Selasa, 21 Februari 2012

Ketika Kelas Bawah Membingkai Ulang Kebijakan

Sebuah Pengantar

Beberapa pekan terakhir ini, wacana tentang kebijakan pembatasan BBM bersubsidi santer terdengar berseliweran di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik. Dari wacana tersebut, banyak opini muncul terkait setuju dan tidak terhadap kebijakan tersebut. Beberapa kalangan cenderung khawatir terhadap ketidaksiapan pemerintah dan prediksi bahwa kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

Permintaan untuk membuat rekomendasi sebuah kebijakan memang bukan suatu hal yang mudah. Sebagai masyarakat kelas menengah bawah, saya cenderung setuju dengan kebijakan tersebut dengan beberapa prasayarat yang memang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah. Tulisan ini akan mencoba membuat sebuah desain implementasi untuk kebijakan tersebut agar pelaksanaannya lebih optimal. Tulisan ini juga tidak akan mengabaikan pendapat-pendapat kritis dari berbagai aktor sebagai bahan pertimbangan dalam proses implementasi kebijakan.

Konteks tarik manarik antara polis vs market based policy menjadi salah satu latar belakang yang juga akan dielaborasi dalam tulisan ini. Setiap kebijakan selalu diambil dengan rasionalitas tertentu dan mengandung resiko, atau bahkan konflik yang harus dikelola bersama. Proses kebijakan dalam hal ini diposisikan sebagai ruang atau arena di mana masyarakat seperti saya dapat terlibat untuk ikut merumuskan apa yang bisa saya dapatkan dari kebijakan tersebut dan bagaimana cara saya mendapatkannya.

Pembatasan BMM dalam Discourse

Sebagai masyarakat menengah ke bawah informasi yang saya dapatkan, terutama dari media massa merupakan salah satu sumber utama yang dapat diakses dengan mudah. Banyak infomasi yang diterima harus kembali dipilah berdasarkan aktor dan perspektif mereka masing-masing. Dengan demikian saya sebagai orang yang seakan diuntungkan dengan kebijakan tersebut bisa melihat lebih jernih berbagai persoalan yang diprediksi akan muncul dalam tahap implementasi. Sebagai aktor yang rasional, saya setuju dengan kebijakan tersebut karena memang perencaaan awalnya seakan memihak dan menguntungkan masyarakat menengah ke bawah. Meskipun demikian, ketika melihat dalam konteks yang lebih luas, kebijakan ini memang harus ditinjau ulang. Saya tidak akan merekomendasikan kebijakan baru tetapi mencoba untuk menwarkan desain implementasi yang mungkin bisa meminimalisasi persoalan.

Dalam pasar, informasi yang ada diasumsikan akurat, lengkap, dan tersedia secara gratis bagi setiap orang. Sebaliknya, dalam polis informasi adalah interpretif, tidak-lengkap, dan digunakan/dikomunikasikan secara strategis. Kita tidak pernah bisa mengetahui seluruh cara yang mungkin dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau seluruh dampak yang mungkin muncul dari suatu tindakan, terutama karena setiap tindakan pasti menimbulkan dampak-sampingan, berbagai konsekuensi yang tidak terantisipasi, dan dampak yang muncul setelah rentang waktu yang panjang. Demikian halnya dengan informasi tentang kebijakan pembatasan BBM yang cenderung bersifat polis. Rasionalitas saya dibatasi dengan berbagai wacana yang berkembang dan dikemukakan oleh berbagai pihak tersebut.

Membedah tarik menarik antara polis dan market tidak bisa dilepaskan dari pendefenisian tentang kepentingan. Dalam model pasar, individu-individu bertindak hanya untuk memaksimalkan kepentingan (self-interest) mereka masing-masing sedangkan model polis harus mengasumsikan adanya ‘kehendak kolektif’ (collective will) dan usaha kolektif (collective effort). Dalam polis, ada satu ‘kepentingan-publik’ (public-interest yaitu tujuan-tujuan yang menjadi konsensus. Publik seperti apakah yang dimaksud dalam konsep ini, sementara masyarakat secara sosial-ekonomi telah terbagi dalam kelas-kelas tertentu. Pertarungan banyak orang atas kepentingan publik adalah demi memperebutkan kekuasaan untuk mendefinisikan apa itu kepentingan publik. Kepentingan-publik hanyalah sebuah kotak kosong dalam polis dan orang-orang menghabiskan banyak energi untuk mengisi kotak kosong tersebut. Bagi polis, kepentingan-publik menempati posisi seperti kepentingan-pribadi bagi pasar.

Dalam wacana kebijakan pembatasan BBM, model polis dan market saling tarik menarik dan muncul pada setiap tahapan kebijakan. Banyak pihak yang menentang karena mengamsumsikan bahwa kebijakan tersebut justru akan merugikan golongan tertentu dan menguntungkan golongan lain. Masing-masing aktor berusaha untuk mendefiniskan kepentingan publik yang mana yang bisa dicapai melalui kebijakan tersebut. Pemerintah misalnya, berasumsi bahwa pilihan untuk kebijakan tersebut merupakan opsi terbaik dan pro kalangan menengah ke bawah.

Pemerintah berpendapat bahwa persediaan energi tak terbarukan, khususnya minyak bumi di Indonesia sudah tidak banyak. Sedangkan mengimpor minyak mentah memerlukan biaya yang tinggi, dibandingkan dengan gas yang lebih murah dan mudah. perkirakan anggaran yang bisa dihemat dari pembatasan BBM subsidi mencapai Rp 230 triliun. Dana yang bisa dihemat antara lain akan digunakan untuk membangun jalan, rel kereta api dan berbagai fasilitas umum lainnya.

Mulai tanggal 1 April 2012, pengaturan BBM bersubsidi akan dilaksanakan dan pelaksanaan pertama kebijakan ini akan berlaku untuk daerah Jawa dan Bali. Pembatasan BBM bersubsidi yang dimulai dari premium per 1 April 2012 sesuai amanat UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. UU tersebut menjelaskan tentang bentuk pengendalian anggaran subsidi BBM yang akan dilakukan melalui pengalokasian lebih tepat sasaran dan kebijakan pengendalian konsumsi. Pengalokasian BBM bersubsidi secara tepat sasaran dilakukan melalui pembatasan konsumsi premium untuk kendaraan roda empat milik pribadi di Jawa-Bali sejak 1 April 2012.

Pemerintah membentuk Tim Pengkajian Pengaturan BBM dari perwakilan beberapa akademisi. Tim ini kemudian menghasilkan tiga opsi pengaturan BBM bersubsidi yakni pertama, menaikkan harga premiun sebesar Rp 500 sehingga menjadi Rp 5000 per liter. Kedua, mewajibkan kendaraan pribadi roda empat untuk beralih dari premium ke pertamax. Ketiga, penjatahan konsumsi premium dengan sistem kendali penjatahan. Beberapa pihak menilai solusi yang ditawarkan oleh tim ini sangat parsial karena mengabaikan masalah substansial yang di hadapi manajemen sumber daya energi nasional. Namun, dari berbagai opsi tersebut, pilihan pemerintah untuk membatasi BBM tersebut dinilai realistis untuk mengurasngi defisit anggaran di tengah harga minyak dunia yang bergejolak akibat krisis di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Kebijakan pemerintah dalam alokasi penggunaan bahan bakar minyak tersebut memang ramah terhadap kelas menengah yang membawa sepeda motor dan pengguna kendaraan umum. Dalam skala sosial-ekonomi, penggerak ekonomi adalah mereka-mereka yang memakai sepeda motor dan yang bermobilitas memakai angkutan umum. Sedangkan kelompok yang memakai mobil pribadi diasumsikan sebagai kelompok menegah ke atas, yaitu para pemilik perusahan, pemimpin perusahan atau yang memiliki strata yang lebih tinggi.

Beberapa pihak yang menentang kebijakan tersebut berpendapat bahwa pembatasan BBM akan berimbas pada kenaikan inflasi , menimbulkan gejolak harga barang-barang, membebani rakyat ketika harga minyak dunia naik dan berimbas kenaikan dua kali lipat dari sekarang, menimbulkan distorsi ekonomi , memiskinkan kaum menengah di Indonesia, hanya menjadi opsi politik, dan sebagainya. Rasionalitas dalam ekonomi memang hanya menjelaskan kenapa kebijakan tersebut dipilih sedangkan proses pengambilan keputusan itu sendiri merupakan salah satu proses politik. Dalam ranah inilah polis-market saling tarik menarik untuk bersama-sama memaksimalkan pencapaian tujuan.

Dari berbagai wacana dan pro-kontra terkait kebijakan pembatasan BBM, sebagai bagian dari kelas menengah ke bawah, kebijakan tersebut dapat dikatakan polis centric. Kepentingan publik dan kepentingan pribadi tampak berusaha untuk dinegosiasikan dalam kebijakan tersebut. Meskipun demikian, pendefinisian kepentingan publik dan perumusan masalah bersama masih tetap ambigu, bersifat terbuka dan sangat interpretatif. Hal ini pula yang mendasari keraguan publik terhadap implementasi kebijakan tersebut.

Redesain Implementasi: Mengubah Framing Pemerintah

Pemerintah berencana untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya adalah sepeda motor dan kendaraan umum tetap mendapat BBM subsidi, sedangkan kendaraan plat hitam tidak akan mendapatkan subsidi lagi. Arah pengaturan adalah kendaraan mobil pribadi diberikan alternatif memakai gas, selain pertamax. Pengisian premium kendaraan roda dua akan dilakukan terpisah di SPBU sehingga tidak memungkinkan mobil ikut mengisi premium. Kendaraan umum akan dibatasi pemakaian premiumnya dengan menggunakan alat kendali untuk mencegah ke pengguna yang tidak berhak. Pemerintah juga akan memperbaiki moda transportasi umum agar pemilik kendaraan pribadi mau berpindah menggunakan angkutan umum.

Pada tahap selanjutnya, pemerintah akan menyediakan bahan bakar gas yang lebih murah sebagai alternatifnya. Pada 2012, pemerintah menargetkan terdapat 19 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Jakarta dan 110 unit di Jawa. Pemerintah merencanakan pembagian 44.000 alat konversi (converter kit) gas secara gratis bagi kendaraan umum di Jawa. Alat konversi baik gas alam terkompresi (CNG) maupun gas cair (LGV) akan disediakan PT. Dirgantara Indonesia dengan harga 12-15 juta per unitnya. Pemerintah selanjutnya berencana menaikkan harga CNG menjadi Rp 4.100 per liter setara premium (LSP) dan LGV Rp 5.600 per LSP atau terdapat subsidi Rp1.000 dari harga keekonomian LGV Rp 6.600.

Proses forecasting dalam kebijakan publik menempati posisi krusial. Dari proses ini akan diketahui seperti apa kondisi sosial, ekonomi dan politik di masa depan sehingga dapat dilakukan intervensi terhadap kebijakan tersebut . Dari wacana yang berkembang, banyak prediksi negatif terkait dengan implementasi kebijakan tersebut. Beberapa prediksi dan resiko yang muncul dari kebijakan tersebut adalah naiknya jumlah kendaraan bermotor . Selain itu, banyak pihak meragukan bahwa kebijakan tersebut. Pemerintah tidak memiliki perangkat pengawasan dan antisipasi yang detail terhadap resiko kebijakan seperti penyelewengan yang sulit diatasi, kesiapan infrastruktur, perangkat, dan alat kendali seperti radio frequency identification (RFID) masih belum jelas. Angkutan massal sebagai alternatif juga masih kacau, dan sebagainya.

Dari sisi isi, desain implementasi pemerintah tersebut masih banyak menuai persoalan. Pemerintah tidak melihat secara detail kesulitan yang akan muncul dalam praktik kebijakan tersebut. Salah stau hal yang paling bermasalah dalam kebijakan tersebut adalah indikator kelas menengah dan kelas atas yang diukur dengan kepemilikan kendaraan bermotor. Dalam paraktiknya, tentu akan sangat susah melakukan pengawasan dan kategorisasi bahwa kebijakan tersebut benar-benar akan tepat sasaran yaitu kelompok masyarakat kelas menengah bawah.

Proses kebijakan terkait dengan BBM dari dulu memang sangat bersifat top-down. Hal ini terkait dengan substansi kebijakan yang memang tidak bisa dibicarakan dengan semua pihak. Kita bisa melihat bahwa dalam proses ini pemerintah hanya melibatkan para teknokrat, kaum intelektual, akademisi dan para ahli untuk mendesain sebuah kebijakan. Masyarakat sasaran seperti saya justru tak pernah dilibatkan. Pemerintah seharusnya mampu berperan sebagai katalisator yang lebih banyak menjadi ‘pendengar’, bukan ‘pembicara’. Dalam konteks demikian, pemerintah akan lebih banyak mendengar wacana-wacana pinggiran yang diungkapkan melalui bahasa rakyat. Wacana yang berkembang pun banyak didominasi oleh pemerintah dan kalangan intelektual sendiri.

Sebagai masyarakat kelas bawah, memang sangat sulit untuk menjadi reformer dan mampu mendesakkan kebijakan yang diinginkan. Namun dengan pola ini, pemerintah bisa mendengar suara tetangga saya yang memiliki mobil tua yang hanya digunakan untuk mengangkut hasil pertanian ke pasar. Kalau pun ia tetap harus membeli pertamax, hal ini tentu akan sangat memberatkannya mengingat jarak tempuh antara rumah dan pasar di pusat kota cukup jauh. Bayangkan apabila setiap hari ia harus menghabiskan sekitar Rp 100 ribu hanya untuk mencukupi kebutuhan transportasi.

Pemerintah juga tidak bisa mengabaikan konteks. Di tengah melonjaknya harga minyak dunia, hitung-hitungan cost and benefit logic menjadi penting agar hasil penghematan tidak lebih kecil dari social cost yang dibebankan kepada masyarakat. Konteks tersebut juga terkait dengan kebijakan yang bias perkotaan. Pemerintah membayangkan pengguna mobil pribadi hanya para pengusaha Jakarta yang ke mana-mana membawa sopir pribadinya. Mengkonsumsi BBM non-subsidi mungkin bukan menjadi masalah besar untuk mereka. Padahal, Jawa-Bali sebagai target kebijakan tidak hanya terdiri dari daerah perkotaan saja. Mobil sebagai alat produksi dan penghasilan seperti tetangga saya tadi tidak ikut terpikirkan dalam skema kebijakan pemerintah.

Kebijakan pembatasan BBM seperti bentuk resep dengan teknik dan mesin pentahapan tertentu. Konteks saya sebagai masyarakat kelas bawah yang tidak bisa digeneralisasi dengan sederhana menuntut adanya empati dari pemerintah untuk masuk dalam wilayah interpretasi dan asumsi kami dan menuliskan resep ulang bagaimana konteks kebijakan dapat distrukturkan kembali sekaligus menjadi perhatian untuk ikut menstruksturkan asumsi kebijakan dari pemerintah.

Selain itu, niat baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bawah seharusnya dilengkapi dengan instrumen yang tepat untuk mewujudkannya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah membingkai ulang kebijakan yang dinilai problematik pada tahap implementasinya. Persoalan tentang pemilik mobil yang diasumsikan sebagai orang kaya harus dikaji kembali dengan menentukan indikator yang lebih tepat untuk menentukan kelompok sasaran yang ingin dijangkau. Kesetaraan yang digagas pemerintah lebih pada keseteraan dalam kesempatan, bukan kesetaraan outcomes. Tujuan yang harus dipenuhi tidak lagi mempersoalkan klarifikasi filosofis tentang pembelaan kelas menengah ke bawah tetapi bagaimana mendefinisikan cara yang paling praktis agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan.

Konteks waktu harus diperhatikan agar kebijakan ini tidak terkesan tergesa-gesa diimplementasikan. Banyak tugas yang harus disiapkan terlebih dahulu sebelum kebijakan tersebut dilaksanakan. Hal yang paling penting adalah kesiapan infrastruktur, model pengawasan di SPBU, perbaikan jalan dan moda transportasi umum, dan sebagainya. Kalaupun pada tahap selanjutnya pemerintah akan mengkonversi BBM ke gas, kebijakan sebelumnya tentang konversi minyak ke elpiji 3 kg dapat menjadi policy learning yang baik agar motor kami, masyarakat kelas menengah ke bawah tidak ikut meledak. Pemerintah perlu memikirkan skema-skema kebijakan dalam skala yang lebih kecil sebagai intermediasi tujuan kebijakan yang sangat besar dan luas tersebut.

Dengan me-reframe kebijakan menjadi benar-benar sesuai dengan konteks masyarakat bawah, pemerintah dapat menentukan bahwa masyarakat bawah benar-benar mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut dengan sekian skema implementasi yang telah disiapkan. Pada intinya, setiap kebijakan selalu berada dalam ruang discorse yang tidak pernah selesai. Pada tataran inilah pemerintah diharapkan mampu menciptakan order di tengah discourse, mendamaikan ambiguitas kebijakan dengan skema yang lebih detail melihat resiko.

Referensi:
Andayani, Ftria. Pembatasan BBM Kerek Inflasi 0,8%.http://republika.co.id:8080/koran/0/151527/Pembatasan_BBM_Kerek_Inflasi_0_8_Persen.
Michael Moran, Dkk (ed). 2006. The Oxford Handbook of Public Policy. New York: Oxford University Press.

Purwo, dkk. (ed). 2004. Menembus Ortodoksi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Purwo Santoso. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: PolGov.
Putra, Fadhilah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subarsono, Drs. Ag., M.Si., MA. 2010. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwanan, Ahmad Fawaiq. Mengurai Karut Marut Kebijakan BBM. http://www.transparansi.or.id/artikel/mengurai-karut-marut-kebijakan-bbm/
Tapiheru, Joash. Pasar dan Polis. Terjemahan dari Stone, Deborah(1997), “Policy Paradox: the Art of Political Decision Making,” W&W Norton & Company, New York; pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul “Policy Paradox and Political Reason,”: Chapter I “The Market and the Polis”.

Timothy, Imanuel Nicolas. Pembatasan BBM Subsidi Menyiksa Rakyat. http://www.tribunnews.com/2012/01/07/pembatasan-bbm-subsidi-menyiksa-rakyat
-------.BBM Subsidi Dibatasi, Jumlah Pengguna Motor Meningkat. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/07/29533/bbm_subsidi_dibatasi_jumlah_pengguna_motor_meningkat/
-------. Menaikkan Harga BBM Dinilai Opsi Terbaik. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f0874045ccf8/menaikkan-harga-bbm-dinilai-opsi-terbaik

--------. Pemerintah Siapkan Pembatasan BBM Secara Matang. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/10/29839/pemerintah_siapkan_pembatasan_bbm_secara_matang/, Selasa 10 Januari 2012.
--------.Sosialisasi Pembatasan BBM Mulai Pekan Depan di http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/07/29409/sosialisasi_pembatasan_bbm_mulai_pekan_depan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar