Senin, 26 Maret 2012

Paijem Ngupaya Upa*

Di rumah petak sempit pinggir Kali Code, Paijem sedang gelisah. Siang begitu terik. Sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris memanggilnya untuk wawancara kerja. Gaji yang dijanjikan hanya standar UMR Kota Jogya. Banyak hal merubung pikirannya. Paijem hanya ingin cepat mendapat kerja. Apa saja. Ketika dipikir lagi, transport yang diperlukan setiap hari tak sebanding dengan gaji. Sudah sampai tempat wawancara, Paijem ragu dan akhirnya memutuskan untuk kembali. Panggilan-panggilan tes lain memang sudah menunggu. Semoga saja kali ini ada satu saja yang nyanthol hingga Paijem tak merepotkan orang tuanya lagi.

Dulu Paijem pernah training kerja di Jakarta. Tak betah dan pulang. Sampai saat ini Paijem terus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tak pernah absen melihat lowongan kerja di koran lokal. Untuk saat ini, Paijem memang hanya ingin bekerja di Jogja. Sering juga Paijem ke warnet untuk mencari-cari berbagai lowongan yang bertebaran di dunia maya. Berkali-kali Paijem ikut tes, sampai hafal di luar kepala tipe-tipe soal psikotes yang pernah dikerjakannya. Sayangnya, selama ini ia selalu gagal dalam tahap wawancara terakhir. Yang mengharukan, Paijem sahabat lama saya itu, pernah menggambar saya di salah satu ujian psikotesnya, meski sebenarnya itu cuma kecelakaan.

Kali ini saya tidak akan pakai metafor dan alegori yang sebenarnya telah jelas juga merujuk pada apa. Saya mau terus terang saja. Siapa menyangka. Paijem adalah salah satu lulusan terbaik Padepokan Gunung Reksamuka dengan selesainya kitab terakhir berjudul, Politik Identitas Muslim Tionghoa di Yogyakarta: Studi Tentang Dinamika Pembentukan Muslim Tionghoa sebagai Identitas Etnik Baru. Dari judulnya saja sudah keren sekali bukan? Siapa menyangka. Tekanan hidup dan kebutuhan membuatnya lari dari ajaran perguruan yang ia tekuni. Setiap kali melihat lowongan, ia hanya mencari perusahaan mana yang menerima manajer atau pegawai dari semua Padepokan.

Tahukah kalian bahwa indeks prestasi tinggi tak menjamin Paijem mudah dan cepat dalam mendapatkan pekerjaan. Saking putus asanya, ia pernah malamar sebagai pramuniaga. Pewawancara selalu berhenti bertanya ketika membolak-balik berkas lamaran. Matanya selalu tertuju pada transkrip nilai dengan sederetan angka A. Ada beberapa pekerjaan yang memang tidak membutuhkan orang pintar. Kadang mereka hanya butuh orang yang manut saja dan tak banyak protes kalau di suruh-suruh. Inferioritas menghinggapi Paijem karena ia memang menyadari bahwa ilmunya tak mudah untuk dijual dibandingkan ilmu-ilmu padepokan lain. Tahu begini, Paijem berjanji dalam hati kalau punya anak nanti, ia akan membekalinya dengan ketrampilan praktis saja. Sekarang yang seperti itu tampaknya lebih laku.

Tahukah kalian berapa banyak lulusan Padepokan Gunung Reksamuka yang bekerja sesuai dengan bidangnya. Kecuali yang jadi pegawai negeri, peneliti, jurnalis, tak banyak lagi yang bisa menggunakan ilmunya di dunia persilatan yang semakin kejam. Setahu saya, beberapa yang seangkatan dengan Paijem—beberapa menjadi pegawai bank, marketing asuransi, manajer perusahaan suku cadang kendaraan bermotor, staf administrasi di padepokan lain, nyambi kerja di padepokan swasta di daerahnya, mengajar anak-anak pra sekolah, beberapa merelakan diri untuk tidak bekerja atau sekadarnya membantu pekerjaan suami.

Masih ada beberapa lagi selain tersebut di atas. Paijah—teman satu genk dengan Paijem sekarang bekerja menjaga stand sebagai marketing yang menawarkan kapling-kapling perumahan di sebuah mall di Jogja. Tentu dengan gaji yang sebenarnya jauh dari layak untuk ukuran lulusan padepokan terkenal macam Padepokan Gunung Reksamuka. Padahal, kitab terakhir Paijah dulu juga keren. Ia menelusuri genealogi kekuasaan Mbah Maridjan dari lereng Gunung Merapi. Tak menyangka juga. Direktur perumahan itu memiliki gelar dan sudah dipastikan kalau ia adalah lulusan Padepokan Gunung Reksamuka juga.

Tidak aneh juga kalau beberapa diantaranya memilih untuk berbisnis. Barang dagangannya pun bukan sembarangan. Satu diantaranya bisnis reptil seperti ular, kadal dan iguana. Ternyata ini cukup menjanjikan. Satu lagi jualan kucing persia keturuanan asli karena mewarisi bisnis mantan pacarnya. Sepertinya trajektori lulusan Padepokan Gunung Reksamuka harus segera dilakukan. Memang patut diakui kalau lulusan padepokan ini sangat kurang dalam bidang ketrampilan. Dulu, kita memang sudah diajari cara berjejaring, berstrategi dan komunikasi politik, tapi semua seperti angin berhembus. Hanya mampir dan hilang begitu saja dengan cepatnya. Beberapa teman seangkatan Paijem masih saja belum lulus dengan berbagai alasan. Satu di antaranya justru sudah mendapat surat teguran karena belum menyelesaikan semua jurus yang seharusnya diambil untuk dipelajari.

Sore ini, kami berkumpul di stand tempat Paijah bekerja. Ada satu teman bernama Paiman yang sedang berjuang untuk menyelesaikan penulisan kitab terakhirnya. Paijem dimintai tolong atau sederhananya menjadi konsultan. Ketika mulai dipaparkan tentang kemungkinan jurus-jurus yang bisa digunakan, Paijem merasa ia begitu asing dengan semua hal itu. Mungkin karena memang tak pernah dipakai lagi, karena memang tak berguna sama sekali. Karena saya yang kebetulan sedang segar, akhirnya turun tangan. Tampaknya tema relasi kuasa memang pas dihajar dengan jurus itu. Dan saya pun menggambar sebuah segitiga sakti. Paiman cuma mengangguk-angguk. Entah tidak atau sudah mengerti. Sebentar lagi katanya ia akan langsung mencari kitab yang membeberkan rahasia jurus segitiga sakti.

Paijah menambah sesal kenapa ia dulu masuk ke Padepokan Gunung Reksamuka. Sedangkan teman dekatnya dari Padepokan Budaya sudah sampai ke Jerman untuk meneliti kaum Vegetarian. Sedang teman Paijem sudah ada yang pernah diundang PBB entah dalam rangka apa. Ah, rasanya jauh sekali. Sedang kata Paijah lagi, banyak sekali urusan yang menjadi spesialisasi padepokan justru diomongkan oleh para ahli dari padepokan lain di berbagai media cetak dan televisi. Sebatas keluh.

Teman Paiman, yang belum lulus juga malah sedang ingin mencari jasa pembuatan skripsi dengan biaya yang cukup mahal ternyata. Kenapa tidak, saya lalu menawarkan diri meski masih dalam tahap gurauan. Hehehe... Murid lulusan Padepokan Gunung Reksamuka memang beberapa bisa membusungkan dada. Namun, sebagian besar lainnya masih harus merunduk-runduk, mengejar-ngejar apapun yang harus mereka kejar untuk hidup.

Tragis dan dilematis. Kembali kepada Paijem. Belakangan ini Paijem memang sering uring-uringan. Pacarnya tak segetol seperti bagaimana Paijem mencari kerja. Pacarnya sering tak bisa mengontrol waktu tidur. Hal kecil begini ikut menjadi penyulut kemarahan-kemarahan yang kadang membuncah, bahkan pernah sampai kebas. Ibarat mendayung perahu berdua. Paijem sekuat tenaga mendorong perahu itu melaju. Sementara pacarnya hanya seenaknya saja mendayung sehingga perahu tak lagi laju tapi hanya berputar-putar tak tentu. Perumpaan ini dibuat Paijem untuk menyadarkan kekasih hatinya itu. Namanya kebiasaan memang sulit untuk diubah, bukan berarti tak bisa.

Cerita Paijem teramat panjang jika harus digambarkan bagaimana ia mengetuk satu pintu ke pintu lain. Kadang bersitegang dengan Mamak dan Bapak. Kadang harus mencari strategi untuk memperbaiki penampilan di hadapan pewawancara. Tubuhnya mungil dan kulitnya memang eksotis—untuk tidak mengatakannya hitam. Paijem sedang berusaha mencari bedak yang sesuai agar kulit eksotisnya tidak tertutup warna pupur yang biasanya akan membedakan dengan warna leher dan bagian tubuhnya yang lain. Paijem senang mengkalkulasi detail, berbagai kemungkinan dan selalu membentur tembok kalau berurusan soal uang, bahkan hanya sekadar untuk parkir. Dua ribu rupiah sudah sangat berharga. Bisa buat beli bensin meski tak sampai seliter.

Kemana Paijem akan melangkahkan kaki berikutnya? Nasib tak pernah pasti. Kemarin ia sempat bingung apakah harus meninggalkan Jogja untuk menjadi aktivis sebuah LSM di pedalaman. Ada lagi sebuah lembaga riset yang membutuhkan asisten peneliti full time. Paijem gamang. Ia hanya bisa mengingat pengalaman yang sedikit traumatis ketika harus bertemu para resinya dulu yang juga aktif di lembaga riset itu. Kemana Paijem akan melangkahkan kaki? Akankah ia akan bertahan dengan kekasih hatinya? Nantikan episode selanjutnya.

Terakhir, penulis berpesan, “Jem, aku telah mengatakan rahasia kecil kepadamu, mohon untuk tetap menutup mulut dan tak menceritakannya kepada siapa-siapa. Semoga kau juga tak tersinggung dengan ceritamu yang kujadikan tema utama kali ini.”

*Dalam Bahasa Indonesia bisa disamakan artinya dengan upaya Paijem mencari sesuap nasi. Sebenarnya ingin menuliskan cerita ini dalam Bahasa Jawa, lebih menyentuh dan dramatis. Akhirnya tidak juga saya tulis dalam Bahasa Jawa demi tidak terlalu membatasi segmen pembaca.

Kamar Kost Menjelang Dini Hari, 16 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar