrasi untuk mensejahterakan rakyat terabaikan. Elit mempu bersifat fleksibel terhadap struktur yang baru sedangkan rakyat masih tetap terkungkung dalam struktur yang memiskinkan mereka.
Dengan demikian, demokratisasi perlu segera digeser ke ranah yang lebih substantif dengan pelibatan masyarakat atau perluasan ruang partisipasi. Demokrasi perlu menyediakan seperangkat insrtumen untuk menjamin bahwa representasi dapat benar-benar berjalan. Rakyat membutuhkan saluran yang mampu mengantarkan suara mereka untuk terlibat aktif dalam proses politik dan kebijakan. Subtansi demokrasi yang seharusnya menjadi pusat sasaran adalah bagaimana menempatkan posisi rakyat pada tempat strategis dalam perumusan, pembuatan, dan penentukan kebijakan. Selain penyediaan sistem dan mekanisme sebagai perangkat agar kepentingan rakyat dapat direpresentasikan dengan baik, permasalahannya tentu akan berbalik pada kesiapan dan kemampuan rakyat sendiri dalam mentransformasikan hak-hak mereka dalam institusi demokrasi secara substantif dan implementatif.
Setiap negara seharusnya memiliki tipe demokrasinya sendiri yang disesuaikan dengan struktur sosial ekonomi masyarakat, sebuah struktur yang telah lama hadir jauh sebelum kemunculan konsep demokrasi itu sendiri. Tawaran model seperti demokrasi deliberatif misalnya, berupaya untuk memperkuat legitimasi demokrasi daripada sekadar demokrasi formal melalui proses elektoral yang hanya menjangkau legalitas formal-prosedural.
Konsep ini pada akhirnya ingin mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga. Jika pandangan demokrasi liberal sangat percaya pada kompetisi melalui agregasi politik (misalnya pemilihan umum), maka pandangan demokrasi deliberatif lebih menekankan forum publik sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan berasama (Elster, 1998; Gutman dan Thompson, 1996; Warren, 1996 dalam Eko, 2004). Meskipun demikian, belum tentu juga konsep ini akan membawa kesejahteraan jika diterapkan di Indonesia. Hubungan antara demokratisasi dan kesejahteraan sangat dimungkinkan bersifat kasuistik dan tidak dapat digeneralkan.
Sudah seharusnya institusionalisasi demokrasi diikuti dengan pemenuhan hak-hak rakyat, distribusi akses dan kontrol yang merata, perubahan relasi politik yang lebih adil, serta reorientasi kekayaan dan ekonomi untuk kepentingan rakyat. Tidak ada model general terbaik untuk mengelola negara dengan kompleksitas dan kekhasan yang melekat. Demokrasi berikut segala perangkatnya harus bisa lebih lentur dijalankan dalam struktur masyarakat Indonesia dengan keragamannya yang luar biasa untuk mencapai tujuan di atas.
Tulisan ini hanya sekadar gambaran umum dengan tidak menafikan kasus-kasus spesifik yang menunjukkan keberdayaan rakyat di berbagai daerah dalam proses demokratisasi. Konsolidasi demokrasi masih akan terus berlangsung. Optimisme masih bisa dibangun dan kembali ke model otoritarian tentu bukan suatu penyelesaian terhadap persoalan belum tercapainya kesejahteraan rakyat sampai pada saat ini. Keberadaan masyarakat sipil perlu diperkuat dan pemberdayaan masyarakat mendesak harus dilakukan untuk mengisi berbagai distorsi demokrasi elektoral, salah satunya melalui mekanisme partisipasi dan representasi yang tepat.
Daftar Pustaka:
Biaya Pilkada Rp. 15 Triliun, dalam http://cetak.kompas.com/read/2010/07/24/03414390/biaya.pilkada.rp.15.triliun, diakses pada tanggal 20 september 2011, 20:19 WIB.
Eko, Sutoro. Menuju Kesejahteraan Rakyat Melalui Rute Desentralisasi, dalam http://ireyogya.org/sutoro/kesejahteraan_melalui_desentralisasi.pdf, diakses pada 20 September 2011, 20:22 WIB.
¬¬¬__________. 2004. Krisis Demokrasi Elektoral. Jurnal Mandatory, Krisis Demokrasi Liberal, Edisi 1/Tahun 1/2004. Yogyakarta: IRE.
Saparini, Hendri. Si Miskin Harus Bekerja. Harian Kompas (10/01/2011) dalam http://cetak.kompas.com/read/2011/01/10/02542922/si_miskin_harus_bekerja, diunduh pada tanggal 20 September 2011, 20:15 WIB.
Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartasasmita, Ginandjar. 2008. Strategi Pembangunan Ekonomi: Antara Pertumbuhan dan Demokrasi. Orasi Ilmiah Dalam Acara Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan Jakarta 26 April 2008, dalam http://www.ginandjar.com/public/STIE%20Ahmad%20Dahlan_GK.pdf, diakses pada tanggal 19 September 2011, 19:46 WIB.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi (Mei 1998-Mei 2003), Analisis CSIS, Lima Tahun Reformasi: Proses Demokrasi yang Lamban, Tahun XXXII/2003 No. 2.
Pradjasto, Antonio, Ironi Demokrasi, Pesta Kaum Elit, dalam http://www.demosindonesia.org/laporan-utama/4353-ironi-demokrasi-pesta-kaum-elit-antonio-pradjasto.html, diakses pada tanggal 21 September 2011, 19:48 WIB.
Priyono, A.E, dkk. 2007. Making Democracy Meaningful: Problem and Option in Indonesia. Yogyakarta: PCD Prees dan Demos
Suharto, Edi, PhD. 2009. Development of Social Welfare in Indonesia: Situation Analysis and General Issue, dalam http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/Development%20of%20Social%20Welfare%20in%20Indonesia.pdf, diakses pada tanggal 22 September 2011, 20:30 WIB.
Supeno, Hadi. 2009. Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman dan Pengakuan. Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Syamsuddin Haris (ed). 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
tugas pertama dari workshop penulisan akademik.
BalasHapussepertinya memang agak geje alias gak jelas...
untuk membuat yang seperti ini lagi tampaknya memang harus membiasakan diri...
sementara itu, biarkan saya merasuk kembali dalam puisi...