Hahaha...rasanya ini tawa yang cukup untuk mengawali tulisan tak jelas ini. Ternyata sudah lama saya tak menulis catatan. Sudah lama membusuk dan mampat seperti selokan di tengah waktu-waktu senggang. Sudah lama juga saya tak menikmati suasana malam minggu di luar kamar persegi yang terasa semakin menyempit. Malam ini sedikit lain. Para kostmates bersepakat untuk sekadar melepas penat. Maka sampailah kami di Alun-Alun Kidul. Mungkin sudah tidak asing bagi para pasangan menikmati malam di sini. Sekadar berjalan berdua, bersepeda bersama dengan kilau lampu-lampu palsu, bergandengan tangan, saling melingkarkan tangan di pinggang, berciuman di kegelapan, atau hanya duduk-duduk saja menikmati wedang ronde.
Entah mengapa bagi mereka semua itu terasa romantis, sementara kami sibuk mencela, menganggap apa yang mereka lakukan itu bodoh dan tak masuk akal, hingga ikut memperagakan bagaimana mainan berwarna kebiruan itu bisa berputar-putar sejenak di udara dan mendarat beberapa saat kemudian di rerumputan basah. Dan pasangan itu kemudian tertawa bersama. Seperti melihat cinta mereka berputar di angkasa tapi tak sadar kalau akan jatuh juga. Semoga dunia masih setia dengan hukum gravitasinya hingga yang sedang melayang itu bisa kembali pada tempatnya. Apa romantisnya berada di tengah kebisingan dan jalanan memutar yang macet itu. Apa romantisnya menutup mata dan berjalan menuju beringin kembar, mengikuti mitos agar apa yang diinginkan bisa kejadian.
Bagi kami tempat ini hanya akal-akalan para lelaki yang tak punya modal. Cukup bayar parkir tiga ribu dan mungkin makan di sekitar yang pas sekali untuk dompet mahasiswa di akhir bulan. Romantisme diciptakan agar sang perempuan tidak lagi mengajak ke resto dan butik-butik mahal, nonton film, atau menunggu midnight sale dibuka dengan harga yang tetap saja mahal. Sinisme ini mungkin hanya penyangkalan berlebih yang sama artinya dengan penegasan. Kota ini memang banyak sekali menyediakan pilihan. Jangan tanya lagi orang-orang macam apa yang kami temui di sini. Sepertinya semua ada.
Ruang bising dan ruang sunyi semakin kabur. Segala macam bunyi berbaur. Orang-orang bercakap, suara musik beraneka rupa. Dari dangdut, pop, hingga gendhing Jawa, dari Justin Bieber hingga Ayu Ting Ting. Suara-suara berpusing dari konduktor-konduktor tak kelihatan sampai menyentuh membran timpani. Suara-suara terus melanjutkan perjalanannya hingga masuk ke lobus temporalis. Segala bunyi berdentuman, menerobos tanpa bisa dipilah mana yang disuka dan tidak.
Terlepas dari kebisingan itu, saya pun mencari celah sunyi. Ternyata memang masih bisa ditemukan. Sunyi bergelantungan di sulur-sulur pohon beringin. Meringis bergelayutan dengan rupa-rupa tanpa bentuk. Banyak yang tak menyadari bahwa ada yang lebih sinis memperhatikan orang-orang dan kebisingan. Ruang publik adalah ruang bising dimana setiap selera bisa dipertemukan. Batas menghilang. Makhluk dan alam.
Tiba-tiba seperti ada yang menjerit perlahan. Sangat pelan tenggelam di antara bingar. Apakah saya sedang menginjak sesuatu? Sejak kapan rumput bisa menjerit ketika terinjak? Di bawah tidak ada yang bisa saya lihat kecuali tanah gelap dan pucuk rumput yang seperti semut menggigiti kaki. Mungkin suara dari dalam kepala sendiri yang mengajak segera lari. Pertunjukan teater yang saya tonton kemarin atau kebisingan semacam ini hanya bisa membuat saya tersenyum sinis selama kurang dari satu jam untuk kemudian kembali terbaring di tebing sunyi.
Kembali ke persoalan tadi. Ada yang saya ingin katakan dari celah sunyi di antara kebisingan yang saya temukan. Di sini saya mau bicara soal toleransi. Sudah banyak orang yang peduli dengan habitat harimau atau orang hutan yang semakin tergusur. Tapi tentu tidak banyak yang peduli dengan habitat dhemit yang juga semakin tergusur. Berapa banyak pohon tersisa di kota ini. Kemana larinya para dhemit setelah Merapi muntah. Tempat wingit memang sudah tak banyak lagi. Para dhemit hanya bisa menghuni rumah-rumah tua, patung-patung, benda-benda di museum, sebagian berumah di candi-candi, beberapa pohon besar dan beberapa membangun kerajaannya di Taman Sari. Tapi tenang saja. Jangan dipercaya omongan orang nglantur macam saya. Tentu ini cuma khayalan dan bohong belaka.
Kalau saja ada sosiologi perdhemitan, psikoanalisis perdhemitan atau politik perdhemitan, sebenarnya merekalah yang sudah sangat merasa terancam. Raja dhemit semakin kehilangan kedaulatan teritorialnya. Raja dhemit sudah semakin kebingungan ketika dhemit-dhemit kecil mulai mbalelo dan berbuat seenaknya sendiri. Para dhemit mulai usil dan menggelitik-gelitik kuduk manusia sampai susah sekali manusia merasakan ketenangan sejati. Mereka itu sebenarnya tidak jahat, tapi bagaimana lagi kalau memang sudah tak banyak tempat untuk ditinggali. Kau pikir hanya manusia saja yang bisa berdesakan berebut lahan? Meskipun dunia mereka berbeda, tetap saja ulah manusia dengan segala hingar bingarnya itu mengganggu keamanan mereka. Toh mereka juga makhluk Tuhan yang berhak menghuni bumi ini.
Sudah berapa banyak dhemit mengalami ketidakadilan. Banyak manusia tersesat, memuja keris, besi dan tombak, dhemit juga yang disalahkan. Banyak anak sekolah kesurupan, dhemit pula kena getahnya. Dhemit tak pernah bisa membela dirinya ketika dipersalahkan. Manusia selalu tak mau berkaca. Mereka tak bisa melihat yang samar. Tertutup dan sebagian tersesat dalam kegelapan. Kapan-kapan biar saya undang Butalocaya dalam serat Dharmagandul untuk memberikan kuliah umum pada para manusia tentang dunia perdhemitan. Meskipun kata-katanya tidak bisa dipercaya juga, setidaknya manusia bisa tahu apa yang sekarang dirasakan para dhemit.
Semakin malam semakin nglantur saja ini tulisan. Biarkan saya kembali pada ruang sunyi. Di mana langit kota tak pernah lagi memanggil bintang untuk mencairkan bising dan bingar. Di emperan toko-toko yang telah tutup itu, para banci sedang membagi hasil jerih payah sehari. Bedak dan gincu masih tebal menyelimuti wajah. Gelandangan mulai merajut selimut dari lembaran-lembaran kardus dan koran. Hingar masih menyambar-nyambar kota. Entah hingga selarut apa. Para dhemit tetap menatap-natap sinis. Mengintip dengan tatapan paling nanar dari mata yang tak jelas bentuknya. Dari balik pohon beringin, pohon preh, patung dan monumen pinggir jalan. Saya sendiri, entah harus mengatakan apa kepada para dhemit itu. Kata teori itu, ini adalah ruang publik. Ruang yang setara bagi semua, tapi ternyata tidak bagi dhemit.
Kamar Kost, 26 Februari 2012: Setelah Lewat Tengah Malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar