Teater musikal berjudul “Melawan Raksasa” malam ini cukup menyenangkan. Saya tidak sendiri. Di sebelah saya ini duduk Mbak Vi yang imajinasinya tak berhenti merujuk para Oppa. Pertunjukan berdurasi sekitar satu jam ini bercerita tentang sebuah negeri yang selalu diselimuti kebahagian. Semua rakyatnya berbahagia, selalu tersenyum dan tertawa. Cerita yang mengingatkan saya pada dongeng Oscar Wilde berjudul “The Happy Price” itu. Kebahagiaan tak berlangsung selamanya. Tiba-tiba kerajaan yang tak pernah merasakan ancaman itu diserang gempa. Beberapa bangunan hancur dan ditengarai bahwa gempa itu terjadi akibat ulah raksasa yang senang melakukan senam pagi.
Raja kemudian mengirim menteri luar negeri untuk melakukan diplomasi didampingi perwira militer. Mereka mencoba bernegosiasi agar kerajaan bisa merasakan damai tanpa kehadiran raksasa. Kedatangan mereka disambut oleh asisten raksasa yang bisa berbahasa manusia. Raksasa yang diwakili asistennya itu minta bayi cerdas setiap bulan sebagai tumbal sehingga ia tidak akan mengganggu kerajaan itu lagi. Diplomasi gagal dan kerajaan menyatakan perang. Sebelum ditemukan cara yang tepat melawan raksasa, kerajaan sudah diserang gempa lagi hingga menewaskan Sang Raja karena kejatuhan reruntuhan bangunan istana. Seantero kerajaan bersedih.
Datanglah Paman Cuap. Tokoh seperti Paman Cuap memang kerap hadir dalam dongeng. Bisa dikatakan perannya cukup sentral sebagai penasihat Raja, meskipun tak dijelaskan posisi strukturalnya. Paman Cuap menemukan cara untuk melawan raksasa, tidak dengan otot tapi dengan akal. Ia mengerahkan anak-anak cerdas dan bijak dari negeri itu untuk adu teka-teki melawan raksasa. Kecerdikan Paman Cuap bisa mengungkap bahwa bayi yang diinginkan raksasa itu sebenarnya akan dijadikan nutrisi otak untuk mengatasi penyakit bodoh yang telah dideritanya.
Anak-anak akhirnya bisa mengalahkan asisten raksasa dengan teka-teki aneh yang tidak usah saya ceritakan di sini. Raksasa dan asistennya akhirnya pergi dari kerajaan. Mereka memang bodoh. Padahal kalau mereka tetap tinggal, tidak ada juga yang bisa melawan. Tapi dongeng tidak bodoh. Cerita ini tentu mengandung pesan penting bagi anak-anak bahwa otot bisa dilawan dengan akal. Dongeng yang sekaligus ingin mengatakan bahwa akal akan selalu memang dan didudukkan lebih tinggi dari otot sebagai referen tubuh. Sepertinya saya terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Tentu saja cerita ini tidak dimaksudkan demikian. Dongeng memang tidak sederhana. Saya sendiri sering kesusahan membuat cerita anak-anak karena ketika dibaca lagi jadi terkesan terlalu rumit untuk dipahami anak-anak.
Di balik cerita ini, saya ingin membuka sedikit mitos tentang raksasa. Mungkin banyak yang sudah pernah mendengar cerita ihwal raksasa. Ibu saya sendiri sering mendongeng tentang Lelepah dengan lagu ciptaannya sendiri, “lelepah..lelepah..pakananmu iwak entah..dicacah ning etan omah..”. Lelepah adalah seorang raksasa yang suka memakan ikan mentah dan memburu anak-anak nakal yang tidak mau tidur siang. Apa yang salah dengan raksasa? Makhluk yang selalu digambarkan sedemikian mengerikan, bertubuh besar, bertaring, suaranya keras menggelegar. Siapakah sebenarnya raksasa yang selalu hadir dalam dongeng sebelum tidur kita?
Dalam serat Dewa Ruci kita bisa melihat bagaimana Bima melawan naga raksasa atas perintah Durna untuk mencari sarang angin di tengah samudra. Siapakah Dewa Ruci dan siapakah Sang Raksasa. Banyak yang menginterpretasikan bahwa cerita ini ingin menggambarkan bagimana perang bisa berlangsung dalam diri manusia. Dewa Ruci digambarkan sebagai subyek dan Raksasa adalah abyek. Tatanan simbolik ini menggambarkan batas-batas antara “aku” dan “bukan aku”. Saya lupa ini teori siapa. Manusia menghadirkan sosok raksasa untuk melengkapi penggambaran tentang demarkasi selain subyek yang terasa tak ingin disentuh, bahkan menjijikkan.
Raksasa menjadi ancaman, tidak hanya bagi kerajaan yang selalu bahagia, tetapi juga bagi diri. Raksasa adalah sesuatu yang ingin ditolak dan disingkirkan oleh subyek dalam proses becoming-nya. Dalam tubuh raksasa, manusia melihat keruntuhan makna akan dirinya. Raksasa menjadi semacam hantu bagi nalar bahkan bisa berubah wujud menjadi kematian. Raksasa adalah salah satu gambaran dalam mewujudkan hasrat narsistik yang akan terfleksikan dalam citraan cermin. Raksasalah yang harus dipagari, dibentengi agar tidak merusak ke-diri-an yang telah dibangun. Ah, saya ini bicara apa. Kenapa jadi sampai kemana-mana begini.
Setiap kita punya raksasa. Saya sendiri tidak pernah bisa membunuhnya. Ia tetap lantang berdiri dalam diri. Kadang menjadi raja kadang bisa menjadi asisten yang bisa saya perintah kemana-mana. Ia memang tak selalu harus dibunuh. Rasanya cukup menyenangkan membiarkannya menjadi ancaman. Malam ini saya sudah diajari bahasa raksasa dalam teater musikal tadi. Kalau ada raksasa yang membutuhkan asisten, saya bersedia bekerja part time.
Kamar kost menjelang tengah malam
dimana para raksasa sedang meraung kesunyian,
26 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar