Dulu, ketika perempuan itu masih
senang menulis fiksi, ceritanya begitu saja kadang mampir terjadi tanpa
disadari. Perempuan itu sudah pernah mendapati tiga hari. Tiga hari yang
membuka pintu goanya. Kali ini ada lain tiga hari lagi. Begitu saja tiba-tiba
datang menjemputnya.
1
Lagi-lagi perempuan itu mengutuki
dirinya sendiri. Malam ini ia berada di antara orang-orang yang bicara tentang
film. Angin menerbangkannya sampai di meja kotak dengan kursi-kursi
mengelilingi. Asap rokok masih mencekik. Perempuan itu merasa bodoh di antara
mereka yang bicara tentang teknik montase, formalisme, neo-realisme,
keterkaitan antara kemunculan teori dengan sejarah dan politik, dan entah
apalagi. Perbincangan terus dilanjutkan, perempuan itu seperti tersesat di
tengah orang-orang di persimpangan kiri jalan, tidak lagi di persimpangan
malah. Orang-orang yang berdiri di pinggir paling kiri jalan.
Akan seperti apakah ketika sebuah
teori diterapkan dalam film? Orang-orang itu masih saja mencari format untuk
kelanjutan kelas menulis film yang kelihatannya lebih berat dari kuliah satu
semester. Perempuan itu tetap merasa tak mengerti apapun. Itu yang membuatnya
tak pernah nyaman. Sebuah ruang baru begitu saja terbuka dan perempuan itu sama
sekali tak mengenali wilayah yang akan dijelajahinya. Kompas dan peta pun ia
tak punya.
Perempuan itu sebentar merasa perlu
untuk ikut tertawa ketika salah satu dari orang-orang itu baru saja menemukan
istilah untuk menerjemahkan class struggle
dalam bahasa Indonesia yang bisa jadi sama artinya dengan tarung derajat. Lucu,
bukan? Tentu tidak lucu jika dituliskan macam begini. Seperti halnya film,
perempuan itu merasakan semacam inferiority
complex. Posisi film tak banyak dilihat orang ketika dibandingkan dengan
produk budaya atau media lain seperti sastra, misalnya.
Acara berikutnya adalah ritual
pencarian nama. Lama sekali. Sekian banyak kepala tak satu pun yang bisa
memunculkan sebuah nama. Perbincangan semakin sampai kemana-mana. Sampai
mencari singkatan dan akronim gaya Orba. Perempuan itu benar-benar ingin segera
pulang sementara perbincangan tak pernah menemukan ujung. Dua orang lagi
datang, temannya teman sebelah. Semakin entah. Perempuan itu hanya tak terbiasa
dengan suasana dan orang-orang baru seperti itu. Sesak dan ingin pulang.
Pulang dan tertidur dengan sedikit
rasa takut. Melihatmu menghilang ditelan gelap. Sepagi para kecoa lelap di
tengah muntahnya sendiri. Hoaks...
2
Untuk pertama kalinya perempuan itu
menonton sebuah film bersama teman sebelah. Sebuah film berjudul Lewat Djam Malam diputar kembali setelah
berhasil direstorasi. Sudah banyak yang menuliskan review dan resensinya, sementara perempuan itu tidak cukup punya
nyali untuk sekadar menuliskan kesannya sendiri. Memang sebaikanya kita tak
membaca banyak soal tulisan orang tentang film yang akan ditonton karena
mungkin bisa mengacaukan persepsi kita terhadap film itu sendiri.
Membaca beberapa tulisan tentang hal
yang sama itu menyenangkan. Maka resensi, review,
kritik film atau apapun namanya terlihat menjadi semacam rekaman pengalaman
penulis; pengalaman membaca, menonton film, sikap terhadap sesuatu, dan
ideologi pun kadang bermain di situ. Menulis tentang film bisa jadi sangat sederhana,
tapi bisa jadi pula sangat tak mudah dicerna pembaca.
Dari sebuah film bagus macam Lewat Djam Malam, perempuan itu bisa
tahu bahwa menulis tentang film, seberapa pun wah dan hebat bahasanya,
sebenarnya hanya berputar pada hal yang itu-itu saja. Mulai dari yang paling
sederhana, orang bisa membicarakan film dari perwatakan tokohnya, alur, setting-nya, sampai hubungan film dan
sutradaranya. Maka film pun bisa menjadi perpanjangan pemikiran dari sang
sutradara atau kekuatan cerita dalam sekenario mampu dibaca sebagai bentuk
kritik terhadap situasi pada zamannya.
Orang yang membahas film kadang tidak
hanya melihat satu film saja. Mereka lalu membanding-bandingkannya dengan film
lain. Orang lalu merajutnya dengan konteks sosial politik yang sedang terjadi.
Keseluruhan isi tulisan tentang film sebenarnya hanya merupakan kait. Bagaimana
orang menjalin kaitan antara satu hal dengan hal lainnya kemudian disusun
dengan bentuk dan pola pemikirannya. Sederhana tapi juga tidak sesedehana itu.
Potongan gambar dirangkai dengan narasi, dikait dengan konteks dibumbui sekian
kutipan, bahan bacaan, dan jadilah.
Tulisan tentang film lalu dikaitkan
dengan situasi politik dan sejarah. Dalam konteks ini, menulis film bisa
menjadi suatu kegiatan yang sangat politis. Sebuah dialog pengalaman penulis
yang tak habis-habis bisa dituangkan ketika membahas sebuah film. Di sini, membahas
film menjadi persoalan tafsir, apapun itu rasanya sahih asal masih relevan.
Lewat
Djam Malam bagi perempuan itu, dengan segala ukuran subyektif yang
digunakannya dinilai sebagai sebuah film yang bagus. Film ini bisa menjadi
cermin pada massanya dan tetap relevan disaksikan dalam konteks dan wilayah
pemikiran apapun. Bagi para pembahas film, mungkin film yang bagus adalah film
yang mampu bicara sendiri dengan segala keutuhannya. Ketika film mampu
menyentuh hal paling dasar dalam diri manusia, maka perempuan itu akan
menyukainya. Begitulah perempuan itu hanya mampu mengeja sebuah film dengan
sangat terpatah-patah.
3
Ada lirik lagu yang meracuni ingatan
di tiga harinya yang pertama. Konon katanya lagu-lagu itu akan dibawakan dalam
sebuah acara ketika penampil liriknya baru pulang dari Amerika.
Perempuan itu hanya mengenali sisi
malam yang sunyi. Bukan malam yang hingar dengan dentam suara-suara. Apa yang
bisa dikaisnya dari mimpi yang diciptakannya sendiri. Lirik-lirik itu membuncah
bersamaan dalam satu hari. Tangannya mengait kuat pada tangan lain yang membawanya
lari di tengah anak-anak muda berkaos hitam penggemar kelompok musik dengan
lagu yang terdengar seperti grunt and
growl. Suara yang keluar dari pangkal
tenggorokan ketika otot-otot leher menegang. Punggung-punggung berhias gambar-gambar
seram dengan sekian banyak tulisan, “metal sak modare”.
Sebuah lagu pembuka didengungkan.
Perempuan itu tenggelam di belakang. Mimpinya meracau. Sekian montase kajadian
melintas. Dingin merayapi kulit ketika perempuan itu masih ternganga dengan
gaun tak kedap cuaca. Imajinasinya utuh menggapai-gapai kerumunan. Sebentar,
tak ada seorang pun yang mau mencubit pipi perempuan itu sampai membangunkannya
dari mimpi. Hari-harinya tak pernah cerah. Tubuhnya telah terpetakan. Mati
dalam kematian lainnya.
Mimpinya terjatuh kembali dalam
distopia. Tapi tak pernah ada kereta mau menjemputnya. Perempuan itu pejam
memepatkan semesta meski tak pernah sampai pada semestanya sendiri. Tak ada
yang mampu membaca, bahkan mengeja setiap jejak luka, berceceran di jalanan. Cintanya
hanya nyata di televeisi saja, lain itu mimpi. Kata-kata begitu saja
dipinjaminya untuk menuliskan segala bentuk asing yang baru saja dikenali.
Sudah entah berapa kali penampil
lirik itu mengganti kacamata. Suara-suara muncul dan tenggelam. Perempuan itu
teriak. Teriakan pertama sejak sekian lama sekantung keraguan menggunung dan
disimpan dalam hatinya.
Lirik berikutnya. Di luar kisah
sedihmu. Di luar sesak napasmu. Di luar yang kau buru. Di luar igau mimpi
burukmu. Bernapas di celah waktu dan ruang yang mencekikmu. Bernapas di celah
waktu dan ruang yang mencekikmu, karena kita adalah batu. Setiap awal musim kita siapkan. Segelas rasa
sakit dan kehilangan. Setiap awal musim kita siapkan. Semangkuk rasa perih
dengan kebencian (Melancholic Bitch – Kita Adalah Batu).
Masih lirik dari lagu yang sama.
“Kita kan terjaga selamanya...”. Mata perempuan itu masih belum pejam. Sampai
kokok ayam kesekian. Sampai pagi memarahinya di tengah kusut sprei dan sisa
kertas tisu yang berserakan. “Kita kan terjaga selamanya...”. Sudah itu lelap.
Sudah itu mati. Sudah itu dibakarnya sebait puisi.
Tiga harinya ternyata tak berakhir.
Perempuan itu masih memiliki ‘kita’ meskipun samar. Mungkin hanya ada luka
tanpa melahirkan sekawanan apapun.
Di sebuah warung kopi yang berniat
untuk menyelamatkan anak bangsa dari bahaya kekurangan kopi, perempuan itu
mencoba menghilang di tengah kerumunan. Orang-orang menghabiskan waktu dengan
gelas-gelas kopi, bermain kartu, memaku mata pada layar laptop, membolak-balik
halaman koran, mengobrol entah. Hanya ada dengungan. Seperti sekawanan tawon
sedang membangun sarang.
Sekian lebar punggung menampilkan
tulisan dan kutipan-kutipan, “Membesarkan diri sendiri bukan dengan mengecilkan
orang lain” (Gus Dur). Sedang perempuan itu masih terus saja mengecilkan
dirinya sendiri dan membesarkan orang lain. Sekian lebar punggung lagi
menampilkan Bung Tomo dengan telunjuk mengacung, lengkap dengan kutipan
“Merdeka Sejak dalam Pikiran”. Sementara perempuan itu sibuk membangun pagar-pagar
memasung pikirannya sendiri. Pikirannya menjadi negara, para tentara
merasukinya.
Dimana lagi perempuan itu akan menemukan
tiga hari? Apakah masih ada tiga hari lagi setelah Melbi? Dan apakah masih
benar-benar ada kita setelah Melbi?
Kamar Kost, 16 Juli 2012