Inilah kerjaan saya setelah sepagi proposal tesis dikatai tidak politis. Sekali lagi penyakit expressive aphasia saya muncul sehingga tidak mampu menggabungkan dan mengungkapkan bahasa yang lebih bisa membuat orang lain mengerti. Seharusnya malam ini segera diperbaiki naskahnya, sedikit dipoles, diturunkan, atau ditarik-tarik supaya lebih politik. Menulis soal politik memang hanya tuntutan, bukan kegemaran, tapi masih mencoba untuk digemari. Kalau pun mau, semua-mua juga bisa menjadi politik. Ada kesenangan lain yang lebih menyenagkan. Meski begitu, hidup toh juga tidak bisa selalu mengalir mengikuti kesenangan-kesenangan. Dan kesenangan saya sebenarnya adalah menulis hal-hal tak penting macam begini.
Malam ini, tanpa teman sebelah, tanpa teman seperti Paijem atau Painem, saya berangkat sendirian ke Institute Francais Indonesia (IFI) untuk sekadar lari. Konon katanya, ada kelompok musik kontemporer yang akan mengiringi sebuah pemutaran film. Zone Libre, kelompok musik dari Prancis ini akan mengisi film bisu yang diproduksi pada tahun 1922 di Jerman berjudul “Nosferatu” karya sutradara Friedrich W. Murnau.
Ketika saya datang, IFI sudah ramai. Motor diparkir di bawah pohon dengan ongkos dua ribu rupiah saja. Acaranya sendiri gratis, sekalian bisa banyak mencuri dengar di tengah kerumunan, satu lagi kesenangan saya yang tidak perlu direportasekan hasilnya. Saya berdiri saja tanpa mengenal siapapun, menelusup di antara kerumunan, menunggu pintu dibuka. Tak lama, mungkin sekitar lima belas menit menunggu, menelusup lagi hingga bisa masuk di urutan pertama. Suatu keasyikan tersendiri bisa masuk pertama kali dan memilih tempat duduk. Seorang terasing akan sembunyi dan tempat paling tepat baginya adalah di pojokan. Pojokan itu punya arti ketika ada dua dinding saling bertemu dan kau bisa bersandar pada sudut pertemuan dinding-dinding itu.
Menunggu sebentar. Seorang laki-laki Prancis membuka acara dengan Bahasa Indonesia terbata-bata dan penggunaan kata penunjuk dan kata ganti yang salah semua. “Malam itu, kami akan menyaksikan....” ia lalu menjelaskan tentang film yang akan diputar. Pada akhirnya, laki-laki Prancis itu putus asa dalam menggunakan Bahasa Indonesia dan meneruskan seremonialnya dalam Bahasa Prancis. Kata-kata meluncur cepat begitu saja tapi tak bisa dimengerti. Penonton tertawa. Selamat menikmati.
Sebuah film bergenre horor, pelopor ekspresionis Jerman pada zamannya. Film ini bercerita tentang seorang laki-laki yang meninggalkan istrinya untuk menjual tanah kepada bangsawan vampir bernama Count Orlock. Cerita singkatnya, laki-laki itu harus menderita sakit setelah terkena gigitan vampir, meninggalkan jejak dua lubang berdekatan di tenggorokan. Laki-laki itu akhirnya kembali ke kota, begitu juga dengan si vampir. Tuan Vampir mengendarai kapal menuju kota. Betapa repotnya ia ketika harus selalu membawa peti mati kemana-mana. Semua awak kapal berikut kaptennya ditemukan tewas terhisap darahnya.
Ancaman Tuan Vampir sampai pada warga kota, demikian juga istri laki-laki itu, kalau tidak salah bernama Nina. Wabah vampir menyerang warga kota. Seorang ilmuan mencari analoginya dari tanaman pemakan serangga dan sebuah philus tumbuhan transparan yang begitu saja memangsa tanpa kelihatan. Saya juga baru tahu kalau film bisu dilengkapi dengan skrip sederhana tentang jalan cerita atau percakapan tokohnya, surat yang dituliskan, tampilan potongan berita koran, tulisan dalam buku. Bagi saya, entah kenapa ini membuat kesan eksotis dari sebuah film bisu.
Malam tiba, vampir masih mengancam kota. Di buku vampir dituliskan bahwa semua penderitaan dan wabah di kota akan hilang ketika vampir bisa menghisap darah perempuan berhati murni sampai lupa pulang ke dalam peti saat ayam jantan berkokok. Perempuan berhati murni itu adalah Nina. Demikianlah yang terjadi. Pertanyaannya, vampir itu kalahnya sama perempuan atau kokok ayam jantan? Nina pada akhirnya mati. Jadi, vampir itu sebenarnya kalahnya sama kokok ayam jantan. Begitu saja lenyap menjadi asap. Film hitam putih seperti ini tak bisa memastikan mana pagi mana malam. Yang membunuh vampir tetap suara kokok ayam jantan.
Beberapa permainan bayangan dalam film ini cukup mengesankan meski jauh dari kesan seram, bahkan dengan posisi duduk saya yang dipojokan. Keadaan mencekam yang saya rasakan justru berasal dari diri sendiri. Ada semacam tangan-tangan nosferatu berkuku panjang yang mencekik leher, memeluk dari belakang, meniupi belakang telinga atau hanya menyentuh pundak. Berlebihan memang tapi bukan karena efek dari film-film hantu indonesia milik saudagar kelontong yang cuma menjadikannya dagangan semata. Meski film bisu, Nosferatu seperti ratusan kali lebih bagus dari film-film hantu Indonesia saat ini.
Setelah bicara soal filmnya, saya akan sedikit mengungkap kesan soal Zone Libre, musik pengisinya. Dalam pamfletnya disebutkan bahwa cerita yang menakutkan dalam film ini akan disajikan dengan iringan musik mencekam oleh seorang musisi rock Prancis, Serge Teyssot-Gay (gitaris legendaris Noir Desir), dan iringan drum oleh Cyril Bilbeaud. Saya sama sekali tak mengenal musisi ini dan juga tak mencoba mencari referensi tentang mereka. Malam ini hanya ingin mendengar saja.
Musik dan film pada akhirnya seperti tidak bisa menyatu. Kehadiran saya dipojokan dipaksa untuk fokus pada dua hal bersamaan. Gambar bergerak pada film dan musik itu sendiri. Keduanya sebenarnya akan lebih asyik jika dinikmati secara terpisah. “Gitarnya suangar, Cuk!,” atau malah, “Wah, gak masuk, Bos!” membayangkan teman sebelah berkata seperti itu kalau ikut nonton. Memang cukup keren permainan efek dan suaranya. Drumnya juga begitu. Gerakan-gerakan kecil dari stik drum ternyata mampu menimbulkan macam-macam bunyi. Tapi, tetap saja tidak mencekam dan menawarkan ketakutan. Beberapa kali terlalu panjang mengisi adegan dengan komposisi berulang-ulang sampai telinga saya yang kurang beres ini kecapekan mendengarkan. Klimaksnya juga tidak sampai. Begitulah, kepanjangan nanti berkomentar, bisa dilempari sandal. Tidak ada kesatuan utuh, pengisian total antara film dan musik.
Laki-laki Prancis yang membuka acara tadi sempat bercerita kalau zaman dulu biasanya ada sebuah orkestra pengisi suara selama proyektor menyala. Kalau saya membayangkan, mungkin akan lebih memberi kesan mencekam dengan musik-musik megah dan kejutan-kejutan suara dari instrumen-instrumen orkestra. Jeng...jeng...(hahaha, apalagi ini). Lebih bisa merinding lagi kalau saya membayangkan alat-alat musik kreatif yang biasa dipakai dalam teater untuk menimbulkan kesan-kesan suara mistis. Lagi-lagi ini hanya soal kesan dan kebiasaan telinga saya dalam mendengar suara. Sepertinya lebih seru lagi kalau Sigur Ros atau Thom Yorke saja yang menjadi pengisi musik dalam filmnya.
Saya jadi ingin tahu bagaimana kedudukan suara dalam film sunyi macam begini. Saya tidak banyak tahu tentang sejarah visual, tapi setidaknya film bisu adalah capaian seni visual pada zamannya. Saya merekam begitu dramatiknya ekspresi-ekspresi wajah para pemain di setiap adegan. Mereka ketakutan, mereka tertawa, mereka saling tersenyum setelah berciuman meski dalam gerak gambar yang lebih cepat dari ukuran normal. Hal yang seharusnya menjadi rujukan serius bagi para pemain film saat ini. Ekspresi dalam film bisu sepertinya lebih berusaha untuk menyampaikan kata-kata secara lebih serius dalam bahasanya yang lain.
Tingkat ekpresi ini bisa jadi mengalami perubahan ketika mulai muncul film bicara dan musik-musik didalamnya. Musik dan adegan dalam film sebenarnya bisa saling menyatu, atau justru berdiri sendiri secara otonom. Ah, saya ini ngomong apa, mulai ngelantur. Tapi coba bayangkan suara detak jam dan sebuah adegan dimana seorang perempuan duduk bersimpuh, menunduk, kelihatan dari belakang, rambut terurai hingga ke pinggang, lampu temaram. Ketika detak jam dihilangkan, kesunyian akan lebih jelas terasa. Dalam suasana begini, bukankah kesunyian itu pada hakikatnya bisa didengarkan? Dhemit ora ndulit, setan ora doyan. Selamat malam.
Kamar Kost, 28 Mei 2012
Kamis, 31 Mei 2012
Minggu, 13 Mei 2012
Manusia Goa yang Berhamburan di Tengah Kota
Tutup jendela! Hujan di luar terlalu indah untuk disaksikan. Hujan sedang menawarkan ketukan-ketukan yang dijelmakan menjadi orkestra, membias dalam nada-nada, yang tak hanya ada ada do, re, mi, fa, sol, la, si, dan do’. Sebuah tepukan berirama, slendro dan pelog, apa saja, megah dalam kata merangkai puisi, seperti ciuman yang dingin diterjemahkan menjadi angka. Angka-angka yang selalu menawarkan kesepakatan-kesepakatan bahwa yang dicari adalah persamaan dan kalaupun ada pertidaksamaan, itu hanya pengecualian. Di sinilah manusia goa ingin meremukkan kemandulan alamiahnya. Seharian hanya mendekam dalam goa sepi dan berpusing dengan kehadiran-kehadiran pikiran, begitu saja tak bisa dibedakan mana khayalan mana kenyataan.
Sebuah populasi ras manusia sedang terjangkit delusi. Inilah kisah tentang manusia goa yang hanya berteman dengan kerumunan-kerumunan. Siapa bisa menelurkan gumpalan kegelisahan jika zaman semakin ahli menciptakan kategori, kesamaan, standar, nilai, juga keharuman kentut yang selalu saja di cap sebagai ketidaksopanan berbau busuk. Sepanjang deretan pertokoan dan etelase, tersenyum-senyum sendiri membacai slogan di atas papan-papan iklan, nama-nama kios semakin aneh demi bisa memelihara jin pencetak uang. Di sepanjang keramaian jalan, manusia goa menemui kebingungan sebagian besar orang sedangkan ia justru mengetuk kebebasan dan keheningan di jalan kecilnya sendiri.
Manusia goa sedang mematung di sudut pusat perbelanjaan. Pakaian gembelnya itu ternyata tak cukup menarik perhatian orang. Ia bisa menikmati sekumpulan ras manusia yang cantik-cantik. Cukup cantik untuk menghiasi sepetak tanah air yang pahit. Di manakah lapar jiwa bisa dituntaskan jika makanan kesukaannya hanya kenangan, hanya masa lalu semakin menyusut menuju ketiadaan. Siapa bisa mengoceh soal sejarah dan kekuasaan. Tema ini tak cukup menarik untuk bisa dibeli daripada model tas, baju, dan sepatu terbaru. Manusia goa semakin cemas ketika tak ditemukananya sesuatu yang menarik dari kekososngan, kejemuan, dari hujan yang tak peduli. Kesunyian.
Dari sebuah lagu, manusia goa menemukan sebuah tempat bernama Distopia. Di sanalah banyak pertikaian ras manusia bisa dijumpai. Sebuah pertikaian yang bisa disebabkan oleh hal kecil saja, sama sekali remeh. Pertikaian bermula, hanya karena mereka memiliki terlalu banyak alasan untuk saling mencintai, sampai kebencian menjadi terlalu sengit. Ada kebaikan ada kejahatan, pemenang dan taklukan. Agama satu ini tak pernah mengenal ampun. Manusia goa memilih sembunyi, menghilang, tak berkata apa-apa di bawah hujan yang selalu tak peduli, terlalu lelah untuk memberi penafsiran.
Di kota bernama Distopia, kekuatan dan kekejaman adalah dewa-dewa kesepian. Penganut kepercayaan dikotomis kebaikan dan kejahatan menjadi semacam bayangan hitam dan putih, semakin mengabur bersama hujan tetapi semakin mengental di kegelapan malam. Sebuah ritual yang agak sulit tapi juga mampu menyederhanakan banyak hal. Kuil manakah akan dipilih, berdiri berdampingan, antara kejahatan dan kebutuhan.
Manusia goa takjub melihat sebatang tugu menjulang kekar dihadapannya. Sepenggal monumen di jejalan kerumunan, kokoh sekaligus gamang. Batu-batu yang ditumpuk untuk menandai sesuatu. Batu-batu yang seringkali ditolak haknya untuk menjadi abadi tapi karena itulah ia menjadi keabadian itu sendiri. Batu yang menyerahkan diri kepada manusia, kepada kehendak manusia untuk bertindak. Setumpuk batu tak bisa dihancurkan begitu saja. Dan tiba-tiba saja sekawanan massa menghancurkannya tanpa sisa. Menumbangkan batu. Pada batu, kekuasaan, kebodohan dan manusia sama-sama menjadi simbolis semata. Batu-batu menjadi saksi lalu lalang orang, manusia dengan wajah penuh debu dan lelehan keringat, sedikit asin dan hangat.
Siapa lagi sempat termenung memikirkan bahwa dunia selalu memiliki lebih dari satu hal untuk dikatakan. Ini menjadi sangat menarik dan kemudian begitu saja berubah membosankan. Manusia goa tak habis pikir bagaimana ras manusia bisa mengurung dirinya di sebuah kota aneh ini dengan kebosanan yang tertidur, bahkan begitu lelap lengkap dengan dengkur. Bagaimana mungkin mereka tidak menggabungkan diri dengan batu-batu, sampai tak bisa dibedakan lagi antara kota yang aneh dengan semesta yang membara, tanpa perasaan, menantang sejarah dan gejolaknya.
Dari sebuah kota yang sangat ribut dan sedikit gila ini, manusia goa sesak melihat ras manusia mulai menangis karena terlalu sering membunuh gairah dan keinginan sendiri, membunuh kesedihan dan kemenangannya sendiri. Sebuah kota yang gila, bahkan sanggup berjalan sambil tidur. Di kota ini pula ras manusia memperolah banyak sifat baik yang sementara, muncul bersumber dari titik jenuh tertentu. Mereka tak pernah mau memisahkan diri dari kebaikan-kebaikan kota dan berani berkata ‘ya’ pada Minotaur. Kebijaksanaan ini menjadi tua dan tumbuh subur sementara beban Atlas semakin ringan karena balsem gosok merk terbaru telah membuat pundaknya tak lagi pegal.
Para penakluk di kota ini sering sok melankolis, sedangkan manusia goa dan ras manusia serta kerumunan-kerumunan tidak pernah tahu apakah itu kejahatan. Mereka hanya tahu bahwa ini adalah kenyataan dan kembali pada kesepakatan-kesepakatan untuk membuat semua perbuatan bisa diterima atau tidak. Meskipun berkerumun di antara bising dan kegilaan kota, ras manusia dan manusia goa akan tetap dihadapkan pada kontradiksi-kontradiksi sampai mereka harus melakukan sesuatu dan menemukan cara untuk mendamaikan hal itu, atau paling tidak menguranginya.
Di kota ini, terlalu banyak orang salah memaknai antara tragedi dan keputusasaan. Tragedi adalah bagian dari sebuah sentakan yang indah terhadap penderitaan. Sebuah peradaban tak semudah ini akan mati, peradaban manusia goa, bahkan ketika dunia ini hancur sekalipun. Betapa di kota ini dewa-dewa sedang kehilangan sesuatu karena sudah sekian lama tak ada yang bangkit menentang mereka. Manusia goa hanya perlu memilih waktunya sendiri. Setiap orang memiliki semua kumpulan pengalaman, yang membuatnya akan berbuat atau tidak berbuat, tetapi tetap dengan kesadaran penuh tentang segala hal yang terlibat.
Catatan:
Tulisan ini terinspirasi oleh Camus dan lagu-lagu Melancholic Bitch. Igauan dan racauan dalam tulisan ini juga ditujukan sebagai pemberitahuan bahwa penulis masih bisa melahirkan tulisan lain selain tebaran kisah di buku harian yang akhir-akhir ini didominasi oleh satu tokoh saja, juga halaman belakang catatan kuliah yang lebih tebal dari catatan kuliah itu sendiri. Sebentar, biarkan saya menertawai penulis dan tulisannya ini. Hahaha, betapa tidak jelasnya.
Sebuah populasi ras manusia sedang terjangkit delusi. Inilah kisah tentang manusia goa yang hanya berteman dengan kerumunan-kerumunan. Siapa bisa menelurkan gumpalan kegelisahan jika zaman semakin ahli menciptakan kategori, kesamaan, standar, nilai, juga keharuman kentut yang selalu saja di cap sebagai ketidaksopanan berbau busuk. Sepanjang deretan pertokoan dan etelase, tersenyum-senyum sendiri membacai slogan di atas papan-papan iklan, nama-nama kios semakin aneh demi bisa memelihara jin pencetak uang. Di sepanjang keramaian jalan, manusia goa menemui kebingungan sebagian besar orang sedangkan ia justru mengetuk kebebasan dan keheningan di jalan kecilnya sendiri.
Manusia goa sedang mematung di sudut pusat perbelanjaan. Pakaian gembelnya itu ternyata tak cukup menarik perhatian orang. Ia bisa menikmati sekumpulan ras manusia yang cantik-cantik. Cukup cantik untuk menghiasi sepetak tanah air yang pahit. Di manakah lapar jiwa bisa dituntaskan jika makanan kesukaannya hanya kenangan, hanya masa lalu semakin menyusut menuju ketiadaan. Siapa bisa mengoceh soal sejarah dan kekuasaan. Tema ini tak cukup menarik untuk bisa dibeli daripada model tas, baju, dan sepatu terbaru. Manusia goa semakin cemas ketika tak ditemukananya sesuatu yang menarik dari kekososngan, kejemuan, dari hujan yang tak peduli. Kesunyian.
Dari sebuah lagu, manusia goa menemukan sebuah tempat bernama Distopia. Di sanalah banyak pertikaian ras manusia bisa dijumpai. Sebuah pertikaian yang bisa disebabkan oleh hal kecil saja, sama sekali remeh. Pertikaian bermula, hanya karena mereka memiliki terlalu banyak alasan untuk saling mencintai, sampai kebencian menjadi terlalu sengit. Ada kebaikan ada kejahatan, pemenang dan taklukan. Agama satu ini tak pernah mengenal ampun. Manusia goa memilih sembunyi, menghilang, tak berkata apa-apa di bawah hujan yang selalu tak peduli, terlalu lelah untuk memberi penafsiran.
Di kota bernama Distopia, kekuatan dan kekejaman adalah dewa-dewa kesepian. Penganut kepercayaan dikotomis kebaikan dan kejahatan menjadi semacam bayangan hitam dan putih, semakin mengabur bersama hujan tetapi semakin mengental di kegelapan malam. Sebuah ritual yang agak sulit tapi juga mampu menyederhanakan banyak hal. Kuil manakah akan dipilih, berdiri berdampingan, antara kejahatan dan kebutuhan.
Manusia goa takjub melihat sebatang tugu menjulang kekar dihadapannya. Sepenggal monumen di jejalan kerumunan, kokoh sekaligus gamang. Batu-batu yang ditumpuk untuk menandai sesuatu. Batu-batu yang seringkali ditolak haknya untuk menjadi abadi tapi karena itulah ia menjadi keabadian itu sendiri. Batu yang menyerahkan diri kepada manusia, kepada kehendak manusia untuk bertindak. Setumpuk batu tak bisa dihancurkan begitu saja. Dan tiba-tiba saja sekawanan massa menghancurkannya tanpa sisa. Menumbangkan batu. Pada batu, kekuasaan, kebodohan dan manusia sama-sama menjadi simbolis semata. Batu-batu menjadi saksi lalu lalang orang, manusia dengan wajah penuh debu dan lelehan keringat, sedikit asin dan hangat.
Siapa lagi sempat termenung memikirkan bahwa dunia selalu memiliki lebih dari satu hal untuk dikatakan. Ini menjadi sangat menarik dan kemudian begitu saja berubah membosankan. Manusia goa tak habis pikir bagaimana ras manusia bisa mengurung dirinya di sebuah kota aneh ini dengan kebosanan yang tertidur, bahkan begitu lelap lengkap dengan dengkur. Bagaimana mungkin mereka tidak menggabungkan diri dengan batu-batu, sampai tak bisa dibedakan lagi antara kota yang aneh dengan semesta yang membara, tanpa perasaan, menantang sejarah dan gejolaknya.
Dari sebuah kota yang sangat ribut dan sedikit gila ini, manusia goa sesak melihat ras manusia mulai menangis karena terlalu sering membunuh gairah dan keinginan sendiri, membunuh kesedihan dan kemenangannya sendiri. Sebuah kota yang gila, bahkan sanggup berjalan sambil tidur. Di kota ini pula ras manusia memperolah banyak sifat baik yang sementara, muncul bersumber dari titik jenuh tertentu. Mereka tak pernah mau memisahkan diri dari kebaikan-kebaikan kota dan berani berkata ‘ya’ pada Minotaur. Kebijaksanaan ini menjadi tua dan tumbuh subur sementara beban Atlas semakin ringan karena balsem gosok merk terbaru telah membuat pundaknya tak lagi pegal.
Para penakluk di kota ini sering sok melankolis, sedangkan manusia goa dan ras manusia serta kerumunan-kerumunan tidak pernah tahu apakah itu kejahatan. Mereka hanya tahu bahwa ini adalah kenyataan dan kembali pada kesepakatan-kesepakatan untuk membuat semua perbuatan bisa diterima atau tidak. Meskipun berkerumun di antara bising dan kegilaan kota, ras manusia dan manusia goa akan tetap dihadapkan pada kontradiksi-kontradiksi sampai mereka harus melakukan sesuatu dan menemukan cara untuk mendamaikan hal itu, atau paling tidak menguranginya.
Di kota ini, terlalu banyak orang salah memaknai antara tragedi dan keputusasaan. Tragedi adalah bagian dari sebuah sentakan yang indah terhadap penderitaan. Sebuah peradaban tak semudah ini akan mati, peradaban manusia goa, bahkan ketika dunia ini hancur sekalipun. Betapa di kota ini dewa-dewa sedang kehilangan sesuatu karena sudah sekian lama tak ada yang bangkit menentang mereka. Manusia goa hanya perlu memilih waktunya sendiri. Setiap orang memiliki semua kumpulan pengalaman, yang membuatnya akan berbuat atau tidak berbuat, tetapi tetap dengan kesadaran penuh tentang segala hal yang terlibat.
Catatan:
Tulisan ini terinspirasi oleh Camus dan lagu-lagu Melancholic Bitch. Igauan dan racauan dalam tulisan ini juga ditujukan sebagai pemberitahuan bahwa penulis masih bisa melahirkan tulisan lain selain tebaran kisah di buku harian yang akhir-akhir ini didominasi oleh satu tokoh saja, juga halaman belakang catatan kuliah yang lebih tebal dari catatan kuliah itu sendiri. Sebentar, biarkan saya menertawai penulis dan tulisannya ini. Hahaha, betapa tidak jelasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)