Konon kabarnya pada hari yang tak bernama. Berawal dari kosong, sunyi dan hampa. Ruh manusia ditiupkan. Melesat dan melayang-layang sementara di alam awang-uwung. Konon katanya ruh-ruh itu akan dijatuhkan dari pohon sesuai dengan putaran waktu kelahiran. Maka jatuhlah sesosok ruh ke atas pohon Linde. Pohon itu membuat ruh yang jatuh darinya menjadi peragu, hidup apa adanya, selalu berkorban, setia tapi juga sangat pencemburu.
Di belahan dunia lain, seperti di kota-kota seputar Lembah Werra, Pegunungan Meissner, Hesse, orang-orang senang berkumpul di bawah pohon Linde, berpesta atau melaksanakan sidang pengadilan pada zaman dulu karena pohon ini dianggap memberi kebijaksanaan. Sampai saat ini pun mereka masih percaya bahwa pohon ini menjadi tempat bersemayam Freyja, dewi cinta, kecantikan dan kesuburan bangsa Jerman Kuno.
Pohon dengan batang rapuh dan daun yang mengembang ini mempengaruhi karakter ruh yang jatuh dari atasnya. Seperti apakah ruh ini mewujud setelah jatuh dari pohon Linde. Di kampung kecil itu, pertemuan langit dan bumi melahirkan matahari. Sang Hyang Iswara yang bertempat di Timur melambaikan tangannya. Mengucap selamat atas kelahiran seorang bayi perempuan. Konon cerita Ibu, kelahiran anak pertamanya itu diiringi dengan harum bunga melati. Semerbak entah datang darimana. Barangkali dari bokor kencana para bidadari yang sengaja menaburkannya dari Jonggring Saloka.
Ibu memberiku nama Ratna Puspita dan bapak menambahkan dua suku kata di belakangnya, Dwipa Nugrahhani. Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani. Ratna adalah kembang, puspita adalah permata, dwipa berarti pulau tanah kelahiran, dan nugrahhani adalah anugrah. Berat benar nama ini sampai aku harus menjadi sedemikian cantik ibarat kembang dan permata, menjadi berkah dan anugrah bagi sesama. Tanah Jawa, tanah kelahiran harus kusangga di kedua telapak tangan.
Dari perguliran hari, ekawara hingga dasawara, sifat-sifat si jabang bayi membentuk dan dibentuk. Di bawah bintang prahu pegat, kehidupannya akan berselimut duka dan kesedihan. Tak ada yang percaya. Siapa yang bisa menebak kehidupan dan masa depan.
Pada 11 Maret 1988, tak lama setelah kelahiranku, Soeharto kembali dilantik MPR menjadi presiden hasil pemilu 1987. Tanggal yang sama di tahun 1966, surat perintah yang dikenal dengan sebutan Supersemar itu ditandatangani. Dimulailah rezim baru. Semar tersenyum di kejauhan. Ia hanya mesem ketika namanya digunakan sebagai simbol sakti untuk menumpas sisa-sisa demokrasi terpimpin Soekarno. Kesaktian Supersemar pula yang menjadi awal dari pembantaian mengerikan sepanjang sejarah negeri ini. Betapa sakti pula surat itu hingga ia bisa raib menghilang tak ditemukan wujudnya kembali.
Tak ada yang istimewa. Bapak dan Ibuku pegawai negeri yang akan terus memilih Soeharto setiap lima tahun sekali. Seharusnya aku cukup mendapat asupan gizi. Tapi, nenek selalu malu membawaku ke Posyandu karena berat badanku sering berada di garis merah Kartu Menuju Sehat. Nenek selalu risau dengan omongan orang tentang anak guru yang beratnya kurang. Nenek, tembangnya masih tersimpan dalam ingatan mengiringi waktu-waktu tidur siang di ayunan kain yang dipasang di palangan tiang. Menunggu Ibu pulang.
Menjadi apakah si jabang bayi yang lahir dua puluh empat tahun lalu itu? Masa kecilku penuh khayali. Aku sempat melihat alien yang tiba-tiba muncul dari tumpukan sampah di pawuhan timur rumah. Terang saja tak ada yang percaya. Orang-orang hanya menganggap itu adalah kadal yang kudramatisir menjadi mengerikan ketika ia menjulur-julurkan lidahnya. Tapi aku yakin benar-benar melihatnya.
Wujudnya itu mirip sekali dengan yang muncul di sebuah film televisi. Lihat saja nanti. Mereka akan melihat bahwa suatu saat akan banyak muncul alien dari dalam tumpukan sampah. Mereka tidak tahu kalau alien telah datang dan membangun kerajaannya sejak lama di bumi ini. Sempat pula aku tiba-tiba lari ketakukan tanpa alasan karena merasa melihat sosok-sosok aneh di sekitarku. Mereka seperti mengikuti. Lalu menghilang sendiri setelah aku mulai bersekolah di taman kanak-kanak.
Berikutnya, aku lebih senang bermain pasaran, merajang daun-daun, bunga, pelepah pisang, dan bicara sendiri sebagai penjual sekaligus pembeli. Bapak memperkenalkanku pada puisi. Sejak itu aku membacakan puisi karangan Bapak kemana-mana, di sekolah, dia acara-acara tujuh belasan, tingkat kecamatan hingga kabupaten. Sejak itu kami suka keluyuran ke hutan-hutan jati, melatih vokal di antara ricik air sungai, berbicara pada daun dan semakin mengembarakan imajinasi hingga bertemu para bidadari yang dulu menebarkan melati pada saat kelahiranku.
Begitulah sepenggal kisah. Cerita ini bisa sampai ribuan halaman kalau diteruskan. Tak jelas juga mana yang nyata mana khayalan belaka. Nanti saja kalau sudah sukses tak jadikan otobiografi. Kalau sekarang dibuat tentu tidak laku dan hanya buang-buang waktu. Ehehehehe....
Di pintu almari, masih bergelantungan tiket-tiket pertunjukkan teater. Tumpukan buku seperti tugu peyot yang hampir rubuh tanpa penyangga. Dinding kamar masih berwana pink. Keramaian ornamen bunga dan bintang-bintang yang menyala dalam gelap hanya menjadi penegas bahwa penghuninya ingin berlari dari sepi. Menyadari keberadaanku di sini, sibuk melihat bayangan diri dalam cermin. Krisis eksistensial kadang memang menjadi hantu paling menakutkan. Percayakah kau bahwa kesepian itu bisa membunuh?
Nah, untuk merayakan ulang tahunku kali ini, aku mengundang segenap pasukan cecak, balatentara semut, peleton coro, komandan kelelawar, dan kalau berkenan juga irama ngiung nyamuk sebagai pelengkap musiknya. Aku mengundang semua untuk pesta kecil-kecilan di kamarku. Kita akan rayakan pesta ala kerajaan lengkap dengan topeng dan tarian. Khusus untuk pasukan cecak, terimalah permintaan maafku. Secara tak sengaja aku telah menjepit beberapa kawan kalian di antara pintu. Teman kalian masih menempel di sana, mengering begitu saja tak bisa lepas. Mohon dengan sangat untuk tak mengutukku dengan rapal kutukan cecak yang terkenal manjur menyihir orang menjadi bangsa kalian.
Rindu ketemu orang-orang aneh itu. Tahun lalu, aku dapat sepasang keris mungil. Sekarang mereka masih cekikikan bercanda dalam sebuah kotak kayu sambil menertawaiku. Apa kabar mereka dengan mimpi-mimpi yang mungkin semakin mengerikan. Selendangku tak juga dicuri, mimpi Nawangwulan belum juga menemukan Jaka Tarubnya. Igauanku akan semakin tak jelas bila diteruskan.
Malam masih menguarkan eksotismenya. Bau dingin sehabis hujan bercampur dengan aroma bawang nasi goreng depan kostan. Kata-kata seperti biasa selalu mengikat jemari dan aku harus menghentikannya di sini. Sebelum tetes. Sebelum buncah. Sebelum tiga pasang sepatu yang bersandar di dinding itu menjelma waktu. Berkuasa kembali memutar ingatan. Bagaimanapun, kita akan tetap berpesta. Aku akan tetap berulang tahun hari ini dan kuucapkan selamat kepada diriku sendiri.
*Terimakasih untuk teman-teman tercinta atas video yang mengharukan itu...
Sepenggal Waktu Menjelang 11 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar