Tersebutlah sebuah padepokan di Gunung Reksamuka. Berbagai ilmu diajarkan di Padepokan tersebut di tangan para resi pilihan. Seluruh cantrik terbaik perwakilan kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara berkumpul di padepokan ini untuk mendulang ilmu. Para resi adalah mereka yang telah banyak mencecap ilmu dari negara manca. Beberapa adalah mereka yang telah kenyang makan pengalaman di berbagai lembaga tinggi kerajaan.
Setelah pulang dari manca, para resi berusaha untuk membangun Nusantara dengan mengembangkan ilmu pengetahuan baru. Reproduksi pengetahuan baru mendesak menjadi agenda penting agar kejayaan Nusantara sebagai pusat peradaban dunia tidak akan tenggelam. Resi-resi pilihan itu mengembangkan sebuah skema pembelajaran agar para cantrik bisa ikut andil dalam perubahan sosial di Nusantara. Sayangnya, tidak semua resi mampu mengikuti percepatan kelahiran pengetahuan baru tersebut. Beberapa diantaranya masih setia dengan cara pandang lama yang justru menghambat kemajuan para cantrik.
Di akhir masa belajar, para cantrik diwajibkan untuk memproduksi pengetahuan baru. Mereka diharuskan untuk bisa merangkai endapan pengetahuan yang telah didapat dengan melihat berbagai kenyataan yang terjadi disekitar dan menjadi minat mereka. Seorang resi akan membimbing beberapa cantrik sampai pengetahuan baru itu bisa lahir dari buah pikiran secara sistematis, logis, dan sesuai dengan ukuran-ukuran pengetahuan yang bisa diterima.
Para cantrik mulai menentukan minat mereka. Beberapa masih berminat pada pengetahuan-pengetahuan konvensional. Meskipun begitu, para resi akan mengarahkan minat tersebut dalam cara pandang baru yang mendukung reproduksi pengetahuan di Nusantara. Cerita menariknya, ada salah satu cantrik nyentrik. Ia tertarik untuk keluar dari cara pandang aliran ilmu murni yang berkembang di padepokan tersebut. Ia ingin mendefinisikan hal yang sama, dengan kenyataan berbeda dan membuktikan bahwa ternyata sesuatu itu ada dan bisa sangat bepengaruh meskipun kadang tak kasat mata.
Di padepokan itu, terdapat resi senior yang kurang mampu mengikuti perubahan. Ia mengaku keturunan raja ketujuh dari Kerajaan Temaram. Ia masih setia mengikuti mahzab dalam Kitab Masurian yang mengajarkan ilmu-ilmu kuno. Ilmu yang seharusnya hanya bisa dilacak sebagai sejarah tanpa bisa lagi menjelaskan dan mengimbangi dasyat dan cepatnya perubahan. Kitab Masurian menjadi mahzab yang membuat resi senior ini tidak mempercayai adanya kenyataan yang tak bisa dijangkau dengan pikiran dan pengetahuannya.
Sayangnya, cantrik nyentrik ini dibimbing oleh resi penganut ajaran dari Kitab Masurian tersebut. Resi ini tidak terlalu paham dengan apa yang akan ditulis oleh si cantrik nyentrik. Resi ini bukannya membimbing tapi dengan keterbatasan pengetahuannya, ia justru tak bisa mengikuti logika tentang apa yang terjadi dalam sebuah dunia lain yang melampaui realitas. Kalaupun si cantrik ini telah menggunakan pengetahuan terkini yang diadopsi dari negara manca, maka resi dengan mahzab Masurian akan membawanya kembali untuk menggunakan kitab-kitab lama nan usang beserta contoh-contoh dalam kepalanya. Tapi mau bagaimana lagi, si cantrik nyentrik hanya bisa berusaha untuk membangun komunikasi yang lebih baik dengan resi berpaham Masurian tersebut dan membuatnya mengerti.
Kisah si cantrik ini tak jauh beda dengan beberapa cantrik lain di bawah bimbingan resi Masurian. Betapa mahzab Masurian bisa membuat orang tak percaya bahwa di salah satu pulau Nusantara ini terdapat seratus tujuh belas pulau-pulau kecil yang mengelilinginya, bahkan hanya dua pulau yang tak berpenghuni. Resi berpaham Masurian ini juga tak percaya bahwa saat ini ada kerajaan lain yang tumbuh di Nusantara setelah Kerajaan Temaram. Kerajaan ini dikuasai oleh elit-elit yang mengendalikan pemerintahan di sana. Cantrik yang menuliskannya justru harus mengubah hasil penggalian dataya sesuai dengan pemikiran resi berpaham Masurian.
Sedikit susah kalau dasarnya adalah tidak percaya bahwa kenyataan itu benar-benar ada. Kalau soal logika berpikir, mungkin bisa saling dikomunikasikan. Seharusnya resi-resi lain yang telah belajar dari manca itu mengadakan semacam upgrading agar pengetahuan antar resi bisa setara. Mungkin para resi telah memiliki spesialisasi dalam ilmu tertentu, tapi bukan berarti tidak hirau dengan perkembangan ilmu lain. Jangan sampai para resi justru mengejar para cantriknya, bukan mengiringi jalannya. Jangan sampai cantrik yang ingin menggunakan pengetahuan terkini justru didorong untuk kembali menggunakan pengetahuan usang yang tak lagi bisa menjelaskan kenyataan. Kasihan si cantrik nyentrik ketika ia ingin membawa dirinya ke tempat yang lebih tinggi, tapi justru di tarik untuk tenggelam kembali.
Beginilah yang terjadi di Padepokan Reksamuka. Harus ada skema khusus untuk menghadapi para resi Masurian ini. Kitab Masurian saat ini sudah tak relevan menjadi pegangan. Bukan karena ia tak penting, melainkan pengetahuan di dalamnya tak bisa lagi menjangkau cepatnya putaran roda. Kitab Masurian memang menjadi legenda pada zamannya, namun tidak saat ini. Isinya harus kembali didefiniskan ulang. Ajaran Masurian tak harus dihilangkan tapi bagaimana ia bisa direlevansikan dengan lebih reflektif dan fleksibel tanpa harus memaksakannya untuk digunakan.
Pada sebuah siang yang senggang, 8 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar