Sebuah pementasan komedi aksi berjudul Tulah Cinta Kuasa
digelar di bawah Beringin Soekarno Universitas Sanata Dharma. Penonton cukup
membeli tiket seharga lima ribu rupiah, duduk nyaman di bawah tribun dan
menonton pertunjukan. Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, katamu.
Bukan intrik dan rebutan cinta, katamu lagi. Bagitukah yang ingin dikatakan
Pram lewat novel Arok Dedes? Rasanya memang berat menerjemahkan cerita Arok
Dedes dalam drama dua babak seperti yang dipentaskan Teater Maraton malam
Minggu kemarin. Saya sampai tidak tega memberi rating dengan angka seperti halnya
dalam tulisan sebelumnya.
Suara gamelan membuka pertunjukan. Musik dari gamelan
menjadi salah satu kekuatan yang mampu mengangkat pertunjukan malam itu. Tata
cahayanya juga lumayan membantu menutupi sisi keaktoran yang bisa dibilang
masih kuwalahan dalam menampilkan karakter-karakter dalam naskah. Wangi dupa
menyebar di antara satu dua titik hujan, mengingatkan pada kamar Si Mbok dan
sesajinya.
Pementasan di alam terbuka sebenarnya cukup mengandung
resiko. Hanya ada dua kemungkinan. Teater tersebut akan gagal ketika alam
menelannya atau justru alam memberikan cukup energi bagi pertunjukan.
Kemungkinan kedua lah yang terjadi pada Tulah Cinta Kuasa. Kesan magis dari
pohon beringin tua, suasana malam sedikit gerimis dan lamat-lamat harum dupa adalah
energi tak tergantikan yang menolong jalannya pementasan.
Kalau teater itu disebut sebagai komedi aksi maka sudah semestinya
apabila penonton mengharpkan dua unsur tersebut ditampilkan dengan kuat. Tapi yang
terjadi adalah tampilan yang sama-sama tanggung antara komedi dan aksi. Bukan
menjadi soal sebuah narasi akan diterjemahkan seperti apa, namun yang menjadi
masalah adalah bagaimana penerjemahan tersebut dapat sampai kepada penonton
sehingga nyaman pula ditonton.
Komedi yang ditampilkan sebagian mengandalkan bahasa-bahasa alay yang diselip-selipkan dalam naskah.
Pementasan ini memang mampu membuat penonton tertawa, bukan karena lucu yang
sebenar-benarnya lucu tetapi karena para aktor yang wagu. Penonton tertawa ketika nama Lohgawe diubah menjadi ‘loe guweh’, tertawa lagi ketika Tunggul
Ametung dan Ken Dedes berjalan ke belakang pohon hendak main kuda-kudaan di
hari hujan. Satu aktor memang cukup berhasil membuat tawa yang konyol, si
pengawal tompel itu.
Tulah Cinta Kuasa sepertinya sedikit bermaksud memberikan
sentilan atau sindiran sosial untuk para penguasa. Ah, tapi jatuhnya kok begitu mengecewakan. Bayangkan
ketika pemeran Arok sampai tiga kali mengucapkan dialog soal penguasa yang
mempercepat proses pemiskinan rakyat kecil. Sangat menggelikan. Seandainya
benar-benar bermaksud menyisipkan kritik sosial, penulis naskah atau sutradara
seharusnya bisa mengemasnya secara lebih baik. Kita butuh sindiran yang
cerdas tapi tidak vulgar. Selain tentu wajib membaca novel Pram, sebelum
menulis naskah dan mementaskannya, segenap tim Teater Maraton hendaknya perlu
nonton film-filmnya Woody Allen terlebih dahulu. Lho, gak ada
hubungannya.
Entah kenapa saya merasa sedikit tidak rela apabila cerita
Arok Dedes diterjemahkan begitu rupa. Semoga saja kelatahan bahasa yang
diselipkan dalam naskah dimaksudkan untuk menyindir kerusakan bahasa yang
terjadi, atau hanya sekadar bahan guyonan,
bukan untuk ikut-ikutan latah menggunakannya. Kalau kita tengok lagi novel
Pram, Arok Dedes mengandung banyak sekali karakter-karakter biografis yang
kuat. Dalam pementasan ini, kekuatan tersebut sayangnya tidak diberikan oleh
naskah maupun keaktoran, melainkan justru kostum pemain yang sedikit membantu membentuk karakter.
Di samping komedi tanggung, aksi dalam pementasan kemarin
sepertinya hanya dilabeli dengan adegan laga yang juga sangat tanggung.
Sementara para pemain maupun sutradara seakan lupa fungsi gerak dalam teater
itu sendiri. Di sini para pemain tidak mampu menghidupkan tubuh mereka sendiri.
Tubuh-tubuh itu mati ketika setiap gerak dan gestur yang keluar tidak disertai
dengan aliran dari dalam yang mampu menghidupkanya. Aktor yang baik adalah
mereka yang sadar terhadap setiap gerak: gerak mental, gerak jiwa dan
menggunakannya untuk menyihir, mempengaruhi penonton. Kesadaran aktor terhadap
dunia emosinya sendiri akan membawanya pada sebuah titik dimana penonton mampu manangkap
kesan. Jalan keaktoran bukan susuatu yang mudah untuk ditempuh. Para aktor
Teater Maraton masih perlu belajar banyak untuk bisa berakting dengan baik.
Dari pengalaman menonton teater, saya sempat mencatat bahwa
sebagian pertunjukan teater terlihat kesulitan untuk mengeluarkan aktor dari
panggung. Selalu ada keterputusan yang janggal di bagian ini. Aktor yang mati tiba-tiba bangkit ketika lampu dipadamkan, lalu berjalan bergegas
meninggalkan panggung. Hal ini terjadi beberapa kali dalam Tulah Cinta
Kuasa. Untuk itu perlu dipikirkan strategi mengeluarkan aktor dari panggung
dengan mulus. Berbeda halnya dengan naskah yang memang mengharuskan aktor untuk
berada di panggung dari awal hingga akhir dengan pertimbangan dan taruhan pada konsep
yang dibangun dalam pementasan itu sendiri.
Bagi kelompok teater yang baru beberapa kali melakukan pementasan,
kualitas aktor akan sangat terlihat keteteran. Pementasan malam itu bisa mati
tanpa dukungan musik, pencahayaan dan pemilihan dekor alamnya. Di balik
panggung, proses latihan seperti apakah yang telah mereka lakukan? Berapa banyak
aktor yang saat ini benar-benar mengerti caranya berteriak, menggunakan
kerongkongan dan perut mereka. Kadang-kadang saya menjumpai aktor yang lupa
bahwa mereka punya tubuh di atas pentas, tidak sekadar menghafal naskah dan
bicara. Teater itu tidak hanya mementaskan sebuah naskah tapi bagaimana setiap
aktor menubuhkannya.
Kita bisa bayangkan bahwa setiap kampus di Jogja pasti punya
lebih dari satu kelompok teater. Setiap pertunjukan mereka selalu punya
penonton dan itulah yang membuat teater tetap hidup. Teater-teater muda yang
bermunculan ini tentu butuh banyak belajar dari kelompok-kelompok teater pendahulu
yang sudah besar. Hanya dengan begitulah mereka bisa berkembang sekaligus
mengatasi gap antargenerasi. Proses berteater semoga tidak hanya latihan fisik untuk pementasan tetapi juga membaca. Tampaknya
pula, setiap teater butuh pencatat kesan. Fungsi penonton tidak hanya membayar
tiket dan melihat pertunjukan tetapi juga memberikan sedikit celaan kalau
pementasan tidak memuaskan.
Lupakan soal teater. Karena setelahnya, suguhan orkes dangdut
membuat para pemain dan penonton melebur dalam cengkok merdu dan goyang syahdu
biduan, melarut dalam gerimis menjelang hujan. Segera pulang sebelum bertambah malam. Salam.
Kamar Kost, 22 April 2013