Tidak bisa tidur semalam itu sungguh menyiksa. Sementara
rasa sakit dan orang yang terjaga di depan laptopnya itu semakin memuakkan saja.
Dia, sekumpulan daging yang kebetulan punya wajah bernada suram dan sedikit
mesum. Pagi ini serasa ingin mengunyah batu. Sebelum batu-batu itu dipakai
untuk merajam kita, untuk setiap dusta dan airmata yang kita ciptakan bagi para
ibu.
Di tempat itu pula aku tak bisa bermimpi. Ada yang
menyerapnya diam-diam, entah kasur tipis yang menempel pada lantai atau memang
tempat itu dibuat khusus agar kedap dari mimpi. Hari ini, aku ingin mempercepat
kepulangan. Pagi menggelayut di jalan-jalan. Hampir semua pagi selalu terlambat
kita saksikan. Sedikit kabut turun.
Macam inikah pagi yang katanya indah dalam sajak dan lagu-lagu?
Menelan lagu seperti obat tidur. Seseorang bernyanyi dengan
suara hampir seperti berbisik, bising dalam lagunya sendiri. Gelap. Tidak ada
tulisan di meja sarapan. Tiga gelas bekas kopi terguling salah satunya.
Tikus-tikus semakin merajalela di rumah ini. Tiba-tiba sudah sore saja. Hujan
mengucapkan terimakasih pada uap-uap sepi yang keluar dari cerobong kepala
orang-orang tak punya kerjaan. Tidur lagi tanpa mimpi.
Apa yang tersisa dari gembel-gembel pinggiran kota
barangkali hanya tinggal fantasi, imajinasi, ilusi dan sakit. Dodes-ka-den adalah salah satu dari
sedikit film Akira Kurosawa yang ditampilkan dengan warna, berkebalikan dengan
kondisi orang-orang yang digambarkan di dalamnya. Tinggal di perkampungan kumuh
jauh dari hingar bingar Tokyo, seorang anak dengan keterbelakangan mental
menirukan suara kereta, judul film itu diulang-ulang mirip dengan suara kereta.
Penonton yang tak ingin masuk dalam imajinasinya hanya akan menemukan banyak
kejanggalan yang terkesan dibuat-buat. Bagi mereka yang mengijinkan dirinya
sendiri untuk masuk dalam film, suara anak itu akan terus terngiang-ngiang di
kepala. Dodes-ka-den... dodes-ka-den...
Anak yang menderita keterbelakangan mental itu hanya tinggal
dengan ibunya dalam suatu hubungan yang menarik. Dinding rumahnya dipenuhi
lukisan-lukisan ekspresionis khas gaya anak-anak yang semuanya bercerita
tentang kereta. Sedikit surealis, Kurosawa kadang mengecat langit menjadi
terlalu jingga, senja yang dipadukan dengan wajah polos bocah kereta atau
dikontraskan dengan riasan mengerikan dari pengemis dan anaknya.
Teman-teman sepermainan menyebut anak itu si troli aneh.
Setiap hari ia mengimajinasikan dirinya sebagai masinis dan keretanya,
berkeliling kampung sambil terus mengulang suara kereta dari mulutnya. Dodes-ka-den memiliki kesan phonetik
yang menempatkan bocah kereta pada tatatan karakter yang berbeda, sesuatu yang
terasing dari dunia luar dan asyik dalam dunianya sendiri. Anak itu adalah
pembuka kisah dengan rangkaian gerbong berisi manusia-manusia penghuni
perkampungan kumuh. Gerbong-gerbong yang pada suatu kali akan menjelma kereta
sendiri, datang dan pergi dalam waktu hidupnya sendiri-sendiri. Film ini punya
banyak karakter yang masing-masing mampu berkisah. Bocah kereta adalah penanda
sekaligus rantai yang menghubungkan cerita masing-masing karakter itu.
Kalau boleh mengandaikan kereta sebagai kehidupan, berangkat
di pagi hari dan akan berhenti dengan pasti. Maka demikianlah hidup orang-orang
itu. Dalam film ini, kita akan bertemu dengan seorang pelukis yang segera
mengemasi alat lukisnya dan menyingkir dari rel imajinasi yang diciptakan si
anak troli. Kita akan bertemu juga dengan dua orang pasangan suami istri. Para
suami bekerja di siang hari, saling berteman baik dan selalu pulang dalam
keadaan mabuk. Tanpa sadar mereka sering bertukar pasangan dan bertingkah
seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Sekumpulan ibu-ibu terlihat mencuci
piring, mengelilingi kran air yang barangkali hanya satu-satunya berada di
daerah itu. Kerjaan mereka hanya membicarakan para tetangga dan tak pernah
diperlihatkan punya kegiatan lain selain berkumpul di tempat yang sama sepanjang
hari. Hidup orang-orang ini selalu sama. Kalau saja ada istilah naik turunnya
kehidupan, mungkin cerita mereka kadang kala sedikit naik, tapi banyak
turunnya, atau bahkan tak berubah.
Si pengemis dan anak laki-lakinya tinggal di sebuah mobil
rongsokan. Setiap hari mereka hidup dari usaha si anak untuk mengambil
sisa-sisa makanan dari restoran. Karena tak punya rumah itulah, si bapak mengajak
anaknya bermimpi membangun rumah dengan desain-desain bergaya Eropa, dimulai
dari gerbang, pintu, halaman yang luas sampai cat apa yang cocok. Bahkan ketika
si anak sudah sekarat karena keracunan makanan, si bapak masih membayangkan
membuatkan anaknya sebuah kolam yang luas. Imajinasi itu ditampilkan dengan
gambar-gambar artifisial. Tampilan imajinasi tersebut barangkali memang menjadi
pilihan sang sutradara untuk melukiskan mimpi-mimpi mereka, semacam utopia yang
ditempatkan Kurosawa dalam distopia.
Seorang gadis yang menumpang di rumah bibinya harus bekerja
keras membuat bunga kertas untuk menghidupi pamannya yang pemabuk. Gadis itu
diperkosa pamannya di atas ceceren bunga kertas. Wajah layu gadis itu kontras
dengan bunga kertas merah buatannya ketika ia tanpa daya menuruti keinginan
pamannya. Beberapa waktu kemudian, gadis itu dikabarkan menikam seorang
laki-laki yang berusaha menolong dan memberi perhatian padanya. Kita hanya bisa
mengira bahwa membunuh—bagi gadis itu—membuat cinta si lelaki tetap bisa
disimpannya dalam hati.
Lalu kita akan menjumpai sebuah keluarga dengan banyak anak.
Sang istri hamil besar dan suaminya bekerja membuat sikat pembersih dari kayu.
Anak-anak itu konon katanya tidak hanya mempunyai satu bapak. Meski demikian,
sang bapak tetap mencintai anak-anaknya. Seorang bapak yang tidak hanya
dimaknai secara biologis tetapi laki-laki yang menjadi pelindung dan membawa
kebahagiaan di tengah anak-anaknya. Masih ada lagi kisah tentang seorang
laki-laki kesepian dan seorang lagi pekerja kantoran yang takut dengan istrinya.
Sebagai penonton, barangkali akan lebih menarik ketika kita
bisa masuk dalam dunia dan cerita tokoh-tokoh dalam film. Bisa saja mereka kita
anggap sebagai orang-orang aneh tetapi banyak hal bisa ditemukan ketika
sedikit saja kita mau memasuki ketidaksadaran mereka. Keputusan-keputusan yang
mereka ambil menjadi sangat logis dalam dunia psikotik orang-orang itu. Kurosawa
masih menempatkan pahlawan dalam filmnya. Berbeda dengan gambaran seorang
samurai gagah perkasa di banyak film Kurosawa sebelumnya, pahlawan dalam film
ini adalah kakek tua dengan laku hidupnya sendiri. Ia adalah seseorang yang
bisa mempersilakan pencuri masuk dan menunjukkan dimana ia menyimpan barang
berharganya. Kakek itu juga ikut menyelesaikan persoalan seseorang yang datang
ke rumahnya, ingin bunuh diri sekaligus menginginkan kehidupan.
Dalam film ini, Kurosawa menawarkan mimpi, imajinasi, fantasi dalam realitas, kesedihan sekaligus kebahagiaan. Lukisan Kurosawa kali ini mengandung kesamaran dari banyak paduan peradeganan dan karakter-karakter yang sama-sama punya nyawa untuk menghidupkan film, seperti halnya siluet bocah troli di balik pintu, menutup hari dengan gerakan-gerakan imajiner yang bisa kita nikmati lewat nyala lampu rumahnya.
Dalam film ini, Kurosawa menawarkan mimpi, imajinasi, fantasi dalam realitas, kesedihan sekaligus kebahagiaan. Lukisan Kurosawa kali ini mengandung kesamaran dari banyak paduan peradeganan dan karakter-karakter yang sama-sama punya nyawa untuk menghidupkan film, seperti halnya siluet bocah troli di balik pintu, menutup hari dengan gerakan-gerakan imajiner yang bisa kita nikmati lewat nyala lampu rumahnya.
Tulisan tentang Dodes-ka-den
tidak selesai. Tiba-tiba saja semua menjadi memuakkan. Ada yang ingin dilanjutkan
tapi tak bisa keluar, tidak mengerti apa yang ingin dibicarakan. Aku tak
mengerti apa-apa tentang film dan kalimat-kalimat itu menjadi terasa sangat
tidak penting. Sampai jumpa pada tulisan selegenje
selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar