Retasan Benang Wacana tentang Punk
Di tengah perang wacana tentang kasus penangkapan punk di Aceh banyak sekali ditemukan simpul-simpul diskursus dengan kuasa yang bermain di dalamnya. Kasus ini memicu respon publik yang luar biasa, bahkan sampai ke mancanegara. Media di tengah ruang-ruang global yang tak lagi jelas batasannya seperti menyaruk-nyarukkan banyak wacana, yang saling berseberangan, yang saling beroposisi, menggelar panggung di mana semua orang bisa menonton drama dan bebas memaknai dengan caranya sendiri-sendiri. Wacana menggiring orang dan oleh karenya membawa serta kuasa di dalamnya yang secara sadar maupun tidak akan mebuat kita menyetujui, menolak, berpikir kritis atau merespon dengan rasionalitas tertentu terhadap berbagai informasi tersebut.
Kasus penangkapan anak punk di Aceh oleh Polisi yang bermula dari acara pertunjukan musik ini simpang siur dimaknai sebagai penggaran HAM, tindakan rasional polisi untuk mengamankan mereka yang dianggap menimbulkan keresahan, di hadapkan dengan ortodoksi syari’at Islam yang diterapkan di Aceh, sampai pada analisis tentang pencitraan, berbagai muatan politis dan sekian banyak opini lain di media. Aksi ini mengundang solidaritas sesama punk baik nasional maupun internasional. Terlepas dari perang wacana di atas, tulisan ini tidak ingin terjebak pada persetujuan atau penolakan terhadap opini dari banyak pihak tersebut.
Berangkat dari titik pijak kasus tersebut, tulisan ini ingin mencoba melihat bagaimana perjalanan politik subkultur sebagai bentuk perlawanan terhadap kultur dominan terus mengalami transformasi dari masa ke masa. Subkultur saat ini tidak hanya dihadapkan pada kuasa kultur dominan yang tak henti-henti mencoba untuk ‘menggunduli’ mereka dengan normalitas-nomalitas yang telah digariskan oleh masyarakat modern. Tidak hanya berhadapan dengan kultur dominan, subkultur dalam dirinya sendiri juga menderita patahan, pecahan dan fragmentasi. Pemaknaan tentang punk itu sendiri kemungkinan telah bergeser dari apa yang dipahami oleh para punkers generasi pertama. Kajian-kajian subkultur tidak banyak melihat bagaimana kultur tertentu yang diusung dimaknai sangat secara bergama oleh para penganutnya secara luas.
Dengan penjelasan tersebut, tulisan ini akan ditarik untuk melihat bekerjanya kekuasaan dalam mendisiplinkan masyarakat modern dan menghukumi mereka yang dianggap nyleneh dan keluar dari batas-batas masyarakat umum. Terminologi ‘budaya tinggi’ selalu memaksa subkultur-subkultur minor untut tunduk terhadapnya. Punk di Aceh sebagai bagian dari pecahan budaya subkultur seperti tak kuasa melawan dominasi budaya masyarakat yang dikenal dengan ajaran Islam kental dan menggunakan struktur terlegitimasi seperti kepolisian untuk menertibkan mereka.
Punk: Resistensi dan Kontra Budaya
Punk sering dibaca sebagai tampilan tampak muka dengan segala simbol dan atribut khas mereka. ketika dibaca dari generasi pertama kemunculannya, Punk selalu dihadapkan pada relasi serba salah dengan berbagai konvensi budaya manapun, baik tradisi, norma maupun pasar. Dari peta makna yang mereka representasikan, punk menjadi bentuk subkultur dengan bentuk simbolik dan berusaha menegosiasikan posisinya dalam peta struktural yang dominatif dan tidak setara.
Subkultur tak banyak dilihat melalui ragam kelanjutannya. Suatu saat Punk pernah dimaknai secara otentik dan berhasil mengusik budaya dominan dengan ciri gerakannya yang khas. Pada masa selanjutnya, punk kembali terserap oleh budaya dominan seperti pasar dan kapitalisme. Proses ini tidak bisa dibayangkan secara sederhana ketika melihat persinggungannya dengan dunia dan kebudayaan lain.
Pertengahan akhir dekade 1970-an. Punk lahir di Inggris dan Amerika Serikat yang berawal dari beerapa kelompok anak muda dan kelas menengah pekerja yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Mereka melakukan berbagai macam aktivisme seni dan budaya. Kelompok punk ini mengekspresikan perlawanan mereka dari fashion dan musik. Punk menyajikan eksperimen-eksperiman dengan penampilan dan musik mereka yang berbeda dengan industri budaya arus utama (jakartabeat.net).
Desain pakaian dan atribut penampilan mereka menciptakan shock culture terhadap budaya borjuasi Inggris yang penuh dengan orang-orang berdasi, bergaya hidup mewah, bergaul dengan sesama mereka dan sebagainya. Anak-anak punk mulai berhamburan hidup di jalan dan membuat kaum borjuis ini langsung mencemooh mereka yang dinilai aneh, urakan atau bahkan menjijikkan.
Catatan Hebdige (1979) tentang Punk banyak menjadi rujukan dalam berbagai penelitian tentang budaya subkultur ini. Pasca Perang Dunia II anak muda kulit putih mulai mengembangkan subkultur mereka sendiri sebagai bentuk reisistensi simbolik. Mereka melakukan perjuangan dengan menciptakan budaya tanding sebagai ruang kebudayaan yang otonom. Meskipun demikian, Hebdige sendiri mencatat bahwa ”tidak semua punk memahami perbedaan antara pengalaman dan pemahaman ketika mengenakan gaya tersebut” atau pemahaman atau gaya tersebut hanya dipahami oleh gelombang pertama anak-anak muda yang punya kesadaran diri dan bersekolah di sekolah seni, sementara tetap tidak dapat diakses oleh mereka yang menjadi punk setelah subkultur ini dimunculkan ke publik” (Hebdige, 1979:22).
Di Indonesia, Subkultur ini kemudian berkembang dan dicangkokkan untuk melawan berbagai konstruksi nilai normatif baik di rumah, sekolah maupun lingkungan sosial, menantang bentuk-bentuk pendisiplinan dan penyeragaman. Gaya ini memberi sedikit ruang gerak bagi anak muda untuk ”melawan” bayangan kekuasaan yang diwakili oleh kemapanan, masih dalam batas-batasnya yang apolitis. Punk kemudian mengalami titik balik yang kurang lebih sama dengan aktivisme mahasiswa, lingkungan dan feminis pada masa akhir Orde Baru, tentu saja dengan gaya jalanannya yang khas (Lihat, “Kalaupun Punk Mati”, kunci.or.id).
Punk kemudian juga tak bisa dilepaskan dengan dimensi politik ketika mereka mulai mengikuti demo-demo anti pemerintah seiring masuknya wacana dan ideologi anarkisme melalui zine-zine luar negeri yang tersebar dengan pola aktual maupun virtual. Di ranah yang lebih luas, upaya serupa juga ditempuh orang pada masa itu untuk mengakses, memproduksi dan mendistribusikan informasinya dengan cara-cara memotong jalur pengawasan kekuasaan.
Pasca Orde Baru, perlawanan punk pun meluas dengan gerakan-gerakan yang lebih spesifik. Beberapa punk kini memilih tampil dengan mengenakan ikon-ikon lokal seperti Marsinah, Moenir atau Pramoedya Ananta Toer, sebagai simbol anti penindasan. Beberapa yang lain menajamkan gerakannya pada isu-isu yang juga sama gentingnya, seperti lingkungan, anti diskriminasi, anti homophobia, dan sebagainya. Yang lain memilih untuk menanggalkan atributnya yang tidak permanen (selain tattoo), dengan alasan tuntutan pekerjaan, menikah atau berbagai alasan praktis lainnya. Namun secara ideologis, tidak jarang pula mereka mengaku tetap “berjiwa punk” meskipun sudah tidak mengenakan atributnya. Bahkan tidak sedikit mereka yang kemudian beralih subkultur: menjadi anak emo, metal dan kadang ada yang kembali lagi menjadi anak punk. Semua ini adalah spektrum penyikapan di kehidupan sehari-hari yang seringkali diluputkan dari deskripsi esensialis dan non-kontradiktif atas subkultur punk (ibid, kunci.or.id).
Empat prinsip dasar yang dipakai Punkers sebagai acuan hidup adalah Kemandirian, Persamaan, Antikemapanan dan Antipenindasan, serta Solidaritas. Prinsip ini menjadi fundamen bagi sebuah gerakan punk. Tak jarang Punkers membuat diri mereka bertahan dengan memproduksi CD, Zine yang bahkan banyak dibagi gratis, diproduksi dengan iuran bersama atau membuat merchandise berupa produk atribut yang biasa mereka pakai. Mereka menjual produk-produk untuk bertahan hidup hingga berkembang menjadi distro-distro. Semboyan mereka ‘Do It Your Self’ yang diangkat komunitas mereka untuk hidup secara mandiri dengan cara khas mereka sebenarnya patut diacungi jempol.
Sebagai sebuah budaya yang dicangkok, wajah punk sebagai subkultur menemukan perjalannya sendiri di ranah lokal dengan konteks dan persinggungan budaya-budaya di sekitarnya. Penjelasan selanjutnya akan melihat bagaimana komunitas punk di Aceh harus berhadapan dengan budaya dan masyarakat yang mungkin berbeda konteks dengan apa yang dialami komunitas punk di daerah-daerah lain, meskipun mereka mungkin juga mendapat represi yang sama.
Menggunduli yang ‘Tidak Normal’
Kasus yang cukup kontroversial ini diawali dari penangkapan sekitar 60 anak Punk setelah menggelar konser pada Sabtu, 10 Desember 2011. Polisi kemudian melakukan pembinaan dengan cara menggunduli dan memandikan mereka di sebuah kolam. Aksi politi tersebut menuai protes dari para aktivis yang memandangnya sebagai tindakan pelanggaran HAM. Aksi ini juga direspon dengan munculnya berbagai protes sebagai bentuk solidaritas sesama punk, baik di level nasional bahkan sampai internasional.
Komunitas punk di Rusia bahkan sampai mendatangi kantor kedutaan besar RI di Moskow dan mencoret-coret temboknya dengan tulisan ‘Punk is not crime’ dan ‘Religion = Fasicm’. Padahal, para punkers dari Rusia ini tidak begitu memahami punk seperti apakah yang sedang mereka bela itu. Sayangnya, tulisan ini tidak cukup mampu menggali genealogi punk di Aceh sejak awal kemunculannya sampai pada saat ini sehingga tidak cukup pula menjelaskan konstruksi seperti apa yang mendasari mereka menjadi seorang punk.
Reaksi lain dari komunitas punk kemudian banyak mucul di media massa. Padahal, generasi pertama punk sangat menolak menggunakan media massa yang dianggap sebagai bagian kapital. Mereka memilih menggunakan jalur-jalur penyebaran informasi alternatif dan tidak terbiasa melakukan protes lewat media. Hal ini juga menunjukkan pergeseran bentuk perlawanan pun yang mulai diserap kembali oleh budaya pasar, meskipun hanya terkait dengan konteks yang sedang dibicarakan.
Pihak kepolisian Aceh mengatakan bahwa punk yang ditangkap adalah tukang palak, pemakai narkoba dan meresahkan masyarakat. Tindakan polisi hanya sebagai antisipasi sebelum masyarakat mengambil tindakan. Selama ini sudah banyak laporan masuk terkait dengan keluhan masyarakat terhadap keberadaan komunitas punk yang dinilai mengganggu ketertiban. Pembinaan selama sepuluh hari tersebut bertujuan untuk mengubah gaya hidup dan penampilan anak punk yang dinilai bertentangan dengan norma dan mengganggu penerapan syariat Islam di Kota Banda Aceh.
“Di Aceh tidak boleh ada komunitas anak Punk, apalagi masyarakat kota Banda Aceh berkomitmen menjalankan hukum syari’at Islam dalam kehidupannya sehari-hari.” Illiza Sa`aduddin Djamal, Wakil Wali Kota Banda Aceh. Wacana ini didukung oleh komunitas Islam di Aceh Barat seperti Ikatan Sarjana Nahdhatul Ulama (ISNU). Mereka melihat bahwa perilaku dan pakaian yang dicontohkan komunitas punk itu tidak tepat diperlihatkan di Provinsi Aceh di mana daerah tersebut diberikan otonomi khusus untuk menerapkan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh). Penangkapan punk oleh aparat juga sangat didukung untuk mencegah masuknya aliran non-muslim ke daerah Aceh.
Dengan adanya pemberitaan di media, kasus ini seolah-olah digiring untuk mempertentangkan antara nilai-nilai yang dianut punk dengan Islam. Kenyataannya, kalau kita berselancar di dunia maya, akan mudah ditemukan ragam komunitas punk yang menjadikan Islam sebagai basis nilai yang mereka anut. Sebut saja salah satu situs yaitu ‘undergroundtauhid.com’. salah satu tulisan dalam situs ini mencoba untuk menjernihkan persoalan bahwa Islam pun bisa berdamai dengan punk. Menjadi punk adalah sebuah pilihan hidup dan setiap punkers harus siap dengan segala resikonya. Ada banyak opini juga yang beredar bahwa syari’at Islam hanya menjadi alat politis bagi kelompok dominan untuk menekan kelompok-kelompok minor yang tidak mengikuti sistem.
Di sisi lain, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf justru meminta agar komunitas tersebut bisa hidup dengan normal. Meski mereka hidup di taman-taman, masjid, mereka harus tetap bersih sehingga masyarakat bisa simpati. Anak-anak tersebut tidak memiliki pekerjaan, tidak mau sekolah dan pulang ke rumah sehingga dianggap melanggar standar asosial. Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa masyarakat secara sadar maupun tidak telah mengkonstruksi klasifikasikan sosial antara yang sakral dan yang profan. Ketika yang sakral diandaikan sebagai ortodoksi Islam dengan perangkat nilainya, maka punk akan dianggap sebagai kelompok-kelompok manusia ‘tidak normal’ yang keluar dari dan tidak tunduk terhadap nilai-nilai yang telah disakralkan sebuah masyarakat.
Tindakan simbolik dari polisi dalam menghukum dan hukuman yang dihaluskan dengan kata pembinaan ini sebenarnya berguna untuk menyadarkan kembali masyarakat pada tuntutan moral yang telah dikonstruksikan oleh budaya yang lebih dominan, entah itu pasar, entah itu agama. Bentuk hukuman tersebut seperti dalam istilah Foucaut disebut sebagai normalisasi yang mencoba untuk menginternalisasikan rezim disiplin dalam subyek individu seseorang. Masyarakat dengan konstruksi agama maupun negara membentuk episteme-nya ketika apa yang mendasari pikiran masyarakat tentang punk telah tertanam dalam struktur kognitif paling fundamental masyarakat sehingga cara mereka memandang punk memang sulit untuk diubah.
Sebagai subyek yang aktif, para punk yang ditangkap pun memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap tindakan polisi yang dikenakan pada tubuh mereka. beberapa dintaranya berterima kasih karena telah dibina, diajari kembali membaca Al Quran, tetapi masih ingin kembali menjadi punk. Yang lain mengaku sangat mencintai dunianya dan mempertanyakan apakah mereka akan diizinkan kembali ke Aceh untuk menikmati alam setelah sebelumnya disebut melanggar norma? Berbeda dengan pendapat tersebut, salah stau punkers mengaku sangat ingin sekolah dan pulang ke rumah setelah mendapat pembinaan. Ia mengaku banyak hal yang selama ini telah ditinggalkan seperti melaksanakan sholat lima waktu, makan teratur, menjaga kebersihan, dan sebagainya.
Anak-anak punk di Aceh sebagian besar memang belum sedemikian jauh menginternalisasi punk sebagai sebuah ideologi, meskipun tentu tidak semua karena menyangkut pengalaman subyektif seseorang. Anak-anak ini hanya menyukai kebebasan yang ditawarkan ketika sebelumnya mereka merasa terkungkung dengan aturan dan norma. Seperti kata Walter Benjamin, mereka layaknya manusia yang mengembara yang tidak memiliki jati dirinya secara total. Mereka selalu diikat oleh kondisi yang melayang-layang dalam kerumuan dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka masih dengan mudahnya teracuni oleh apa saja sehingga jati dirinya yang autentik menjadi terpendam dan pada akhirnya lenyap. Para punkers tersebut juga tidak menunjukkan perlawanan berarti ketika digunduli meskipun rambut dianggap sebagai salah satu ekspresi identitas penting bagi anak punk.
Masyarakat bergerak antara order dan disorder sampai pada fase liminal yaitu keadaan transisi di antara tapal batas tertentu. Punk sejenak memasuki fase liminalnya seperti dalam istilah Homi K. Bhabha ketika mulai kehilangan arah berhadapan budaya yang lebih besar dan dominan. Apakah fase ini mampu terlampau ketika penormalan, hukuman demi hukuman mampu mengguncang, menimbulkan disorientasi, dan perubahan arah. Kita juga tak pernah tahu apakah fase liminal akan berujung pada penemuan arah baru dimana makna-makna baru bisa diciptakan, mengatasi kekeringan akibat obyektifitas dalam masyarakat yang cenderung kaku dan mekanis.
Sebagai subkultur, punk tidak bisa menghindari pecahan dan keberlanjutan pemaknaan yang terus berubah dari waktu ke waktu. Sebagai subkultur punk dipaksa untuk terus bernegosiasi dengan budaya-budaya dominan dalam posisi yang tidak lagi saling berhadapan. Subkultur bisa terserap, bisa pula menyerap bentuk-bentuk budaya dengan strategi-strategi perlawanan yang tak mungkin sama. Punk semakin banyak mendapat tantagan untuk menempuh aksi. Sebagai subkultur dan bagian dari identitas, punk bisa menjadi sekadar tampilan, diinternalisasikan sebagai ideologi, diadaptasi dalam bentuk-bentuk tertentu, diterjemahkan secara beragam, bahkan harus berdamai atau tetap bermusuhan dengan kepentingan sosial, ekonomi, dan sebagainya. Meskipun punk kemungkinan tidak dapat berekspresi di permukaan, ruh dan jiwa-jiwa punk tentu akan tetap mengembara dan suatu saat bisa kembali bermunculan di mana-mana.
Referensi:
Hebdige, Dick. Subculture: The Meaning of Style. London: Methuen, 1979.
Saefullah Hikmawan. Punk vs. Syari’at Islam? Tentu Tidak! http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/analisis/item/1376-punk-vs-syari%E2%80%99at-islam?-tentu-tidak.html
Sembiring, Eidi Krina. Tertibkan Anak Punk, Gubernur Aceh Tak Peduli Jadi Sorotan Dunia, Selasa, 20 Desember 2011 , 15:44:00 WIB http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/12/20/49579/Tertibkan-Anak-Punk,-Gubernur-Aceh-Tak-Peduli-Jadi-Sorotan-Dunia-
Simanjuntak, Laurencius. Kasus Anak Punk, Gubernur Aceh: Tak Mungkin Mereka Tidur di Jalan Terus. DetikNews Selasa, 20/12/2011 14:17 WIB. http://www.detiknews.com/read/2011/12/20/141759/1795556/10/kasus-anak-punk-gubernur-aceh-tak-mungkin-mereka-tidur-di-jalan-terus
Sugiharto, I Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (editor). Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2005
------------, ISNU: Kasus Anak Punk Jangan Dipelintir
Minggu, 18 Desember 2011 02:00 WIB http://metrotvnews.com/read/news/2011/12/18/75742/ISNU-Kasus-Anak-Punk-jangan-Dipelintir
---------------, Jadi Anak Punk Jangan Cengeng Dan Lebay! http://www.undergroundtauhid.com/jadi-anak-punk-jangan-cengeng-dan-lebay/
------------, Kalaupun Punk Mati..., http://kunci.or.id/review/kalaupun-punk-mati/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar